"P ... Pak Izyan?!!!" Pekik Najma yang sedang duduk, spontan berdiri tatkala melihat siapa yang datang ke rumah ini.
"Yang sopan Najma. Jangan teriak-teriak." Bisik Bu Laras sembari sedikit menutup mulut putrinya. Lalu berusaha membuat Najma duduk kembali. Terlalu terkejut dengan siapa yang datang mengajak berkenalan lebih ke jenjang serius. Kedua mata Najma sampai terbelalak serta mulutnya melongo. Tubuhnya pun menjadi menegang. Menelan saliva dalam-dalam, lalu menyandarkan punggung ke sofa "Minum dulu. Kamu mau pingsan." Bukan Bu Laras yang menuangkaan air mineral ke dalam gelas. Melainkan Izyan lah yang tiba-tiba melakukan hal demikian sembari berjongkok di depan Najma. "Ayo diminum," ujarnya sekali lagi dengan suara lembut. Tangan Najma yang bergetar pun menerima gelas berisikan air mineral tersebut. Meminum tiga tegukan lalu meletakan ke atas meja. Sedangkan, Izyan sudah berada di tempat duduknya semula. "Perjalanan ke sini membutuhkan waktu berapa menit atau jam Yan??" tanya Bu Laras memulai obrolan. "Sekitar tiga puluh menitan Bu," jawab Izyan. Bu Laras menanggapi ini dengan anggukan kepala. "Sebenarnya, kalian tidak usah berkenalan lebih dalam lagi. Karena, kalian sering bertemu di kampus. Izyan juga kadang ke sini kan?? Jadi, kalian jadi sering bertemu ...," ucap Bu Laras sembari mengelus kepala belakang putrinya yang terbalut jilbab instan. Najma menoleh lalu bergumam, "Kenapa harus kutu buku banget bu ...." "Ha kenapa?? Kutu buku??" Bu Laras yang mendengar penuturan lirih putrinya pun memperkeras suara. "Memangnya kenapa kalau saya kutu buku?? Saya kan mencintai ilmu," sahut Izyan dengan rasa percaya dirinya yang tinggi. Najma menghela napasnya. Terlintas di pikiran tentang masa depan hidupnya jika hidup bersama Izyan. Lalu membatin. Ya nggak apa-apa sih sebenarnya. Toh juga dia pengusaha kertas yang punya banyak uang. Ah, nanti aku bisa jalan-jalan sepuasnya. Meskipun aku yakin. Dia sangat sulit diajak berpergian. Tapi tak masalah. Aku bisa berpergian sendiri. Boleh juga lah. Wajahnya juga nggak jelek-jelek amat. Menikah nggak usah berlandaskan cinta. Karena, modal cinta nggak bisa buat kebutuhan hidupku terpenuhi. "Oke boleh .... Terpenting ...." Najma menggantung ucapan. "Ya??" Sebelah alis Izyan terangkat. "Setelah menikah, Anda masih memperbolehkan saya berkarir dan menjelajahi alam!" "Of course," jawab Izyan dengan senang hati. "Hm, Najma ini. Bilang begitu kayak orang mau nikah aja. Padahal, Izyan ke sini niatnya cuman mau main doang loh ....." Bu Laras tertawa kecil menanggapi hal ini. "Lah tadi Ibu bilang, Pak eh Mas Izyan ke sini karena punya niat serius??" Heran Najma. "Ya nggak apa-apa kok Bu. Artinya, Najma mau sama saya hehe ...." Izyan tersenyum lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Mas Izyan, siapa sih yang nggak mau sama kamu. Kamu masih muda, mapan, pinter, sukses, ya tentu Najma mau banget sama kamu. Karena ya, kamu sesuai lah kriterianya!" Bu Laras menimpali. "Ibu apa-apaan sih, aku malu lah." Kesal Najma sembari memukul pelan paha ibunya. Izyan menanggapi ini dengan senyuman tipis serta tatapan yang sesekali memandang calon istrinya. "Saya mau tanya. Kok bisa-bisanya, Anda tiba-tiba datang dan bilang mau serius sama saya?? Heran! Padahal, sebelumnya. Meskipun Anda seorang Dosen Sastra, saya mahasiswa Ilmu Komunikasi. Kita tak pernah bercakap-cakap dan berkomunikasi loh?? Kok bisa-bisanya tiba-tiba ke sini??" Najma mengajukan pertanyaan. "Najma. Saya sebenarnya telah menaruh perasaan padamu sejak lama. Yakni, sejak kamu masuk kuliah. Saya awalnya sangat suka melihat matamu, mendengarkanmu berbicara, serta caramu menjadi Najma dalam versi terbaik dalam dirimu. Saya sangat menyukai segala hal tentangmu. Saya terpesona dengan kecerdasanmu dalam berucap. Putri Pak Rektor yang sangat membuat hati saya berbunga-bunga." Ungkap Izyan. Mendengar penuturan jujurnya, membuat Najma bingung sendiri. Karena, ia rasa, sewaktu menjadi mahasiswa hanya ada satu dua tiga yang mendekati. Itu pun, lama-lama mundur. Karena, lelaki yang mendekatinya tidak suka Najma yang banyak berbicara dan selalu mengajak berdiskusi. Najma pikir, telah menjadi perempuan yang buruk rupa yang tak menarik bagi lelaki. Sehingga, ia memaksimalkan potensi sekaligus kecerdasan otak untuk menambal kekurangannya yang merasa kurang unggul dalam kecantikan fisik. Tapi pada kenyataan sewaktu menjadi mahasiswa?? Sangat jarang lelaki yang benar-benar mendekati. Sebenarnya, itu tak terlalu menjadi masalah baginya. Selagi bisa menikmati hidupnya. "Bagaimana bisa Anda tertarik pada saya?? Padahal, saya rasa, saya menjadi perempuan biasa-biasa saja dalam segi fisik??" tanya Najma. "Kata siapa kamu biasa-biasa saja dalam segi fisik, Najma?? You are very pretty. Kamu cantik akal dan fisik. Sepertinya, kamu harus banyak baca buku tentang self love deh." Izyan menimpali dengan memberikan saran. "Tapi kenapa tak banyak lelaki yang mendekati saya?? Bukankah jika saya cantik, banyak lelaki yang mendekati??" Izyan tertawa kecil mendengar hal ini. "Jarang-jarang lelaki yang berani mendekati Putri Pak Rektor yang cantik, cerdas, ambis, IPK 3,89?? Kamu terlalu tinggi bagi lelaki yang belum jadi apa-apa. Teman kampusmu takut mendekatimu. Khawatir tak bisa mengimbangimu. Sehingga, bisa membuat sisi maskulin mereka terancam." "Kok bisa ya?? Pak Izyan menyimpulkan seperti itu?? Padahal kan, saya juga tak pernah memiliki pemikiran seperti itu??" Heran Najma. "Mas Izyan itu Dosen Sastra, sekaligus seorang pengusaha. Pengetahuannya luas. Melebihi dirimu. Sehingga bisa mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Sambung Bu Laras. "Baru sadar ternyata aku seperti itu." Gumam Najma. "Jadi, selama ini kau memandang dirimu sendiri bagaimana, Najma??" tanya Izyan. "Saya hanya seorang Reporter berita biasa Pak." "Kamu di mata saya luar biasa." Najma yang tak pernah digombali lelaki mendengar hal ini tentu membuatnya bergidik ngeri. "Emang kalau nguasain Sastra jadi tukang gombal ya Pak??" "Ya boleh jadi." Najma memutar-mutar bola matanya. "Kok bisa, Anda suka sama saya?? Padahal, masih banyak perempuan yang lebih baik dari saya?? Heran." "Kamu tak sadar bahwa kamu adalah perempuan yang sangat-sangat berharga?" "Masa sih??" Najma yang belum sepenuhnya percaya dengan ucapan Izyan pun, masih bertanya-tanya. Izyan tak berucap apa-apa lagi. Justru, ia berpamitan. "Ya sudah saya pamit pulang dulu ya Bu, Naj. Karena, saya harus mengecek tugas mahasiswa. Saya ke sini niatnya bertamu sekaligus mengutarakan niat baik. Yakni memberitahukan perasaan yang sangat senang jika diterima dengan baik. Saya lusa In syaa Allah akan datang ke sini lagi. Saya pamit pulang dulu, Bu dan Najma. Assalamualaikum." Izyan lalu berdiri dari duduknya "Wa'alaikumussalam ...," jawab Najma dan Bu Laras serempak. Lalu mengantarkan Izyan ke depan rumah. Setelah kepergiannya, tiba-tiba Najma nyeletuk. "Kok tiba-tiba aku ngerasa pas sama Pak Izyan ya bu??? Padahal, dulu kami hanya sebatas mahasiswa dan Dosen yang sangat jarang berinteraksi?" "Ibu doakan semoga dia jodoh dunia akhiratmu." "Hm .... Emang boleh?? Se sat-set ini???" "Najma. Jodoh itu misteri. Alangkah baiknya, kamu minta petunjuk sama Allah lewat sholat istikharah ya Nak ...." "Iya bu. Tapi, aku masih heran loh Bu. Bisa-bisanya Pak Izyan datang ke sini. Duduk hanya selama beberapa menit saja. Lalu, bilang menaruh perasaan padaku?? Memangnya dia tidak grogi ya Bu??" "Kamu tahu Nak. Setelah kamu lulus kuliah. Sebenarnya, dia sering menanyakan kabarmu lewat Ayah loh Nak. Udah punya calon apa belum. Gimana pekerjaanmu. Ayah sering cerita hal ini pada Ibu. Tapi, Ibu baru bilang sekarang." "Masa sih??" "Betul. Dia lelaki baik dan punya niat baik padamu. Serta, ia juga masuk ke dalam kriteriamu bukan? Tapi sayangnya, ibu lihat-lihat. Kamu belum siap berumah tangga ya??" Najma mengangkat bahunya. "Entah lah bu. Aku mau siap-siap berangkat kerja dulu!" Lalu pergi dari hadapan ibunya. Melihat putrinya yang masih memiliki jiwa petualang sekaligus muda berkelana, Bu Laras menanggapi ini dengan gelengan kepala.Beberapa jam sebelumnya .... "Nak, ada yang punya niat serius sama kamu. Dia seorang lelaki matang pengusaha kertas. Dia lelaki baik-baik loh Nak. Kata Ayah, dia kenal kamu udah lama dan sudah memiliki perasaan padamu sejak dulu." Ketika Najma sedang memainkan tabnya. Untuk melihat-lihat tempat wisata yang esok hari rencananya untuk dikunjungi. Tiba-tiba mendengar Bu Laras berkata demikian. Hal ini tentu membuatnya menoleh. Sebelah alis Najma terangkat. "Nikah??" "Keputusan itu terserahmu. Mau nikah atau tidak, urusan nanti. Sekarang niat baiknya ingin berkenalan denganmu." "Duitnya banyak Bu??" Satu pertanyaan yang berhasil membuat Bu Laras menggelengkan kepalanya, heran. Lalu mendengus kesal. "Kau ini bahasnya hanya uang, uang, dan uang terus." "Memangnya kenapa Bu?? Hidup kan butuh uang. Dari ujung kepala sampai ujung rambutku, penuh full perawatan. Skincare, bocycare, treatment dan segala macam. Masa mau nerima lelaki yang nggak ada duit?? Aku aja full effort untuk d
Berani mencintai artinya harus berani menanggung resiko. Termasuk, resiko menerima baik buruk yang ada. Izyan sudah memikirkan sekaligus menimbang-nimbang resikonya jika kelak memiliki pasangan hidup yang suka menghamburkan uang untuk membeli barang-barang tidak penting. Tentu, kemungkinan besar. Pengelolaan keuangan keluarga mereka akan kacau. Namun, semuanya sudah terlanjur terjadi. Izyan sudah mengutarakan niat baik sekaligus perasaan yang selama bertahun-tahun ini dipendam. Perasaan yang datang berawal dari rasa kagum. Sebenarnya, Izyan bisa saja memilih wanita lain. Namun, hanya Najma yang berhasil membuatnya memendam rasa cinta selama bertahun-tahun. Serta bisa bertahan sampai detik ini. Ia tak bisa terus menerus memikirkan Najma. Karena, detik ini harus fokus pada pekerjaan yang sedang digeluti. Yakni, menjadi seorang Dosen bagi para mahasiswa-mahasiswa Sastra Bahasa Indonesia. Banyak tugas yang para mahasiswa yang disetorkan. Bahkan, ada yang mengirimkan skripsi untuk bimb
"Bismillah." Izyan melangkahkan kaki menuju ke pintu besar rumah lantai dua ini. Memencet bel, lalu mengucapkan salam. Terdengar jawaban atas salam yang Izyan ucapkan. Lalu, terbukalah pintu. Memperlihatkan wanita paruh baya berjilbab, tersenyum ke arahnya lalu mempersilahkan masuk. Dengan senang hati, Izyan pun masuk serta duduk di sofa ruang tamu. Beberapa menit kemudian, lelaki paruh baya berpawakan tinggi duduk menemaninya. Lelaki yang menjadi kepala keluarga di rumah ini, menyambut Izyan dengan sangat baik. Diawali obrolan hangat, diiringi candaan kecil ditemani cangkir kopi. "Kamu pasti bertanya-tanya ya?? Najma di mana ya??" Tebak Pak Thariq, Ayah Najma sembari menyipitkan mata. "Hehe .... Betul Pak ...," sahut Izyan sedikit menganggukan kepala. "Dia baru pulang kerja tadi. Masih di kamar, lagi istirahat." "Waduh. Berarti kedatangan saya di sini menganggu waktu istirahat Najma ya Pak?? Kalau gitu, saya lebih baik pamit pulang saja ...." Ketika Izyan akan berdiri t
Menjalani pekerjaan menjadi seorang Reporter yang dituntut untuk menulis, menganalisis, dan melaporkan suatu peristiwa kepada khalayak melalui media massa secara teratur. Tentu, berita yang harus disampaikan diharuskan akurat dan terpercaya. Memilih pekerjaan untuk terjun langsung ke tempat kejadian. Keputusan ini adalah pilihan terbaik menurut Najma. Karena, lelahnya membuat bahagia bisa bertemu dengan orang serta pengalaman baru. Tak hanya itu. Ia juga bisa berjalan-jalan ke berbagai daerah untuk mencari berita terkini yang akurat. Meskipun dituntut menjadi pekerja yang bisa menyajikan berita fakta sesungguhnya. Teliti, aktif serta harus menggunakan berbagai teknik. Yakni riset, wawancara, observasi, pencarian data. Bergulat dengan banyak hal tersebut setiap hari membuatnya harus ekstra konsentrasi. Najma senang berbicara. Jadi, menjadi Reporter adalah pekerjaan yang terbaik menurutnya. Meskipun tak bisa berdusta. Jika ia merasakan lelah luar biasa. Karena, hampir setiap hari
Ibu serta adik Izyan memang menentang keras rencana pernikahannya dengan Najma. Namun, ia tak memedulikan soal itu. Karena, Izyan berfikir bahwa ia berhak membangun rumah tangga dengan seorang wanita idaman. Wanita yang selama ini didoakan sekaligus diperjuangkan dalam diam. Wanita yang namanya selalu diselipkan ketika berdoa. Izyan tentu sungguh bahagia sekaligus bersyukur. Ketika lamarannya diterima oleh Najma. Maka, ia tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Meskipun pada kenyataannya tahu dan paham. Ibu dan adiknya membenci hal itu. Agar Najma merasa kehadirannya diharapkan keluarga Izyan. Meskipun Izyan sengaja tak memperkenalkannya pada ibu sambung serta adiknya. Namun, Izyan mengajak Najma pergi ke rumah Paman Bibi dari jalur ibu kandung. Kedatangan Najma disambut dengan sangat baik. Mereka juga mengobrol banyak hal. Najma yang pandai menyesuaikan diri dimanapun tempatnya. Membuat Izyan semakin yakin untuk menikahinya. Setiap hal yang Najma lakukan selalu membuat
Pernikahan yang diselenggarakan tanpa kedatangan ibu, serta adik Izyan. Pernikahan yang diniatkan untuk beribadah, dilangsungkan begitu sakral. Segala persiapan berupa seserahan, maskawin, dan biaya resepsi yang ditanggung dua pihak, Izyan urus dengan sedikit bantuan Paman dan Bibinya. Meskipun Izyan sudah mengundang dengan perkataan yang sopan kepada ibu sambung sekaligus adiknya. Namun, justru tak ditanggapi sama sekali. Tak segan untuk menunjukan lirikan tajam tak suka. Izyan sudah terbiasa menanggapi mereka yang selalu merasa benar dan paling bijak. Hati serta mentalnya, sudah kebal dengan ini semua. Setelah melangsungkan akad nikah, dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Banyak orang bersuka ria atas kebahagiaan sekaligus pernikahan yang Izyan dan Najma langsungkan. Selama berjam-jam berada di samping wanita yang dicintainya, membuat degup jantung Izyan berpacu lebih cepat dari biasanya. Bahkan, ketika ia sangat diperbolehkan untuk memandangi Najma sepuas mungkin, Izyan tak l
Malam pertama bagi seorang pengantin adalah malam membahagiakan sekaligus yang ditunggu-tunggu. Namun, berbeda dengan Izyan yang takut dengan malam ini. Terbilang sebelumnya, tak pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun. Tapi, bukan berarti tak pernah jatuh cinta pada perempuan sebelum Najma. Berada di kamar yang menurutnya begitu asing. Yakni, kamar bercat warna biru tosca. Dengan nuansa ramai. Tak banyak tumpukan buku di sini. Tak seperti kamar Izyan yang hampir dipenuhi buku. Kamar Najma banyak berjajar produk perawatan tubuh dan wajah. Berbagai pernak-pernik, juga menempati. Sudah seperti toko saja. Aroma kamar ini begitu segar dan wangi. Yakni, berasal dari reed diffuser ocean yang terpasang di meja kerja. Izyan melepaskan kaca mata. Seketika, membuat pandangan ke sekeliling blur. Ia duduk di sofa dekat kaca. Menyelonjorkan kaki, lalu memejamkan mata. Selama hampir seharian berdiri berada di panggung pernikahan, tentu membuatnya kelelahan bukan main. "Mas Izyan suka
"Jib, ada flashdisk kosong nggak?" tanya Najma pada adik lelakinya. Najib menjawab, "Nggak ada Mbak. Mau buat apa sih?" "Ini loh, mau buat nyimpen file berita. Flashdiskku udah nggak muat lagi. Belum beli. Males keluar rumah." "Tanya Mas Izyan coba." Najib memberikan solusi. "Ya Mbak tanya sama kamu dulu. Kan kamu anak TKJ, jadi ya barangkali punya stok." Najib menggelengkan kepalanya.. "Ya elah Mbak. Ngapain coba, punya stok flashdisk." "Hm, okey." Najma pun kembali menaiki tangga. Memasuki kamar, tak ada Izyan di dalam. "Mas." "Mas Izyan." Panggil Najma dengan suara sedikit tinggi sembari berjalan menyusuri rumah. "Mas Izyan!!!" "Mas!! Where are you?" Najma terus memanggil-manggil namanya. Namun, tak ada sahutan. Kesal dengan hal ini, ia pun mendengus kesal. "Okey. Lebih baik aku keluar rumah sendiri beli flashdisk." Ketika Najma akan berbalik badan, tiba-tiba ia menubruk seorang lelaki yang sedang berdiri sembari tersenyum. "Mas Izyan!" Kesal Najma yang