Sarapan yang disiapkan Bastian pagi ini tidak lagi menggugah seleraku. Padahal biasanya aku selalu antusias melahap apa saja yang dia masak. Selama dua bulan terakhir aku merasa diratukan oleh lelaki itu, tanpa kutahu dia juga meratukan wanita lain dengan uangnya. Aku yakin hubungam Bastian dengan Nina bukan sekadar teman, tetapi lebih dari itu. Logika saja, mana ada lelaki rutin mengirim uang dalam jumlah banyak setiap bulan kepada wanita yang tidak memiliki hubungan darah dengannya? Ini bukan perkara iri, dengki, atau semacamnya. Namun, aku seolah-olah merasa Bastian bertanggung jawab pada hidup Nina. Bayangkan saja, di luar kiriman yang sudah terjadwal setiap bulan, aku juga melihat transferan lain. Sangat janggal bukan kalau status mereka teman biasa?"Kenapa, makanannya tidak enak?" Pertanyaan Bastian menarik kesadaranku yang sempat melanglang buana kembali ke sisi. Mungkin dia heran melihatku hanya mengaduk-aduk nasi goreng seafood di depanku.Aku mengangkat pandangan dan menem
"Sekali lagi terima kasih, Buk. Kami sangat menghargai niat baik Anda." Aku menyalami wanita paruh baya di depanku. Dialah donatur baru kami, seorang istri pejabat yang sangat perhatian dengan nasib-nasib anak terlantar. Dia berjanji akan mengirimkan dana setiap bulan untuk menunjang kegiatan sosial kami. Selain itu aku meminta agar beliau bisa merekomendasikan anak-anak hasil didikan rumah biru untuk dipekerjakan di tempat yang baik. Sangat mungkin, kan, istri pejabat memiliki banyak relasi?"Saya yang harusnya mengucapkan terima kasih sudah diberi wadah memanen pahala. Semoga sedikit dana yang saya sisihkan bisa bermanfaat."Aku dan teman-teman yang hadir di rumah singgah mengaminkan. Setelah berbasa-basi sejenak wanita itu pamit undur diri."Wah, kamu hebat. Ibuk tadi terlihat takjub mendengar presentasimu." Riana mencolek lenganku. Aku menoleh dan melihat gadis tersebut menatapku kagum."Ck, bukan aku yang hebat, tapi kita semua.""Hem, membumi banget, ya." Riana memanyunkan bibi
"Bangkai apa yang kau sembunyikan di belakangku?!"Suaraku menggelegar, sorot mataku berkobar seakan hendak membakar Bastian dengan amarah yang mengamuk di dada. Baru dua bulan saja begitu banyak yang lelaki itu sembunyikan, bagaimana kalau bertahun-tahun?"Bangkai apa?" Bastian mendekat ke arahku. Matanya melihat ponsel yang ada di tanganku."Apa hubunganmu dengan Nina? Kenapa kau tega berbohong padaku agar bisa menemani dia?" Tak ada lagi kelembutan di nada suaraku. Semua tergerus rasa sakit yang digores Bastian."Aku tidak--""Tidak apa?!" Aku menyela Bastian. Aku tahu dia pasti akan membantah tuduhanku. "Aku akan tanya karyawanmu apa kau ke sana tadi atau tidak, bagaimana?""Najwa, tidak usah berlebihan seperti itu.""Berlebihan katamu?" Aku semakin meradang mendengar jawaban Bastian. "Kau membohongiku demi wanita lain kau bilang berlebihan? Hebat!"Aku tertawa getir. Bastian sama saja! Aku seperti terlempar ke masa lalu di mana pernah berada di posisi yang sama. Aku berstatus ist
Bastian memutar kunci hingga mesin mobil berhenti menggerung. Dia menatap lamat-lamat bangunan di depannya. Rumah bercat putih yang pernah menjadi tempat paling nyaman dan satu-satu yang ingin dia datangi setelah bertarung dengan carut-marut pekerjaan seharian. Rasa lelahnya hilang begitu saja ketika melihat senyum Najwa menyambut di depan pintu rumah. Najwa yang cantik, wanita menggemaskan dengan tingkah manjanya juga malu-malunya.Namun, itu dulu di awal-awal pernikahan. Semua terasa manis laksana madu. Canda dan tawa kerap menghiasi istana kecil mereka. Najwa, nama yang berhasil membuat Bastian mabuk kepayang. Dia bahkan rela diabaikan selama berminggu-minggu menunggu wanita itu membuka hatinya. Dia akan melakukan apa saja agar bisa melihat senyum bahagia di bibir wanita pujaannya, tetapi lambat-laun semua terasa membosankan. Perasaan Bastian tak lagi menggebu-gebu seperti dulu, karena dia merasa Najwa terlalu posesif. Apa pun yang dia lakukan selalu dicurigai, padahal rumah tangg
"Cerai, kenapa selalu itu yang kamu minta? Kamu tidak mau lagi melanjutkan rumah tangga kita?""Apa?" Aku tertawa sumbang. "Kamu yang membuat aku begini. Sekarang aku tanya sama kamu, aku siapamu? Istrimu bukan?""Kamu ngomong apa, sih? Ya, jelas kamu istriku.""Kalau aku istrimu, kenapa kamu selalu membela Nina? Apa dia lebih penting dari aku?" Tangisku pecah. Aku tak mampu mengendalikan nyeri yang terus-menerus menggerus dada, yang aku minta dari Bastian hanya pengertian kalau aku tak nyaman interaksinya dengan Nina."Berapa kali aku katakan tidak ada hubungan dengan Mbak Nina. Kalau aku suka sama dia sudah sejak dulu menikahinya. Bukan sifatku berselingkuh." Nada suara Bastian melemah, rautnya terlihat frustrasi. "Cobalah percaya padaku sekali ini saja." Tangisku berubah menjadi tawa kering. Lucu sekali, Bastian meminta kepercayaan, tetapi sikapnya menunjukkan hal sebaliknya. "Kepercayaan katamu?" Aku mengusap dengan kasar air mata di pipi sembari membujuk hati agar tak merint
"Mbak, ini tidak apa-apa?"Pertanyaan dari Hanif membuat gerakan tanganku terhenti sejenak. Aku menatap baju koko yang baru saja kumasukkan ke dalam koper milik Bastian. Jantungku seperti tercubit menghadirkan nyeri yang merambati sekujur tubuh. Aku tak pernah mengira pernikahan ini hanya seumur jagung. Salahku gegabah menerima pinangan Bastian dengan niat yang salah. Andai mendiang Ayah tahu mungkin beliau sangat kecewa padaku."Mbak, masalah dalam rumah tangga itu wajar. Coba dibicarakan baik-baik, aku yakin ada jalan keluar selain perceraian."Aku tertawa lirih mendengar pemuda yang belum genap delapan belas tahun itu menasehatiku. "Tahu apa kamu soal pernikahan? Tahu apa kamu masalah perasaan?" tanyaku melirik Hanif sekilas sambil kembali memasukkan pakaian Bastian ke dalam koper.Kudengar helaan napas dalam dari bibir Hanif. Pemuda itu duduk bersila di depanku. "Aku memang belum pernah menikah. Boro-boro, Mbak, aku tidak mau pacaran, kata mendiang Wak Haji haram hukumnya."Aku te
"Bisa, ya? Mbak canggung berangkat sendiri ke resepsi pernikahan itu. Lagipula Mbak yang bikin baju akad sama gaun untuk resepsi. Nanti rencananya mau ambil foto, lumayan untuk promosi rancangan Mbak ke teman-teman."Aku masih diam mendengarkan permintaan Mbak Nina. Beberapa hari ini kepalaku penuh dengan bayangan Najwa. Kenapa wanita itu begitu keras kepala? Sulitkah baginya menerima tindakanku yang ingin membalas budi? Mbak Nina janda satu anak yang membutuhkan bantuan materi dariku. Sejak bercerai semua aset disita oleh mantan suaminya dengan alasan Mbak Nina berselingkuh denganku. Tentu saja aku menolak mentah-mentah tuduhan itu. Aku bahkan sudah menawarkan diri untuk menjelaskan kesalahpahaman itu, tetapi Mbak Nina mengatakan mantan suaminya sudah pindah ke luar negeri dan tidak berkomunikasi lagi.Perasaan bersalah menderaku melihat Mbak Nina tinggal di rumah kontrakan dan harus bekerja keras bekerja demi membiayai hidup dan sekolah putrinya. Aku merasa bertanggung jawab atas ap
Aku tidak mengira bertemu Bastian di sini. Apa dia datang sebagai tamu bersama Nina? Bagus, dia bersedia menemani wanita itu ke mana saja, padahal aku jauh-jauh hari sudah memberitahunya tentang pernikahan Riana, tetapi dia acuh tak acuh. Sepertinya lelaki itu benar-benar telah larut dalam drama yang didalangi Nina. Seperti apa hubungan kedua orang itu aku tak peduli. Walau dadaku nyeri mengetahui Bastian masih peduli pada Nina di tengah kecamuk rumah tangga kami, aku lega dia mengetahui seperti apa wanita yang dibela mati-matian selama ini. Aku menahan senyum melihat Nina memainkan lakon wanita baik, tetapi sepertinya tidak mempan lagi, sebab aku melihat Bastian sangat marah. Lelaki itu mengeluarkan kata-kata yang membuat Nina tidak bisa lagi berkutik.Aku jengah mendengar berbagai alibi Nina. Kurasa bukan tempatku berada di antara dua orang yang bersiteru. Aku tak mau tahu bagaimana Bastian menangani wanita tersebut. Namun, langkahku dihadang lelaki itu. Tampak penyesalan di sorot