Beberapa jam sebelumnya ....
"Nak, ada yang punya niat serius sama kamu. Dia seorang lelaki matang pengusaha kertas. Dia lelaki baik-baik loh Nak. Kata Ayah, dia kenal kamu udah lama dan sudah memiliki perasaan padamu sejak dulu." Ketika Najma sedang memainkan tabnya. Untuk melihat-lihat tempat wisata yang esok hari rencananya untuk dikunjungi. Tiba-tiba mendengar Bu Laras berkata demikian. Hal ini tentu membuatnya menoleh. Sebelah alis Najma terangkat. "Nikah??" "Keputusan itu terserahmu. Mau nikah atau tidak, urusan nanti. Sekarang niat baiknya ingin berkenalan denganmu." "Duitnya banyak Bu??" Satu pertanyaan yang berhasil membuat Bu Laras menggelengkan kepalanya, heran. Lalu mendengus kesal. "Kau ini bahasnya hanya uang, uang, dan uang terus." "Memangnya kenapa Bu?? Hidup kan butuh uang. Dari ujung kepala sampai ujung rambutku, penuh full perawatan. Skincare, bocycare, treatment dan segala macam. Masa mau nerima lelaki yang nggak ada duit?? Aku aja full effort untuk diriku sendiri. Ya harus cari yang setara dong Bu. Yang nggak nganggep kebutuhan untuk tubuhku pemborosan," jawab Najma penuh bangga. "Hm, anak Ibu udah besar ya! Udah bisa bicara banyak! Mentang-mentang jadi Reporter jadi suka bicara!" Bu Laras menjitak kepala Najma. Namun, dengan jitakan yang pelan. "Ih ibu. Namanya juga hidup yang harus menyesuaikan diri lah. Nggak ada salahnya kok Ibu ...." "Ya udah. Nanti siang, mumpung kamu lagi libur. Ketemuan ya, sama dia. Ibu hubungin dia dulu," ujar Bu Laras sembari senyum-senyum sendiri lalu mengambil ponsel. Untuk menghubungi lelaki yang akan menjadi bakal menantunya. "Ih ibu apa-apaan sih. Gercep banget ngehubungin. Lah wong aku lagi milih-milih tempat glamping kok." Najma kembali menatap layar tab yang berada di tangannya. Bu Laras menepuk bahu putri sulungnya. "Tapi setelah ibu pikir-pikir kamu belum siap menikah ...." Najma menghela napasnya. "Tadi ibu yang nawarin kok sekarang ngeraguin aku? Bu, terpenting. Dia bukan lelaki patriarki, pelit, gila wanita dan suka ngerokok. Aku yang suka traveling ke alam-alam nggak suka asap rokok!" Bu Laras tersenyum. "Tenang. Semua tipe lelaki idamanmu ada di dirinya. "Mau ketemuan di mana??" "Di rumah. Dia mau main ke sini. Ibu nggak mau biarin kalian berdua-duaan sebelum menikah." "Hm, terserah deh. Yang penting, lelaki itu nggak masuk kategori yang kusebutkan tadi. Kalau ada salah satu faktor, udah deh. Aku cut off!" "Oke ...." Bu Laras yang sangat suka meneliti kamar sekaligus barang-barang putrinya pun, tiba-tiba tertuju ke arah album foto dengan background aesthetic. Berdiri mengambil barang tersebut. Lalu membuka satu persatu foto yang disimpan. Pada lembar pertama, tertulis nama Mazaya Najma binti Thariq Farhan. Album tersebut berisi foto-foto Najma bersama rekan kerja sekaligus teman-temannya yang berada di tempat mereka bekerja serta tempat wisata. Di foto tersebut, Najma selalu tersenyum sangat lebar. Menandakan ia sangat bahagia menjalani kehidupan masa muda. Bu Lastri tersenyum ke arah putrinya yang tatapannya masih sangat fokus tertuju ke arah layar tab. Kedua alisnya hampir tertaut. Jika sedang fokus pada tujuannya. Yakni berlibur, sudah sangat teliti dalam mencari-cari lokasi yang pas. "Apa sih Ibu ngeliatin aku mulu." Gumam Najma dengan tatapan masih fokus ke arah layar. "Ibu cuman heran sama kamu. Gaji kamu selama ini kenapa dihabiskan hanya untuk belanja, perawatan, sama liburan?? Kamu nggak punya tabungan sepeserpun pun berarti??" Najma menggelengkan kepalanya. "Enggak bu. Aku capek-capek kerja masa duitku cuman jadi penghuni rekening. Enggak banget deh kalau didiemin mulu." "Perempuan susah diatur sepertimu memang seharusnya belum menikah! Dasar perempuan yang tak bisa memanejemen uang. Kalau saja lelaki itu tak memintamu duluan dengan ngeyel dari Ayah. Meskipun Ayah sudah menceritakan tabiat burukmu padanya. Tapi, dia masih tetap menginginkanmu. Ibu masih belum ijinkan kamu diseriusin lelaki! Tapi, berhubung dia lelaki dewasa, semoga bisa membimbing sekaligus mengarahkanmu." Najma mematikan tabnya. Lalu mencharger di atas nakas. Menghadapkan seluruh tubuhnya ke arah wanita yang selama 24 tahun ini telah merawatnya. "Ibu, aku sebenarnya juga belum siap nikah. Tapi, terbilang lelaki yang ibu ceritakan masuk ke dalam kriteriaku. Ya udah, okein aja. Kesempatan tidak datang dua kali. Hidup ini jangan terlalu buat fokus. Yang fokus cuman ketika lagi kerja aja." Najma menyipitkan matanya. "Ngomong-ngomong. Tabiat burukku apa yang Ayah ceritakan pada dia??" "Tabiat buruk tukang belanja, menghamburkan uang serta membela barang-barang yang tak dibutuhkan! Ibu udah capek nasehatin kamu agar jadi perempuan hemat dan bisa mengatur keuangan. Ya sudahlah. Terserah kamu! Karena, baik buruknya kamu akan menanggung resikonya!" Bu Laras yang merasa kesal dengan putri sulungnya pun melangkah keluar kamar Najma. Setelah kepergian ibunya, Najma merebahkan tubuh di atas kasur bigsize. Membolak-balikan tubuhnya kesana kemari. Ia tak terlalu memedulikan omongan Sang Ibu yang akan mempertemukan dengan lelaki yang mencintainya sejak lama dan menginginkan untuk menikahi. Namun, lebih memikirkan baju apa yang akan dipakainya sewaktu gampling nanti bersama teman-teman.Berani mencintai artinya harus berani menanggung resiko. Termasuk, resiko menerima baik buruk yang ada. Izyan sudah memikirkan sekaligus menimbang-nimbang resikonya jika kelak memiliki pasangan hidup yang suka menghamburkan uang untuk membeli barang-barang tidak penting. Tentu, kemungkinan besar. Pengelolaan keuangan keluarga mereka akan kacau. Namun, semuanya sudah terlanjur terjadi. Izyan sudah mengutarakan niat baik sekaligus perasaan yang selama bertahun-tahun ini dipendam. Perasaan yang datang berawal dari rasa kagum. Sebenarnya, Izyan bisa saja memilih wanita lain. Namun, hanya Najma yang berhasil membuatnya memendam rasa cinta selama bertahun-tahun. Serta bisa bertahan sampai detik ini. Ia tak bisa terus menerus memikirkan Najma. Karena, detik ini harus fokus pada pekerjaan yang sedang digeluti. Yakni, menjadi seorang Dosen bagi para mahasiswa-mahasiswa Sastra Bahasa Indonesia. Banyak tugas yang para mahasiswa yang disetorkan. Bahkan, ada yang mengirimkan skripsi untuk bimb
"Bismillah." Izyan melangkahkan kaki menuju ke pintu besar rumah lantai dua ini. Memencet bel, lalu mengucapkan salam. Terdengar jawaban atas salam yang Izyan ucapkan. Lalu, terbukalah pintu. Memperlihatkan wanita paruh baya berjilbab, tersenyum ke arahnya lalu mempersilahkan masuk. Dengan senang hati, Izyan pun masuk serta duduk di sofa ruang tamu. Beberapa menit kemudian, lelaki paruh baya berpawakan tinggi duduk menemaninya. Lelaki yang menjadi kepala keluarga di rumah ini, menyambut Izyan dengan sangat baik. Diawali obrolan hangat, diiringi candaan kecil ditemani cangkir kopi. "Kamu pasti bertanya-tanya ya?? Najma di mana ya??" Tebak Pak Thariq, Ayah Najma sembari menyipitkan mata. "Hehe .... Betul Pak ...," sahut Izyan sedikit menganggukan kepala. "Dia baru pulang kerja tadi. Masih di kamar, lagi istirahat." "Waduh. Berarti kedatangan saya di sini menganggu waktu istirahat Najma ya Pak?? Kalau gitu, saya lebih baik pamit pulang saja ...." Ketika Izyan akan berdiri t
Menjalani pekerjaan menjadi seorang Reporter yang dituntut untuk menulis, menganalisis, dan melaporkan suatu peristiwa kepada khalayak melalui media massa secara teratur. Tentu, berita yang harus disampaikan diharuskan akurat dan terpercaya. Memilih pekerjaan untuk terjun langsung ke tempat kejadian. Keputusan ini adalah pilihan terbaik menurut Najma. Karena, lelahnya membuat bahagia bisa bertemu dengan orang serta pengalaman baru. Tak hanya itu. Ia juga bisa berjalan-jalan ke berbagai daerah untuk mencari berita terkini yang akurat. Meskipun dituntut menjadi pekerja yang bisa menyajikan berita fakta sesungguhnya. Teliti, aktif serta harus menggunakan berbagai teknik. Yakni riset, wawancara, observasi, pencarian data. Bergulat dengan banyak hal tersebut setiap hari membuatnya harus ekstra konsentrasi. Najma senang berbicara. Jadi, menjadi Reporter adalah pekerjaan yang terbaik menurutnya. Meskipun tak bisa berdusta. Jika ia merasakan lelah luar biasa. Karena, hampir setiap hari
Ibu serta adik Izyan memang menentang keras rencana pernikahannya dengan Najma. Namun, ia tak memedulikan soal itu. Karena, Izyan berfikir bahwa ia berhak membangun rumah tangga dengan seorang wanita idaman. Wanita yang selama ini didoakan sekaligus diperjuangkan dalam diam. Wanita yang namanya selalu diselipkan ketika berdoa. Izyan tentu sungguh bahagia sekaligus bersyukur. Ketika lamarannya diterima oleh Najma. Maka, ia tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Meskipun pada kenyataannya tahu dan paham. Ibu dan adiknya membenci hal itu. Agar Najma merasa kehadirannya diharapkan keluarga Izyan. Meskipun Izyan sengaja tak memperkenalkannya pada ibu sambung serta adiknya. Namun, Izyan mengajak Najma pergi ke rumah Paman Bibi dari jalur ibu kandung. Kedatangan Najma disambut dengan sangat baik. Mereka juga mengobrol banyak hal. Najma yang pandai menyesuaikan diri dimanapun tempatnya. Membuat Izyan semakin yakin untuk menikahinya. Setiap hal yang Najma lakukan selalu membuat
Pernikahan yang diselenggarakan tanpa kedatangan ibu, serta adik Izyan. Pernikahan yang diniatkan untuk beribadah, dilangsungkan begitu sakral. Segala persiapan berupa seserahan, maskawin, dan biaya resepsi yang ditanggung dua pihak, Izyan urus dengan sedikit bantuan Paman dan Bibinya. Meskipun Izyan sudah mengundang dengan perkataan yang sopan kepada ibu sambung sekaligus adiknya. Namun, justru tak ditanggapi sama sekali. Tak segan untuk menunjukan lirikan tajam tak suka. Izyan sudah terbiasa menanggapi mereka yang selalu merasa benar dan paling bijak. Hati serta mentalnya, sudah kebal dengan ini semua. Setelah melangsungkan akad nikah, dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Banyak orang bersuka ria atas kebahagiaan sekaligus pernikahan yang Izyan dan Najma langsungkan. Selama berjam-jam berada di samping wanita yang dicintainya, membuat degup jantung Izyan berpacu lebih cepat dari biasanya. Bahkan, ketika ia sangat diperbolehkan untuk memandangi Najma sepuas mungkin, Izyan tak l
Malam pertama bagi seorang pengantin adalah malam membahagiakan sekaligus yang ditunggu-tunggu. Namun, berbeda dengan Izyan yang takut dengan malam ini. Terbilang sebelumnya, tak pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun. Tapi, bukan berarti tak pernah jatuh cinta pada perempuan sebelum Najma. Berada di kamar yang menurutnya begitu asing. Yakni, kamar bercat warna biru tosca. Dengan nuansa ramai. Tak banyak tumpukan buku di sini. Tak seperti kamar Izyan yang hampir dipenuhi buku. Kamar Najma banyak berjajar produk perawatan tubuh dan wajah. Berbagai pernak-pernik, juga menempati. Sudah seperti toko saja. Aroma kamar ini begitu segar dan wangi. Yakni, berasal dari reed diffuser ocean yang terpasang di meja kerja. Izyan melepaskan kaca mata. Seketika, membuat pandangan ke sekeliling blur. Ia duduk di sofa dekat kaca. Menyelonjorkan kaki, lalu memejamkan mata. Selama hampir seharian berdiri berada di panggung pernikahan, tentu membuatnya kelelahan bukan main. "Mas Izyan suka
"Jib, ada flashdisk kosong nggak?" tanya Najma pada adik lelakinya. Najib menjawab, "Nggak ada Mbak. Mau buat apa sih?" "Ini loh, mau buat nyimpen file berita. Flashdiskku udah nggak muat lagi. Belum beli. Males keluar rumah." "Tanya Mas Izyan coba." Najib memberikan solusi. "Ya Mbak tanya sama kamu dulu. Kan kamu anak TKJ, jadi ya barangkali punya stok." Najib menggelengkan kepalanya.. "Ya elah Mbak. Ngapain coba, punya stok flashdisk." "Hm, okey." Najma pun kembali menaiki tangga. Memasuki kamar, tak ada Izyan di dalam. "Mas." "Mas Izyan." Panggil Najma dengan suara sedikit tinggi sembari berjalan menyusuri rumah. "Mas Izyan!!!" "Mas!! Where are you?" Najma terus memanggil-manggil namanya. Namun, tak ada sahutan. Kesal dengan hal ini, ia pun mendengus kesal. "Okey. Lebih baik aku keluar rumah sendiri beli flashdisk." Ketika Najma akan berbalik badan, tiba-tiba ia menubruk seorang lelaki yang sedang berdiri sembari tersenyum. "Mas Izyan!" Kesal Najma yang
Menaiki motor menuju ke tempat tujuan. Dengan Izyan yang menyetir, serta Najma yang berada di belakang. Tak berpegangan pada Izyan ketika mereka berboncengan. Jadi, ketika Izyan mengerem dadakan karena ada lampu merah, tubuh Najma sedikit terdorong ke depan. "Makanya, pegangan Naj," ujar Izyan melirik kaca spion yang menampilkan wajah Najma. "Mas Izyan kok nggak bilang-bilang dulu." Najma justru menyalahkan Izyan. Senyum terbit di bibir Izyan. Sejak bersama Najma, Izyan menjadi suka tersenyum. "Nggak apa-apa. Aku suamimu kok. Bukan orang lain." "Mas Izyan udah mulai ya!" Tiba-tiba, Najma mencubit pinggang suaminya. Sehingga, Izyan merntih kesakitan. "Aduh-aduh, KDRT. Gawat ini. Belum apa-apa kok udah dicubit." Gurau Izyan yang sebenarnya, tidak terlalu merasa sakit dengan cubitan yang istrinya lakukan. "Apa sih Mas lah!" Kesal Najma yang kedua pipinya sudah memerah sembari menahan senyuman. "Kamu cantik Naj." Spontan, Izyan berkata demikian." "Mas Izyan apa-apaan sih a
"Kalian harus menikah! Sudahlah Mas Izyan! Tak perlu ada pembelaan lagi! Sudah jelas-jelas ada bukti di depan mata!" Tegas Kepala RW."Apa-apaan sih Pak! Saya itu tak kenal perempuan itu! Saya seumur hidup hanya menggauli Najma!" Lalu berganti menatap Tasya. "Heh kamu, tolonglah jangan rusak rumah tangga saya! Lagi pula, sebelumnya kita tak saling kenal! Kamu ini jahat sekali!" Izyan yang tak terima, terus saja berbicara. Tasya diam sembari memainkan jari jemarinya yang mengeluarkan keringat dingin."Oh, apakah Ayah dari anakmu tak mau bertanggung jawab?? Makanya, kau memfitnah saya agar menutupi kelakuan bejatmu itu? Iya?!" Izyan menggelengkan kepala. "Hatimu benar-benar busuk! Dengan teganya kamu menghancurkan rumah tangga orang lain serta mengusik ketenangan kami! Kamu benar-benar jahat!""Sudah cukup-cukup!!" Kepala RT yang kesal dengan ini sampai menggebrek meja. "Mas Izyan, tolong tanggung jawan atas kehamilan Mbak Tasya! Kami lebih percaya bukti dari pada omongan Anda!""Kalia
Wajah yang tampan itu, tampak lelah sekaligus bermata sayu. Memikirkan semua ini sampai membuatnya tak nafsu makan. Ia yang merasa memiliki keterbatasan dalam berfikir, rela bangun waktu dini hari untuk meminta solusi atas jawaban ini semua. Duduk mengahadap Tuhan yang tak terlihat. Namun, bisa melihat apapun meskipun itu hal tersembunyi.Menengadahkan tangan, meminta maaf, meminta keinginan, serta terutama meminta keutuhan rumah tangganya. Diiringi tangisan, Izyan terus berdoa agar diberikan jalan keluar atas semua ini. Selama setengah jam lamanya, digunakan untuk berdoa. Mengusap wajah, lalu berdiri dari duduknya.Terbilang tangannya sudah sembuh. Jadi, tak usah lagi memakai arm sling. Kedua tangan Izyan sudah bebas bisa melakukan apa saja. Ya dia memang bahagia sekaligus bersyukur dengan ini. Namun, disatu sisi, masalah rumah tangga yang menerpa begitu besar.Sungguh. Ia tak pernah mengkhianati Najma. Bahkan, dengan perempuan itu saja, tak kenal. Karena, bagaimana mungkin ia akan b
Najma diantar ke kamar. Sedangkan Izyan menghadap Pak Thariq. Duduk di ruang keluarga. Izyan yang merasa tak bersalah berani melakukan kontak mata."Jelaskan Izyan!" Tegas Pal Thariq."Saya tak kenal perempuan itu Pak! Bahkan, baru pertama kali saya lihat dia!" Bela Izyan."Terus? Kenapa dia bisa mengaku bahwa sedang hamil anakmu dan menunjukan fotomu sekamar bersamanya?"Posisi mereka seperti seorang seorang Polisi yang sedang mengintrogasi tawanan."Demi Allah Pak! Saya tak melakukan itu! Kalaupun ada foto itu, saya yakin itu hanya editan! Saya mencintai Najma dan saya sudah berjanji akan setia! Saya tak ada keinginan sedikitpun untuk berkhianat! Saya benar-benar tak kenal perempuan itu Pak!" Izyan masih berusaha menjelaskan agar Ayah mertuanya percaya."Mana ponselmu!"Izyan memberikan bahkan, langsung membukakan kunci sandi.Pak Thariq membelakan mata. Lalu menunjukan layar yang memperlihatkan chat dari nomor yang tak disimpan."Baca Yan!"Izyan membaca dengan gumaman, "Mas tolong
"Mbak Najma. Kedatangan saya ke sini karena memberitahukan soal ini ...."Perempuan yang kemarin menatap dari jarak beberapa meter Najma dan Izyan di depan rumah. Tiba-tiba datang ketika Najma baru pulang kerja. Menyodorkan amplop cokelat kecil. Tentu, langsung Najma terima. Mengeluarkan apa yang di dalamnya. Menautkan kedua alis. Karena, ketika baru memperlihatkan kop surat, tertulis nama rumah sakit. Melebarkan surat yang terlipat itu. Membaca satu persatu kata yang ada di dalamnya."Surat keterangan hamil?" Kedua mata Najma terbelalak. "Maksudnya apa? Kamu siapa? Kok bisa-bisanya datang menunjukan surat ini? Kita sebelumnya tidak kenal loh .... Saya hanya tahu kamu tetangga saya!"Tiba-tiba, perempuan itu menundukan kepala. Air matanya mengalir. Sekaligus diiringi isak tangis."Jelaskan!! Apa yang sebenarnya terjadi!!" Najma memegang kedua bahu wanita itu. Bahkan, sampai memaju-mundurkan karena tak kunjung menjawab. Justru, semakin mengeraskan tangisan."Saya .... Hamil anak Mas I
"Naj. Bagaimana kelanjutan pembahasan pembangunan perpustakaan gratis depan rumah kita kelak? Kamu masih bersedia kerjasama kan?" Najma yang sedang melahap sosis bakar pun menoleh. Lalu menjawab, "Ya aku mau Mas. Itu hal yang baik. Ngomong-ngomong, soal progress rumah udah kayak apa?""Nih. Aku dikirimin sama Pak Mandor." Izyan menunjukan foto rumah mereka.Terlihat bangunan bata yang masih terlihat bahannya. Belum dihaluskan menggunakan semen. Namun, sudah bisa digunakan untuk berteduh. Terbilang sudah dipasang atap. "Sekitar berapa bulan lagi Mas?""Kata Pak Mandor bisa sebulan lebih lagi. Karena belum buat dapur, kamar mandi, dan masih ada beberapa ruangan belum dibuat. Naj. Sebentar lagi kita akan tinggal di sana."Dengan penuh nikmat, Najma mengunyah sosis yang tinggal setengah itu. Ketika hari libur tiba, mereka keluar rumah untuk menikmati waktu berdua. Kali ini, mereka berada di taman wisata Gunung Pancar. Sebelum ke sini, tentu Najma membeli jajanan pinggir jalan. "Mas Izy
"Pak! Pak Izyan! Pak!"Panggil seorang mahasiswi sembari menyeimbangkan langkah kaki Izyan yang lebar."Ada apa?" tanya Izyan dengan suara datar."Pak Izyan kenapa tidak lagi balas chat dan telepon saya?""Ada apa memangnya?"Haura memainkan jari jemari yang mengeluarkan keringat dingin. "Saya butuh Pak Izyan .... Saya di rumah kesepian .... Hati saya sakit Pak .... Mental saya tertekan memendam luka ini sendirian .... Sedangkan, Ayah saya tak peduli. Saya pernah mengadu kepadanya namun, saya yang dimarahi ....""Haura. Sembuhkanlah lukamu dengan caramu sendiri.""T ... tapi, t ... tapi kan Pak Izyan pernah bilang sama saya mau bantu saya kan? Termasuk membantu masalah saya? Sa ... saya benar-benar butuh bantuan Pak Izyan ... Saya butuh teman bercerita Pak ..." Haura menundukan kepala. "Saya rasa, hanya Pak Izyan yang mampu mendengarkan saya ketika dunia ini membungkam. Hanya Pak Izyan yang mau mengulurkan tangan untuk membantu saya ketika dunia menendang saya. Dan hanya Pak Izyan ya
Oke. Izyan tak tahan didiami Najma seperti ini terus menerus. Karena, jika hal ini sampai terjadi selama berhari-hari, semuanya akan menjadi runyam dan semakin rumit. Izyan memberanikan diri berbicara jujur apa yang sebenarnya terjadi.Ketika Najma sedang duduk sendiri di balkon kamar karena sedang memainkan game, Izyan duduk di sebelahnya. Namun, kedatangan Izyan tak Najma lirik sama sekali. Fokusnya masih sama pada layar tab sampai membuat alisnya hampir bertaut."Naj." Panggil Izyan yang tak langsung Najma respon."Najma ....""Najma .... Mas pengen ngobrol sama kamu."Posisi Najma masih sama menyilangkan kaki dengan kedua tangan memencet tab. Tak ingin masalah semakin panjang, Izyan merebut tab-nya."Mas Izyan apa-apaan sih!" Tentu, Najma begitu kesal dengan ini."Kalau suami mau ngomong, perhatiin."Najma memutar bola matanya malas. "Kegunaannya?""Kegunaannya agar masalah kita cepet selesai.""Hm," jawab Najma dengan deheman lalu melipat kedua tangan di depan dada."Najma. Maaf
Mungkinkah Izyan selingkuh? Mungkinkah Izyan telah berkhianat? Dan mungkinkah, Izyan sebenarnya lelaki pendusta? Ya bisa jadi. Menikah dengan manusia ibaratnya membeli kucing dalam karung. Tidak semua yang terlihat baik itu baik. Karena, pada dasarnya, manusia akan menunjukan sifat asli kapan saja setelah merasa kehadirannya diterima. Keesokan hari setelah semalaman Najma dan Izyan berdebat, Najma berusaha menghindar. Bahkan, ketika salat subuh pun, sengaja salat lebih dulu agar tak Izyan imami. Karena, ia masih merasa geram dengan kejadian kemarin. Meskipun Najma marah, ia masih memiliki rasa kasihan pada sang suami karena keterbatasannya, dalam memakai baju. Najma memang banyak diam. Namun, tangannya tetap membantu Izyan memakai baju dan menyiapkan keperluan kerjanya. "Naj." Najma diam dengan tangan yang masih mengancingkan baju Izyan. "Najma ...." Panggil Izyan lagi dengan suara yang sangat lembut. "Najma .... Tolong jangan diemin aku gitu dong Naj .... Semua ini bu
"Naj. Bagaimana pendapatmu jika kita membangun sebuah tempat belajar. Berupa perpustakaan di daerah-daerah terpencil. Tempat untuk anak-anak atau orang dewasa membaca?" "Perpustakaan?" Najma mengulangi lagi permintaan Izyan."Ya Naj. Perpustakaan. Gimana menurutmu?""Ke daerah lain ya Mas?""Iya Najma," jawab Izyan menganggukan kepalanya antusias. "Kamu mau kan?""Menurutku. Lebih baik kalau mau bangun sesuatu mulai dari tempat terdekat dari kita Mas. Kita survei dulu sekitar. Kalau misalnya daerah tempat dekat tempat kita tinggal, sudah jelas-jelas memiliki tingkat literasi tinggi, ya udah lanjut ke daerah lain. Kalau misalnya belum ya? Di daerah di tempat kita berpijak dulu. Alangkah baiknya ...."Usulan Najma, tentu Izyan terima dengan baik. Lelaki berkacamata itu mengangguk-anggukan kepala."Benar juga ya Naj? Em, gimana kalau kita buat perpustakaan gratis di samping rumah baru kita kelak? Kan tanah yang akan kita bangun rumah, lumayan luas? Nanti, rencana, setengah samping rumah