Share

Kau Sudah Gila, Lion!


Lusi dan Lion dengan cepat kembali ke kediaman Lion.

Perjalanan hari itu sungguh panjang dan melelahkan untuk Lusi.

Sebab, keduanya harus mengurus visa Lusi.

"Kenapa kita ke sini, Lion?" bingung, Lusi.

"Dua hari lagi, aku mau ajak kamu ke rumahku."

Deg!

"A--apa katamu? Ke rumahmu, Lion? Ke--kenapa?" Lusi menelan ludahnya sendiri. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi.

"Sekali lagi membantah, kau bisa saja kuusir dari sini, dan kita akan langsung membatalkan perjanjiannya, Lusi!" Lion mengancam Lusi dengan kata-katanya. Lelaki itu telah bersumpah bahwa dia tak akan mau memberikan jaminan apapun jika Lusi memutuskan untuk berhenti.

Lusi hanya bisa mengerutkan bibirnya dan pergi.

Namun, Lion tak mempermasalahkannya.

Pasalnya, dia sedang memikirkan rencana selanjutnya.

Drrt!

Getaran ponsel membuat Lion sadar ada panggilan untungnya.

"LION! APA YANG KAU LAKUKAN?"

"Halo Roger, tumben sekali kau menelponku? Ada apa, Kak?" tanya Lion cepat.

Ia sudah mengira jika saudaranya sendiri akan menghubunginya setelah acara foto pre wedding selesai. Tapi, Lion tak menyangka jika saudaranya memarahinya di telepon.

"Ck! Kapan kau pulang? Ibu telah menunggu kita berdua dua bulan lamanya. Aku baru akan pulang dari Singapura malam ini. Bagaimana denganmu? Dia begitu khawatir denganmu karena kamu tidak pernah memberinya pesan," jawab sang kakak dengan wajah cemas.

"Cih, apa dia memperdulikanku? Aku tidak yakin, Kak. Aku paham jika Ibu hanya suka uangku. Dia butuh uangku, bukan aku!"

"Tutup mulutmu, adik! Bagaimanapun, dia adalah Ibumu! Jawab saja pertanyaanku yang tadi!" pekik Roger dengan nada tegas.

"Bilang padanya jika aku akan pulang bersama dengan Istriku dua hari lagi," Lion memasukkan jemarinya ke dalam kantong, seolah terlihat santai dan tanpa beban.

Di satu sisi, sang kakak yang mengetahuinya terkejut. "Apa kau sudah gila, Lion? Kau sedang bercanda, bukan?!"

"Bercanda? Apakah nadaku terlihat seperti orang yang sedang bercanda, Kak? Tidak, kan?" Lion menggaruk keningnya, tak percaya jika Kakaknya terkejut bak orang tengah dikejar setan.

"Dengar, Lion! Apa kau berniat membawa orang asing ke rumah kita? Kau tahu jika itu akan membawa masalah besar, kan? Lagi pula, dia juga belum tahu identitasmu yang sebenarnya! Terlebih lagi, apa yang akan diucapkan oleh orang tua kita ketika nanti bertemu dengan kedua orang tua Sisi? Bukankah kalian berdua dijodohkan, ha?!" tanya lelaki dari ujung telepon dengan suara gemetar.

"Kau tau jika aku tidak akan pernah merubah keputusanku, bukan?! Dan aku tidak akan peduli dengan perkataan Ibu, Kak! Beri tahu yang lain, ya! Aku akan ke sana dua hari lagi!"

Lion tersenyum sinis sebelum membanting hpnya. Meski demikian, lelaki di ujung telepon itu dibuat kesal dengan sikapnya.

"Lion! Seharusnya kau memikirkan hal ini dulu! Jangan gegabah, atau kau-"

Tut!

Belum sempat menyelesaikan kata-katanya. Lelaki itu dibuat marah karena Lion mematikan panggilannya.

"Dasar tidak berguna! Kenapa dia tega membuat orang lain sebagai boneka?" pekiknya sembari membanting sebuah kamera yang dari tadi dia genggam di tangan kanannya.

Dia khawatir Lion melakukan hal yang akan disesalinya nanti.

Sayangnya, berbeda jauh dari kekhawatirannya, Lion justru tak peduli.

Sore ini, ia bahkan sudah kembali berada di dalam mobil bersama Lusi-- kembali menyiapkan kepulangannya menuju ke rumah utama.

"Lion, apa kau yakin ingin membawaku ke rumahmu?" 

Ya, di dalam mobil, Lusi berkali-kali ketakutan, tak habis pikir dengan apa yang akan terjadi jika keluarga Lion mengetahui ini.

"Tentu saja. Tapi tidak sekarang, mungkin dua hari lagi. Dan sebelum kita ke sana, kita harus ke toko perhiasan. Aku ingin kamu memakai beberapa perhiasan mahal agar kamu terlihat cantik di depan mereka semua," tegas Lion tanpa basa-basi.

"Itu tidak perlu, Lion. Aku tidak membutuhkan perhiasan mahal. Lagipula, aku hanya wanita biasa. Dan aku rasa, aku tidak pantas memakai itu semua."

"Hsst, bagaimanapun, sekarang kau adalah Istriku. Sudah jadi tanggung jawabku untuk membahagiakanmu."

"Cih, kau berkata seolah-olah kau adalah suami sahku, Lion. Hentikan, aku benar-benar geli jika kau membahasnya terlalu sering! Lagi pula, kau tahu jika pernikahan kita itu hanya sebatas pernikahan kontrak, bukan?"

Lusi menjawab pernyataan Lion tanpa memandangi wajahnya. Namun, siapa sangka jika gara-gara hal tersebut, Lion langsung marah hingga dia menyetir dengan kecepatan tinggi. Lelaki itu tidak peduli lagi jika harus menyelip kendaraan besar seperti truk, bus, dan beberapa mobil lain di sekitarnya. Bahkan, dia tidak peduli jika dia harus mati saat bersama Lusi saat itu.

"Apa yang kau lakukan, Lion! Hentikan!" Lusi berteriak kencang. Ia berusaha keras untuk mengendalikan kemudi mobil.

Mobil yang semula berada di bawah kendali Lion, kini dikendalikan penuh oleh Lusi. Wanita itu benar-benar lihai dalam mengendalikan mobil, dan hal itu membuat Lion tersenyum puas.

"Dasar gadis bodoh! Aku yakin kau tidak akan membuat kita mati begitu saja!" batinnya.

Beberapa menit setelah kejadian mengerikan itu, Lusi berhasil membuat mobil mereka menepi. Ia langsung membanting pintu mobil dan keluar seenaknya. Gadis itu benar-benar tak mengampuni Lion apapun alasannya. Lion yang mengetahui itu bergegas pergi dan menarik tangan Lusi dari belakang.

"Mau ke mana kau, ha?!"

"Tentu saja pergi dari sini, Lion! Aku tidak mau berada di samping orang gila sepertimu!" Lusi langsung melepas tangan Lion dengan kasar. Lion yang berada di sana seketika keheranan, tak percaya jika gadis ini sangat suka memberontak.

"Cih, kenapa kau jadi menyalahkan aku, ha?! Kau sendiri yang membuat kita hampir mati! Jika kau tidak mengejekku! Aku tidak akan pernah melakukannya! Dasar gadis bodoh!" Lion mencengkeram tangan Lusi. Ia berjalan kembali ke dalam mobil dan membuat wanita itu kesakitan karena ulahnya.

"Dengar, Lusi! Aku jika kau terus bertingkah seperti ini! Bisa saja aku muak dan membawamu ke tempat Madam Mirna kembali! Apa kau mengerti, ha?" bentak Lion dengan wajah geram.

Deg!

Lusi yang kali ini mendapat perlakuan kejam dari sosok Lion, seketika ketakutan. Gadis itu tidak berani menolak permintaan Lion lagi. Karena, jika gadis itu menentang Lion. Dia tidak punya pilihan untuk kembali ke Madam Mirna dan Pamannya. Dua hal itu saja sudah cukup membuatnya stress berkepanjangan.

Di tengah perjalanan panjang, keduanya sama sekali tidak berbicara. Bahkan, ketika mereka sampai di toko perhiasan. Lion lebih dominan untuk memilih perhiasan yang dia rasa cocok, sebelum mereka kembali ke perjalanan, hingga Lion berhenti di depan sebuah rumah mewah nan megah. Hal itu membuat gadis yang duduk di sebelahnya terkejut.

"Lion, kita....?"

"Selamat datang di rumah keluargaku, Lusi. Aku harap, kamu bisa bekerja sama dengan baik, kali ini."

"APA katamu?!"

"Aku berkata jika kau akan bertemu dengan kedua orang tuaku hari ini, Lusi! Kenapa? Apa kau keberatan?!" jawab Lion dengan tegas.

Lusi jelas terkejut.

Pikirnya, masih ada beberapa hari.

Tapi, mengapa sekarang?


"Aku sama sekali tidak keberatan dengan itu, Lion.Tapi, Aku merasa kau menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi, aku belum tahu kenapa kau memberikan tawaran kepadaku untuk menjadi Istri kontrakmu," Lusi menundukkan kepala, beberapa kali dia juga menengok ke arah Lion.

"Oh, soal itu. Biar kujelaskan sesuatu padamu. Aku dijodohkan oleh kedua orang tuaku agar bisnis kontraktor milik Ayahku berkembang. Dan kau tahu apa masalahnya?" Lion menaikkan salah satu alisnya.

"Apa kau tidak menyukai perempuan yang dijodohkan denganmu?" Lusi berusaha menebak.

Lion terdiam. Entah apa yang dipikirkan pria itu sebelum menganggukkan kepala.

"Nah, kau tahu sendiri kan, sekarang? Bagus, lah. Aku tidak perlu lagi menjelaskan kenapa aku melakukan pernikahan kontrak denganmu sekarang. Ayo, kita turun," Lion mencubit pipi Lusi dan menggandengnya keluar. Namun, Lusi nampak enggan untuk keluar dari mobil.

"Ada apa lagi?"

"Tidak ada apa-apa, Lion. Hanya saja, aku ingin tahu, bagaimana jika orang tuamu tidak menerimaku?" Lusi menatap kedua mata Lion dengan tatapan gelisah.

"Biarkan saja, mereka tidak bisa apa-apa, Lusi. Semua kendali ada di tanganku. Jika mereka berani membantahku, mereka sendiri yang akan rugi. Jadi, kau tidak perlu khawatir. Karena bagaimanapun, akulah pemenang di keluarga ini." Lion mengatakannya dengan penuh ketegasan.

Meski demikian, itu sama sekali bukan berita bahagia untuk Lusi. Karena bagaimanapun, dia tahu jika dirinya hanya sebatas perempuan yang dinikahi tanpa cinta. Baginya, semua hal yang terjadi di dalam hidupnya dan berkaitan dengan Lion, adalah kepalsuan belaka.


"Aku pastikan tidak akan ada yang berani memperlakukanmu begitu, Lusi!" Seolah tahu apa yang dipikirkannya, Lion tiba-tiba berkata demikian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status