"Nona Mirna! Tolong! Lepaskan aku dari sini!" Lusi berteriak sebisa mungkin untuk meminta pertolongan.Selama ini, dia tidak pernah pacaran. Menyentuh laki-laki saja dia tidak berani. Tapi, malam ini dia mendadak harus memberikan keperawanannya kepada seorang lelaki tak dikenal setelah sang paman yang selama ini merawat Lusi---tega menjual dirinya ke Madam Mirna?Lusi jelas ketakutan.Sayangnya, upayanya itu tak menghasilkan apapun.Tak ada pertolongan dari luar untuknya."Mau sampai kapan Kau begitu?"Deg!Suara bariton dari belakang membuat Lusi terkesiap. Dengan wajah berlinang air mata, ia lantas menatap "klien pertamanya" itu."Izinkan aku keluar, Tuan. Aku mohon!" mohonnya.Sayangnya, Lusi tak sadar bahwa tangisannya itu justru membuat sesuatu dalam diri Lion bangkit.Tanpa basa-basi, pria yang tengah di bawah pengaruh alkohol itu, langsung mendorong tubuhnya ke dinding bagian belakang. "Akh...." Lusi mengerang kesakitan. Meski begitu, dia masih berusaha kabur. Hal ini
"Gimana? Kamu udah dapet uang, kan?! Sekarang, kasihkan uang itu ke aku!" Setelah dihina habis-habisan, Lusi justru disambut bentakan Putra, sang paman.Tanpa malu, lelaki tua itu mengulurkan tangan kanannya ke arah Lusi. Tentu saja hal itu membuat Lusi marah tak karuan. Dia sudah hancur dan tak akan membiarkannya lebih hancur lagi.Lusi tidak akan sudi memberikan uang itu kepada Pamannya! "Maaf, Paman. Aku sudah menggunakan uang itu untuk membeli barang-barang keperluan rumah," Lusi terpaksa berbohong. Ia membalas perkataan Pamannya dengan nada tegas. Tapi, Paman Lusi lebih cerdas daripada gadis itu. Ia tahu jika Lusi berbohong. "Kamu pikir, aku bodoh, Lusi? Kalo kamu udah beli bahan-bahan keperluan rumah! Harusnya, persediaan di rumah ini bisa Paman lihat di tempatnya masing-masing! Tapi, kenyataannya nggak gitu, kan? Semuanya masih kosong, Lusi! Berikan uangnya sekarang!" Paman Lusi mencengkeram tangan kanannya. "Tapi! Aku juga butuh uangnya buat kebutuhanku sendiri! Kalo
Langkah Lusi terhenti.Tubuhnya kembali gemetar ketika Lion mengatakan perihal kematian.Alhasil, ketika Lion pergi, Lusi langsung mencegahnya. "Lion, tunggu!" teriak Lusi. Ia menarik paksa tangan Lion, sampai lelaki itu berhenti dan menatapnya."Ya, ada apa?""A--aku menerima tawaranmu!" Lusi mendadak gugup. Tapi, ia tetap menjawabnya. Entah ini kebodohan Lusi atau bukan. Karena nyatanya, Lusi menerima tawaran Lion, padahal dia belum tahu, pekerjaan apa yang harus dilakukannya. "Apa kau yakin? Jika kau menerimanya, kau tidak akan bisa mundur, Lusi!" Lion menahan senyum. Diam-diam, ia mengambil hp dari dalam saku celananyadan menyalakan perekam suara. "Bagaimana, apa kau menerima tawarannya, Lusi? Kau tidak akan bisa mundur setelah ini!" Lion mengatakannya sekali lagi dengan nada tegas. Lantas, Lusi dengan hati yang mantap, menjawab, "Ya, aku menerima tawarannya, Lion."Lion tersenyum puas.Jika semula, dia ingin menemui klien tepat pada pukul dua siang. Sekarang, dia tidak i
Lusi dan Lion dengan cepat kembali ke kediaman Lion.Perjalanan hari itu sungguh panjang dan melelahkan untuk Lusi.Sebab, keduanya harus mengurus visa Lusi."Kenapa kita ke sini, Lion?" bingung, Lusi."Dua hari lagi, aku mau ajak kamu ke rumahku."Deg!"A--apa katamu? Ke rumahmu, Lion? Ke--kenapa?" Lusi menelan ludahnya sendiri. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi."Sekali lagi membantah, kau bisa saja kuusir dari sini, dan kita akan langsung membatalkan perjanjiannya, Lusi!" Lion mengancam Lusi dengan kata-katanya. Lelaki itu telah bersumpah bahwa dia tak akan mau memberikan jaminan apapun jika Lusi memutuskan untuk berhenti. Lusi hanya bisa mengerutkan bibirnya dan pergi.Namun, Lion tak mempermasalahkannya. Pasalnya, dia sedang memikirkan rencana selanjutnya. Drrt!Getaran ponsel membuat Lion sadar ada panggilan untungnya."LION! APA YANG KAU LAKUKAN?""Halo Roger, tumben sekali kau menelponku? Ada apa, Kak?" tanya Lion cepat.Ia sudah mengira jika saudaranya sendiri akan me
Lusi menghela napas. "Terserah apa katamu. Tapi, jika kedua orang tuamu cukup pintar seperti dirimu. Bisa saja mereka melakukan pelacakan dan menyelidiki dari mana aku berasal, dan apa saja kegiatan yang selama ini kulakukan, bukan? Bagaimana jika pada akhirnya, mereka tahu kalo aku hanya sebatas wanita murahan yang selama ini bekerja sebagai pelacur?!"Tangan Lusi mengepal, menahan gemetar membayangkan itu semua."Hsst, diam dan percayakan ini padaku!" Lion menempelkan jemarinya di bibir Lusi. Ia sangat ingin membuat Lusi kembali mempercayainya. Lusi pun menganggukkan kepala. Mereka berdua kini memasuki rumah megah itu tanpa ada rasa gusar ataupun cemas. Meski begitu, sayangnya ketika mereka berada di depan pintu rumah tersebut, keduanya mendapat lemparan daging busuk yang masih segar. "Bagus sekali, pelayan! Terima kasih karena sudah menyambut pewaris utama di keluarga ini dengan baik! Kalian boleh pergi, sekarang!" pekik Ibu Lion dengan tatapan penuh kebencian. "Keterlaluan!
"Lion, kenapa kau tidak menuruti perkataan Ibumu saja daripada harus bersama denganku?" Lusi bertanya dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Lion dengan tatapan ragu. "Jangan mengatakan apapun, Lusi! Aku benar-benar membencinya seumur hidupku! Kau tidak tahu apa yang selama ini sudah kulewati dengannya, kan?! Jika kau mengetahuinya! Kau mungkin akan kecewa, dan tidak bertanya kenapa aku melakukan hal ini!" Lion tersenyum tipis sembari mengendarai mobilnya. Lusi yang duduk di sampingnya, seketika menundukkan kepala. Di satu sisi, Lusi merasa jika dia adalah satu-satunya objek permasalahan untuk saat ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Dia sendiri juga tidak berhak menilai Lion hanya karena permasalahan yang dimiliknya. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Sekarang, kita mau ke mana, Lion?" tanya Lusi berusaha lembut. "Ke rumahku yang lain." "Rumahmu yang lain? Hahaha, yang benar saja? Memangnya, kamu punya berapa rumah sampai kamu bisa pindah seenaknya?" Wanita itu kini m
Lion berusaha keras untuk melintasi jalanan yang lengang. Dia mencari cara agar mobil itu tak lagi mengikutinya. Dan hal itu, tak jarang membuatnya sesekali melintasi jalanan di perkampungan, pasar, bahkan rumah sakit, dan juga mall. Suasana kali itu benar-benar tegang. Namun, Lion memutuskan untuk berhenti di mall. Dengan cepat, dia menyuruh Lusi untuk keluar dari mobil dan berjalan memasuki mall. "Lusi, kita berhenti di sini saja, ya. Ayo kita pergi," ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangan kanannya. Hampir saja lelaki itu membuka pintu mobil, sampai akhirnya, Lusi yang masih waras, menjawab perkataan lelaki itu dengan nada gusar. "Hei, apa kau sudah gila, Lion?! Kau tahu jika badan kita ini busuk, kan?! Apa kau pikir, para penjaga akan memperbolehkan kita memasuki mall, ha?! Yang benar saja!" Lusi berusaha keras menyadarkan Lion akan hal itu. Sampai akhirnya, Lion tertawa lirih. "Akh, payah. Kenapa aku tidak memikirkannya sejak tadi, yah?! Kau benar juga! Baiklah, k
Di bawah cahaya matahari yang menyengat, Devano melempar hp kesayangannya. "Cih, dasar brengsek! Kenapa bajingan itu keras kepala sekali?!" Devano berdecah kesal sembari menatap ke kaca bagian samping. Sementara itu, Roger yang berada di sampingnya tersenyum sinis, spontan mengancam. "Bagaimana, Devano?! Apa kau tahu di mana keberadaan Lion? Aku tidak mau tahu, ya! Si brengsek itu harus segera ditemukan! Kalo kamu nggak berhasil melakukannya! Kau tahu hal buruk apa yang akan terjadi padamu, kan? Aku tidak segan-segan membatalkan semua kontrak kerja sama yang selama ini kita jalin, Devano!" "Kau pikir aku takut, Roger?!" Devano menatapnya dengan tatapan sinis. "Apa maksudmu, hah?!" Roger membalasnya sambil menggigit bibir bawahnya tatkala ia ketakutan. "Jangan pura-pura tidak tahu, Roger! Aku tahu jika kamu memainkan kecurangan di perusahaan milikmu sendiri! Dan jika kedua orang tuamu tahu! Aku yakin, mereka tidak akan pernah menganggap mu sebagai anaknya lagi! Apa kam
Lion berusaha keras untuk melintasi jalanan yang lengang. Dia mencari cara agar mobil itu tak lagi mengikutinya. Dan hal itu, tak jarang membuatnya sesekali melintasi jalanan di perkampungan, pasar, bahkan rumah sakit, dan juga mall. Suasana kali itu benar-benar tegang. Namun, Lion memutuskan untuk berhenti di mall. Dengan cepat, dia menyuruh Lusi untuk keluar dari mobil dan berjalan memasuki mall. "Lusi, kita berhenti di sini saja, ya. Ayo kita pergi," ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangan kanannya. Hampir saja lelaki itu membuka pintu mobil, sampai akhirnya, Lusi yang masih waras, menjawab perkataan lelaki itu dengan nada gusar. "Hei, apa kau sudah gila, Lion?! Kau tahu jika badan kita ini busuk, kan?! Apa kau pikir, para penjaga akan memperbolehkan kita memasuki mall, ha?! Yang benar saja!" Lusi berusaha keras menyadarkan Lion akan hal itu. Sampai akhirnya, Lion tertawa lirih. "Akh, payah. Kenapa aku tidak memikirkannya sejak tadi, yah?! Kau benar juga! Baiklah, k
"Lion, kenapa kau tidak menuruti perkataan Ibumu saja daripada harus bersama denganku?" Lusi bertanya dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Lion dengan tatapan ragu. "Jangan mengatakan apapun, Lusi! Aku benar-benar membencinya seumur hidupku! Kau tidak tahu apa yang selama ini sudah kulewati dengannya, kan?! Jika kau mengetahuinya! Kau mungkin akan kecewa, dan tidak bertanya kenapa aku melakukan hal ini!" Lion tersenyum tipis sembari mengendarai mobilnya. Lusi yang duduk di sampingnya, seketika menundukkan kepala. Di satu sisi, Lusi merasa jika dia adalah satu-satunya objek permasalahan untuk saat ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Dia sendiri juga tidak berhak menilai Lion hanya karena permasalahan yang dimiliknya. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Sekarang, kita mau ke mana, Lion?" tanya Lusi berusaha lembut. "Ke rumahku yang lain." "Rumahmu yang lain? Hahaha, yang benar saja? Memangnya, kamu punya berapa rumah sampai kamu bisa pindah seenaknya?" Wanita itu kini m
Lusi menghela napas. "Terserah apa katamu. Tapi, jika kedua orang tuamu cukup pintar seperti dirimu. Bisa saja mereka melakukan pelacakan dan menyelidiki dari mana aku berasal, dan apa saja kegiatan yang selama ini kulakukan, bukan? Bagaimana jika pada akhirnya, mereka tahu kalo aku hanya sebatas wanita murahan yang selama ini bekerja sebagai pelacur?!"Tangan Lusi mengepal, menahan gemetar membayangkan itu semua."Hsst, diam dan percayakan ini padaku!" Lion menempelkan jemarinya di bibir Lusi. Ia sangat ingin membuat Lusi kembali mempercayainya. Lusi pun menganggukkan kepala. Mereka berdua kini memasuki rumah megah itu tanpa ada rasa gusar ataupun cemas. Meski begitu, sayangnya ketika mereka berada di depan pintu rumah tersebut, keduanya mendapat lemparan daging busuk yang masih segar. "Bagus sekali, pelayan! Terima kasih karena sudah menyambut pewaris utama di keluarga ini dengan baik! Kalian boleh pergi, sekarang!" pekik Ibu Lion dengan tatapan penuh kebencian. "Keterlaluan!
Lusi dan Lion dengan cepat kembali ke kediaman Lion.Perjalanan hari itu sungguh panjang dan melelahkan untuk Lusi.Sebab, keduanya harus mengurus visa Lusi."Kenapa kita ke sini, Lion?" bingung, Lusi."Dua hari lagi, aku mau ajak kamu ke rumahku."Deg!"A--apa katamu? Ke rumahmu, Lion? Ke--kenapa?" Lusi menelan ludahnya sendiri. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi."Sekali lagi membantah, kau bisa saja kuusir dari sini, dan kita akan langsung membatalkan perjanjiannya, Lusi!" Lion mengancam Lusi dengan kata-katanya. Lelaki itu telah bersumpah bahwa dia tak akan mau memberikan jaminan apapun jika Lusi memutuskan untuk berhenti. Lusi hanya bisa mengerutkan bibirnya dan pergi.Namun, Lion tak mempermasalahkannya. Pasalnya, dia sedang memikirkan rencana selanjutnya. Drrt!Getaran ponsel membuat Lion sadar ada panggilan untungnya."LION! APA YANG KAU LAKUKAN?""Halo Roger, tumben sekali kau menelponku? Ada apa, Kak?" tanya Lion cepat.Ia sudah mengira jika saudaranya sendiri akan me
Langkah Lusi terhenti.Tubuhnya kembali gemetar ketika Lion mengatakan perihal kematian.Alhasil, ketika Lion pergi, Lusi langsung mencegahnya. "Lion, tunggu!" teriak Lusi. Ia menarik paksa tangan Lion, sampai lelaki itu berhenti dan menatapnya."Ya, ada apa?""A--aku menerima tawaranmu!" Lusi mendadak gugup. Tapi, ia tetap menjawabnya. Entah ini kebodohan Lusi atau bukan. Karena nyatanya, Lusi menerima tawaran Lion, padahal dia belum tahu, pekerjaan apa yang harus dilakukannya. "Apa kau yakin? Jika kau menerimanya, kau tidak akan bisa mundur, Lusi!" Lion menahan senyum. Diam-diam, ia mengambil hp dari dalam saku celananyadan menyalakan perekam suara. "Bagaimana, apa kau menerima tawarannya, Lusi? Kau tidak akan bisa mundur setelah ini!" Lion mengatakannya sekali lagi dengan nada tegas. Lantas, Lusi dengan hati yang mantap, menjawab, "Ya, aku menerima tawarannya, Lion."Lion tersenyum puas.Jika semula, dia ingin menemui klien tepat pada pukul dua siang. Sekarang, dia tidak i
"Gimana? Kamu udah dapet uang, kan?! Sekarang, kasihkan uang itu ke aku!" Setelah dihina habis-habisan, Lusi justru disambut bentakan Putra, sang paman.Tanpa malu, lelaki tua itu mengulurkan tangan kanannya ke arah Lusi. Tentu saja hal itu membuat Lusi marah tak karuan. Dia sudah hancur dan tak akan membiarkannya lebih hancur lagi.Lusi tidak akan sudi memberikan uang itu kepada Pamannya! "Maaf, Paman. Aku sudah menggunakan uang itu untuk membeli barang-barang keperluan rumah," Lusi terpaksa berbohong. Ia membalas perkataan Pamannya dengan nada tegas. Tapi, Paman Lusi lebih cerdas daripada gadis itu. Ia tahu jika Lusi berbohong. "Kamu pikir, aku bodoh, Lusi? Kalo kamu udah beli bahan-bahan keperluan rumah! Harusnya, persediaan di rumah ini bisa Paman lihat di tempatnya masing-masing! Tapi, kenyataannya nggak gitu, kan? Semuanya masih kosong, Lusi! Berikan uangnya sekarang!" Paman Lusi mencengkeram tangan kanannya. "Tapi! Aku juga butuh uangnya buat kebutuhanku sendiri! Kalo
"Nona Mirna! Tolong! Lepaskan aku dari sini!" Lusi berteriak sebisa mungkin untuk meminta pertolongan.Selama ini, dia tidak pernah pacaran. Menyentuh laki-laki saja dia tidak berani. Tapi, malam ini dia mendadak harus memberikan keperawanannya kepada seorang lelaki tak dikenal setelah sang paman yang selama ini merawat Lusi---tega menjual dirinya ke Madam Mirna?Lusi jelas ketakutan.Sayangnya, upayanya itu tak menghasilkan apapun.Tak ada pertolongan dari luar untuknya."Mau sampai kapan Kau begitu?"Deg!Suara bariton dari belakang membuat Lusi terkesiap. Dengan wajah berlinang air mata, ia lantas menatap "klien pertamanya" itu."Izinkan aku keluar, Tuan. Aku mohon!" mohonnya.Sayangnya, Lusi tak sadar bahwa tangisannya itu justru membuat sesuatu dalam diri Lion bangkit.Tanpa basa-basi, pria yang tengah di bawah pengaruh alkohol itu, langsung mendorong tubuhnya ke dinding bagian belakang. "Akh...." Lusi mengerang kesakitan. Meski begitu, dia masih berusaha kabur. Hal ini