“Saya terima nikahnya dan kawinnya Anisa Azahra Khumaira binti Abdul Qodir Jaelani dengan maskawin nya yang tersebut dibayar tunai.”
Hari ini, hari dimana aku dan pria itu akan bersatu dalam ikatan suci pernikahan. Aku yang tak mengenalnya, harus ikhlas menerima perjodohan ini. Keinginan orang tua tak bisa ku tolak.Aku masih di dalam kamar bersama umi dan calon ibu mertua, menunggu ijab kabul selesai. Aku mendengar suara lantang itu menggema begitu indah menyentuh hati ini.SAH.Mendengar ijab dan qabul itu membuat hati dan pikiran ini tak dapat bereaksi dengan seimbang. Pikiranku menolak sedangkan hatiku begitu tersentuh akan dirinya.Aku dan pria itu sudah sah menjadi sepasang suami—istri sehingga sudah halal untuk dipertemukan. Umi dan mertuaku menuntun tangan ini, ke luar dari kamar.Kini, aku dan dia berdekatan. Aku belum berani menatapnya, apalagi mencium punggung tangannya, hanya bisa memperhatikan kedua kakinya saja.“Ning, kamu ini bagaimana, sih? Ini suami kamu didiemin. Ayo, cium punggung tangannya!” titah umi yang bernama Salamah.“Iya, Ning. Sudah boleh kok, mencium tangannya—menatapnya. Ayo, silakan kalian berdua saling lihat!” tambah mertuaku yang bernama Aisyah.Abiku dan yang lain tak ikut bicara, hanya menjadi saksi semata. Abi kandung suamiku sudah tiada. Orangtuaku bilang, mendiang abinya dimakamkan di Kudus sudah lima tahun lamanya.Malu-malu sembari mengucap bismillahirrahmanirrahim dalam hati, aku menatapnya dan memberikan senyum yang bagiku cukup untuk menyambutnya.“Assalamualaikum, suamiku,” ucapku lirih.Pria itu pun menatapku dengan senyuman yang luar biasa indah. Dia semakin mendekat. Ku cium punggung tangannya dengan hormat.“Iya, waalaikumussalam, istriku,” jawabnya.Pria itu bernama Yusuf Al-qaradawi, seorang Gus muda yang begitu salih—tampan di kalangan kaum muda. Itu kata umiku ketika bercerita.Tiba-tiba ….CupDia mencium keningku, bahkan berkali-kali aku membelalakkan mataku ini. Semuanya begitu bahagia melihatnya, berbeda denganku yang sangat gugup.Mereka pun pergi dan membiarkan kami masuk ke dalam kamar.Kamar ini tadinya hanya aku yang menempati. Kini, ada suami yang tengah menatap tanpa henti. Hatiku tak karuan, detak jantung makin kencang seperti habis maraton.“Ning, kamu lelah, ya?” tanyanya.Aku mendengar suara itu. Ku beranikan diri untuk menatapnya.“I-iya, aku lelah, Bang.”Dia tertawa kecil mendengar ku. Kenapa dia tertawa? Aku lucu, ya?“Kok, panggilnya, Bang? Panggil saja Gus atau Mas, setuju?” usulnya.“Baik, maaf tadi aku ….”Ucapan ku terhenti. Dia begitu manis menatapku tak henti-hentinya. Aku pun berusaha untuk tenang dan kembali normal seperti tadi, tak gugup lagi.“Aku izin bersih-bersih di kamar mandi, ya, Gus,” ucapku.“Iya, silakan. Nanti gantian, ya. Sekarang saya ke luar dulu, masih banyak tamu.”Aku pun mengangguk. Setelah dia benar-benar pergi dari kamar, aku menghela napas panjang.Ya Allah, apa ini? Perasaan apa ini? Bahkan, mengenalnya saja belum. Melihatnya saja baru hari ini. Dia tiba-tiba dijodohkan denganku dan langsung menikahi ku hari ini. Dia begitu baik dan lembut tutur katanya.Malam sudah semakin larut, tapi kenapa pria yang sudah resmi menjadi suamiku belum kembali ke kamar juga? Bukan karena aku tak sabar menanti malam pertama kami. Namun, ada rasa tak enak hati, sedangkan aku terus-menerus berdiam diri di dalam kamar saja.Aku pun memutuskan untuk ke luar dari kamar, mengintip di balik pintu untuk memastikan, kemudian ku langkahkan kedua kaki ini menuju ruangan yang ku rasa mungkin semua ada di sana.“Umi? Umi?” Aku panggil umi dan mertuaku, tapi tidak ada yang menjawab.Sampai akhirnya, ku dengar suara tangisan seorang wanita dan suara pria yang terdengar seperti menenangkan.“Itu, kan, suara?” Tak ingin soouzon, aku langsung dengarkan saja di balik tembok, suara itu terdengar di dapur.Aku dengarkan semuanya, daripada berprasangka buruk, lebih baik membuktikan sendiri.“Gus, kamu tega! Katanya, kamu ... kamu mau lamar aku?”“Tapi, kenapa kamu justru nikah sama Ning Anisa? Kenapa? Apa karena dia anak orang kaya?”“Marwah, jangan bicara seperti itu. Kamu, tetaplah bidadari surgaku, jangan khawatir,” ucapan Gus Yusuf, aku sangat yakin itu suaranya.Mendengar perkataan itu kenapa begitu sakit ya Allah? Padahal aku belum mencintai dia, apa jangan-jangan aku yang sebenarnya orang ketiga diantara mereka?Aku harus gimana ya Allah?“Pulanglah ke Kudus bersamaku malam ini, kalau kamu nggak mau berarti ....”“Baik, saya akan ikut pulang bersamamu, tapi tidak malam ini, ingatlah, kalau kita pergi bersama malam ini, bukan hanya Ning Anisa yang curiga tapi umi juga,” jawab Gus Yusuf lagi.Brak.Tak sengaja aku menyenggol vas bunga milik umi, langsung ku bekap mulutku dengan kedua tangan ini, rasanya rapuh, sakit, dan juga patah hati, patah sebelum mencintai.“Suara apa itu?” tanya wanita itu.Gus Yusuf pun memastikan ke sumber suara, untung saja aku pindah ke tembok yang sebelah, kalau aku sampai ketahuan mendengarkan percakapan mereka tadi, aku bisa terlihat tidak sopan.Semoga Gus Yusuf nggak tahu kalau ada aku, cukup sudah aku menjadi benalu diantara mereka berdua.Ku putuskan untuk kembali ke kamar saja, entah harus bagaimana setelah tahu semua ini, ternyata pria yang saat ini sudah menjadi suamiku, mencintai wanita lain. Bukan, wanita itu bukan pelakor, tapi aku. Aku yang menjadi penghalang cinta mereka berdua.Guling, dan bantal menjadi saksi bisu tangisan ku di malam pertama, rasanya percuma bercerita pada semua orang, semuanya tidak akan percaya begitu saja padaku, karena yang semuanya tahu Gus Yusuf itu baik, padahal hanya bersandiwara.***“Ning, bangun, hei, sudah azan subuh.” Ku dengar suara seorang pria tengah berusaha terus-menerus membangunkan diriku.Tanpa menunggu lama, kedua mata ini terbuka lebar menatap pria yang sudah menjadi suamiku.“Maaf, Gus eh hmm. Aku telat bangun, sampai harus dibangunkan seperti ini,” ucapku.“Nggak papa, Ning. Sudah, ayo, kita salat berjamaah,” jawabnya.“Maksudnya?” tanyaku yang belum mengerti apa maksudnya.Gus Yusuf pun tersenyum, “Iya, kita salat berjamaah untuk yang pertama kalinya sebagai suami—istri, nanti juga ke Masjid kok,” jawabnya lagi.Aku rasanya ingin sekali salat berjamaah bersama suamiku, tapi? Aku harus bersikap biasa saja, jangan berlebihan.“Sebaiknya Gus ke Masjid saja, nanti terlambat berjamaah, aku salat sendiri aja dulu,” tolak ku dengan halus.“Baiklah, kamu ternyata wanita yang baik, mengerti agama, tahu bagaimana seharusnya seorang pria salat, yasudah, saya ke Masjid dulu, assalamualaikum,” ucapnya.“Iya, Gus, maaf juga aku belum mempersiapkan ....”Aku terkejut, ternyata persiapan untuk salat ke Masjid sudah siap, apa tadi dia sengaja mengujiku? Jelas aku tahu, seorang pria itu salatnya di Masjid, kalau di rumah ya harus pakai mukena huft, apa sih Anisa.“Mandi, ambil wudu, dan salat lah, sekali lagi assalamualaikum,” ucap Gus Yusuf, mencium keningku, aku pun menyalaminya dengan baik.“Hmm, waalaikumussalam, Gus.” Setelah Gus Yusuf benar-benar pergi, aku pun tak berpikir lama lagi, bergegas bersiap untuk salat.Sebentar ... tadi dia mencium keningku? Itu modus? Atau tulus?Setelah selesai salat subuh, aku sebagai seorang istri harus sudah siap siaga di dapur untuk berkutat dengan alat dapur beserta bahan-bahannya.Selalu mengingat apa yang selama ini umi katakan, jika seorang istri selalu bangun lebih awal daripada suami lalu dia menyiapkan sarapan yang terbaik untuk suaminya, akan ada kebaikan untuk keduanya.Belum tahu apa saja yang dia suka dan tidak disukai, memang benar uminya belum pulang lagi ke Kudus tapi aku sangat malu untuk bertanya padanya apa makanan kesukaan suamiku.“Masak apa, ya, pagi ini? Aku takut dia nggak suka sama yang aku masak,” ucapku sambil melihat isi kulkas.Menatap wortel, dan daging ayam menjadi semakin bingung harus masak apa, mau bertanya pun rasanya malu.“Hmm.”Ku dengar deheman seorang wanita, langsung ku lihat ke arah sumber suara ternyata wanita itu? Apa dia belum pulang? Tidur di mana dia semalam, jadi penasaran.“Kamu ....” aku tidak boleh menegurnya, pura-pura tak tahu apa-apa.“Aku Marwah, Mbak. Ada apa subuh-sub
Betapa takutnya hamba saat ini ya Allah, bagaimana jika nanti semuanya tahu sedari tadi aku dengan sengaja mendengarkan mereka berdua berbicara.Tidak ada maksud lain selain ingin tahu apa saja yang Gus Yusuf lakukan di belakangku, tak ada niat buruk apalagi tidak sopan.“Ning, kamu kenapa? Ayo,” ajak Gus Yusuf.“Eh, iya,” jawabku langsung mengikuti langkahnya.Sampai selesai makan pun ternyata wanita itu masih belum pulang juga dari rumah, kalau saja aku tidak takut pada orang tua, dan tidak peduli dengan dosa, pasti sedari tadi aku sudah mengusirnya, agar tak menganggu lagi.Menganggu di rumah, sih, tak masalah karena pintu rumah selalu terbuka untuk tamu, tapi menganggu rumah tanggaku? Jangan harap aku diam saja, paling-paling aku hanya berusaha diam tapi beraksi.Di dalam kamar saat ini, kami hanya berdua saja, tidak mungkin juga, kan, Marwah mengikuti sampai ke kamar? Memangnya dia siapa?“Ning, koleksi buku kamu banyak sekali, suka atau sering baca?” tanya Gus Yusuf.“Hmm, dua-d
Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, setelah ku pakai pakaian itu, ternyata bukan hanya lekuk tubuh saja yang terlihat jelas, melainkan kemaluan ku oh tidak mungkin, mana bisa ku pakai seterusnya? Bagaimana nanti jika Gus Yusuf datang dan tidak bisa menerima penampilan ku yang seperti sekarang.Buru-buru ku ingin mengganti kembali pakaian yang tadinya sangat terbuka menjadi pakaian seperti semula, memang lebih nyaman menggunakan gamis syar'i dibandingkan pakaian seperti itu, sangat tidak percaya diri saat memakai nya.Ku dengar ketukan pada pintu, betapa terkejutnya aku. Bagaimanapun juga pakaian aneh itu masih ada di atas tempat tidur dan tentunya sangat berantakan, dengan cepat ku langsung merapikan nya dan sebisa mungkin menyembunyikan semua pakaian tersebut di tempat yang cukup aman, tidak mungkin siapapun bisa menemukan nya.Setelah ku buka pintu kamar, ku dapati bahwa pria yang sudah bergelar sebagai suami kini tengah menatapku dengan tatapan yang sulit sekali untuk diar
Ada banyak pertanyaan yang sudah ku pikirkan sebelumnya, tetapi kenapa setelah ingin membahas nya aku tidak bisa seberani itu kepadanya. Malam ini, hal baik yang sudah seharusnya dilakukan pun tidak terjadi lagi, aku tidak menjawabnya, dan dia pun tak lagi memaksa untuk melakukan apapun.Selain hanya saling diam, kami tak ingin membahas nya lagi. Ku biarkan saja dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, aku hanya ingin sedikit mengurangi kecemasan terhadapnya, dengan cara tak terlalu banyak berbicara saat berada di dekatnya.“Ning ... kemarilah, kenapa kamu masih saja berdiri di situ? Masih marah pada saya?” tanya Gus Yusuf.“Aku? Marah? Nggak mungkin, Gus.”“Lalu? Apa yang membuatmu seperti ini sekarang, jika tidak ada kemarahan, lantas apalagi? Katakan, jika memang kamu sedang marah,” tanyanya, sangat menuntut kali ini.Menuntut seperti ingin segera dijawab olehku, hanya saja rasanya masih malas untuk kembali berbicara dengan seseorang yang sudah membuatku semakin meningkatkan t
“Loh, kalian berdua ternyata ada di sini, Umi bingung tadi mencari kalian berdua, kirain sudah berangkat.”Kami terkejut karena kedatangan umi yang secara tiba-tiba seperti itu, aku tidak tahu lagi harus bagaimana setelah ini, bertanya pun rasanya sudah percuma.Agar tak terlihat seperti orang yang sedang bermasalah, ku alihkan pembicaraan sebelum semuanya benar-benar kacau, bisa saja nanti umi menginterogasi lebih jauh lagi daripada sekarang, lebih baik sedia payung sebelum hujan, berjaga-jaga sebelum hal-hal yang tak diinginkan terjadi.“Umi ... ini katanya Gus eh suamiku maksudnya, ada yang ingin dibicarakan dulu sebelum berangkat,” sahutku sedikit gelagapan.“Apa itu? Sebaiknya bicarakan nanti saja saat di perjalanan, Umi bukan apa-apa, coba lihatlah ... di luar sudah mulai mendung, walaupun masih pagi, kan, sebaiknya jangan menunggu hujan deras, kurang aman di jalan nya.”Benar memang apa yang umi katakan, keselamatan di perjalanan jauh lebih penting sekarang, jangan sampai aku l
“Ning, ayo ... ke luar dulu, biar saya ajak kamu ke restoran dulu untuk makan siang,” ucapnya, aku yang masih bingung hanya mengangguk dan turun dari mobil sesuai dengan perintah nya.Mobil ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan tadi, sedangkan kami memilih untuk makan siang terlebih dahulu agar tak terlalu merisaukan mobil lagi.“Kita mau makan di mana? Kamu saja yang pilih dan tentukan harus makan di mana,” titahnya.Aku sebenarnya ada keinginan tetapi itu semua ku urungkan terlebih dahulu, karena sangat ingin menghormati serta menghargai suamiku sebagai imam dalam rumah tangga kami, sudah sepantasnya dia ku berikan kenyamanan saat bersama.“Ning, ayo ... katakan ingin makan di mana? Katakan, saya benar-benar ingin kamu yang menentukan, ini perintah suami!”“BONCAFE PREGOLAN,” jawabku dengan tegas.“Baik, kita makan dan beristirahat terlebih dahulu sembari menunggu tukang memperbaiki mobil nya,” cecar Gus Yusuf, dia terlihat seperti sedang memikirkan hal lain, yang berbeda dari t
Tak terasa sudah hampir zuhur, kami masih saja di tempat tadi, selesai makan pun tak ada kabar dari tukang yang sedang memperbaiki mobil, Gus Yusuf memutuskan untuk mencari musala ataupun masjid terdekat, menunaikan ibadah salat bersama.“Kamu tak apa-apa, kan? Kita mencari musala jalan kaki seperti ini?” Gus Yusuf ternyata bisa peka juga terhadap orang yang ada di dekatnya.“Ora apa-apa, sing penting aman, Gus.”“Terima kasih, Ning.”“Lagi pula kita niatkan untuk mencari rumah Allah, bukan sembarangan jalan kaki, Gus. Insya Allah pahala, lelah ataupun letih nya,” ucapku.“Kamu benar, ya sudah ... ayo, sebelum azan,” katanya.Pada saat kami terus berjalan kaki, entah kenapa ada sedikit keanehan lagi pada diri suamiku, bukan dirinya melainkan tubuhnya, saat ini aku sangat dekat dengannya, karena dia terus saja menggenggam tanganku, jadi ku bisa mencium aroma yang ada di tubuhnya.Parfum laki-laki seperti itu, kah? Aku belum pernah sebelumnya berdekatan dengan lawan jenis seperti ini se
Semenjak ku beritahu kidal itu sudah sejak kecil ku alami, Gus Yusuf hanya mengangguk dan tak lagi mencari tahu mengenai wewangian tersebut, apakah mungkin dia sudah tahu siapa orangnya? Namun, tak ingin ku marah, atau ada hal lainnya yang aku sendiri tidak tahu apa itu.“Saya akan segera kembali, sekarang harus menghubungi seseorang terlebih dahulu,” ucapnya, belum sempat ku menjawab dia sudah pergi begitu saja.Untuk pertama kalinya, pergi begitu saja di saat dirinya akan menghubungi seseorang, yang entah siapa orangnya, aku benar-benar tak ingin soouzon pada siapapun.Sembari menunggu, tak ingin menyia-nyiakan waktu dengan penantian sia-sia, aku buka buku yang kebetulan ada di dalam tas, lalu membaca nya agar tak terlalu hening selama menunggu nya.Buku yang saat ini ku baca adalah buku islami, judulnya saja sudah cukup membuatku penasaran ingin cepat-cepat membaca, karena ini buku baru yang belum sempat ku baca sebelumnya.Berjudul menjadi bidadari cantik ala islami, benar-benar b