"Sayang, kamu kenapa?" Aku tersentak melihat Bastian sudah berdiri di depanku. Reflek kudorong ponselnya masuk lebih dalam. "I, ini, aku lagi ngitung uang, tapi kepalaku tiba-tiba pusing." Aku berusaha tidak gugup meski suaraku terdengar bergetar.Bastian masuk ke meja kasir lalu menyentuh keningku dengan telapak tangannya. "Badanmu hangat, pulang saja, ya?"Aku mengangguk dan menurut saat Bastian meraih tas tangan lalu mendorong laci. Dia juga membantuku turun dari kursi. "Aku bisa pulang sendiri, kamu teruskan saja pekerjaanmu." "Kalau demam begini mana mungkin aku biarin kamu nyetir sendiri. Lagipula kamu lebih penting dari apa pun. Ayo."Aku tidak menolak ketika Bastian membimbingku masuk ke dalam mobil. Setelah memastikan aku duduk dengan nyaman, dia menutup pintu lalu berjalan memutari bagian depan mobil."Tahu gini lebih baik kamu rehat di rumah. Aku tidak mau kamu sakit," celutuk Bastian sambil memasangkan sabuk pengaman di tubuhku."Maaf, aku tidak bermaksud merepotkanmu,
"Gimana, mau kami jodohkan dengan Sani?"Telingaku berdenging mendengar pertanyaan dari Mama Sani. Aku refleks menatap Bastian dan melihatnya tersenyum. Seketika dadaku terasa ngilu, inikah maksud lelaki itu itu membawaku ikut bersamanya? Apa dia ingin menunjukkan kalau ada wanita lain yang akan menggantikan posisiku? Percikan amarah membuat dadaku seakan terbakar. Aku bermaksud berbalik meninggalkannya, tetapi tanganku dipegang Bastian. "Wah, saya merasa terhormat, tapi mana pantas saya jadi mantu Bapak." Bastian menarik pinggangku membuat aku bingung. "Lagipula saya sudah menikah, ini istri saya. Namanya Najwa, cantik, kan?"Perkataan Bastian laksana hujan yang memadamkam bara di dalam dadaku. Hati istri mana yang tidak berbunga dipuji di depan orang yang menyodorkan putrinya untuk diperistri."Giliran ketiga orang di depan kami yang terlihat bingung, terutama Sani yang mulutnya menganga. Gadis itu menatapku dari kepala sampai kaki."Oh, Nak Bastian sudah menikah. Maaf, ya, kami t
Aku baru selesai mencuci piring bekas makan siang ketika bel berbunyi. Bastian yang sedang berbaring di sofa berkata kalau dia saja yang akan membuka pintu. Setelah membersihkan wastafel, menyusun sabun, lalu mengeringkan tangan aku menyusulnya ke luar. Langkahku memelan melihat Sani berdiri di depan pintu dengan wajah kusut dan mata sembab. "Mas, tolong mengerti perasaanku. Aku sudah terlanjur cinta sama kamu. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu." Gadis itu merengek sambil berusaha memegang tangan Bastian, tetapi lelaki itu terus menepis tangan Sani. "Sani, apa yang kamu rasakan bukan tanggung jawabku. Apa aku pernah memberi harapan padamu? Apa aku pernah meladeni chat-chat yang kau kirimkan?" Bastian menjawab dengan nada lembut membuat aku gemas. Calon pelakor, kok, dilembutin. Ya, ngelunjak! "Tapi kamu tidak pernah bilang ke aku statusmu, kamu juga selalu baik sama aku." Sani terus menghiba memohon agar Bastian membalas cintanya. Bastian menggeleng. "Kamu salah paham. Sebagai pen
Tanpa sadar aku mengikuti Laila dari seberang jalan. Wanita itu tampak seperti orang ling-lung. Sesekali dia menoleh ke belakang, kepalanya celingukkan seperti sedang mencari seseorang, kemudian dia kembali berjalan. Mulutnya komat-kamit seperti sedang bicara, kadang tertawa tak lama rautnya berubah sedih. Tingkah Laila persis seperti orang kehilangan akal. Apa yang terjadi pada wanita itu? Hampir aku menyebrang jalan ketika Laila didorong seseorang. Salahnya, dia tiba-tiba memeluk pejalan kaki dan memanggil nama Rafa. "Dasar gila! Aku bukan Rafa." Lelaki yang coba dipeluk Laila mendorong tubuhnya sehingga wanita itu nyaris tersungkur. "Mas Rafa, ini aku!" Laila malah menangis. Dia kembali memeluk si lelaki. "Najis!" Lelaki itu berjalan cepat meninggalkan Laila. Seorang ibu penjual minuman dengan gerobak menahan tangan Laila. "Laila, itu bukan Rafa. Ayo pulang, dia sudah nunggu kamu di rumah." Laila berhenti mengejar lelaki tadi. Matanya berbinar menatap sang penjual minuman.
Aku harap-harap cemas ketika perawat mengoleskan gel ke perutku. Sesekali melirik dokter yang masih berbincang dengan Bastian. Dia terlihat sumringah menjawab semua pertanyaan dari dokter, kadang dia mencuri-curi pandang ke arahku dan saat tatapan kami bertemu dadaku menghangat melihat binar di matanya. "Kalau begitu kita periksa dulu, ya." Dokter bangkit lalu menghampiriku. "Apa Anda merasa mual atau pusing?" tanyanya sambil menerima alat transduser yang merupakan bagian dari USG agar bisa mengecek apakah sudah ada tanda-tanda kehamilan. Aku menggeleng dan menahan napas sejenak ketika alat tadi digerakkan di atas perut yang sudah diberi gel. Dadaku berdebar kencang ketika melihat gambar di layar. "Ini sudah terlihat kantung kehamilannya. Saya perkirakan kehamilan Anda memasuki minggu ke lima." Mendengar penjelasan dokter mataku seketika memanas. Tatapanku dan Bastian bertemu, keadaan lelaki itu sama sepertiku, matanya terlihat berembun, senyumnya lebar ke arahku. Bibirnya berg
Bukannya bertambah aman adanya Marni di rumah, aku semakin ketakutan sendiri. Aku merasa di awasi. Apalagi setelah keluar seharian pasti ada saja barang-barangku yang berpindah tempat. Bukan suuzhon, tapi aku yakin Marni pelakunya. Masalah asinan manggaku saja belum ada titik terangnya, sekarang satu per satu barangku menghilang. Saking penasaran aku selalu memfoto meja rias, isi lemari, dan semua perabotan yang ada di kamar sebelum keluar rumah hanya untuk memastikan aku tidak berhalusinasi. Dan hasilnya, letak benda-benda yang ada di sana bergeser."Buk, saya mau belanja ke tukang sayur. Cabe sama lombok habis."Kesempatan. Aku merogoh uang dua ratus ribu di dalam saku daster lalu menyerahkan pada Marni. "Iya, tolong belanja, ya. Sekalian beli ayam, kangkung, kentang sama ikan asin. Saya lagi pengen makan perkedel sama balado ikan asin."Marni menerima uang dari tanganku lalu keluar menghampiri tukang sayur yang mangkal di depan rumah tetangga. Setelah memastikan dia keluar, aku geg
"Mbak, baik-baik di rumah, ya. Kalau ada orang asing bertamu tidak usah dibukain pintu. Saya takut Mbak kenapa-kenapa." Aku sengaja berpesan seperti agar Marni ketar-ketir. "Maksudnya, Buk?" tanya Marni dengan dahi berkerut. "Memangnya kamu tidak pernah dengar kasus perampokan saat majikannya tidak ada di rumah? Semua harta habis dikuras sama orang. Kalau dipikir-pikir aneh, ya, merampok, tapi pintu rumah tidak ada yang rusak. Saya yakin ulah orang dalam." Aku membalas sambil memasukkan ponsel ke dalam tas, berpura-pura tidak melihat raut Marni yang berubah pucat. "O, orang dalam?" Dia terlihat gugup. Aku mengangkat pandanganku agar Marni merasa terintimidasi. "Dengar-dengar asisten rumah tangganya. Eh, kamu tidak begitu, kan?" "Ti, tidak, Buk. Mana mungkin saya sejahat itu." Marni menggerakkan kedua tangannya di depan dada. Aku tersenyum tipis melihat Marni semakin salah tingkah. "Baiklah, saya berangkat dulu. Ingat pesan saya." Setelah Marni mengangguk, aku berjalan ke luar
Daya di tubuhku seakan tersedot keluar melihat Najwa jatuh terduduk ke atas paving block di pekarangan rumah kami. Aku hendak mengejarnya, tetapi satu orang penjahat berusaha memukuliku hingga aku harus melumpuhkan terlebih dulu. Beruntung tetangga dan beberapa orang pemuda yang dihubungi oleh satpam perumahan sudah berkumpul membuat kelima penjahat itu berhasil dibekuk dengan mudah. Aku menghampiri Najwa dengan langkah lebar lalu berjongkok di sampingnya. "Kamu tidak apa-apa?" Cemas mencengkeram dadaku ketika melihatnya meringis kesakitan sambil memegang perut. "Sakit, Mas, perutku." Najwa merintih, bola mataku seakan hendak melompat dari tempatnya melihat darah mengalir di sela kakinya. "Mas, darah, anakku ...." Tangis Najwa pecah, rautnya berubah pucat pasi, dia terlihat sangat kesakitan. Aku mengangkat tubuh Najwa sambil berteriak agar seseorang membuka pintu mobil untukku. Jantungku seolah-olah hendak pecah ketika rasa takut semakin menjadi-jadi menyusupkan pikiran buruk tent
Aku memperhatikan dokter memeriksa Athar dengan perasaan tak menentu. Cemas, takut, dan marah campur aduk di dadaku. Aku tak melihat luka di tubuh bocah lelaki itu, tetapi yang aku takutkan pengalaman dicu-lik akan mengendap di benaknya dan menjadi trauma berkepanjangan. Sampai saat ini aku bahkan belum memaafkan kelalaianku menjaga Athar. Padahal sebelumnya aku sangat berhati-hati, mungkin inilah yang dinamakan sedang tidak beruntung? "Bagaimana anak saya, dok?" Aku langsung bertanya ketika dokter tadi selesai memeriksa Athar. "Dia mengalami dehidrasi, sepertinya dia tidak mendapat asupan makanan dan minuman lebih dari delapan belas jam." Da-daku seperti digodam besi mendengar penjelasan dokter. Jangankan delapan belas jam, Athar makan teratur tiga kali sehari, bahkan mulutnya tidak berhenti ngemil tiap jam. Membayangkan dia harus menahan lapar dan haus selama itu membuat amarahku kembali berkobar. Aku berjanji Risa harus membayar perbuatannya dengan tinggal di hotel prodeo selam
"Tante, aku lapal!" Aku berteriak dengan kesal lalu menatap Athar tajam. "Berisik! Bisa diam gak? Lama-lama aku sum-pal mulutmu pakai batu!" Aku menunjukkan batu apung sebesar tinju orang dewasa kepada Athar. Suara rengekannya membuat kepalaku terasa pecah. Apalagi dia selalu memanggil Uminya. Najwa, wanita itu berhasil membuatku malu di media sosial. Aku terpaksa menonaktifkan akun tok-tokku agar tidak diserang lagi oleh netizen. Niatku mencari simpati malah dimentalkan Najwa. Seseakun yang aku yakin dia dalang di belakang layar membuat postingan tandingan sehingga semua tuduhan yang aku arahkan padanya luruh sendiri. Aku tidak mengira dia merekam percakapan kami. Benar-benar wanita licik. Akibat dari postingannya itu aku harus kehilangan follower sampai ribuan. Padahal aku sudah mendapat beberapa endorsan yang belum sempat kuposting. Rencana mendapatkan u-ang dari akun tok-tok gagal total, ditambah lagi sindiran teman-teman di dunia nyata yang juga berteman denganku di sosial med
Tangisku tak kunjung berhenti, dadaku pun terasa semakin mengkerut membayangkan nasib Athar. Harusnya aku tak membiarkan dia pergi sendiri, harusnya aku yang membeli makanan untuknya. Kata-kata pengandaian terus bermain di kepalaku menikamkan rasa bersalah ke dalam dada. Ya, Tuhan ... di mana putraku? Siapa yang telah membawanya?"Sayang, apa yang terjadi?" Mendengar suara Bastian aku mengangkat kepala, ada setitik rasa lega hadir melihat lelaki itu tergopoh-gopoh menghampiriku."Mas, Athar ...." Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku, sesak di rongga dada belumlah tuntas memantik tangisku kembali pecah."Annisa, ada apa? Di mana Athar?" "Gak tahu, Pak. Tadi kata yang punya warung makan Athar udah balik ke toko, tapi dia juga gak bisa memastikan Athar sudah masuk atau belum." Annisa menceritakan kronologi kejadian dari awal sampai akhir.Aku bisa merasakan usapan di punggung serta helaan napas berat dari mulut Bastian. Aku tahu ini kelalaianku, tak seharusnya membiarkan Athar pergi
"Sayang, ponselmu dari tadi bunyi. Kayaknya notifikasi dari tiktok." "Oh, ya?" Aku melirik ponsel yang kuletakkan di atas bufet kecil di sudut ruang makan. Aku tersenyum, pasti akun bodong yang aku buat sudah ramai dengan komentar-komentar julid khas netizen plus enam dua, apalagi topiknya tentang pelakor. Biasa, kan, kalau ada bau-bau wanita pengganggu pasti akan dikerubungi seperti semut menemukan gula. "Ada apa? Kok, senyum-senyum gitu?" Bastian yang sedang menyuap bubur ayam melirikku dengan tatapan penasaran. Aku menarik kursi dari meja makan lalu duduk di sebelahnya. "Kamu ingin tahu atau ingin tahu banget?" Aku balik bertanya sambil bertopang dagu dan menatap Bastian dengan sorot menggoda. "Ck, kalau seperti ini pasti seru. Memangnya ada apa?" Bastian mengelap mulutnya. Dia memang penyuka bubur ayam, sebentar saja makanan itu sudah tandas. "Begini." Aku menghadapkan wajah dan tubuh ke arah Bastian, suatu kebiasaan bila ingin bicara sesuatu yang serius. "Kemarin aku pecat
"Pak Bastian di mana?" Risa celingak-celinguk mencari keberadaan Bastian. Wajahnya memucat, tetapi dia sangat pandai mengendalikan diri sehingga tidak terlihat panik. "Untuk apa kau bertanya di mana suamiku?" "Sa, saya ...." Aku bersedekap dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi menunggu apa jawaban Risa. "Tadi Pak Bastian nyuruh saya masuk. Saya pikir ...." "Kamu pikir itulah kesempatan untuk merayu suami saya, begitu?" Bukannya takut, Risa malah menantang mataku. "Syukurlah kalau Ibuk sudah tahu. Jadi, saya tidak perlu menyembunyikan lagi perasaan saya." Aku berdecak dan geleng-geleng kepala mendengar pengakuan lugas Risa. Tak ada ketakutan di rautnya berkata seperti tadi. Sungguh kepercayaan diri yang tidak berada di tempatnya. "Lalu setelah saya tahu apa yang kamu harapkan?" "Saya harap Ibuk bersedia menerima saya sebagai madu. Tenang saja, walau saya lebih muda, tetapi saya tidak akan menguasai Mas Bastian." Mas? Aku tertawa dalam hati mendengar Risa sangat percay
"Kita tunggu Umi, ya. Belum lapar, kan?"Aku tersenyum melihat Athar menggeleng, tetapi tangannya sibuk memasukkan keripik kentang ke dalam mulut. Pipi gembulnya bergoyang membuatku tak tahan ingin mencubitnya."Katanya tunggu Umi, kok, ngemil?" Lagi terdengar protes Bastian. Dia sesekali melirik Athar yang tenang duduk di atas kursi, sementara tangan lelaki itu sibuk mengaduk sesuatu di dalam wajan."Kelipik Umi enak, Bi. Athal suka, Umi pintel masak." Dia menjawab dan mengacungkan jempol ke Bastian untuk memvalidasi ucapannya."Cuma Umi? Masakan Abi juga enak lho." Athar lagi-lagi menggeleng. "Lebih enak masakan Umi."Aku tertawa kecil mendengar balasan Athar, dia memang belum bisa melapalkan huruf R dengan baik. "Wah, makasih, sayang. Umi pinter karena masak Abi yang ngajarin." Aku menghampiri keduanya dan ikut menyela obrolan mereka, lalu memeluk pinggang Bastian yang tersenyum ke arahku.Bastian tersenyum. "Pagi, sayang." Satu kecupan ringan dibubuhkan di dahiku. Gimana tidurny
Aku mengecup pipi gembul Athar dengan pelan agar tidurnya tidak terusik. Senyumku mengembang melihat dia sudah tumbuh besar. Tak terasa lima tahun berlalu sejak membawa bayi merah itu ke rumah, kini dia tumbuh menjadi bocah periang dan menggemaskan. Athar sangat pintar, di usia yang belum cukup enam tahun dia sudah lancar membaca. Dia juga hapal beberapa surat pendek, karena sejak usia satu tahun aku mengajarkannya membaca ayat-ayat suci tersebut dalam setiap kesempatan. Sebelum tidur, saat bangun, dan di sela-sela bermain. Tidak ada yang mengira kalau dia putra angkatku dan Bastian, sebab wajahnya semakin lama menyalin parasku. Entah mitos atau kenyataan, orang-orang bilang walaupun tidak memiliki hubungan darah, tetapi bila lama hidup bersama paras pun akan menyerupai dengan siapa dia tinggal. Aku tidak mempermasalahkan benar atau tidak, yang penting Athar tumbuh sehat tidak kurang satu apa pun."Athar sudah tidur?" Pertanyaan Bastian menyambutku ketika keluar dari kamar Athar.Aku
'Terima kasih diriku telah berhasil bertahan hingga detik ini. Maafkan aku yang telah banyak menyusahkanmu. Untuk ke depan ayo kita saling mencintai, karena aku hanya punya kamu begitu pula sebaliknya. Aku tersenyum membaca barisan kata-kata yang lewat di beranda Instagramku. Kalimat yang mampu membuat mataku terasa hangat. Entah kebetulan atau sedang menyentilku agar tidak terus-menerus larut bersama kesedihan, konten-konten yang serupa sering FYP di akunku. Seperti sedang menasehati hidup ada pasang-surutnya. Tidak semua yang diinginkan baik menurut Tuhan, adakalanya kita dipaksa menerima kenyataan yang jauh berbeda dari ekspetasi. Meski tak suka, sebagai manusia kita bisa apa kalau Sang Mahakuasa tidak ridho dengan keinginan kita. Aku menghela napas dalam lalu melabuhkan pandangan ke pohon mangga yang daunnya bergoyang diembus angin. Satu tahun sudah sejak kehilangan calon bayi, aku mulai membuka diri. Awalnya sulit, karena aku telanjur melambung dengan anganku sendiri. Rencana-r
Daya di tubuhku seakan tersedot keluar melihat Najwa jatuh terduduk ke atas paving block di pekarangan rumah kami. Aku hendak mengejarnya, tetapi satu orang penjahat berusaha memukuliku hingga aku harus melumpuhkan terlebih dulu. Beruntung tetangga dan beberapa orang pemuda yang dihubungi oleh satpam perumahan sudah berkumpul membuat kelima penjahat itu berhasil dibekuk dengan mudah. Aku menghampiri Najwa dengan langkah lebar lalu berjongkok di sampingnya. "Kamu tidak apa-apa?" Cemas mencengkeram dadaku ketika melihatnya meringis kesakitan sambil memegang perut. "Sakit, Mas, perutku." Najwa merintih, bola mataku seakan hendak melompat dari tempatnya melihat darah mengalir di sela kakinya. "Mas, darah, anakku ...." Tangis Najwa pecah, rautnya berubah pucat pasi, dia terlihat sangat kesakitan. Aku mengangkat tubuh Najwa sambil berteriak agar seseorang membuka pintu mobil untukku. Jantungku seolah-olah hendak pecah ketika rasa takut semakin menjadi-jadi menyusupkan pikiran buruk tent