Ibu serta adik Izyan memang menentang keras rencana pernikahannya dengan Najma. Namun, ia tak memedulikan soal itu. Karena, Izyan berfikir bahwa ia berhak membangun rumah tangga dengan seorang wanita idaman. Wanita yang selama ini didoakan sekaligus diperjuangkan dalam diam. Wanita yang namanya selalu diselipkan ketika berdoa.
Izyan tentu sungguh bahagia sekaligus bersyukur. Ketika lamarannya diterima oleh Najma. Maka, ia tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Meskipun pada kenyataannya tahu dan paham. Ibu dan adiknya membenci hal itu. Agar Najma merasa kehadirannya diharapkan keluarga Izyan. Meskipun Izyan sengaja tak memperkenalkannya pada ibu sambung serta adiknya. Namun, Izyan mengajak Najma pergi ke rumah Paman Bibi dari jalur ibu kandung. Kedatangan Najma disambut dengan sangat baik. Mereka juga mengobrol banyak hal. Najma yang pandai menyesuaikan diri dimanapun tempatnya. Membuat Izyan semakin yakin untuk menikahinya. Setiap hal yang Najma lakukan selalu membuat Izyan bangga sejak dulu. Menjadi pengagum rahasia bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan hati yang lapang serta sabar dalam proses ini. Tapi ternyata, usahanya bersabar, membuahkan hasil. Tanpa berbelit-belit hanya menunggu hitungan hari. Najma bersedia menjadi calon istrinya. Salah satu keberuntungannya adalah, segera menikah dengan wanita yang didambakan, dibutuhkan, dan dicintai. Bahkan, Izyan perhatikan. Najma tak sedikitpun merasa berat hati menerima lamarannya. Hal ini semakin membuat Izyan yakin pada wanita yang sedang mengobrol lancar dengan Paman sekaligus Bibinya. Entah apapun ujian rumah tangga yang terjadi pada pernikahan mereka kelak. Izyan akan selalu usahakan. Agar mereka bisa bertahan mengarungi badai kehidupan. Apapun yang terjadi. Selama berjam-jam mengobrol, akhirnya Najma meminta pulang. Karena, nanti harus melanjutkan pekerjaan sebagai seorang Reporter. Mereka ke sini tidak menggunakan satu mobil atau satu motor. Namun, masing-masing membawa motor sendiri. Dengan Izyan yang berada di depan mendahului motor Najma. Ini atas permintaan Izyan karena tak menginginkan mereka berdua dalam satu tempat. Hal ini dilakukan untuk mematuhi peraturan agama yang mengatur tentang hubungan lelaki dan perempuan bukan mahram. "Tadi gimana Naj?? Paman dan Bibi saya??" tanya Izyan sembari memakai sarung tangan motor. "Em, mereka baik kok. Ngomong-ngomong, tapi kenapa Pak eh Mas Izyan belum memperkenalkan saya ke ibu serta adik Mas??" Heran Najma sembari memakai helm. "Maaf Naj." Izyan sedikit menundukan kepala lalu tersenyum tipis. "Kalau pernyataan saya kali ini, membuatmu tak nyaman. Sebenarnya, ibu dan adik saya menentang pernikahan kita. Karena, mereka khawatir. Ketika saya menikah denganmu. Saya akan berubah. Bahkan, ibu lebih menginginkan adik saya sebaiknya menikah lebih dulu. Namun, saya tetaplah Izyan yang tidak bisa mereka setir dengan egois. Saya akan tetap menikahimu." Wajah Najma yang sebelumnya memperlihatkan semringah, sekarang memasang wajah datar. Bahkan, sebelah sudut bibirnya sampai terangkat. "Ternyata, malapetaka itu sudah terlihat di mata. Mereka maut bagi saya. Saya sudah tahu ujian rumah tangga kita kelak sebesar apa. Hahah, karena Anda sudah menunjukan kisi-kisinya! Kalau jelas-jelas mereka tak menyetujui, kenapa Anda tetap keukeh ingin melamar saya?? Konyol!!" Merasa Najma mulai kesal. Izyan memberanikan diri menatap wajahnya. "Saya berjanji padamu Naj. Saya akan berusaha menjadi imam yang baik untukmu," ujar Izyan berusaha meyakinkan. "Saya merasa ragu dengan pernikahan ini!" Najma pun menyalakan stater motor. Berniat akan pulang. "Saya tahu bahwa ini berat. Namun, alangkah baiknya kita hadapi sama-sama susah senangnya ya Naj ... Saya telah menjadikanmu tujuan sejak lama .... Saya benar-benar mencintai sekaligus menginginkanmu Naj ...." Izyan mulai khawatir jika Najma akan membatalkan pernikahan mereka. "Jalani saja sendiri! Saya tidak mau mental saya tertekan menghadapi keluarga Anda yang begitu toxic. Hidup saya ini menyenangkan. Saya tidak mau menderita gara-gara menikah dengan Anda!" Tegas Najma yang berbicara sekaligus berfikir menggunakan logika. "Saya akan bangun rumah untuk kita tinggal Naj. Sehingga tempat kita tinggal terpisah dengan mereka Naj." Izyan terus berusaha meyakinkan. Najma diam. Justru, ia memutar stang motor untuk menuju ke jalan raya. Tak memedulikan panggilan serta ucapan Izyan yang masih mengusahakan kepercayaannya. "Tidak ada wanita yang ingin hidup menderita. Terutama menderita karena makan hati! Jika ibu serta adikku seegois itu. Apakah tak ada wanita satupun yang bersedia menikah denganku?? Dan apakah aku akan menjadi lajang seumur hidup??" gumam Izyan menatap kepergian Najma dari hadapannya.Pernikahan yang diselenggarakan tanpa kedatangan ibu, serta adik Izyan. Pernikahan yang diniatkan untuk beribadah, dilangsungkan begitu sakral. Segala persiapan berupa seserahan, maskawin, dan biaya resepsi yang ditanggung dua pihak, Izyan urus dengan sedikit bantuan Paman dan Bibinya. Meskipun Izyan sudah mengundang dengan perkataan yang sopan kepada ibu sambung sekaligus adiknya. Namun, justru tak ditanggapi sama sekali. Tak segan untuk menunjukan lirikan tajam tak suka. Izyan sudah terbiasa menanggapi mereka yang selalu merasa benar dan paling bijak. Hati serta mentalnya, sudah kebal dengan ini semua. Setelah melangsungkan akad nikah, dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Banyak orang bersuka ria atas kebahagiaan sekaligus pernikahan yang Izyan dan Najma langsungkan. Selama berjam-jam berada di samping wanita yang dicintainya, membuat degup jantung Izyan berpacu lebih cepat dari biasanya. Bahkan, ketika ia sangat diperbolehkan untuk memandangi Najma sepuas mungkin, Izyan tak l
Malam pertama bagi seorang pengantin adalah malam membahagiakan sekaligus yang ditunggu-tunggu. Namun, berbeda dengan Izyan yang takut dengan malam ini. Terbilang sebelumnya, tak pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun. Tapi, bukan berarti tak pernah jatuh cinta pada perempuan sebelum Najma. Berada di kamar yang menurutnya begitu asing. Yakni, kamar bercat warna biru tosca. Dengan nuansa ramai. Tak banyak tumpukan buku di sini. Tak seperti kamar Izyan yang hampir dipenuhi buku. Kamar Najma banyak berjajar produk perawatan tubuh dan wajah. Berbagai pernak-pernik, juga menempati. Sudah seperti toko saja. Aroma kamar ini begitu segar dan wangi. Yakni, berasal dari reed diffuser ocean yang terpasang di meja kerja. Izyan melepaskan kaca mata. Seketika, membuat pandangan ke sekeliling blur. Ia duduk di sofa dekat kaca. Menyelonjorkan kaki, lalu memejamkan mata. Selama hampir seharian berdiri berada di panggung pernikahan, tentu membuatnya kelelahan bukan main. "Mas Izyan suka
"Jib, ada flashdisk kosong nggak?" tanya Najma pada adik lelakinya. Najib menjawab, "Nggak ada Mbak. Mau buat apa sih?" "Ini loh, mau buat nyimpen file berita. Flashdiskku udah nggak muat lagi. Belum beli. Males keluar rumah." "Tanya Mas Izyan coba." Najib memberikan solusi. "Ya Mbak tanya sama kamu dulu. Kan kamu anak TKJ, jadi ya barangkali punya stok." Najib menggelengkan kepalanya.. "Ya elah Mbak. Ngapain coba, punya stok flashdisk." "Hm, okey." Najma pun kembali menaiki tangga. Memasuki kamar, tak ada Izyan di dalam. "Mas." "Mas Izyan." Panggil Najma dengan suara sedikit tinggi sembari berjalan menyusuri rumah. "Mas Izyan!!!" "Mas!! Where are you?" Najma terus memanggil-manggil namanya. Namun, tak ada sahutan. Kesal dengan hal ini, ia pun mendengus kesal. "Okey. Lebih baik aku keluar rumah sendiri beli flashdisk." Ketika Najma akan berbalik badan, tiba-tiba ia menubruk seorang lelaki yang sedang berdiri sembari tersenyum. "Mas Izyan!" Kesal Najma yang
Menaiki motor menuju ke tempat tujuan. Dengan Izyan yang menyetir, serta Najma yang berada di belakang. Tak berpegangan pada Izyan ketika mereka berboncengan. Jadi, ketika Izyan mengerem dadakan karena ada lampu merah, tubuh Najma sedikit terdorong ke depan. "Makanya, pegangan Naj," ujar Izyan melirik kaca spion yang menampilkan wajah Najma. "Mas Izyan kok nggak bilang-bilang dulu." Najma justru menyalahkan Izyan. Senyum terbit di bibir Izyan. Sejak bersama Najma, Izyan menjadi suka tersenyum. "Nggak apa-apa. Aku suamimu kok. Bukan orang lain." "Mas Izyan udah mulai ya!" Tiba-tiba, Najma mencubit pinggang suaminya. Sehingga, Izyan merntih kesakitan. "Aduh-aduh, KDRT. Gawat ini. Belum apa-apa kok udah dicubit." Gurau Izyan yang sebenarnya, tidak terlalu merasa sakit dengan cubitan yang istrinya lakukan. "Apa sih Mas lah!" Kesal Najma yang kedua pipinya sudah memerah sembari menahan senyuman. "Kamu cantik Naj." Spontan, Izyan berkata demikian." "Mas Izyan apa-apaan sih a
Menjadi pengantin baru yang seharusnya menikmati masa-masa indah justru, Najma disibukan dengan pekerjaan yang menuntutnya harus siap sedia. Pagi yang cerah ini, ketika Izyan masih berpakaian santai karena cuti menikah. Najma sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Tas yang berisi perlengkapan kerja pun, sudah ditata sedemikian rupa. Suara sepatu sneakersnya beradu dengan lantai sehingga, bisa menimbulkan pandangan orang yang berada di ruang makan, terfokus pada perempuan pekerja keras itu. "Najma. Sarapan dulu Nak," titah Bu Laras. Najma yang tergopoh-gopoh akan berangkat kerja pun menjawab, "Belum sempat Bu. Nggak keburu. Aku berangkat, Assalamualaikum." Pamit Najma sembari mempercepat langkah menuju keluar rumah. "Naj." Tiba-tiba, suara Izyan membuat perempuan itu menghentikan langkah lalu menoleh. Terlihat suaminya sedang membawa kotak bekal berwarna biru lalu dimasukan ke dalam tote bag. Berjalan menghampirinya. "Dimakan di jalan ya." Lalu memberikan tote bag tersebut. Naj
Menunggu Najma pulang kerja, Izyan duduk di depan rumah sembari membaca buku serta ditemani jus jambu. Kebiasaan membaca ini, Izyan lakukan sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Kebiasaan ini, membuatnya merasa telah memasuki dunia baru yang membuatnya menambah ilmu serta pengetahuan. Kebiasaan membaca membuat otak Izyan terus berfikir. Membaca, membuatnya nyaman dan bahagia. Mencintai membaca membuat hidup yang sebelumnya dianggap kesepian, menjadi ramai. Karena kepala terus berfikir sekaligus memasuki dunia baru. Menjelajahi dunia, tanpa keluar rumah. Fokus Izyan telah tertuju pada tulisan dari Penulis yang telah dituangkan dalam buku. Sampai tak sadar jika Najma, berdiri di depannya. Hal ini baru diketahui ketika Najma mengusap wajah Izyan. Lelaki itu pun mendongakan kepala. Wajahnya yang memperlihatkan kepolosan, sedikit melongo. Sedangkan Najma, tersenyum. "Fokus banget Mas." "Eh, Najma udah pulang?" tanya Izyan lalu ikut berdiri. "Ngapain ikut berdiri? Aku jug
"Bu, aku mau ambil baju-bajuku," ujar Izyan ketika baru sampai di depan rumahnya. Terlihat, Bu Maryah yang membuka pintu rumah lalu melipat kedua tangan di depan dada. "Masih tahu jalan pulang?" Sebelah alis Bu Maryah terangkat. Izyan diam. Masih membiarkan ibu tirinya berbicara. "Enak banget ya. Ngadain pesta pernikahan nggak ngelibatin keluargamu sendiri?? Belagu banget kamu Yan. Udah bisa nyari uang sendiri jadi gitu! Mentang-mentang jadi lelaki sukses, durhaka sama ibumu sendiri!! Melawan restu!" Izyan menghela napasnya. "Izyan. Ibu nggak habis pikir sama kamu. Selama ini, kamu hidup sama siapa? Kan setelah kepergian Ayahmu kamu tinggal di rumah ini sama kami? Ya meskipun ini rumah peninggalan ibu kandungmu. Tapi kan, kalau nggak ada Ibu, kamu kesepian Izyan! Kamu seharusnya tahu diri! Bahwa kamu sendirian tanpa ibu dan Isma! Ibu udah bilang sama kamu. Jangan nikah mendahului Isma! Tapi kamu tetep ngeyel! Emang ya! Kamu memang terlihat lelaki pendiam. Tapi, keras kepala!
Najma sebenarnya penasaran dengan apa yang Izyan alami. Karena tak biasanya, lelaki itu memasang raut wajah murung lalu tiba-tiba mendekatinya. Ketika Najma memeluknya, Izyan terdiam dan menginginkan mereka di jarak dekat dalam waktu tak singkat.Ketika lelaki itu sedang bersiap-siap akan menuju ke kampus, Najma mendekatinya. "Mas Izyan.""Eh Naj. Belum siap-siap berangkat kerja?" tanya Izyan sembari mengancingkan bajunya."Aku berangkat siang Mas.""Oo gitu.""Mas Izyan.""Ada apa Najma?""Kemarin Mas Izyan kenapa. Kok tiba-tiba nyandarin kepala ke bahuku setelah pulang ke rumah ambil baju dan barang-barang? Ada masalah ya Mas?"Izyan tersenyum. Lalu menangkup kedua pipi Najma. Najma rasakan, kedua tangan Izyan begitu dingin."Aku nggak apa-apa kok. Kamu tenang aja.""Tangan kamu dingin Mas.""Ya kan tadi baru mandi. Jadi, masih ada rasa-rasa dingin gitu kan?""Mas. Aku istrimu loh. Aku bukan orang lain. Kalau ada apa-apa kamu bisa bicara sama aku."Izyan masih tersenyum. "Aku nggak