"Cerai, kenapa selalu itu yang kamu minta? Kamu tidak mau lagi melanjutkan rumah tangga kita?""Apa?" Aku tertawa sumbang. "Kamu yang membuat aku begini. Sekarang aku tanya sama kamu, aku siapamu? Istrimu bukan?""Kamu ngomong apa, sih? Ya, jelas kamu istriku.""Kalau aku istrimu, kenapa kamu selalu membela Nina? Apa dia lebih penting dari aku?" Tangisku pecah. Aku tak mampu mengendalikan nyeri yang terus-menerus menggerus dada, yang aku minta dari Bastian hanya pengertian kalau aku tak nyaman interaksinya dengan Nina."Berapa kali aku katakan tidak ada hubungan dengan Mbak Nina. Kalau aku suka sama dia sudah sejak dulu menikahinya. Bukan sifatku berselingkuh." Nada suara Bastian melemah, rautnya terlihat frustrasi. "Cobalah percaya padaku sekali ini saja." Tangisku berubah menjadi tawa kering. Lucu sekali, Bastian meminta kepercayaan, tetapi sikapnya menunjukkan hal sebaliknya. "Kepercayaan katamu?" Aku mengusap dengan kasar air mata di pipi sembari membujuk hati agar tak merint
"Mbak, ini tidak apa-apa?"Pertanyaan dari Hanif membuat gerakan tanganku terhenti sejenak. Aku menatap baju koko yang baru saja kumasukkan ke dalam koper milik Bastian. Jantungku seperti tercubit menghadirkan nyeri yang merambati sekujur tubuh. Aku tak pernah mengira pernikahan ini hanya seumur jagung. Salahku gegabah menerima pinangan Bastian dengan niat yang salah. Andai mendiang Ayah tahu mungkin beliau sangat kecewa padaku."Mbak, masalah dalam rumah tangga itu wajar. Coba dibicarakan baik-baik, aku yakin ada jalan keluar selain perceraian."Aku tertawa lirih mendengar pemuda yang belum genap delapan belas tahun itu menasehatiku. "Tahu apa kamu soal pernikahan? Tahu apa kamu masalah perasaan?" tanyaku melirik Hanif sekilas sambil kembali memasukkan pakaian Bastian ke dalam koper.Kudengar helaan napas dalam dari bibir Hanif. Pemuda itu duduk bersila di depanku. "Aku memang belum pernah menikah. Boro-boro, Mbak, aku tidak mau pacaran, kata mendiang Wak Haji haram hukumnya."Aku te
"Bisa, ya? Mbak canggung berangkat sendiri ke resepsi pernikahan itu. Lagipula Mbak yang bikin baju akad sama gaun untuk resepsi. Nanti rencananya mau ambil foto, lumayan untuk promosi rancangan Mbak ke teman-teman."Aku masih diam mendengarkan permintaan Mbak Nina. Beberapa hari ini kepalaku penuh dengan bayangan Najwa. Kenapa wanita itu begitu keras kepala? Sulitkah baginya menerima tindakanku yang ingin membalas budi? Mbak Nina janda satu anak yang membutuhkan bantuan materi dariku. Sejak bercerai semua aset disita oleh mantan suaminya dengan alasan Mbak Nina berselingkuh denganku. Tentu saja aku menolak mentah-mentah tuduhan itu. Aku bahkan sudah menawarkan diri untuk menjelaskan kesalahpahaman itu, tetapi Mbak Nina mengatakan mantan suaminya sudah pindah ke luar negeri dan tidak berkomunikasi lagi.Perasaan bersalah menderaku melihat Mbak Nina tinggal di rumah kontrakan dan harus bekerja keras bekerja demi membiayai hidup dan sekolah putrinya. Aku merasa bertanggung jawab atas ap
Aku tidak mengira bertemu Bastian di sini. Apa dia datang sebagai tamu bersama Nina? Bagus, dia bersedia menemani wanita itu ke mana saja, padahal aku jauh-jauh hari sudah memberitahunya tentang pernikahan Riana, tetapi dia acuh tak acuh. Sepertinya lelaki itu benar-benar telah larut dalam drama yang didalangi Nina. Seperti apa hubungan kedua orang itu aku tak peduli. Walau dadaku nyeri mengetahui Bastian masih peduli pada Nina di tengah kecamuk rumah tangga kami, aku lega dia mengetahui seperti apa wanita yang dibela mati-matian selama ini. Aku menahan senyum melihat Nina memainkan lakon wanita baik, tetapi sepertinya tidak mempan lagi, sebab aku melihat Bastian sangat marah. Lelaki itu mengeluarkan kata-kata yang membuat Nina tidak bisa lagi berkutik.Aku jengah mendengar berbagai alibi Nina. Kurasa bukan tempatku berada di antara dua orang yang bersiteru. Aku tak mau tahu bagaimana Bastian menangani wanita tersebut. Namun, langkahku dihadang lelaki itu. Tampak penyesalan di sorot
"Maaf, Mas, Mbak bilang belum mau ketemu siapa-siapa.""Bagaimana keadaannya, apa sudah baikan?""Aku buatkan susu atau teh setiap pagi, sore, dan malam. Mbak tidak mau makan, aku takut kondisinya semakin drop.""Biar Mas yang bicara, Mas tidak mau terjadi sesuatu sama Mbakmu."Aku menjauh dari pintu kamar setelah mendengar Hanif menolak permintaan Bastian. Pemuda itu sangat menjaga amanahku untuk tidak membiarkan siapa pun masuk kamar menemuiku. Larangan itu bukan untuk Bastian saja, tetapi berlaku pada semua orang. Aku tidak peduli Riana yang terus-menerus mengetuk pintu kamar atau suara memohon Ibu Rafa yang meminta agar aku memaafkan putranya. Aku tak habis pikir, apakah wanita itu tak punya hati mengatakan Rafa khilaf? Andai Bastian tidak datang tepat waktu mungkin aku tak punya muka lagi menghadapi orang-orang.Dari Hanif aku tahu kalau Bastian melaporkan Rafa atas kasus percobaan rudapaksa dan UU ITE. Aku baru tahu kalau kematian Ayah ada hubungan dengannya. Hanif tidak sengaja
"Aku mencintaimu."Aku memejamkan mata berharap bayangan Bastian tak lagi mengganggu hari-hariku. Namun, semakin mencoba abai justru raut lelaki itu semakin enggan hengkang. Cinta ... dadaku bergetar saat Bastian mengucapkannya, ingin percaya, tetapi ragu masih mengekang hati ini. Aku memilih diam, tidak menerima tak juga menolak. Untuk saat ini aku tak peduli apa dia bersungguh-sungguh atau tidak, menyembuhkan hati prioritasku."Kita sampai." Suara Bastian melerai lamunanku menyadarkan kalau kami sudah sampai ditujuan."Kamu mau di mobil atau ikut masuk?" Lagi Bastian bertanya sembari menatapku dari kaca spion."Aku ikut," balasku singkat dan lebih dahulu memutus tatapan Bastian, tanganku bergerak membuka pintu mobil lalu keluar untuk menghindari interaksi terlalu banyak dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, sorot Bastian seakan mampu melihat apa yang tersembunyi di dadaku.Aku membiarkan Bastian dan Hanif berjalan di depan. Bangunan pesantren tempat yang dipilih Hanif untuk mondok terli
Kalau wanita normal merasakan sakit saat menstruasi mungkin hanya dua sampai tiga hari. Berbeda denganku yang harus bergelung selama satu minggu di atas tempat tidur, pinggang dan bagian bawah pusar terasa sangat nyeri. Selama itu pula Bastian rutin mengantarkan teh hangat dan makanan ke kamarku. Dia juga memanaskan bantal perut ketika aku sudah tertidur, sebab di pagi hari benda itu sudah dicas di atas meja rias. Cara Bastian menunjukkan kesungguhannya memperbaiki hubungan mampu mencairkan beku di dadaku, tetapi sampai hari ini aku tak pernah menunjukkan perasaanku. Aku ingin lihat usahanya lebih keras lagi agar dia ingat tak mudah mengobati hati yang tersakiti."Hai, aku sudah siapkan makan siang. Kupikir kamu mau makan di kamar lagi." Bastian tampak terkejut melihatku di ruang makan. Dia gegas meletakkan mangkok yang dibawa dari dapur ke atas meja."Aku sudah baikan." Aku menjawab singkat seraya melirik sop daging yang dimasak Bastian."Yah, udah, kita makan bersama. " Bastian siga
Aku mengembuskan napas kasar ketika melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Entah berapa kali aku mengintip ke luar, tetapi mobil Bastian belum juga tampak. Malam ini aku harus membuat lelaki itu bicara apa yang sedang dia rencanakan. Satu jam aku mengawasi dari dalam taksi melihatnya sibuk membantu para pekerja di warung. Apakah Bastian membuka usaha baru? Lalu bagaimana dengan restoran dan usaha percetakannya? Tadi aku juga sempat bertanya ke bendahara yang mengelola dana dari donatur, apakah Bastian masih memberi donasi? Bendahara bilang sumbangan dari lelaki tersebut lancar tanpa hambatan malah jumlahnya lebih banyak dari biasanya. Aku kembali menyingkap kain gorden ketika mendengar deru mobil Bastian. Aku berjalan mondar-mandir sembari mencari kalimat pertama memulai percakapan dengannya, sebab sejak kami baikan selalu Bastian yang berinisiatif mengawali. "Lho, Najwa, belum tidur?" Aku tergagap tidak menduga Bastian langsung membuka pintu kamar. "Em,