"Kalian tidak sarapan dulu?" Jihan baru saja menata makanan di meja. Bian dan Kalista yang baru turun dari kamar mereka di lantai dua tampak terburu-buru ingin menuju keluar.
"Ah, sorry, Sayang!" Bian memeluk Jihan dan mengecupi wajahnya,"ada hal mendesak pagi ini. Makanya aku terburu-buru. Aku akan sarapan nanti saja.""Mas, setidaknya bawa bekal. Tunggu aku siapkan sebentar.""Tidak perlu. Aku terburu-buru." Bian sudah berbalik menghadap luar dengan kedua tangan yang mengisyaratkan enggan menunggu Jihan membuatkan bekal."Han, siapkan bekalnya. Biar ku bantu," sahut Kalista yang membuat Bian membalikkan badan lagi. Kemudian ia melihat kedua istrinya sibuk memasukkan makanan di dua kotak bekal berbeda."Kami pergi dulu. Maaf tidak bisa menemanimu sarapan. Bagaimana kalau kita makan siang bersama di luar nanti?""Boleh. Nanti aku kabari tempatnya.""Siap," ucap Kalisha yang sekarang melambaikan tangan untuk Jihan yangJihan dan Kalista usai memenuhi janji makan siang berdua. Kalista harus pergi lebih dulu, karena harus masuk kerja kembali. Kalista bersyukur, karena Jihan dilihatnya banyak tertawa ketika mengobrol sambil makan siang tadi. Ketika Jihan ingin beranjak, seseorang memanggilnya. Jihan tersenyum ketika sangat mengenali pemuda gagah yang sekarang ikut duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Kalista.“Rikki, apa kabar? Lumayan lama tak bertemu. Ke mana saja selama ini?”“Biasalah. Ada beberapa project yang deadlinenya nyaris bersamaan. Oh iya, bulan lalu, baru saja aku menyelesaikan satu design paling memuaskan yang aku punya. Sebuah villa di daerah Golden Hill. Kau pasti mengetahui itu. Sekali lagi, aku sangat tersentuh dengan kebaikanmu. Kau malah memberikan villa itu untuk wanita yang tadi makan bersamamu. Dia kerabat jauhmu, bukan?”Jihan menatap heran pada Rikki. Villa? Saudara jauh? Apa maksud Rikki?“Bian dan aku mendiskusikan
"Val, jangan-jangan mereka salah Kalista. Kalista yang mereka maksud pasti tante-tante kaya raya yang perhiasannya berlian dan tasnya bermerk," bisik Kalista pada Liam yang juga tampak tidak mengerti situasi. "Tapi mereka apa mungkin salah Liam? Mereka tadi menyebut apa setelah Nyonya Kalista membooking seluruh kedai untuk malam ini? Bersama Tuan Liam, juga boleh masuk. So?""Nanti bagaimana caranya aku membayar? Aku belum gajian." Kalista ingin menangis. Pasti memalukan kalau tiba-tiba ia ditagih bill. "Telepon saja Bian. Kau istrinya, bukan? Suruh dia yang membayar." Usulan Liam terdengar masuk akal. Hanya saja Kalista teringat bila Bian ada kemungkinan marah gara-gara tidak suka saat dirinya pulang bersama Liam nanti. "Val, kau saja yang bayar dulu bagaimana? Nanti aku ganti. Janji." Liam tidak sempat menyahut saat dua cangkir es krim dihidangkan di meja mereka. Liam membelalak saat melihat sajian es krim di hadapannya. S
Kalista pulang diantar Liam. Jihan yang melihat mereka pulang bersama sontak bertanya-tanya. Tak lupa kembali mengingat dengan pernyataan Nevan tadi siang bila ada kemungkinan orang-orang yang selama ini berada di belakangnya, perlahan condong ke Kalista. Apalagi mengingat kepribadian Kalista yang tidak cupu untuk berinteraksi dengan orang lain. Liam bahkan terlihat begitu ramah sekarang. Sungguh jauh berbeda dari pengakuan sebelumnya apabila ia tidak suka Kalista. Bahkan Liam dulu sempat mencurigai Kalista akan ngelunjak bila terus-menerus diberi kebaikan. Namun, lagi-lagi Jihan sendiri yang meminta Liam agar memperhatikan Kalista saat di kantor. Bahkan Jihan juga meyakinkan Liam untuk berangsur berhenti membenci. Sepertinya semua yang diinginkan Jihan terkabul. Kalista pun masuk dan berpapasan dengan Jihan di ruang depan. "Kal, tidak bersama Mas Bian pulangnya?" Kalista membalas senyum lebar sahabatnya terlebih dahulu. Ba
"Kal, boleh aku melihat ponselmu?" Tiba-tiba saja Bian meminta izin demikian setelah mandi dan memakai jubah tidur yang tampak mahal. Bian tidak langsung masuk ke inti pembicaraan. Bian rengkuh dulu Kalista dan mengobrol basa-basi. Setelahnya, barulah Bian bertanya seperti tadi. "Ada yang ingin kau ketahui sampai-sampai harus memeriksa ponselku?""Ya." Tangan kanan Bian sudah menengadah. Namun Kalista enggan memberi. "Aku tidak bisa. Bukankah itu melanggar privasi?" Bian mendengus kasar,"Aku suamimu. Kau tidak mempercayaiku? Memangnya ada apa di ponselmu?""Kau tidak berhak tahu. Meski tidak ada yang ku tutupi." Kalista tidak merasa harus terlalu terbuka pada Bian. "Jika memang tak ada yang kau tutupi, tolong izinkan aku memeriksa ponselmu.""Untuk apa? Aku tidak bersedia ranah privasiku dimasuki.""Kal, jika kau bersikap begini, kau malah membuatku ingin memaksa.""Ada apa denganmu? Kau s
Kalista tidak bisa menyalahkan Jihan. Bila Kalista berada di posisi sahabatnya, pasti dirinya juga berat untuk tidak cemburu dan terus menunjukkan senyum lebar seolah dirinya baik-baik saja. Nyatanya sikap Jihan sekarang justru membuat Kalista merasa malu dan bersalah. Bila itu Kalista, pasti Bian sudah terkena marah ditambah pukulan seraya menyalurkan rasa sakit hati pada sang suami. Teringat ketika Kalista pernah cemburu dengan Nevan dulu. Waktu itu, Kalista baru hamil muda. Tubuhnya masih kurang stabil, karena lemah akibat morning sickness cukup parah. Lydia, ibunya Nevan kembali berbuat ulah dengan memanas-manasi Kalista bila Nevan mengantar salah satu bawahannya di kantor. Kalista yang ketika hamil memiliki emosi tak menentu, akhirnya mencari tahu dengan menghubungi salah satu rekan kerja Nevan. Rupanya benar jika Nevan mengantar staf perempuan tersebut. Bahkan rekannya Nevan mengatakan tidak hanya satu kali. Melainkan beberapa kali. Tak ayal lagi,
Hukuman Bian yang menurut Kalista hanya terjadi malam itu. Nyatanya masih berlangsung seminggu lebih. Bahkan di akhir pekan yang harusnya Bian bermalam di kamar Jihan, lelaki itu malah diam-diam menelusup ke kamar Kalista untuk meminta dipuaskan. Kalista harus lebih repot akibat membawa baju ganti saat ke kantor. Kalista suka digempur ketika karyawan sudah pulang. Kalista mulai kewalahan melayani Bian yang entah mengapa, menurut Kalista malah menjadi hyper. "Mas, aku lelah sumpah. Lagipula malam ini giliran kau tidur dengan Jihan. Mengapa kau ke sini? Nanti Jihan terbangun dan mendapati kau tidak ada di sampingnya, apa lagi alasan yang akan kau beri? Kita akhir-akhir ini sering kucing-kucingan dengan Jihan. Kau tahu tidak bila Jihan akhir-akhir ini seperti kurang fit? Harusnya kau panggilkan dokter." Kalista saja sebenarnya tidak enak badan akibat setiap hari melayani gairah Bian yang semakin diluar batas. Liam saja sampai bertanya-tanya ketik
Margareth menghela napas. Sebenarnya ia malas melakukan hal tadi jika saja putranya tidak membuat ulah. "Kira-kira sebagai sesama laki-laki, apa yang menjadi daya tarik nona Kalista di matamu, Sayang?" Margareth sebenarnya tahu bila perasaan putranya telah bercabang. Namun Margareth jelas kecewa dan tidak akan pernah menyambut baik terhadap hal yang dilakukan putranya. "Aku tidak tahu. Dilihat saja banyak menang Jihan dari segi apapun.""Tentu saja. Menantu kita yang terbaik tentunya." Margareth mendesah kesal,"Mengapa harus mandul, sih? Semoga saja Jihan bersedia mengikuti usulku untuk membuat perjanjian pernikahan kontrak saja antara Bian dan Kalista.""Sepertinya Kalista tidak masalah bila ada perjanjian itu. Dia juga mengatakan akan pergi selepas melahirkan cucu kita. Itu bagus. Sepertinya Kalista tadi kurang sehat. Wajahnya pucat. Apakah itu tanda-tanda awal kehamilan? Aku ingat saat pertama kali kau hamil Bian. Kau puca
Sepulang kerja, Kalista dan Liam tiba di restoran yang dimaksud. Liam cukup takjub dengan pemilihan restoran yang direkomendasikan Kalista. "Aku kaget kau memilih perayaan di sini. Ini sih perayaan mewah," ucap Liam setelah pelayan meninggalkan mereka sehabis memesan menu. "Sejujurnya beberapa hari yang lalu, ayah dan ibunya Bian mengajakku ke sini."Liam tampak bertanya dari ekspresinya.Untuk apa om dan tantenya membawa Kalista makan di restoran mewah? Liam mulai berpikiran bila mereka mulai menerima Kalista sebagai menantu mereka. "Sayangnya waktu itu aku tidak sempat makan, karena mereka marah padaku." "Marah kenapa? Apa terjadi sesuatu?"Kalista ragu untuk mengatakannya. Namun sebenarnya ia butuh saran. "Mereka hanya kembali memperingatkanku agar aku tidak melewati batas dengan Bian. Itu saja. Oh, iya. Apa di restoran ini bisa melakukan reservasi lebih dulu?""Tentu.""Apa kau bisa me
Semua orang berkumpul di tempat itu. Berbagai hidangan lezat tersaji dan semuanya tinggal pilih. Para pelayan berkeliling menawarkan minuman kepada tamu undangan. Ruangan yang biasanya berisi perabotan rumah sekarang disulap menjadi tempat pesta mewah ulang tahun peringatan pernikahan yang ke dua puluh. Sang raja dan ratu pesta sedang bergandengan mesra menyapa para tamu. Keduanya tersenyum lebar, berbicara ramah kepada semua orang yang menyapa. Dari aura keduanya, terpancar bahagia yang membuat semua orang iri. Mereka dinilai pasangan paling bahagia sekarang. Meski banyak diterpa cobaan, akhirnya mereka berhasil melewati cobaan itu bersama. Ketika keduanya sama-sama ikhlas, akhirnya mereka menemukan kelegaan dan bisa bersama sampai detik ini. "Bian, Jihan! Selamat, ya!" Kalista langsung menghambur ke pelukan Jihan. Liam dan Bian pun sudah memiliki obrolannya sendiri. Sedangkan Jihan dan Kalista malah bernostalgia ke masa lalu. "Kal,
"Drew, kata tante Kalista, kau mendaftar les di ruang teacher, ya?" tanya Namira yang saat itu sedang menikmati salad buah di kantin sekolah. Drew menutup bukunya dan kini melipat tangannya sebelum mengangguk, menjawab pertanyaan gadis berambut panjang di hadapannya. "Kalau begitu, aku nanti mendaftar les di sana juga, ah! Pasti ayah mengizinkan kalau ada kaunya." Namira mendorong salad buahnya untuk lebih menghadap Drew. Drew menggeleng karena ia tidak begitu suka salad buah. Chicken teriyaki pesanannya belum tiba sama sekali. "Mengapa ayahmu sangat percaya aku? Kalau aku tiba-tiba berbuat jahat padamu, bagaimana?" Drew mengatakannya dengan begitu ketus. Namun, Namira tidak terlihat sakit hati karena Namira setiap hari meladeni sikap Drew yang demikian. "Maka Kak Vano akan menghantuimu dan membalaskan dendamku," jawab Namira sambil mengendikkan bahu. "Kau pikir Kak Vano mati penasaran? Gentanyangan? Jangan bercanda," tegur
"Tante Kalista, Drew tadi di sekolah merokok dengan Angkasa!" "Heh?! Dasar tukang adu!" Gadis yang masih mengenakan seragam SMA-nya tersebut menjulurkan lidahnya pada Drew yang baru saja melepaskan sepatunya sehabis pulang sekolah. Gadis tersebut langsung berlari pergi ke rumahnya sendiri. Kalista yang tadinya menyambut kedatangan putranya dengan berdiri beberapa meter darinya, seketika berkacak pinggang dan menatap tajam pada Drew. "Bunda, jangan percaya Namira!" Drew tidak akan sanggup lagi kalau harus dihukum oleh bundanya. Kakinya masih pegal sampai sekarang, setelah kemarin, Kalista memukul kakinya dengan sapu lidi. Ya. Bundanya memang tidak menerapkan parenting modern. Berbeda dengan Papa Liam dan Mama Jihannya yang selalu memilih jalan diskusi sebagai penyelesaian masalah. Bahkan ketika Drew meminta tolong pada sang ayah, beliau cenderung berpikir agar menurut saja dengan bundanya dengan alasan agar hidup aman sentosa.
"Val!""Sayang!""Vallent!"Kalista berdecak kesal karena suaminya dipanggil-panggil tidak ada sahutan. "Liam Benedicta! Kau dimana?!" Kalista menggerutu. Liam tidak ada kelihatan batang hidungnya sama sekali. Maka, Kalista pun dengan tertatih turun dari tempat tidur. Ketika tungkainya menginjak permukaan lantai dan ia mencoba berdiri, Kalista nyaris terseok. Untung saja ia memegangi header ranjang untuk menstabilkan kedua kakinya terlebih dahulu. Setelah ia tegak berdiri, barulah Kalista mencoba berjalan, meski harus meringis kesakitan akibat ibadah sucinya dengan Liam. "Sayang, kau mau kemana?" tanya Liam yang baru muncul dengan badan penuh keringat. Sepertinya Liam baru pulang dari lari pagi di sekitar pantai. Liam juga hanya mengenakan kaos tanpa lengan agak ketat dan celana pendek longgarnya. Liam langsung menghampiri Kalista dan memapahnya yang terlihat kesulitan berjalan. "Sakit sekali ya, Sayang?" tanya Liam yang malah membuat Kalista ingin mencubit hidung sang suami. "
Jihan sadar jika yang ia lakukan sekarang bukan mimpi.Napasnya dan Bian terengah. Jihan malu bukan main karena bisa-bisanya berpikir kalau ia hanya di dalam mimpi. Tanpa menunggu lagi, Jihan pun dengan cepat turun dari tempat tidur tanpa menoleh ke arah Bian yang langsung kaget dengan perubahan sikap Jihan. Namun, karena terlalu terburu-buru, kaki Jihan tersandung sesuatu dan membuatnya mengaduh kesakitan. "Jihan, mana yang sakit?!" tanya Bian yang sudah sigap duduk bersimpuh di depan kaki Jihan. Bian meraih kaki yang diusap-usap oleh Jihan, kemudian sekali lagi bertanya, bagian mana yang sakit sambil mendongak ke atas untuk melihat ke wajah Jihan. Jihan langsung berjalan mundur dengan gugup sambil berusaha menutupi rasa malunya.Bian yang sadar kalau Jihan sekarang kembali takut, akhirnya lebih dulu mengucap maaf. "Maaf." Bian pun berdiri dan berbalik menjauhi Jihan. Bian berusaha membuka pintu kamarnya
Bian duduk menghadapi pekerjaannya kembali. Namun, pekerjaannya hanya teronggok begitu saja. Bian sedang mengatasi gejolak yang tiba-tiba membara di dalam dirinya. Bian malu kalau harus ketahuan Jihan bahwa ia sedang ingin sekarang. Tidak hanya rasa malu yang mencoba ditutupi Bian. Namun, juga ia tidak ingin kalau Jihan sampai salah paham terhadap dirinya. Apalagi Bian merasa kalau Jihan masih tidak terlalu nyaman berada di dekatnya. "Drew sudah tidur lagi, Mas," ucap Jihan yang membuat Bian sedikit gelagapan. Bian tersenyum kikuk dan mengangguk singkat. Hening kembali menerpa keduanya. Hanya terdengar suara hujan yang berisik di luar sana. Jihan pun memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Bian yang menghadap box bayi Drew. Jihan memilih memandangi Drew sambil tersenyum hangat. Meski Drew bukan anak kandungnya, Jihan tetap merasa sangat bahagia ketika merawatnya. Jihan tidak menuntut apa-apa sama sekali selama membantu Kalista mengu
"Drewnya ketiduran sejak tadi. Maaf baru memberitahumu sekarang karena aku tidak tega menghentikan ceritamu."Jihan yang tadinya hanya ingin menghela napas sejenak, langsung urung melanjutkan dongeng yang dikarangnya secara ototidak. Syukurlah, Drew sudah tidur pikirnya. Baiklah. Sekarang saatnya kembali ke rumah Bian. Jihan pun berbalik arah dan diikuti Bian. Sepanjang perjalanan ketika menuju rumah utama adalah siksaan yang menyesakkan untuk mereka berdua. Karena Jihan yang tidak menyahut, makanya Bian juga jadi ragu untuk kembali membuka obrolan. Hingga mereka tiba di rumah utama, Jihan menyerahkan stroller kepada Bian karena Jihan ingin pamit. "Memangnya kau mau kemana?" "Pulang," jawab Jihan singkat. "Mengapa jadi pulang? Nanti kalau Drew rewel lagi bagaimana?" Bian terdengar seperti merengek. Antara memang khawatir kalau Drew menangis seperti tadi dan juga ia ingin sekalian modus. Ehem. "Kau ayahnya, bukan? Jadi kau harus bisa mengurusnya sendiri."Bian ingin protes. Namu
Sesuai persetujuan, Drew dibawa Bian ke kediamannya selama Liam dan Kalista berbulan madu. Bian yang sudah merasa menjadi ayah, tentu sangat yakin apabila ia bisa mengasuh Drew dengan baik. Ketika Drew dibawa ke rumah yang pasca perceraian Bian dan Jihan, jarang disinggahi sang tuan, kontan saja, kehadiran tuan besar dan tuan kecil disambut sangat antusias oleh para pekerja di rumah Bian. Bian juga sudah menyiapkan berbagai macam perlengkapan yang menunjang dirinya untuk mengasuh bayi berusia tiga bulan tersebut. Bian tersenyum-senyum sendiri melihat kamarnya yang semenjak menjadi duda, suasananya sepi. Sekarang dipenuhi perabotan lucu, seperti box tidur untuk Drew, gelantungan bintang bulan berkelap kelip yang diletakkan di atas box bayi Drew. Bahkan Bian juga membeli banyak mainan meski itu belum cukup usia untuk dimainkan oleh Drew. "Oke, Kal. Oke. Aku sudah mengerti caranya, bahkan bila Jihan tidak membantu pun, aku bisa. Apa kau ingat kalau aku rut
Selain Kalista yang berbahagia hari itu, Jihan pun demikian. Apalagi ketika ia diberi izin untuk menggendong Drew, nama yang sudah diberikan oleh Bian hari itu. Melisa sempat protes meski hanya berbisik pada Kalista apabila nama sang cucu susah disebut. Melisa padahal ingin menamai sang cucu dengan nama lokal saja. Namun, Melisa baru ingat jika pada cucunya mengalir darah seorang Bian Qais Liandra, yang tentunya kita semua tahu bahwa ia bukanlah pria sembarangan. Apalagi bila Melisa melihat Nicholas dan Margareth, dirinya saja seketika minder mendadak. Melisa juga mengingat kalau Kalista pernah menceritakan tentang seseorang yang disebut-sebut sebagai Kakek Aiden, yang katanya sebagai sosok yang membuat Bian bisa seperti sekarang. Jadi terima saja lah. Seorang Melisa bisa apa? Yang penting cucunya sehat, anaknya sehat, dan berharap tidak ada masalah lagi yang menimpa keluarga mereka. "Wajahnya tidak mirip Bian sama sekali," celetuk Margareth y