Beberapa jam sebelumnya ....
"Nak, ada yang punya niat serius sama kamu. Dia seorang lelaki matang pengusaha kertas. Dia lelaki baik-baik loh Nak. Kata Ayah, dia kenal kamu udah lama dan sudah memiliki perasaan padamu sejak dulu." Ketika Najma sedang memainkan tabnya. Untuk melihat-lihat tempat wisata yang esok hari rencananya untuk dikunjungi. Tiba-tiba mendengar Bu Laras berkata demikian. Hal ini tentu membuatnya menoleh. Sebelah alis Najma terangkat. "Nikah??" "Keputusan itu terserahmu. Mau nikah atau tidak, urusan nanti. Sekarang niat baiknya ingin berkenalan denganmu." "Duitnya banyak Bu??" Satu pertanyaan yang berhasil membuat Bu Laras menggelengkan kepalanya, heran. Lalu mendengus kesal. "Kau ini bahasnya hanya uang, uang, dan uang terus." "Memangnya kenapa Bu?? Hidup kan butuh uang. Dari ujung kepala sampai ujung rambutku, penuh full perawatan. Skincare, bocycare, treatment dan segala macam. Masa mau nerima lelaki yang nggak ada duit?? Aku aja full effort untuk diriku sendiri. Ya harus cari yang setara dong Bu. Yang nggak nganggep kebutuhan untuk tubuhku pemborosan," jawab Najma penuh bangga. "Hm, anak Ibu udah besar ya! Udah bisa bicara banyak! Mentang-mentang jadi Reporter jadi suka bicara!" Bu Laras menjitak kepala Najma. Namun, dengan jitakan yang pelan. "Ih ibu. Namanya juga hidup yang harus menyesuaikan diri lah. Nggak ada salahnya kok Ibu ...." "Ya udah. Nanti siang, mumpung kamu lagi libur. Ketemuan ya, sama dia. Ibu hubungin dia dulu," ujar Bu Laras sembari senyum-senyum sendiri lalu mengambil ponsel. Untuk menghubungi lelaki yang akan menjadi bakal menantunya. "Ih ibu apa-apaan sih. Gercep banget ngehubungin. Lah wong aku lagi milih-milih tempat glamping kok." Najma kembali menatap layar tab yang berada di tangannya. Bu Laras menepuk bahu putri sulungnya. "Tapi setelah ibu pikir-pikir kamu belum siap menikah ...." Najma menghela napasnya. "Tadi ibu yang nawarin kok sekarang ngeraguin aku? Bu, terpenting. Dia bukan lelaki patriarki, pelit, gila wanita dan suka ngerokok. Aku yang suka traveling ke alam-alam nggak suka asap rokok!" Bu Laras tersenyum. "Tenang. Semua tipe lelaki idamanmu ada di dirinya. "Mau ketemuan di mana??" "Di rumah. Dia mau main ke sini. Ibu nggak mau biarin kalian berdua-duaan sebelum menikah." "Hm, terserah deh. Yang penting, lelaki itu nggak masuk kategori yang kusebutkan tadi. Kalau ada salah satu faktor, udah deh. Aku cut off!" "Oke ...." Bu Laras yang sangat suka meneliti kamar sekaligus barang-barang putrinya pun, tiba-tiba tertuju ke arah album foto dengan background aesthetic. Berdiri mengambil barang tersebut. Lalu membuka satu persatu foto yang disimpan. Pada lembar pertama, tertulis nama Mazaya Najma binti Thariq Farhan. Album tersebut berisi foto-foto Najma bersama rekan kerja sekaligus teman-temannya yang berada di tempat mereka bekerja serta tempat wisata. Di foto tersebut, Najma selalu tersenyum sangat lebar. Menandakan ia sangat bahagia menjalani kehidupan masa muda. Bu Lastri tersenyum ke arah putrinya yang tatapannya masih sangat fokus tertuju ke arah layar tab. Kedua alisnya hampir tertaut. Jika sedang fokus pada tujuannya. Yakni berlibur, sudah sangat teliti dalam mencari-cari lokasi yang pas. "Apa sih Ibu ngeliatin aku mulu." Gumam Najma dengan tatapan masih fokus ke arah layar. "Ibu cuman heran sama kamu. Gaji kamu selama ini kenapa dihabiskan hanya untuk belanja, perawatan, sama liburan?? Kamu nggak punya tabungan sepeserpun pun berarti??" Najma menggelengkan kepalanya. "Enggak bu. Aku capek-capek kerja masa duitku cuman jadi penghuni rekening. Enggak banget deh kalau didiemin mulu." "Perempuan susah diatur sepertimu memang seharusnya belum menikah! Dasar perempuan yang tak bisa memanejemen uang. Kalau saja lelaki itu tak memintamu duluan dengan ngeyel dari Ayah. Meskipun Ayah sudah menceritakan tabiat burukmu padanya. Tapi, dia masih tetap menginginkanmu. Ibu masih belum ijinkan kamu diseriusin lelaki! Tapi, berhubung dia lelaki dewasa, semoga bisa membimbing sekaligus mengarahkanmu." Najma mematikan tabnya. Lalu mencharger di atas nakas. Menghadapkan seluruh tubuhnya ke arah wanita yang selama 24 tahun ini telah merawatnya. "Ibu, aku sebenarnya juga belum siap nikah. Tapi, terbilang lelaki yang ibu ceritakan masuk ke dalam kriteriaku. Ya udah, okein aja. Kesempatan tidak datang dua kali. Hidup ini jangan terlalu buat fokus. Yang fokus cuman ketika lagi kerja aja." Najma menyipitkan matanya. "Ngomong-ngomong. Tabiat burukku apa yang Ayah ceritakan pada dia??" "Tabiat buruk tukang belanja, menghamburkan uang serta membela barang-barang yang tak dibutuhkan! Ibu udah capek nasehatin kamu agar jadi perempuan hemat dan bisa mengatur keuangan. Ya sudahlah. Terserah kamu! Karena, baik buruknya kamu akan menanggung resikonya!" Bu Laras yang merasa kesal dengan putri sulungnya pun melangkah keluar kamar Najma. Setelah kepergian ibunya, Najma merebahkan tubuh di atas kasur bigsize. Membolak-balikan tubuhnya kesana kemari. Ia tak terlalu memedulikan omongan Sang Ibu yang akan mempertemukan dengan lelaki yang mencintainya sejak lama dan menginginkan untuk menikahi. Namun, lebih memikirkan baju apa yang akan dipakainya sewaktu gampling nanti bersama teman-teman.Berani mencintai artinya harus berani menanggung resiko. Termasuk, resiko menerima baik buruk yang ada. Izyan sudah memikirkan sekaligus menimbang-nimbang resikonya jika kelak memiliki pasangan hidup yang suka menghamburkan uang untuk membeli barang-barang tidak penting. Tentu, kemungkinan besar. Pengelolaan keuangan keluarga mereka akan kacau. Namun, semuanya sudah terlanjur terjadi. Izyan sudah mengutarakan niat baik sekaligus perasaan yang selama bertahun-tahun ini dipendam. Perasaan yang datang berawal dari rasa kagum. Sebenarnya, Izyan bisa saja memilih wanita lain. Namun, hanya Najma yang berhasil membuatnya memendam rasa cinta selama bertahun-tahun. Serta bisa bertahan sampai detik ini. Ia tak bisa terus menerus memikirkan Najma. Karena, detik ini harus fokus pada pekerjaan yang sedang digeluti. Yakni, menjadi seorang Dosen bagi para mahasiswa-mahasiswa Sastra Bahasa Indonesia. Banyak tugas yang para mahasiswa yang disetorkan. Bahkan, ada yang mengirimkan skripsi untuk bimb
"Bismillah." Izyan melangkahkan kaki menuju ke pintu besar rumah lantai dua ini. Memencet bel, lalu mengucapkan salam. Terdengar jawaban atas salam yang Izyan ucapkan. Lalu, terbukalah pintu. Memperlihatkan wanita paruh baya berjilbab, tersenyum ke arahnya lalu mempersilahkan masuk. Dengan senang hati, Izyan pun masuk serta duduk di sofa ruang tamu. Beberapa menit kemudian, lelaki paruh baya berpawakan tinggi duduk menemaninya. Lelaki yang menjadi kepala keluarga di rumah ini, menyambut Izyan dengan sangat baik. Diawali obrolan hangat, diiringi candaan kecil ditemani cangkir kopi. "Kamu pasti bertanya-tanya ya?? Najma di mana ya??" Tebak Pak Thariq, Ayah Najma sembari menyipitkan mata. "Hehe .... Betul Pak ...," sahut Izyan sedikit menganggukan kepala. "Dia baru pulang kerja tadi. Masih di kamar, lagi istirahat." "Waduh. Berarti kedatangan saya di sini menganggu waktu istirahat Najma ya Pak?? Kalau gitu, saya lebih baik pamit pulang saja ...." Ketika Izyan akan berdiri t
Menjalani pekerjaan menjadi seorang Reporter yang dituntut untuk menulis, menganalisis, dan melaporkan suatu peristiwa kepada khalayak melalui media massa secara teratur. Tentu, berita yang harus disampaikan diharuskan akurat dan terpercaya. Memilih pekerjaan untuk terjun langsung ke tempat kejadian. Keputusan ini adalah pilihan terbaik menurut Najma. Karena, lelahnya membuat bahagia bisa bertemu dengan orang serta pengalaman baru. Tak hanya itu. Ia juga bisa berjalan-jalan ke berbagai daerah untuk mencari berita terkini yang akurat. Meskipun dituntut menjadi pekerja yang bisa menyajikan berita fakta sesungguhnya. Teliti, aktif serta harus menggunakan berbagai teknik. Yakni riset, wawancara, observasi, pencarian data. Bergulat dengan banyak hal tersebut setiap hari membuatnya harus ekstra konsentrasi. Najma senang berbicara. Jadi, menjadi Reporter adalah pekerjaan yang terbaik menurutnya. Meskipun tak bisa berdusta. Jika ia merasakan lelah luar biasa. Karena, hampir setiap hari
Ibu serta adik Izyan memang menentang keras rencana pernikahannya dengan Najma. Namun, ia tak memedulikan soal itu. Karena, Izyan berfikir bahwa ia berhak membangun rumah tangga dengan seorang wanita idaman. Wanita yang selama ini didoakan sekaligus diperjuangkan dalam diam. Wanita yang namanya selalu diselipkan ketika berdoa. Izyan tentu sungguh bahagia sekaligus bersyukur. Ketika lamarannya diterima oleh Najma. Maka, ia tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Meskipun pada kenyataannya tahu dan paham. Ibu dan adiknya membenci hal itu. Agar Najma merasa kehadirannya diharapkan keluarga Izyan. Meskipun Izyan sengaja tak memperkenalkannya pada ibu sambung serta adiknya. Namun, Izyan mengajak Najma pergi ke rumah Paman Bibi dari jalur ibu kandung. Kedatangan Najma disambut dengan sangat baik. Mereka juga mengobrol banyak hal. Najma yang pandai menyesuaikan diri dimanapun tempatnya. Membuat Izyan semakin yakin untuk menikahinya. Setiap hal yang Najma lakukan selalu membuat
Pernikahan yang diselenggarakan tanpa kedatangan ibu, serta adik Izyan. Pernikahan yang diniatkan untuk beribadah, dilangsungkan begitu sakral. Segala persiapan berupa seserahan, maskawin, dan biaya resepsi yang ditanggung dua pihak, Izyan urus dengan sedikit bantuan Paman dan Bibinya. Meskipun Izyan sudah mengundang dengan perkataan yang sopan kepada ibu sambung sekaligus adiknya. Namun, justru tak ditanggapi sama sekali. Tak segan untuk menunjukan lirikan tajam tak suka. Izyan sudah terbiasa menanggapi mereka yang selalu merasa benar dan paling bijak. Hati serta mentalnya, sudah kebal dengan ini semua. Setelah melangsungkan akad nikah, dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Banyak orang bersuka ria atas kebahagiaan sekaligus pernikahan yang Izyan dan Najma langsungkan. Selama berjam-jam berada di samping wanita yang dicintainya, membuat degup jantung Izyan berpacu lebih cepat dari biasanya. Bahkan, ketika ia sangat diperbolehkan untuk memandangi Najma sepuas mungkin, Izyan tak l
Malam pertama bagi seorang pengantin adalah malam membahagiakan sekaligus yang ditunggu-tunggu. Namun, berbeda dengan Izyan yang takut dengan malam ini. Terbilang sebelumnya, tak pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun. Tapi, bukan berarti tak pernah jatuh cinta pada perempuan sebelum Najma. Berada di kamar yang menurutnya begitu asing. Yakni, kamar bercat warna biru tosca. Dengan nuansa ramai. Tak banyak tumpukan buku di sini. Tak seperti kamar Izyan yang hampir dipenuhi buku. Kamar Najma banyak berjajar produk perawatan tubuh dan wajah. Berbagai pernak-pernik, juga menempati. Sudah seperti toko saja. Aroma kamar ini begitu segar dan wangi. Yakni, berasal dari reed diffuser ocean yang terpasang di meja kerja. Izyan melepaskan kaca mata. Seketika, membuat pandangan ke sekeliling blur. Ia duduk di sofa dekat kaca. Menyelonjorkan kaki, lalu memejamkan mata. Selama hampir seharian berdiri berada di panggung pernikahan, tentu membuatnya kelelahan bukan main. "Mas Izyan suka
"Jib, ada flashdisk kosong nggak?" tanya Najma pada adik lelakinya. Najib menjawab, "Nggak ada Mbak. Mau buat apa sih?" "Ini loh, mau buat nyimpen file berita. Flashdiskku udah nggak muat lagi. Belum beli. Males keluar rumah." "Tanya Mas Izyan coba." Najib memberikan solusi. "Ya Mbak tanya sama kamu dulu. Kan kamu anak TKJ, jadi ya barangkali punya stok." Najib menggelengkan kepalanya.. "Ya elah Mbak. Ngapain coba, punya stok flashdisk." "Hm, okey." Najma pun kembali menaiki tangga. Memasuki kamar, tak ada Izyan di dalam. "Mas." "Mas Izyan." Panggil Najma dengan suara sedikit tinggi sembari berjalan menyusuri rumah. "Mas Izyan!!!" "Mas!! Where are you?" Najma terus memanggil-manggil namanya. Namun, tak ada sahutan. Kesal dengan hal ini, ia pun mendengus kesal. "Okey. Lebih baik aku keluar rumah sendiri beli flashdisk." Ketika Najma akan berbalik badan, tiba-tiba ia menubruk seorang lelaki yang sedang berdiri sembari tersenyum. "Mas Izyan!" Kesal Najma yang
Menaiki motor menuju ke tempat tujuan. Dengan Izyan yang menyetir, serta Najma yang berada di belakang. Tak berpegangan pada Izyan ketika mereka berboncengan. Jadi, ketika Izyan mengerem dadakan karena ada lampu merah, tubuh Najma sedikit terdorong ke depan. "Makanya, pegangan Naj," ujar Izyan melirik kaca spion yang menampilkan wajah Najma. "Mas Izyan kok nggak bilang-bilang dulu." Najma justru menyalahkan Izyan. Senyum terbit di bibir Izyan. Sejak bersama Najma, Izyan menjadi suka tersenyum. "Nggak apa-apa. Aku suamimu kok. Bukan orang lain." "Mas Izyan udah mulai ya!" Tiba-tiba, Najma mencubit pinggang suaminya. Sehingga, Izyan merntih kesakitan. "Aduh-aduh, KDRT. Gawat ini. Belum apa-apa kok udah dicubit." Gurau Izyan yang sebenarnya, tidak terlalu merasa sakit dengan cubitan yang istrinya lakukan. "Apa sih Mas lah!" Kesal Najma yang kedua pipinya sudah memerah sembari menahan senyuman. "Kamu cantik Naj." Spontan, Izyan berkata demikian." "Mas Izyan apa-apaan sih a