Langkah Lusi terhenti. Tubuhnya kembali gemetar ketika Lion mengatakan perihal kematian.
Alhasil, ketika Lion pergi, Lusi langsung mencegahnya. "Lion, tunggu!" teriak Lusi.
Ia menarik paksa tangan Lion, sampai lelaki itu berhenti dan menatapnya.
"Ya, ada apa?"
"A--aku menerima tawaranmu!"
Lusi mendadak gugup. Tapi, ia tetap menjawabnya. Entah ini kebodohan Lusi atau bukan. Karena nyatanya, Lusi menerima tawaran Lion, padahal dia belum tahu, pekerjaan apa yang harus dilakukannya. "Apa kau yakin? Jika kau menerimanya, kau tidak akan bisa mundur, Lusi!" Lion menahan senyum. Diam-diam, ia mengambil hp dari dalam saku celananyadan menyalakan perekam suara. "Bagaimana, apa kau menerima tawarannya, Lusi? Kau tidak akan bisa mundur setelah ini!" Lion mengatakannya sekali lagi dengan nada tegas. Lantas, Lusi dengan hati yang mantap, menjawab, "Ya, aku menerima tawarannya, Lion." Lion tersenyum puas. Jika semula, dia ingin menemui klien tepat pada pukul dua siang. Sekarang, dia tidak ingin kesempatan ini hilang begitu saja. "Kalau begitu, cepat ganti baju! Setelah ini, kita akan melakukan sesi foto pre wedding! Kau hanya punya waktu dua puluh lima menit!" Lion mengatakannya dengan nada tegas. Ia berjalan meninggalkan Lusi. Hah?"Apa katamu?!"
"Tidak ada perlawanan, Lusi! Sekarang!" pekik Lion dengan nada tegasnya. Hal ini membuat Lusi membelalak.Perjanjian apa yang sudah dia buat dengan laki-laki itu?
Tapi, ia tak punya pilihan.
Menahan ragu, Lusi melangkah ke depan pintu ruangan yang diperintah--menuruti permintaan Lion.
Setelah menunggu beberapa lama, Lusi muncul dengan dress biru yang membuatnya terlihat anggun dan mempesona. Apalagi, riasan di wajah Lusi membuat gadis itu terlihat semakin menawan. Hal itu membuat Lion terkesiap. Dia tahu Lusi cantik, tapi tidak menyangka jika perempuan itu bisa begitu luar biasa. "Wah, aku nggak nyangka kalau kamu bisa secantik ini, Lusi," pujinya sembari mengedipkan mata kanannya. Entah kenapa, dia ingin menggoda Lusi yang wajahnya sudah memerah karena marah dan malu di saat bersamaan.*******
"Wah, Tuan Lion. Anda dan calon pasangan Anda sudah datang, ya. Silahkan, ayo masuk, sesi fotonya akan segera dimulai," ucap sang fotografer yang berada di depan sebuah ruangan yang.... "Tempatnya terlalu mewah, Lion!" Lusi terkejut ketika dirinya melihat sebuah ruangan dengan dekorasi yang begitu indah di setiap sudutnya. "Yah, tapi kau harus tahu! Ini hanya pura-pura, Lusi! Ingat itu! Sesi foto ini akan berlangsung setelah kau menandatangi surat perjanjian di antara kita!" Lion melepas tangan Lusi dan berjalan ke sebuah meja yang mana terdapat sebuah surat perjanjian dengan sebuah materai di atasnya. "Kemarilah! Kau lihat saja isinya!" Lusi berjalan dan memperhatikan isi surat itu. Isi perjanjian itu cukup sederhana. Di sana, terdapat sebuah pernyataan yang menandakan bahwa, dia dan Lion akan berada di dalam pernikahan selama dua tahun. Di dalam surat itu, Lion juga berjanji bahwa dia akan memperlakukan Lusi dengan baik, dengan syarat bahwa Lusi harus menuruti semua perkataan Lion. Jika Lusi berhasil melakukannya sampai dua tahun lamanya. Maka, dia akan mendapat bonus sebesar dua belas milyar sebagai gantinya. Namun, jika Lusi gagal melakukannya. Maka, dia harus terima untuk mengembalikan gaji dari awal bulan pernikahannya, hingga dia mengajukan untuk berhenti dari tugasnya. Tapi, dia tidak memperdulikan itu. Karena, dia lebih tergiur dengan dua belas milyar yang akan diterimanya. "Dua belas milyar?! Bukankah angka ini terlalu besar?! Tapi, tidak mungkin aku menolaknya, kan?!" batin Lusi dengan wajah gusar. Gadis itu terdiam untuk sesaat. Dia tahu jika Lion adalah orang kaya, tapi, dia penasaran, sesungguhnya pekerjaan apa yang telah dijalankan Lion sampai dia berani memberikan bonus kepadanya hingga dua belas milyar! Selang beberapa saat, Lusi yang tersadar bahwa dia terlalu banyak berpikir, langsung menandatangani surat itu. Setelah itu, Lion berjalan ke samping Lusi sambil menggandeng tangan kanannya. "Apa kau siap, Lusi?" tanya Lion sembari tersenyum manis di hadapannya. Lili yang melihatnya, ikut tersenyum. Mereka berdua langsung menuju ke depan. Keduanya melakukan foto dengan mesra. Lusi menyilangkan kedua tangannya di leher Lion. Sedangkan Lion, menaruh kedua tangannya di pinggang Lusi. Sungguh, keduanya terlihat mesra sampai sang fotografer merasa bahwa mereka adalah pasangan yang serasi. Alhasil, setelah semuanya selesai, sang fotografer baru memberikan pujian itu kepada Lion. "Tuan Lion, kau beruntung bisa menikahi perempuan secantik dia," puji sang fotografer. "Sudah pasti aku beruntung akan menikahinya. Dan akan aku pastikan, tidak ada siapa pun yang mampu mengambilnya dariku, hahaha," Lion menggandeng tangan kanan Lusi sambil tersenyum ke arahnya. "Iuh, jijik banget dengerinnya!" batin Lusi sambil menghembuskan nafas panjang. Ia mengelap keringat di keningnya sambil melirik ke arah luar pintu, berharap agar dirinya bisa cepat-cepat kabur dari makhluk menyebalkan yang berdiri di sampingnya. "Kamu kenapa, Sayang? Kok ngeliatin pintu terus, dari tadi?" Lion mengelus pipi Lusi seenaknya. Dan itu membuat Lusi menggelengkan kepala. "Aku mau keluar! Di sini panas! Sesi fotonya udah selesai, belum?" Lusi menaikkan alisnya, enggan melihat sosok Lion. "Ah, begitu rupanya. Kenapa kamu nggak bilang dari tadi, Sayang?" Tanpa aba-aba, Lion langsung mengangkat tubuh Lusi, ia memperlakukan gadis itu layaknya seorang ratu. "Akh! Apa yang kau lakukan, ha?! Jangan macam-macam denganku" Lusi mencubit lengan Lion. Namun, Lion malah tertawa mendengarnya, ia buru-buru mencium pipi Lusi, sampai hal itu membuatnya tersipu malu. "Astaga, Tuan! Lebih baik Anda keluar dari sini! Tidak sopan jika Anda melakukan hal seperti itu di depan orang yang single, seperti saya." Sang fotografer itu mengelus dadanya sendiri, ia menggelengkan kepala sambil melirik tajam ke arah Lion. "Hahaha! Makanya, cari Istri, sana! Dasar tukang iri!" Lion menjawab kalimat sang fotografer dengan entengnya. Namun, hal itu membuat Lusi keheranan. Untuk itu, Lusi akhirnya memberanikan diri. "Lion, apa kau mengenal orang ini?" Lusi melirik ke arah sang fotografer. Gadis itu mengamati sang fotografer yang juga tak kalah tampan dan menawan seperti sosok Lion.Namun, pria itu malah menggeleng.
"Masa, sih? Perasaan, kalian akrab banget, tuh. Jangan-jangan, dia temen kamu, Lion?" Lusi melirik ke arah Lion sambil menaikkan salah satu alisnya. Meski begitu, Lion sama sekali tak menghiraukan pertanyaan Lusi. Justru sebaliknya, dia langsung mengalihkan pembicaraan. "Sayang, kita langsung pergi aja yuk, dari sini. Aku udah mulai pegel gara-gara gendong kamu kelamaan. Aku juga laper banget. Dan aku yakin, kamu juga laper, kan. Hahaha," ucapnya sembari mencubit hidung Lusi. Tak lama kemudian, dirinya langsung bergegas membawa Lusi pergi dari sana. Tak lama kemudian, sang fotografer yang berada di dalam ruangan, mengembuskan nafas panjang. Tak mengira jika dirinya telah melihat perempuan yang mirip sekali dengan masa lalu temannya itu. "Lion, apa kau masih terobsesi dengan masa lalumu sampai kau memilihnya?" batinnya dengan rasa was-was. Sebagai seorang sahabat, Devano tentu saja cemas terhadap lelaki itu. Ya, dia adalah salah satu orang yang mengetahui Lion seperti apa.Lusi dan Lion dengan cepat kembali ke kediaman Lion.Perjalanan hari itu sungguh panjang dan melelahkan untuk Lusi.Sebab, keduanya harus mengurus visa Lusi."Kenapa kita ke sini, Lion?" bingung, Lusi."Dua hari lagi, aku mau ajak kamu ke rumahku."Deg!"A--apa katamu? Ke rumahmu, Lion? Ke--kenapa?" Lusi menelan ludahnya sendiri. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi."Sekali lagi membantah, kau bisa saja kuusir dari sini, dan kita akan langsung membatalkan perjanjiannya, Lusi!" Lion mengancam Lusi dengan kata-katanya. Lelaki itu telah bersumpah bahwa dia tak akan mau memberikan jaminan apapun jika Lusi memutuskan untuk berhenti. Lusi hanya bisa mengerutkan bibirnya dan pergi.Namun, Lion tak mempermasalahkannya. Pasalnya, dia sedang memikirkan rencana selanjutnya. Drrt!Getaran ponsel membuat Lion sadar ada panggilan untungnya."LION! APA YANG KAU LAKUKAN?""Halo Roger, tumben sekali kau menelponku? Ada apa, Kak?" tanya Lion cepat.Ia sudah mengira jika saudaranya sendiri akan me
Lusi menghela napas. "Terserah apa katamu. Tapi, jika kedua orang tuamu cukup pintar seperti dirimu. Bisa saja mereka melakukan pelacakan dan menyelidiki dari mana aku berasal, dan apa saja kegiatan yang selama ini kulakukan, bukan? Bagaimana jika pada akhirnya, mereka tahu kalo aku hanya sebatas wanita murahan yang selama ini bekerja sebagai pelacur?!"Tangan Lusi mengepal, menahan gemetar membayangkan itu semua."Hsst, diam dan percayakan ini padaku!" Lion menempelkan jemarinya di bibir Lusi. Ia sangat ingin membuat Lusi kembali mempercayainya. Lusi pun menganggukkan kepala. Mereka berdua kini memasuki rumah megah itu tanpa ada rasa gusar ataupun cemas. Meski begitu, sayangnya ketika mereka berada di depan pintu rumah tersebut, keduanya mendapat lemparan daging busuk yang masih segar. "Bagus sekali, pelayan! Terima kasih karena sudah menyambut pewaris utama di keluarga ini dengan baik! Kalian boleh pergi, sekarang!" pekik Ibu Lion dengan tatapan penuh kebencian. "Keterlaluan!
"Lion, kenapa kau tidak menuruti perkataan Ibumu saja daripada harus bersama denganku?" Lusi bertanya dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Lion dengan tatapan ragu. "Jangan mengatakan apapun, Lusi! Aku benar-benar membencinya seumur hidupku! Kau tidak tahu apa yang selama ini sudah kulewati dengannya, kan?! Jika kau mengetahuinya! Kau mungkin akan kecewa, dan tidak bertanya kenapa aku melakukan hal ini!" Lion tersenyum tipis sembari mengendarai mobilnya. Lusi yang duduk di sampingnya, seketika menundukkan kepala. Di satu sisi, Lusi merasa jika dia adalah satu-satunya objek permasalahan untuk saat ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Dia sendiri juga tidak berhak menilai Lion hanya karena permasalahan yang dimiliknya. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Sekarang, kita mau ke mana, Lion?" tanya Lusi berusaha lembut. "Ke rumahku yang lain." "Rumahmu yang lain? Hahaha, yang benar saja? Memangnya, kamu punya berapa rumah sampai kamu bisa pindah seenaknya?" Wanita itu kini m
Lion berusaha keras untuk melintasi jalanan yang lengang. Dia mencari cara agar mobil itu tak lagi mengikutinya. Dan hal itu, tak jarang membuatnya sesekali melintasi jalanan di perkampungan, pasar, bahkan rumah sakit, dan juga mall. Suasana kali itu benar-benar tegang. Namun, Lion memutuskan untuk berhenti di mall. Dengan cepat, dia menyuruh Lusi untuk keluar dari mobil dan berjalan memasuki mall. "Lusi, kita berhenti di sini saja, ya. Ayo kita pergi," ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangan kanannya. Hampir saja lelaki itu membuka pintu mobil, sampai akhirnya, Lusi yang masih waras, menjawab perkataan lelaki itu dengan nada gusar. "Hei, apa kau sudah gila, Lion?! Kau tahu jika badan kita ini busuk, kan?! Apa kau pikir, para penjaga akan memperbolehkan kita memasuki mall, ha?! Yang benar saja!" Lusi berusaha keras menyadarkan Lion akan hal itu. Sampai akhirnya, Lion tertawa lirih. "Akh, payah. Kenapa aku tidak memikirkannya sejak tadi, yah?! Kau benar juga! Baiklah, k
Di bawah cahaya matahari yang menyengat, Devano melempar hp kesayangannya. "Cih, dasar brengsek! Kenapa bajingan itu keras kepala sekali?!" Devano berdecah kesal sembari menatap ke kaca bagian samping. Sementara itu, Roger yang berada di sampingnya tersenyum sinis, spontan mengancam. "Bagaimana, Devano?! Apa kau tahu di mana keberadaan Lion? Aku tidak mau tahu, ya! Si brengsek itu harus segera ditemukan! Kalo kamu nggak berhasil melakukannya! Kau tahu hal buruk apa yang akan terjadi padamu, kan? Aku tidak segan-segan membatalkan semua kontrak kerja sama yang selama ini kita jalin, Devano!" "Kau pikir aku takut, Roger?!" Devano menatapnya dengan tatapan sinis. "Apa maksudmu, hah?!" Roger membalasnya sambil menggigit bibir bawahnya tatkala ia ketakutan. "Jangan pura-pura tidak tahu, Roger! Aku tahu jika kamu memainkan kecurangan di perusahaan milikmu sendiri! Dan jika kedua orang tuamu tahu! Aku yakin, mereka tidak akan pernah menganggap mu sebagai anaknya lagi! Apa kam
"Nona Mirna! Tolong! Lepaskan aku dari sini!" Lusi berteriak sebisa mungkin untuk meminta pertolongan.Selama ini, dia tidak pernah pacaran. Menyentuh laki-laki saja dia tidak berani. Tapi, malam ini dia mendadak harus memberikan keperawanannya kepada seorang lelaki tak dikenal setelah sang paman yang selama ini merawat Lusi---tega menjual dirinya ke Madam Mirna?Lusi jelas ketakutan.Sayangnya, upayanya itu tak menghasilkan apapun.Tak ada pertolongan dari luar untuknya."Mau sampai kapan Kau begitu?"Deg!Suara bariton dari belakang membuat Lusi terkesiap. Dengan wajah berlinang air mata, ia lantas menatap "klien pertamanya" itu."Izinkan aku keluar, Tuan. Aku mohon!" mohonnya.Sayangnya, Lusi tak sadar bahwa tangisannya itu justru membuat sesuatu dalam diri Lion bangkit.Tanpa basa-basi, pria yang tengah di bawah pengaruh alkohol itu, langsung mendorong tubuhnya ke dinding bagian belakang. "Akh...." Lusi mengerang kesakitan. Meski begitu, dia masih berusaha kabur. Hal ini
"Gimana? Kamu udah dapet uang, kan?! Sekarang, kasihkan uang itu ke aku!" Setelah dihina habis-habisan, Lusi justru disambut bentakan Putra, sang paman.Tanpa malu, lelaki tua itu mengulurkan tangan kanannya ke arah Lusi. Tentu saja hal itu membuat Lusi marah tak karuan. Dia sudah hancur dan tak akan membiarkannya lebih hancur lagi.Lusi tidak akan sudi memberikan uang itu kepada Pamannya! "Maaf, Paman. Aku sudah menggunakan uang itu untuk membeli barang-barang keperluan rumah," Lusi terpaksa berbohong. Ia membalas perkataan Pamannya dengan nada tegas. Tapi, Paman Lusi lebih cerdas daripada gadis itu. Ia tahu jika Lusi berbohong. "Kamu pikir, aku bodoh, Lusi? Kalo kamu udah beli bahan-bahan keperluan rumah! Harusnya, persediaan di rumah ini bisa Paman lihat di tempatnya masing-masing! Tapi, kenyataannya nggak gitu, kan? Semuanya masih kosong, Lusi! Berikan uangnya sekarang!" Paman Lusi mencengkeram tangan kanannya. "Tapi! Aku juga butuh uangnya buat kebutuhanku sendiri! Kalo
Di bawah cahaya matahari yang menyengat, Devano melempar hp kesayangannya. "Cih, dasar brengsek! Kenapa bajingan itu keras kepala sekali?!" Devano berdecah kesal sembari menatap ke kaca bagian samping. Sementara itu, Roger yang berada di sampingnya tersenyum sinis, spontan mengancam. "Bagaimana, Devano?! Apa kau tahu di mana keberadaan Lion? Aku tidak mau tahu, ya! Si brengsek itu harus segera ditemukan! Kalo kamu nggak berhasil melakukannya! Kau tahu hal buruk apa yang akan terjadi padamu, kan? Aku tidak segan-segan membatalkan semua kontrak kerja sama yang selama ini kita jalin, Devano!" "Kau pikir aku takut, Roger?!" Devano menatapnya dengan tatapan sinis. "Apa maksudmu, hah?!" Roger membalasnya sambil menggigit bibir bawahnya tatkala ia ketakutan. "Jangan pura-pura tidak tahu, Roger! Aku tahu jika kamu memainkan kecurangan di perusahaan milikmu sendiri! Dan jika kedua orang tuamu tahu! Aku yakin, mereka tidak akan pernah menganggap mu sebagai anaknya lagi! Apa kam
Lion berusaha keras untuk melintasi jalanan yang lengang. Dia mencari cara agar mobil itu tak lagi mengikutinya. Dan hal itu, tak jarang membuatnya sesekali melintasi jalanan di perkampungan, pasar, bahkan rumah sakit, dan juga mall. Suasana kali itu benar-benar tegang. Namun, Lion memutuskan untuk berhenti di mall. Dengan cepat, dia menyuruh Lusi untuk keluar dari mobil dan berjalan memasuki mall. "Lusi, kita berhenti di sini saja, ya. Ayo kita pergi," ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangan kanannya. Hampir saja lelaki itu membuka pintu mobil, sampai akhirnya, Lusi yang masih waras, menjawab perkataan lelaki itu dengan nada gusar. "Hei, apa kau sudah gila, Lion?! Kau tahu jika badan kita ini busuk, kan?! Apa kau pikir, para penjaga akan memperbolehkan kita memasuki mall, ha?! Yang benar saja!" Lusi berusaha keras menyadarkan Lion akan hal itu. Sampai akhirnya, Lion tertawa lirih. "Akh, payah. Kenapa aku tidak memikirkannya sejak tadi, yah?! Kau benar juga! Baiklah, k
"Lion, kenapa kau tidak menuruti perkataan Ibumu saja daripada harus bersama denganku?" Lusi bertanya dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Lion dengan tatapan ragu. "Jangan mengatakan apapun, Lusi! Aku benar-benar membencinya seumur hidupku! Kau tidak tahu apa yang selama ini sudah kulewati dengannya, kan?! Jika kau mengetahuinya! Kau mungkin akan kecewa, dan tidak bertanya kenapa aku melakukan hal ini!" Lion tersenyum tipis sembari mengendarai mobilnya. Lusi yang duduk di sampingnya, seketika menundukkan kepala. Di satu sisi, Lusi merasa jika dia adalah satu-satunya objek permasalahan untuk saat ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Dia sendiri juga tidak berhak menilai Lion hanya karena permasalahan yang dimiliknya. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Sekarang, kita mau ke mana, Lion?" tanya Lusi berusaha lembut. "Ke rumahku yang lain." "Rumahmu yang lain? Hahaha, yang benar saja? Memangnya, kamu punya berapa rumah sampai kamu bisa pindah seenaknya?" Wanita itu kini m
Lusi menghela napas. "Terserah apa katamu. Tapi, jika kedua orang tuamu cukup pintar seperti dirimu. Bisa saja mereka melakukan pelacakan dan menyelidiki dari mana aku berasal, dan apa saja kegiatan yang selama ini kulakukan, bukan? Bagaimana jika pada akhirnya, mereka tahu kalo aku hanya sebatas wanita murahan yang selama ini bekerja sebagai pelacur?!"Tangan Lusi mengepal, menahan gemetar membayangkan itu semua."Hsst, diam dan percayakan ini padaku!" Lion menempelkan jemarinya di bibir Lusi. Ia sangat ingin membuat Lusi kembali mempercayainya. Lusi pun menganggukkan kepala. Mereka berdua kini memasuki rumah megah itu tanpa ada rasa gusar ataupun cemas. Meski begitu, sayangnya ketika mereka berada di depan pintu rumah tersebut, keduanya mendapat lemparan daging busuk yang masih segar. "Bagus sekali, pelayan! Terima kasih karena sudah menyambut pewaris utama di keluarga ini dengan baik! Kalian boleh pergi, sekarang!" pekik Ibu Lion dengan tatapan penuh kebencian. "Keterlaluan!
Lusi dan Lion dengan cepat kembali ke kediaman Lion.Perjalanan hari itu sungguh panjang dan melelahkan untuk Lusi.Sebab, keduanya harus mengurus visa Lusi."Kenapa kita ke sini, Lion?" bingung, Lusi."Dua hari lagi, aku mau ajak kamu ke rumahku."Deg!"A--apa katamu? Ke rumahmu, Lion? Ke--kenapa?" Lusi menelan ludahnya sendiri. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi."Sekali lagi membantah, kau bisa saja kuusir dari sini, dan kita akan langsung membatalkan perjanjiannya, Lusi!" Lion mengancam Lusi dengan kata-katanya. Lelaki itu telah bersumpah bahwa dia tak akan mau memberikan jaminan apapun jika Lusi memutuskan untuk berhenti. Lusi hanya bisa mengerutkan bibirnya dan pergi.Namun, Lion tak mempermasalahkannya. Pasalnya, dia sedang memikirkan rencana selanjutnya. Drrt!Getaran ponsel membuat Lion sadar ada panggilan untungnya."LION! APA YANG KAU LAKUKAN?""Halo Roger, tumben sekali kau menelponku? Ada apa, Kak?" tanya Lion cepat.Ia sudah mengira jika saudaranya sendiri akan me
Langkah Lusi terhenti.Tubuhnya kembali gemetar ketika Lion mengatakan perihal kematian.Alhasil, ketika Lion pergi, Lusi langsung mencegahnya. "Lion, tunggu!" teriak Lusi. Ia menarik paksa tangan Lion, sampai lelaki itu berhenti dan menatapnya."Ya, ada apa?""A--aku menerima tawaranmu!" Lusi mendadak gugup. Tapi, ia tetap menjawabnya. Entah ini kebodohan Lusi atau bukan. Karena nyatanya, Lusi menerima tawaran Lion, padahal dia belum tahu, pekerjaan apa yang harus dilakukannya. "Apa kau yakin? Jika kau menerimanya, kau tidak akan bisa mundur, Lusi!" Lion menahan senyum. Diam-diam, ia mengambil hp dari dalam saku celananyadan menyalakan perekam suara. "Bagaimana, apa kau menerima tawarannya, Lusi? Kau tidak akan bisa mundur setelah ini!" Lion mengatakannya sekali lagi dengan nada tegas. Lantas, Lusi dengan hati yang mantap, menjawab, "Ya, aku menerima tawarannya, Lion."Lion tersenyum puas.Jika semula, dia ingin menemui klien tepat pada pukul dua siang. Sekarang, dia tidak i
"Gimana? Kamu udah dapet uang, kan?! Sekarang, kasihkan uang itu ke aku!" Setelah dihina habis-habisan, Lusi justru disambut bentakan Putra, sang paman.Tanpa malu, lelaki tua itu mengulurkan tangan kanannya ke arah Lusi. Tentu saja hal itu membuat Lusi marah tak karuan. Dia sudah hancur dan tak akan membiarkannya lebih hancur lagi.Lusi tidak akan sudi memberikan uang itu kepada Pamannya! "Maaf, Paman. Aku sudah menggunakan uang itu untuk membeli barang-barang keperluan rumah," Lusi terpaksa berbohong. Ia membalas perkataan Pamannya dengan nada tegas. Tapi, Paman Lusi lebih cerdas daripada gadis itu. Ia tahu jika Lusi berbohong. "Kamu pikir, aku bodoh, Lusi? Kalo kamu udah beli bahan-bahan keperluan rumah! Harusnya, persediaan di rumah ini bisa Paman lihat di tempatnya masing-masing! Tapi, kenyataannya nggak gitu, kan? Semuanya masih kosong, Lusi! Berikan uangnya sekarang!" Paman Lusi mencengkeram tangan kanannya. "Tapi! Aku juga butuh uangnya buat kebutuhanku sendiri! Kalo
"Nona Mirna! Tolong! Lepaskan aku dari sini!" Lusi berteriak sebisa mungkin untuk meminta pertolongan.Selama ini, dia tidak pernah pacaran. Menyentuh laki-laki saja dia tidak berani. Tapi, malam ini dia mendadak harus memberikan keperawanannya kepada seorang lelaki tak dikenal setelah sang paman yang selama ini merawat Lusi---tega menjual dirinya ke Madam Mirna?Lusi jelas ketakutan.Sayangnya, upayanya itu tak menghasilkan apapun.Tak ada pertolongan dari luar untuknya."Mau sampai kapan Kau begitu?"Deg!Suara bariton dari belakang membuat Lusi terkesiap. Dengan wajah berlinang air mata, ia lantas menatap "klien pertamanya" itu."Izinkan aku keluar, Tuan. Aku mohon!" mohonnya.Sayangnya, Lusi tak sadar bahwa tangisannya itu justru membuat sesuatu dalam diri Lion bangkit.Tanpa basa-basi, pria yang tengah di bawah pengaruh alkohol itu, langsung mendorong tubuhnya ke dinding bagian belakang. "Akh...." Lusi mengerang kesakitan. Meski begitu, dia masih berusaha kabur. Hal ini