Lusi dan Lion dengan cepat kembali ke kediaman Lion.
Perjalanan hari itu sungguh panjang dan melelahkan untuk Lusi.
Sebab, keduanya harus mengurus visa Lusi.
"Kenapa kita ke sini, Lion?" bingung, Lusi.
"Dua hari lagi, aku mau ajak kamu ke rumahku."
Deg!
"A--apa katamu? Ke rumahmu, Lion? Ke--kenapa?" Lusi menelan ludahnya sendiri. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi.
"Sekali lagi membantah, kau bisa saja kuusir dari sini, dan kita akan langsung membatalkan perjanjiannya, Lusi!" Lion mengancam Lusi dengan kata-katanya. Lelaki itu telah bersumpah bahwa dia tak akan mau memberikan jaminan apapun jika Lusi memutuskan untuk berhenti.
Namun, Lion tak mempermasalahkannya.
Pasalnya, dia sedang memikirkan rencana selanjutnya.
Drrt!
Getaran ponsel membuat Lion sadar ada panggilan untungnya.
"LION! APA YANG KAU LAKUKAN?"
"Halo Roger, tumben sekali kau menelponku? Ada apa, Kak?" tanya Lion cepat.
Ia sudah mengira jika saudaranya sendiri akan menghubunginya setelah acara foto pre wedding selesai. Tapi, Lion tak menyangka jika saudaranya memarahinya di telepon.
"Ck! Kapan kau pulang? Ibu telah menunggu kita berdua dua bulan lamanya. Aku baru akan pulang dari Singapura malam ini. Bagaimana denganmu? Dia begitu khawatir denganmu karena kamu tidak pernah memberinya pesan," jawab sang kakak dengan wajah cemas.
"Cih, apa dia memperdulikanku? Aku tidak yakin, Kak. Aku paham jika Ibu hanya suka uangku. Dia butuh uangku, bukan aku!"
"Tutup mulutmu, adik! Bagaimanapun, dia adalah Ibumu! Jawab saja pertanyaanku yang tadi!" pekik Roger dengan nada tegas.
"Bilang padanya jika aku akan pulang bersama dengan Istriku dua hari lagi," Lion memasukkan jemarinya ke dalam kantong, seolah terlihat santai dan tanpa beban.
Di satu sisi, sang kakak yang mengetahuinya terkejut. "Apa kau sudah gila, Lion? Kau sedang bercanda, bukan?!" "Bercanda? Apakah nadaku terlihat seperti orang yang sedang bercanda, Kak? Tidak, kan?" Lion menggaruk keningnya, tak percaya jika Kakaknya terkejut bak orang tengah dikejar setan. "Dengar, Lion! Apa kau berniat membawa orang asing ke rumah kita? Kau tahu jika itu akan membawa masalah besar, kan? Lagi pula, dia juga belum tahu identitasmu yang sebenarnya! Terlebih lagi, apa yang akan diucapkan oleh orang tua kita ketika nanti bertemu dengan kedua orang tua Sisi? Bukankah kalian berdua dijodohkan, ha?!" tanya lelaki dari ujung telepon dengan suara gemetar. "Kau tau jika aku tidak akan pernah merubah keputusanku, bukan?! Dan aku tidak akan peduli dengan perkataan Ibu, Kak! Beri tahu yang lain, ya! Aku akan ke sana dua hari lagi!" Lion tersenyum sinis sebelum membanting hpnya. Meski demikian, lelaki di ujung telepon itu dibuat kesal dengan sikapnya. "Lion! Seharusnya kau memikirkan hal ini dulu! Jangan gegabah, atau kau-" Tut! Belum sempat menyelesaikan kata-katanya. Lelaki itu dibuat marah karena Lion mematikan panggilannya. "Dasar tidak berguna! Kenapa dia tega membuat orang lain sebagai boneka?" pekiknya sembari membanting sebuah kamera yang dari tadi dia genggam di tangan kanannya.Dia khawatir Lion melakukan hal yang akan disesalinya nanti.Sayangnya, berbeda jauh dari kekhawatirannya, Lion justru tak peduli.
Sore ini, ia bahkan sudah kembali berada di dalam mobil bersama Lusi-- kembali menyiapkan kepulangannya menuju ke rumah utama.
"Lion, apa kau yakin ingin membawaku ke rumahmu?"
Ya, di dalam mobil, Lusi berkali-kali ketakutan, tak habis pikir dengan apa yang akan terjadi jika keluarga Lion mengetahui ini.
"Tentu saja. Tapi tidak sekarang, mungkin dua hari lagi. Dan sebelum kita ke sana, kita harus ke toko perhiasan. Aku ingin kamu memakai beberapa perhiasan mahal agar kamu terlihat cantik di depan mereka semua," tegas Lion tanpa basa-basi.
"Itu tidak perlu, Lion. Aku tidak membutuhkan perhiasan mahal. Lagipula, aku hanya wanita biasa. Dan aku rasa, aku tidak pantas memakai itu semua."
"Hsst, bagaimanapun, sekarang kau adalah Istriku. Sudah jadi tanggung jawabku untuk membahagiakanmu."
"Cih, kau berkata seolah-olah kau adalah suami sahku, Lion. Hentikan, aku benar-benar geli jika kau membahasnya terlalu sering! Lagi pula, kau tahu jika pernikahan kita itu hanya sebatas pernikahan kontrak, bukan?"
Lusi menjawab pernyataan Lion tanpa memandangi wajahnya. Namun, siapa sangka jika gara-gara hal tersebut, Lion langsung marah hingga dia menyetir dengan kecepatan tinggi. Lelaki itu tidak peduli lagi jika harus menyelip kendaraan besar seperti truk, bus, dan beberapa mobil lain di sekitarnya. Bahkan, dia tidak peduli jika dia harus mati saat bersama Lusi saat itu.
"Apa yang kau lakukan, Lion! Hentikan!" Lusi berteriak kencang. Ia berusaha keras untuk mengendalikan kemudi mobil.
Mobil yang semula berada di bawah kendali Lion, kini dikendalikan penuh oleh Lusi. Wanita itu benar-benar lihai dalam mengendalikan mobil, dan hal itu membuat Lion tersenyum puas.
"Dasar gadis bodoh! Aku yakin kau tidak akan membuat kita mati begitu saja!" batinnya.
Beberapa menit setelah kejadian mengerikan itu, Lusi berhasil membuat mobil mereka menepi. Ia langsung membanting pintu mobil dan keluar seenaknya. Gadis itu benar-benar tak mengampuni Lion apapun alasannya. Lion yang mengetahui itu bergegas pergi dan menarik tangan Lusi dari belakang.
"Mau ke mana kau, ha?!"
"Tentu saja pergi dari sini, Lion! Aku tidak mau berada di samping orang gila sepertimu!" Lusi langsung melepas tangan Lion dengan kasar. Lion yang berada di sana seketika keheranan, tak percaya jika gadis ini sangat suka memberontak.
"Cih, kenapa kau jadi menyalahkan aku, ha?! Kau sendiri yang membuat kita hampir mati! Jika kau tidak mengejekku! Aku tidak akan pernah melakukannya! Dasar gadis bodoh!" Lion mencengkeram tangan Lusi. Ia berjalan kembali ke dalam mobil dan membuat wanita itu kesakitan karena ulahnya.
"Dengar, Lusi! Aku jika kau terus bertingkah seperti ini! Bisa saja aku muak dan membawamu ke tempat Madam Mirna kembali! Apa kau mengerti, ha?" bentak Lion dengan wajah geram.
Deg!
Lusi yang kali ini mendapat perlakuan kejam dari sosok Lion, seketika ketakutan. Gadis itu tidak berani menolak permintaan Lion lagi. Karena, jika gadis itu menentang Lion. Dia tidak punya pilihan untuk kembali ke Madam Mirna dan Pamannya. Dua hal itu saja sudah cukup membuatnya stress berkepanjangan.
Di tengah perjalanan panjang, keduanya sama sekali tidak berbicara. Bahkan, ketika mereka sampai di toko perhiasan. Lion lebih dominan untuk memilih perhiasan yang dia rasa cocok, sebelum mereka kembali ke perjalanan, hingga Lion berhenti di depan sebuah rumah mewah nan megah. Hal itu membuat gadis yang duduk di sebelahnya terkejut.
"Lion, kita....?"
"Selamat datang di rumah keluargaku, Lusi. Aku harap, kamu bisa bekerja sama dengan baik, kali ini."
"APA katamu?!"
"Aku berkata jika kau akan bertemu dengan kedua orang tuaku hari ini, Lusi! Kenapa? Apa kau keberatan?!" jawab Lion dengan tegas.
Lusi jelas terkejut.
Pikirnya, masih ada beberapa hari.
Tapi, mengapa sekarang?
"Aku sama sekali tidak keberatan dengan itu, Lion.Tapi, Aku merasa kau menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi, aku belum tahu kenapa kau memberikan tawaran kepadaku untuk menjadi Istri kontrakmu," Lusi menundukkan kepala, beberapa kali dia juga menengok ke arah Lion.
"Oh, soal itu. Biar kujelaskan sesuatu padamu. Aku dijodohkan oleh kedua orang tuaku agar bisnis kontraktor milik Ayahku berkembang. Dan kau tahu apa masalahnya?" Lion menaikkan salah satu alisnya.
"Apa kau tidak menyukai perempuan yang dijodohkan denganmu?" Lusi berusaha menebak.
Lion terdiam. Entah apa yang dipikirkan pria itu sebelum menganggukkan kepala.
"Nah, kau tahu sendiri kan, sekarang? Bagus, lah. Aku tidak perlu lagi menjelaskan kenapa aku melakukan pernikahan kontrak denganmu sekarang. Ayo, kita turun," Lion mencubit pipi Lusi dan menggandengnya keluar. Namun, Lusi nampak enggan untuk keluar dari mobil.
"Ada apa lagi?"
"Tidak ada apa-apa, Lion. Hanya saja, aku ingin tahu, bagaimana jika orang tuamu tidak menerimaku?" Lusi menatap kedua mata Lion dengan tatapan gelisah.
"Biarkan saja, mereka tidak bisa apa-apa, Lusi. Semua kendali ada di tanganku. Jika mereka berani membantahku, mereka sendiri yang akan rugi. Jadi, kau tidak perlu khawatir. Karena bagaimanapun, akulah pemenang di keluarga ini." Lion mengatakannya dengan penuh ketegasan.
Meski demikian, itu sama sekali bukan berita bahagia untuk Lusi. Karena bagaimanapun, dia tahu jika dirinya hanya sebatas perempuan yang dinikahi tanpa cinta. Baginya, semua hal yang terjadi di dalam hidupnya dan berkaitan dengan Lion, adalah kepalsuan belaka.
"Aku pastikan tidak akan ada yang berani memperlakukanmu begitu, Lusi!" Seolah tahu apa yang dipikirkannya, Lion tiba-tiba berkata demikian.
Lusi menghela napas. "Terserah apa katamu. Tapi, jika kedua orang tuamu cukup pintar seperti dirimu. Bisa saja mereka melakukan pelacakan dan menyelidiki dari mana aku berasal, dan apa saja kegiatan yang selama ini kulakukan, bukan? Bagaimana jika pada akhirnya, mereka tahu kalo aku hanya sebatas wanita murahan yang selama ini bekerja sebagai pelacur?!"Tangan Lusi mengepal, menahan gemetar membayangkan itu semua."Hsst, diam dan percayakan ini padaku!" Lion menempelkan jemarinya di bibir Lusi. Ia sangat ingin membuat Lusi kembali mempercayainya. Lusi pun menganggukkan kepala. Mereka berdua kini memasuki rumah megah itu tanpa ada rasa gusar ataupun cemas. Meski begitu, sayangnya ketika mereka berada di depan pintu rumah tersebut, keduanya mendapat lemparan daging busuk yang masih segar. "Bagus sekali, pelayan! Terima kasih karena sudah menyambut pewaris utama di keluarga ini dengan baik! Kalian boleh pergi, sekarang!" pekik Ibu Lion dengan tatapan penuh kebencian. "Keterlaluan!
"Lion, kenapa kau tidak menuruti perkataan Ibumu saja daripada harus bersama denganku?" Lusi bertanya dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Lion dengan tatapan ragu. "Jangan mengatakan apapun, Lusi! Aku benar-benar membencinya seumur hidupku! Kau tidak tahu apa yang selama ini sudah kulewati dengannya, kan?! Jika kau mengetahuinya! Kau mungkin akan kecewa, dan tidak bertanya kenapa aku melakukan hal ini!" Lion tersenyum tipis sembari mengendarai mobilnya. Lusi yang duduk di sampingnya, seketika menundukkan kepala. Di satu sisi, Lusi merasa jika dia adalah satu-satunya objek permasalahan untuk saat ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Dia sendiri juga tidak berhak menilai Lion hanya karena permasalahan yang dimiliknya. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Sekarang, kita mau ke mana, Lion?" tanya Lusi berusaha lembut. "Ke rumahku yang lain." "Rumahmu yang lain? Hahaha, yang benar saja? Memangnya, kamu punya berapa rumah sampai kamu bisa pindah seenaknya?" Wanita itu kini m
Lion berusaha keras untuk melintasi jalanan yang lengang. Dia mencari cara agar mobil itu tak lagi mengikutinya. Dan hal itu, tak jarang membuatnya sesekali melintasi jalanan di perkampungan, pasar, bahkan rumah sakit, dan juga mall. Suasana kali itu benar-benar tegang. Namun, Lion memutuskan untuk berhenti di mall. Dengan cepat, dia menyuruh Lusi untuk keluar dari mobil dan berjalan memasuki mall. "Lusi, kita berhenti di sini saja, ya. Ayo kita pergi," ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangan kanannya. Hampir saja lelaki itu membuka pintu mobil, sampai akhirnya, Lusi yang masih waras, menjawab perkataan lelaki itu dengan nada gusar. "Hei, apa kau sudah gila, Lion?! Kau tahu jika badan kita ini busuk, kan?! Apa kau pikir, para penjaga akan memperbolehkan kita memasuki mall, ha?! Yang benar saja!" Lusi berusaha keras menyadarkan Lion akan hal itu. Sampai akhirnya, Lion tertawa lirih. "Akh, payah. Kenapa aku tidak memikirkannya sejak tadi, yah?! Kau benar juga! Baiklah, k
Di bawah cahaya matahari yang menyengat, Devano melempar hp kesayangannya. "Cih, dasar brengsek! Kenapa bajingan itu keras kepala sekali?!" Devano berdecah kesal sembari menatap ke kaca bagian samping. Sementara itu, Roger yang berada di sampingnya tersenyum sinis, spontan mengancam. "Bagaimana, Devano?! Apa kau tahu di mana keberadaan Lion? Aku tidak mau tahu, ya! Si brengsek itu harus segera ditemukan! Kalo kamu nggak berhasil melakukannya! Kau tahu hal buruk apa yang akan terjadi padamu, kan? Aku tidak segan-segan membatalkan semua kontrak kerja sama yang selama ini kita jalin, Devano!" "Kau pikir aku takut, Roger?!" Devano menatapnya dengan tatapan sinis. "Apa maksudmu, hah?!" Roger membalasnya sambil menggigit bibir bawahnya tatkala ia ketakutan. "Jangan pura-pura tidak tahu, Roger! Aku tahu jika kamu memainkan kecurangan di perusahaan milikmu sendiri! Dan jika kedua orang tuamu tahu! Aku yakin, mereka tidak akan pernah menganggap mu sebagai anaknya lagi! Apa kam
"Nona Mirna! Tolong! Lepaskan aku dari sini!" Lusi berteriak sebisa mungkin untuk meminta pertolongan.Selama ini, dia tidak pernah pacaran. Menyentuh laki-laki saja dia tidak berani. Tapi, malam ini dia mendadak harus memberikan keperawanannya kepada seorang lelaki tak dikenal setelah sang paman yang selama ini merawat Lusi---tega menjual dirinya ke Madam Mirna?Lusi jelas ketakutan.Sayangnya, upayanya itu tak menghasilkan apapun.Tak ada pertolongan dari luar untuknya."Mau sampai kapan Kau begitu?"Deg!Suara bariton dari belakang membuat Lusi terkesiap. Dengan wajah berlinang air mata, ia lantas menatap "klien pertamanya" itu."Izinkan aku keluar, Tuan. Aku mohon!" mohonnya.Sayangnya, Lusi tak sadar bahwa tangisannya itu justru membuat sesuatu dalam diri Lion bangkit.Tanpa basa-basi, pria yang tengah di bawah pengaruh alkohol itu, langsung mendorong tubuhnya ke dinding bagian belakang. "Akh...." Lusi mengerang kesakitan. Meski begitu, dia masih berusaha kabur. Hal ini
"Gimana? Kamu udah dapet uang, kan?! Sekarang, kasihkan uang itu ke aku!" Setelah dihina habis-habisan, Lusi justru disambut bentakan Putra, sang paman.Tanpa malu, lelaki tua itu mengulurkan tangan kanannya ke arah Lusi. Tentu saja hal itu membuat Lusi marah tak karuan. Dia sudah hancur dan tak akan membiarkannya lebih hancur lagi.Lusi tidak akan sudi memberikan uang itu kepada Pamannya! "Maaf, Paman. Aku sudah menggunakan uang itu untuk membeli barang-barang keperluan rumah," Lusi terpaksa berbohong. Ia membalas perkataan Pamannya dengan nada tegas. Tapi, Paman Lusi lebih cerdas daripada gadis itu. Ia tahu jika Lusi berbohong. "Kamu pikir, aku bodoh, Lusi? Kalo kamu udah beli bahan-bahan keperluan rumah! Harusnya, persediaan di rumah ini bisa Paman lihat di tempatnya masing-masing! Tapi, kenyataannya nggak gitu, kan? Semuanya masih kosong, Lusi! Berikan uangnya sekarang!" Paman Lusi mencengkeram tangan kanannya. "Tapi! Aku juga butuh uangnya buat kebutuhanku sendiri! Kalo
Langkah Lusi terhenti.Tubuhnya kembali gemetar ketika Lion mengatakan perihal kematian.Alhasil, ketika Lion pergi, Lusi langsung mencegahnya. "Lion, tunggu!" teriak Lusi. Ia menarik paksa tangan Lion, sampai lelaki itu berhenti dan menatapnya."Ya, ada apa?""A--aku menerima tawaranmu!" Lusi mendadak gugup. Tapi, ia tetap menjawabnya. Entah ini kebodohan Lusi atau bukan. Karena nyatanya, Lusi menerima tawaran Lion, padahal dia belum tahu, pekerjaan apa yang harus dilakukannya. "Apa kau yakin? Jika kau menerimanya, kau tidak akan bisa mundur, Lusi!" Lion menahan senyum. Diam-diam, ia mengambil hp dari dalam saku celananyadan menyalakan perekam suara. "Bagaimana, apa kau menerima tawarannya, Lusi? Kau tidak akan bisa mundur setelah ini!" Lion mengatakannya sekali lagi dengan nada tegas. Lantas, Lusi dengan hati yang mantap, menjawab, "Ya, aku menerima tawarannya, Lion."Lion tersenyum puas.Jika semula, dia ingin menemui klien tepat pada pukul dua siang. Sekarang, dia tidak i
Di bawah cahaya matahari yang menyengat, Devano melempar hp kesayangannya. "Cih, dasar brengsek! Kenapa bajingan itu keras kepala sekali?!" Devano berdecah kesal sembari menatap ke kaca bagian samping. Sementara itu, Roger yang berada di sampingnya tersenyum sinis, spontan mengancam. "Bagaimana, Devano?! Apa kau tahu di mana keberadaan Lion? Aku tidak mau tahu, ya! Si brengsek itu harus segera ditemukan! Kalo kamu nggak berhasil melakukannya! Kau tahu hal buruk apa yang akan terjadi padamu, kan? Aku tidak segan-segan membatalkan semua kontrak kerja sama yang selama ini kita jalin, Devano!" "Kau pikir aku takut, Roger?!" Devano menatapnya dengan tatapan sinis. "Apa maksudmu, hah?!" Roger membalasnya sambil menggigit bibir bawahnya tatkala ia ketakutan. "Jangan pura-pura tidak tahu, Roger! Aku tahu jika kamu memainkan kecurangan di perusahaan milikmu sendiri! Dan jika kedua orang tuamu tahu! Aku yakin, mereka tidak akan pernah menganggap mu sebagai anaknya lagi! Apa kam
Lion berusaha keras untuk melintasi jalanan yang lengang. Dia mencari cara agar mobil itu tak lagi mengikutinya. Dan hal itu, tak jarang membuatnya sesekali melintasi jalanan di perkampungan, pasar, bahkan rumah sakit, dan juga mall. Suasana kali itu benar-benar tegang. Namun, Lion memutuskan untuk berhenti di mall. Dengan cepat, dia menyuruh Lusi untuk keluar dari mobil dan berjalan memasuki mall. "Lusi, kita berhenti di sini saja, ya. Ayo kita pergi," ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangan kanannya. Hampir saja lelaki itu membuka pintu mobil, sampai akhirnya, Lusi yang masih waras, menjawab perkataan lelaki itu dengan nada gusar. "Hei, apa kau sudah gila, Lion?! Kau tahu jika badan kita ini busuk, kan?! Apa kau pikir, para penjaga akan memperbolehkan kita memasuki mall, ha?! Yang benar saja!" Lusi berusaha keras menyadarkan Lion akan hal itu. Sampai akhirnya, Lion tertawa lirih. "Akh, payah. Kenapa aku tidak memikirkannya sejak tadi, yah?! Kau benar juga! Baiklah, k
"Lion, kenapa kau tidak menuruti perkataan Ibumu saja daripada harus bersama denganku?" Lusi bertanya dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Lion dengan tatapan ragu. "Jangan mengatakan apapun, Lusi! Aku benar-benar membencinya seumur hidupku! Kau tidak tahu apa yang selama ini sudah kulewati dengannya, kan?! Jika kau mengetahuinya! Kau mungkin akan kecewa, dan tidak bertanya kenapa aku melakukan hal ini!" Lion tersenyum tipis sembari mengendarai mobilnya. Lusi yang duduk di sampingnya, seketika menundukkan kepala. Di satu sisi, Lusi merasa jika dia adalah satu-satunya objek permasalahan untuk saat ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Dia sendiri juga tidak berhak menilai Lion hanya karena permasalahan yang dimiliknya. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Sekarang, kita mau ke mana, Lion?" tanya Lusi berusaha lembut. "Ke rumahku yang lain." "Rumahmu yang lain? Hahaha, yang benar saja? Memangnya, kamu punya berapa rumah sampai kamu bisa pindah seenaknya?" Wanita itu kini m
Lusi menghela napas. "Terserah apa katamu. Tapi, jika kedua orang tuamu cukup pintar seperti dirimu. Bisa saja mereka melakukan pelacakan dan menyelidiki dari mana aku berasal, dan apa saja kegiatan yang selama ini kulakukan, bukan? Bagaimana jika pada akhirnya, mereka tahu kalo aku hanya sebatas wanita murahan yang selama ini bekerja sebagai pelacur?!"Tangan Lusi mengepal, menahan gemetar membayangkan itu semua."Hsst, diam dan percayakan ini padaku!" Lion menempelkan jemarinya di bibir Lusi. Ia sangat ingin membuat Lusi kembali mempercayainya. Lusi pun menganggukkan kepala. Mereka berdua kini memasuki rumah megah itu tanpa ada rasa gusar ataupun cemas. Meski begitu, sayangnya ketika mereka berada di depan pintu rumah tersebut, keduanya mendapat lemparan daging busuk yang masih segar. "Bagus sekali, pelayan! Terima kasih karena sudah menyambut pewaris utama di keluarga ini dengan baik! Kalian boleh pergi, sekarang!" pekik Ibu Lion dengan tatapan penuh kebencian. "Keterlaluan!
Lusi dan Lion dengan cepat kembali ke kediaman Lion.Perjalanan hari itu sungguh panjang dan melelahkan untuk Lusi.Sebab, keduanya harus mengurus visa Lusi."Kenapa kita ke sini, Lion?" bingung, Lusi."Dua hari lagi, aku mau ajak kamu ke rumahku."Deg!"A--apa katamu? Ke rumahmu, Lion? Ke--kenapa?" Lusi menelan ludahnya sendiri. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi."Sekali lagi membantah, kau bisa saja kuusir dari sini, dan kita akan langsung membatalkan perjanjiannya, Lusi!" Lion mengancam Lusi dengan kata-katanya. Lelaki itu telah bersumpah bahwa dia tak akan mau memberikan jaminan apapun jika Lusi memutuskan untuk berhenti. Lusi hanya bisa mengerutkan bibirnya dan pergi.Namun, Lion tak mempermasalahkannya. Pasalnya, dia sedang memikirkan rencana selanjutnya. Drrt!Getaran ponsel membuat Lion sadar ada panggilan untungnya."LION! APA YANG KAU LAKUKAN?""Halo Roger, tumben sekali kau menelponku? Ada apa, Kak?" tanya Lion cepat.Ia sudah mengira jika saudaranya sendiri akan me
Langkah Lusi terhenti.Tubuhnya kembali gemetar ketika Lion mengatakan perihal kematian.Alhasil, ketika Lion pergi, Lusi langsung mencegahnya. "Lion, tunggu!" teriak Lusi. Ia menarik paksa tangan Lion, sampai lelaki itu berhenti dan menatapnya."Ya, ada apa?""A--aku menerima tawaranmu!" Lusi mendadak gugup. Tapi, ia tetap menjawabnya. Entah ini kebodohan Lusi atau bukan. Karena nyatanya, Lusi menerima tawaran Lion, padahal dia belum tahu, pekerjaan apa yang harus dilakukannya. "Apa kau yakin? Jika kau menerimanya, kau tidak akan bisa mundur, Lusi!" Lion menahan senyum. Diam-diam, ia mengambil hp dari dalam saku celananyadan menyalakan perekam suara. "Bagaimana, apa kau menerima tawarannya, Lusi? Kau tidak akan bisa mundur setelah ini!" Lion mengatakannya sekali lagi dengan nada tegas. Lantas, Lusi dengan hati yang mantap, menjawab, "Ya, aku menerima tawarannya, Lion."Lion tersenyum puas.Jika semula, dia ingin menemui klien tepat pada pukul dua siang. Sekarang, dia tidak i
"Gimana? Kamu udah dapet uang, kan?! Sekarang, kasihkan uang itu ke aku!" Setelah dihina habis-habisan, Lusi justru disambut bentakan Putra, sang paman.Tanpa malu, lelaki tua itu mengulurkan tangan kanannya ke arah Lusi. Tentu saja hal itu membuat Lusi marah tak karuan. Dia sudah hancur dan tak akan membiarkannya lebih hancur lagi.Lusi tidak akan sudi memberikan uang itu kepada Pamannya! "Maaf, Paman. Aku sudah menggunakan uang itu untuk membeli barang-barang keperluan rumah," Lusi terpaksa berbohong. Ia membalas perkataan Pamannya dengan nada tegas. Tapi, Paman Lusi lebih cerdas daripada gadis itu. Ia tahu jika Lusi berbohong. "Kamu pikir, aku bodoh, Lusi? Kalo kamu udah beli bahan-bahan keperluan rumah! Harusnya, persediaan di rumah ini bisa Paman lihat di tempatnya masing-masing! Tapi, kenyataannya nggak gitu, kan? Semuanya masih kosong, Lusi! Berikan uangnya sekarang!" Paman Lusi mencengkeram tangan kanannya. "Tapi! Aku juga butuh uangnya buat kebutuhanku sendiri! Kalo
"Nona Mirna! Tolong! Lepaskan aku dari sini!" Lusi berteriak sebisa mungkin untuk meminta pertolongan.Selama ini, dia tidak pernah pacaran. Menyentuh laki-laki saja dia tidak berani. Tapi, malam ini dia mendadak harus memberikan keperawanannya kepada seorang lelaki tak dikenal setelah sang paman yang selama ini merawat Lusi---tega menjual dirinya ke Madam Mirna?Lusi jelas ketakutan.Sayangnya, upayanya itu tak menghasilkan apapun.Tak ada pertolongan dari luar untuknya."Mau sampai kapan Kau begitu?"Deg!Suara bariton dari belakang membuat Lusi terkesiap. Dengan wajah berlinang air mata, ia lantas menatap "klien pertamanya" itu."Izinkan aku keluar, Tuan. Aku mohon!" mohonnya.Sayangnya, Lusi tak sadar bahwa tangisannya itu justru membuat sesuatu dalam diri Lion bangkit.Tanpa basa-basi, pria yang tengah di bawah pengaruh alkohol itu, langsung mendorong tubuhnya ke dinding bagian belakang. "Akh...." Lusi mengerang kesakitan. Meski begitu, dia masih berusaha kabur. Hal ini