Jihan dan Kalista usai memenuhi janji makan siang berdua. Kalista harus pergi lebih dulu, karena harus masuk kerja kembali. Kalista bersyukur, karena Jihan dilihatnya banyak tertawa ketika mengobrol sambil makan siang tadi.
Ketika Jihan ingin beranjak, seseorang memanggilnya. Jihan tersenyum ketika sangat mengenali pemuda gagah yang sekarang ikut duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Kalista.“Rikki, apa kabar? Lumayan lama tak bertemu. Ke mana saja selama ini?”“Biasalah. Ada beberapa project yang deadlinenya nyaris bersamaan. Oh iya, bulan lalu, baru saja aku menyelesaikan satu design paling memuaskan yang aku punya. Sebuah villa di daerah Golden Hill. Kau pasti mengetahui itu. Sekali lagi, aku sangat tersentuh dengan kebaikanmu. Kau malah memberikan villa itu untuk wanita yang tadi makan bersamamu. Dia kerabat jauhmu, bukan?”Jihan menatap heran pada Rikki.Villa? Saudara jauh? Apa maksud Rikki?“Bian dan aku mendiskusikan"Val, jangan-jangan mereka salah Kalista. Kalista yang mereka maksud pasti tante-tante kaya raya yang perhiasannya berlian dan tasnya bermerk," bisik Kalista pada Liam yang juga tampak tidak mengerti situasi. "Tapi mereka apa mungkin salah Liam? Mereka tadi menyebut apa setelah Nyonya Kalista membooking seluruh kedai untuk malam ini? Bersama Tuan Liam, juga boleh masuk. So?""Nanti bagaimana caranya aku membayar? Aku belum gajian." Kalista ingin menangis. Pasti memalukan kalau tiba-tiba ia ditagih bill. "Telepon saja Bian. Kau istrinya, bukan? Suruh dia yang membayar." Usulan Liam terdengar masuk akal. Hanya saja Kalista teringat bila Bian ada kemungkinan marah gara-gara tidak suka saat dirinya pulang bersama Liam nanti. "Val, kau saja yang bayar dulu bagaimana? Nanti aku ganti. Janji." Liam tidak sempat menyahut saat dua cangkir es krim dihidangkan di meja mereka. Liam membelalak saat melihat sajian es krim di hadapannya. S
Kalista pulang diantar Liam. Jihan yang melihat mereka pulang bersama sontak bertanya-tanya. Tak lupa kembali mengingat dengan pernyataan Nevan tadi siang bila ada kemungkinan orang-orang yang selama ini berada di belakangnya, perlahan condong ke Kalista. Apalagi mengingat kepribadian Kalista yang tidak cupu untuk berinteraksi dengan orang lain. Liam bahkan terlihat begitu ramah sekarang. Sungguh jauh berbeda dari pengakuan sebelumnya apabila ia tidak suka Kalista. Bahkan Liam dulu sempat mencurigai Kalista akan ngelunjak bila terus-menerus diberi kebaikan. Namun, lagi-lagi Jihan sendiri yang meminta Liam agar memperhatikan Kalista saat di kantor. Bahkan Jihan juga meyakinkan Liam untuk berangsur berhenti membenci. Sepertinya semua yang diinginkan Jihan terkabul. Kalista pun masuk dan berpapasan dengan Jihan di ruang depan. "Kal, tidak bersama Mas Bian pulangnya?" Kalista membalas senyum lebar sahabatnya terlebih dahulu. Ba
"Kal, boleh aku melihat ponselmu?" Tiba-tiba saja Bian meminta izin demikian setelah mandi dan memakai jubah tidur yang tampak mahal. Bian tidak langsung masuk ke inti pembicaraan. Bian rengkuh dulu Kalista dan mengobrol basa-basi. Setelahnya, barulah Bian bertanya seperti tadi. "Ada yang ingin kau ketahui sampai-sampai harus memeriksa ponselku?""Ya." Tangan kanan Bian sudah menengadah. Namun Kalista enggan memberi. "Aku tidak bisa. Bukankah itu melanggar privasi?" Bian mendengus kasar,"Aku suamimu. Kau tidak mempercayaiku? Memangnya ada apa di ponselmu?""Kau tidak berhak tahu. Meski tidak ada yang ku tutupi." Kalista tidak merasa harus terlalu terbuka pada Bian. "Jika memang tak ada yang kau tutupi, tolong izinkan aku memeriksa ponselmu.""Untuk apa? Aku tidak bersedia ranah privasiku dimasuki.""Kal, jika kau bersikap begini, kau malah membuatku ingin memaksa.""Ada apa denganmu? Kau s
Kalista tidak bisa menyalahkan Jihan. Bila Kalista berada di posisi sahabatnya, pasti dirinya juga berat untuk tidak cemburu dan terus menunjukkan senyum lebar seolah dirinya baik-baik saja. Nyatanya sikap Jihan sekarang justru membuat Kalista merasa malu dan bersalah. Bila itu Kalista, pasti Bian sudah terkena marah ditambah pukulan seraya menyalurkan rasa sakit hati pada sang suami. Teringat ketika Kalista pernah cemburu dengan Nevan dulu. Waktu itu, Kalista baru hamil muda. Tubuhnya masih kurang stabil, karena lemah akibat morning sickness cukup parah. Lydia, ibunya Nevan kembali berbuat ulah dengan memanas-manasi Kalista bila Nevan mengantar salah satu bawahannya di kantor. Kalista yang ketika hamil memiliki emosi tak menentu, akhirnya mencari tahu dengan menghubungi salah satu rekan kerja Nevan. Rupanya benar jika Nevan mengantar staf perempuan tersebut. Bahkan rekannya Nevan mengatakan tidak hanya satu kali. Melainkan beberapa kali. Tak ayal lagi,
Hukuman Bian yang menurut Kalista hanya terjadi malam itu. Nyatanya masih berlangsung seminggu lebih. Bahkan di akhir pekan yang harusnya Bian bermalam di kamar Jihan, lelaki itu malah diam-diam menelusup ke kamar Kalista untuk meminta dipuaskan. Kalista harus lebih repot akibat membawa baju ganti saat ke kantor. Kalista suka digempur ketika karyawan sudah pulang. Kalista mulai kewalahan melayani Bian yang entah mengapa, menurut Kalista malah menjadi hyper. "Mas, aku lelah sumpah. Lagipula malam ini giliran kau tidur dengan Jihan. Mengapa kau ke sini? Nanti Jihan terbangun dan mendapati kau tidak ada di sampingnya, apa lagi alasan yang akan kau beri? Kita akhir-akhir ini sering kucing-kucingan dengan Jihan. Kau tahu tidak bila Jihan akhir-akhir ini seperti kurang fit? Harusnya kau panggilkan dokter." Kalista saja sebenarnya tidak enak badan akibat setiap hari melayani gairah Bian yang semakin diluar batas. Liam saja sampai bertanya-tanya ketik
Margareth menghela napas. Sebenarnya ia malas melakukan hal tadi jika saja putranya tidak membuat ulah. "Kira-kira sebagai sesama laki-laki, apa yang menjadi daya tarik nona Kalista di matamu, Sayang?" Margareth sebenarnya tahu bila perasaan putranya telah bercabang. Namun Margareth jelas kecewa dan tidak akan pernah menyambut baik terhadap hal yang dilakukan putranya. "Aku tidak tahu. Dilihat saja banyak menang Jihan dari segi apapun.""Tentu saja. Menantu kita yang terbaik tentunya." Margareth mendesah kesal,"Mengapa harus mandul, sih? Semoga saja Jihan bersedia mengikuti usulku untuk membuat perjanjian pernikahan kontrak saja antara Bian dan Kalista.""Sepertinya Kalista tidak masalah bila ada perjanjian itu. Dia juga mengatakan akan pergi selepas melahirkan cucu kita. Itu bagus. Sepertinya Kalista tadi kurang sehat. Wajahnya pucat. Apakah itu tanda-tanda awal kehamilan? Aku ingat saat pertama kali kau hamil Bian. Kau puca
Sepulang kerja, Kalista dan Liam tiba di restoran yang dimaksud. Liam cukup takjub dengan pemilihan restoran yang direkomendasikan Kalista. "Aku kaget kau memilih perayaan di sini. Ini sih perayaan mewah," ucap Liam setelah pelayan meninggalkan mereka sehabis memesan menu. "Sejujurnya beberapa hari yang lalu, ayah dan ibunya Bian mengajakku ke sini."Liam tampak bertanya dari ekspresinya.Untuk apa om dan tantenya membawa Kalista makan di restoran mewah? Liam mulai berpikiran bila mereka mulai menerima Kalista sebagai menantu mereka. "Sayangnya waktu itu aku tidak sempat makan, karena mereka marah padaku." "Marah kenapa? Apa terjadi sesuatu?"Kalista ragu untuk mengatakannya. Namun sebenarnya ia butuh saran. "Mereka hanya kembali memperingatkanku agar aku tidak melewati batas dengan Bian. Itu saja. Oh, iya. Apa di restoran ini bisa melakukan reservasi lebih dulu?""Tentu.""Apa kau bisa me
Sudah beberapa hari ini, Bian lebih memilih tidur sendirian di paviliun. Jihan dan Kalista seperti kompak mendiamkannya. Namun Bian merasa pantas diperlakukan mereka demikian. Yang dilakukannya memang sungguh keterlaluan. Seharusnya ia tidak pernah melakukan itu sama sekali. Bian hanya takut menyakiti satu sama lain. Bian sungguh tidak ingin baik Jihan atau Kalista merasa dibedakan. Waktu itu, Bian berpikir tidak jadi memberikan villa tersebut untuk Jihan, karena merasa belum memberikan kediaman untuk sosok baru yang memenuhi kepalanya satu bulan terakhir. Jihan sudah punya tiga villa sebelumnya. Bian juga sering membelikan barang-barang mahal untuk Jihan tanpa perhitungan. Lantas Bian merasa juga harus melakukannya untuk Kalista. Rasa untuk membahagiakan wanita itu terlalu kuat akhir-akhir ini. Meski Bian turut didiamkan Kalista, nyatanya pria itu tetap membelikan beberapa hal untuk istri keduanya. Dan semuanya, ia letakkan di villa yang sudah beratas