Home / Pernikahan / Dinikahi Gus Misterius / Bab 1 : Pernikahan Sandiwara

Share

Dinikahi Gus Misterius
Dinikahi Gus Misterius
Author: Ratu Halu

Bab 1 : Pernikahan Sandiwara

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Anisa Azahra Khumaira binti Abdul Qodir Jaelani dengan maskawin nya yang tersebut dibayar tunai.”

Hari ini, hari dimana aku dan pria itu akan bersatu dalam ikatan suci pernikahan. Aku yang tak mengenalnya, harus ikhlas menerima perjodohan ini. Keinginan orang tua tak bisa ku tolak.

Aku masih di dalam kamar bersama umi dan calon ibu mertua, menunggu ijab kabul selesai. Aku mendengar suara lantang itu menggema begitu indah menyentuh hati ini.

SAH.

Mendengar ijab dan qabul itu membuat hati dan pikiran ini tak dapat bereaksi dengan seimbang. Pikiranku menolak sedangkan hatiku begitu tersentuh akan dirinya.

Aku dan pria itu sudah sah menjadi sepasang suami—istri sehingga sudah halal untuk dipertemukan. Umi dan mertuaku menuntun tangan ini, ke luar dari kamar.

Kini, aku dan dia berdekatan. Aku belum berani menatapnya, apalagi mencium punggung tangannya, hanya bisa memperhatikan kedua kakinya saja.

“Ning, kamu ini bagaimana, sih? Ini suami kamu didiemin. Ayo, cium punggung tangannya!” titah umi yang bernama Salamah.

“Iya, Ning. Sudah boleh kok, mencium tangannya—menatapnya. Ayo, silakan kalian berdua saling lihat!” tambah mertuaku yang bernama Aisyah.

Abiku dan yang lain tak ikut bicara, hanya menjadi saksi semata. Abi kandung suamiku sudah tiada. Orangtuaku bilang, mendiang abinya dimakamkan di Kudus sudah lima tahun lamanya.

Malu-malu sembari mengucap bismillahirrahmanirrahim dalam hati, aku menatapnya dan memberikan senyum yang bagiku cukup untuk menyambutnya.

“Assalamualaikum, suamiku,” ucapku lirih.

Pria itu pun menatapku dengan senyuman yang luar biasa indah. Dia semakin mendekat. Ku cium punggung tangannya dengan hormat.

“Iya, waalaikumussalam, istriku,” jawabnya.

Pria itu bernama Yusuf Al-qaradawi, seorang Gus muda yang begitu salih—tampan di kalangan kaum muda. Itu kata umiku ketika bercerita.

Tiba-tiba ….

Cup

Dia mencium keningku, bahkan berkali-kali aku membelalakkan mataku ini. Semuanya begitu bahagia melihatnya, berbeda denganku yang sangat gugup.

Mereka pun pergi dan membiarkan kami masuk ke dalam kamar.

Kamar ini tadinya hanya aku yang menempati. Kini, ada suami yang tengah menatap tanpa henti. Hatiku tak karuan, detak jantung makin kencang seperti habis maraton.

“Ning, kamu lelah, ya?” tanyanya.

Aku mendengar suara itu. Ku beranikan diri untuk menatapnya.“I-iya, aku lelah, Bang.”

Dia tertawa kecil mendengar ku. Kenapa dia tertawa? Aku lucu, ya?

“Kok, panggilnya, Bang? Panggil saja Gus atau Mas, setuju?” usulnya.

“Baik, maaf tadi aku ….”

Ucapan ku terhenti. Dia begitu manis menatapku tak henti-hentinya. Aku pun berusaha untuk tenang dan kembali normal seperti tadi, tak gugup lagi.

“Aku izin bersih-bersih di kamar mandi, ya, Gus,” ucapku.

“Iya, silakan. Nanti gantian, ya. Sekarang saya ke luar dulu, masih banyak tamu.”

Aku pun mengangguk. Setelah dia benar-benar pergi dari kamar, aku menghela napas panjang.

Ya Allah, apa ini? Perasaan apa ini? Bahkan, mengenalnya saja belum. Melihatnya saja baru hari ini. Dia tiba-tiba dijodohkan denganku dan langsung menikahi ku hari ini. Dia begitu baik dan lembut tutur katanya.

Malam sudah semakin larut, tapi kenapa pria yang sudah resmi menjadi suamiku belum kembali ke kamar juga? Bukan karena aku tak sabar menanti malam pertama kami. Namun, ada rasa tak enak hati, sedangkan aku terus-menerus berdiam diri di dalam kamar saja.

Aku pun memutuskan untuk ke luar dari kamar, mengintip di balik pintu untuk memastikan, kemudian ku langkahkan kedua kaki ini menuju ruangan yang ku rasa mungkin semua ada di sana.

“Umi? Umi?” Aku panggil umi dan mertuaku, tapi tidak ada yang menjawab.

Sampai akhirnya, ku dengar suara tangisan seorang wanita dan suara pria yang terdengar seperti menenangkan.

“Itu, kan, suara?” Tak ingin soouzon, aku langsung dengarkan saja di balik tembok, suara itu terdengar di dapur.

Aku dengarkan semuanya, daripada berprasangka buruk, lebih baik membuktikan sendiri.

“Gus, kamu tega! Katanya, kamu ... kamu mau lamar aku?”

“Tapi, kenapa kamu justru nikah sama Ning Anisa? Kenapa? Apa karena dia anak orang kaya?”

“Marwah, jangan bicara seperti itu. Kamu, tetaplah bidadari surgaku, jangan khawatir,” ucapan Gus Yusuf, aku sangat yakin itu suaranya.

Mendengar perkataan itu kenapa begitu sakit ya Allah? Padahal aku belum mencintai dia, apa jangan-jangan aku yang sebenarnya orang ketiga diantara mereka?

Aku harus gimana ya Allah?

“Pulanglah ke Kudus bersamaku malam ini, kalau kamu nggak mau berarti ....”

“Baik, saya akan ikut pulang bersamamu, tapi tidak malam ini, ingatlah, kalau kita pergi bersama malam ini, bukan hanya Ning Anisa yang curiga tapi umi juga,” jawab Gus Yusuf lagi.

Brak.

Tak sengaja aku menyenggol vas bunga milik umi, langsung ku bekap mulutku dengan kedua tangan ini, rasanya rapuh, sakit, dan juga patah hati, patah sebelum mencintai.

“Suara apa itu?” tanya wanita itu.

Gus Yusuf pun memastikan ke sumber suara, untung saja aku pindah ke tembok yang sebelah, kalau aku sampai ketahuan mendengarkan percakapan mereka tadi, aku bisa terlihat tidak sopan.

Semoga Gus Yusuf nggak tahu kalau ada aku, cukup sudah aku menjadi benalu diantara mereka berdua.

Ku putuskan untuk kembali ke kamar saja, entah harus bagaimana setelah tahu semua ini, ternyata pria yang saat ini sudah menjadi suamiku, mencintai wanita lain. Bukan, wanita itu bukan pelakor, tapi aku. Aku yang menjadi penghalang cinta mereka berdua.

Guling, dan bantal menjadi saksi bisu tangisan ku di malam pertama, rasanya percuma bercerita pada semua orang, semuanya tidak akan percaya begitu saja padaku, karena yang semuanya tahu Gus Yusuf itu baik, padahal hanya bersandiwara.

***

“Ning, bangun, hei, sudah azan subuh.” Ku dengar suara seorang pria tengah berusaha terus-menerus membangunkan diriku.

Tanpa menunggu lama, kedua mata ini terbuka lebar menatap pria yang sudah menjadi suamiku.

“Maaf, Gus eh hmm. Aku telat bangun, sampai harus dibangunkan seperti ini,” ucapku.

“Nggak papa, Ning. Sudah, ayo, kita salat berjamaah,” jawabnya.

“Maksudnya?” tanyaku yang belum mengerti apa maksudnya.

Gus Yusuf pun tersenyum, “Iya, kita salat berjamaah untuk yang pertama kalinya sebagai suami—istri, nanti juga ke Masjid kok,” jawabnya lagi.

Aku rasanya ingin sekali salat berjamaah bersama suamiku, tapi? Aku harus bersikap biasa saja, jangan berlebihan.

“Sebaiknya Gus ke Masjid saja, nanti terlambat berjamaah, aku salat sendiri aja dulu,” tolak ku dengan halus.

“Baiklah, kamu ternyata wanita yang baik, mengerti agama, tahu bagaimana seharusnya seorang pria salat, yasudah, saya ke Masjid dulu, assalamualaikum,” ucapnya.

“Iya, Gus, maaf juga aku belum mempersiapkan ....”

Aku terkejut, ternyata persiapan untuk salat ke Masjid sudah siap, apa tadi dia sengaja mengujiku? Jelas aku tahu, seorang pria itu salatnya di Masjid, kalau di rumah ya harus pakai mukena huft, apa sih Anisa.

“Mandi, ambil wudu, dan salat lah, sekali lagi assalamualaikum,” ucap Gus Yusuf, mencium keningku, aku pun menyalaminya dengan baik.

“Hmm, waalaikumussalam, Gus.” Setelah Gus Yusuf benar-benar pergi, aku pun tak berpikir lama lagi, bergegas bersiap untuk salat.

Sebentar ... tadi dia mencium keningku? Itu modus? Atau tulus?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Emeli Emelia
semoga saja ciuman itu tulus y gk modus
goodnovel comment avatar
Rya Mom's Wilzy
baru nikah udah dibikin sakit hati......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status