"Gimana, mau kami jodohkan dengan Sani?"Telingaku berdenging mendengar pertanyaan dari Mama Sani. Aku refleks menatap Bastian dan melihatnya tersenyum. Seketika dadaku terasa ngilu, inikah maksud lelaki itu itu membawaku ikut bersamanya? Apa dia ingin menunjukkan kalau ada wanita lain yang akan menggantikan posisiku? Percikan amarah membuat dadaku seakan terbakar. Aku bermaksud berbalik meninggalkannya, tetapi tanganku dipegang Bastian. "Wah, saya merasa terhormat, tapi mana pantas saya jadi mantu Bapak." Bastian menarik pinggangku membuat aku bingung. "Lagipula saya sudah menikah, ini istri saya. Namanya Najwa, cantik, kan?"Perkataan Bastian laksana hujan yang memadamkam bara di dalam dadaku. Hati istri mana yang tidak berbunga dipuji di depan orang yang menyodorkan putrinya untuk diperistri."Giliran ketiga orang di depan kami yang terlihat bingung, terutama Sani yang mulutnya menganga. Gadis itu menatapku dari kepala sampai kaki."Oh, Nak Bastian sudah menikah. Maaf, ya, kami t
Aku baru selesai mencuci piring bekas makan siang ketika bel berbunyi. Bastian yang sedang berbaring di sofa berkata kalau dia saja yang akan membuka pintu. Setelah membersihkan wastafel, menyusun sabun, lalu mengeringkan tangan aku menyusulnya ke luar. Langkahku memelan melihat Sani berdiri di depan pintu dengan wajah kusut dan mata sembab. "Mas, tolong mengerti perasaanku. Aku sudah terlanjur cinta sama kamu. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu." Gadis itu merengek sambil berusaha memegang tangan Bastian, tetapi lelaki itu terus menepis tangan Sani. "Sani, apa yang kamu rasakan bukan tanggung jawabku. Apa aku pernah memberi harapan padamu? Apa aku pernah meladeni chat-chat yang kau kirimkan?" Bastian menjawab dengan nada lembut membuat aku gemas. Calon pelakor, kok, dilembutin. Ya, ngelunjak! "Tapi kamu tidak pernah bilang ke aku statusmu, kamu juga selalu baik sama aku." Sani terus menghiba memohon agar Bastian membalas cintanya. Bastian menggeleng. "Kamu salah paham. Sebagai pen
Tanpa sadar aku mengikuti Laila dari seberang jalan. Wanita itu tampak seperti orang ling-lung. Sesekali dia menoleh ke belakang, kepalanya celingukkan seperti sedang mencari seseorang, kemudian dia kembali berjalan. Mulutnya komat-kamit seperti sedang bicara, kadang tertawa tak lama rautnya berubah sedih. Tingkah Laila persis seperti orang kehilangan akal. Apa yang terjadi pada wanita itu? Hampir aku menyebrang jalan ketika Laila didorong seseorang. Salahnya, dia tiba-tiba memeluk pejalan kaki dan memanggil nama Rafa. "Dasar gila! Aku bukan Rafa." Lelaki yang coba dipeluk Laila mendorong tubuhnya sehingga wanita itu nyaris tersungkur. "Mas Rafa, ini aku!" Laila malah menangis. Dia kembali memeluk si lelaki. "Najis!" Lelaki itu berjalan cepat meninggalkan Laila. Seorang ibu penjual minuman dengan gerobak menahan tangan Laila. "Laila, itu bukan Rafa. Ayo pulang, dia sudah nunggu kamu di rumah." Laila berhenti mengejar lelaki tadi. Matanya berbinar menatap sang penjual minuman.
Aku harap-harap cemas ketika perawat mengoleskan gel ke perutku. Sesekali melirik dokter yang masih berbincang dengan Bastian. Dia terlihat sumringah menjawab semua pertanyaan dari dokter, kadang dia mencuri-curi pandang ke arahku dan saat tatapan kami bertemu dadaku menghangat melihat binar di matanya. "Kalau begitu kita periksa dulu, ya." Dokter bangkit lalu menghampiriku. "Apa Anda merasa mual atau pusing?" tanyanya sambil menerima alat transduser yang merupakan bagian dari USG agar bisa mengecek apakah sudah ada tanda-tanda kehamilan. Aku menggeleng dan menahan napas sejenak ketika alat tadi digerakkan di atas perut yang sudah diberi gel. Dadaku berdebar kencang ketika melihat gambar di layar. "Ini sudah terlihat kantung kehamilannya. Saya perkirakan kehamilan Anda memasuki minggu ke lima." Mendengar penjelasan dokter mataku seketika memanas. Tatapanku dan Bastian bertemu, keadaan lelaki itu sama sepertiku, matanya terlihat berembun, senyumnya lebar ke arahku. Bibirnya berg
Bukannya bertambah aman adanya Marni di rumah, aku semakin ketakutan sendiri. Aku merasa di awasi. Apalagi setelah keluar seharian pasti ada saja barang-barangku yang berpindah tempat. Bukan suuzhon, tapi aku yakin Marni pelakunya. Masalah asinan manggaku saja belum ada titik terangnya, sekarang satu per satu barangku menghilang. Saking penasaran aku selalu memfoto meja rias, isi lemari, dan semua perabotan yang ada di kamar sebelum keluar rumah hanya untuk memastikan aku tidak berhalusinasi. Dan hasilnya, letak benda-benda yang ada di sana bergeser."Buk, saya mau belanja ke tukang sayur. Cabe sama lombok habis."Kesempatan. Aku merogoh uang dua ratus ribu di dalam saku daster lalu menyerahkan pada Marni. "Iya, tolong belanja, ya. Sekalian beli ayam, kangkung, kentang sama ikan asin. Saya lagi pengen makan perkedel sama balado ikan asin."Marni menerima uang dari tanganku lalu keluar menghampiri tukang sayur yang mangkal di depan rumah tetangga. Setelah memastikan dia keluar, aku geg
"Mbak, baik-baik di rumah, ya. Kalau ada orang asing bertamu tidak usah dibukain pintu. Saya takut Mbak kenapa-kenapa." Aku sengaja berpesan seperti agar Marni ketar-ketir. "Maksudnya, Buk?" tanya Marni dengan dahi berkerut. "Memangnya kamu tidak pernah dengar kasus perampokan saat majikannya tidak ada di rumah? Semua harta habis dikuras sama orang. Kalau dipikir-pikir aneh, ya, merampok, tapi pintu rumah tidak ada yang rusak. Saya yakin ulah orang dalam." Aku membalas sambil memasukkan ponsel ke dalam tas, berpura-pura tidak melihat raut Marni yang berubah pucat. "O, orang dalam?" Dia terlihat gugup. Aku mengangkat pandanganku agar Marni merasa terintimidasi. "Dengar-dengar asisten rumah tangganya. Eh, kamu tidak begitu, kan?" "Ti, tidak, Buk. Mana mungkin saya sejahat itu." Marni menggerakkan kedua tangannya di depan dada. Aku tersenyum tipis melihat Marni semakin salah tingkah. "Baiklah, saya berangkat dulu. Ingat pesan saya." Setelah Marni mengangguk, aku berjalan ke luar
Daya di tubuhku seakan tersedot keluar melihat Najwa jatuh terduduk ke atas paving block di pekarangan rumah kami. Aku hendak mengejarnya, tetapi satu orang penjahat berusaha memukuliku hingga aku harus melumpuhkan terlebih dulu. Beruntung tetangga dan beberapa orang pemuda yang dihubungi oleh satpam perumahan sudah berkumpul membuat kelima penjahat itu berhasil dibekuk dengan mudah. Aku menghampiri Najwa dengan langkah lebar lalu berjongkok di sampingnya. "Kamu tidak apa-apa?" Cemas mencengkeram dadaku ketika melihatnya meringis kesakitan sambil memegang perut. "Sakit, Mas, perutku." Najwa merintih, bola mataku seakan hendak melompat dari tempatnya melihat darah mengalir di sela kakinya. "Mas, darah, anakku ...." Tangis Najwa pecah, rautnya berubah pucat pasi, dia terlihat sangat kesakitan. Aku mengangkat tubuh Najwa sambil berteriak agar seseorang membuka pintu mobil untukku. Jantungku seolah-olah hendak pecah ketika rasa takut semakin menjadi-jadi menyusupkan pikiran buruk tent
'Terima kasih diriku telah berhasil bertahan hingga detik ini. Maafkan aku yang telah banyak menyusahkanmu. Untuk ke depan ayo kita saling mencintai, karena aku hanya punya kamu begitu pula sebaliknya. Aku tersenyum membaca barisan kata-kata yang lewat di beranda Instagramku. Kalimat yang mampu membuat mataku terasa hangat. Entah kebetulan atau sedang menyentilku agar tidak terus-menerus larut bersama kesedihan, konten-konten yang serupa sering FYP di akunku. Seperti sedang menasehati hidup ada pasang-surutnya. Tidak semua yang diinginkan baik menurut Tuhan, adakalanya kita dipaksa menerima kenyataan yang jauh berbeda dari ekspetasi. Meski tak suka, sebagai manusia kita bisa apa kalau Sang Mahakuasa tidak ridho dengan keinginan kita. Aku menghela napas dalam lalu melabuhkan pandangan ke pohon mangga yang daunnya bergoyang diembus angin. Satu tahun sudah sejak kehilangan calon bayi, aku mulai membuka diri. Awalnya sulit, karena aku telanjur melambung dengan anganku sendiri. Rencana-r