Setelah selesai salat subuh, aku sebagai seorang istri harus sudah siap siaga di dapur untuk berkutat dengan alat dapur beserta bahan-bahannya.
Selalu mengingat apa yang selama ini umi katakan, jika seorang istri selalu bangun lebih awal daripada suami lalu dia menyiapkan sarapan yang terbaik untuk suaminya, akan ada kebaikan untuk keduanya.Belum tahu apa saja yang dia suka dan tidak disukai, memang benar uminya belum pulang lagi ke Kudus tapi aku sangat malu untuk bertanya padanya apa makanan kesukaan suamiku.“Masak apa, ya, pagi ini? Aku takut dia nggak suka sama yang aku masak,” ucapku sambil melihat isi kulkas.Menatap wortel, dan daging ayam menjadi semakin bingung harus masak apa, mau bertanya pun rasanya malu.“Hmm.”Ku dengar deheman seorang wanita, langsung ku lihat ke arah sumber suara ternyata wanita itu? Apa dia belum pulang? Tidur di mana dia semalam, jadi penasaran.“Kamu ....” aku tidak boleh menegurnya, pura-pura tak tahu apa-apa.“Aku Marwah, Mbak. Ada apa subuh-subuh begini seperti kebingungan?” tanya dia.Kenapa dia bertanya seperti itu sama aku? Memangnya ini rumah siapa? Hmm, nyebelin sekali wanita ini ya Rabb.“Oh, iya, kamu pasti bingung siapa aku dan kenapa masih ada di rumah kamu, kenalkan aku Marwah ... dan pastinya aku akan pulang kalau umi juga pulang,” ucapnya.“Umi siapa? Bukannya yang belum pulang itu mertuaku.” Aku mulai gregetan.“Ya, uminya Gus Yusuf siapa lagi? Lagian aku nggak punya ongkos untuk pulang sendiri ke Kudus, semalam aku tidur bersama umi, salam kenal, ya.”Terlalu banyak yang dia ucapkan, apa dia tidak sadar diri? Ah astaghfirullah, lebih baik aku abaikan saja dia. Toh, tidak akan lama juga dia di sini.“Kamu lagi bingung masak apa, ya, untuk Gus?” tanya dia lagi, perasaan dia sok peduli banget.“Hmm, ya.” Aku hanya jawab singkat masih menatap isi kulkas.Tiba-tiba aku terkejut melihat dia mengambil beberapa bahan di dalam kulkas, lebih syok lagi dia langsung berkutat di dapur tanpa memedulikan aku? Hei? Dia? Keterlaluan.“Hei, Mbak Marwah mau apa? Sini, biar ....”“Udah aku aja yang masak untuk Gus, lagi pula kamu nggak tahu apa-apa.”“Tapi aku istrinya, Mbak dan ....”Dia benar-benar bersikukuh untuk masak tanpa membutuhkan bantuan aku yang masih mematung kebingungan.“Assalamualaikum, loh kalian berdua ada di sini?”“Waalaikumussalam, Gus?” Aku pun langsung menghampiri Gus Yusuf dan mencium punggung tangannya.“Sedang apa kamu Marwah?”Kenapa tidak menghiraukan aku? Kenapa jadi tanya dia.“Eh, Gus waalaikumussalam. Ini aku lagi masak untuk kamu sarapan pagi ini, istri kamu nggak becus banget, makanya aku masakin deh,” ucap Marwah.Astaghfirullah, kenapa dia tega bicara seperti itu tentangku pada suamiku sendiri? Memangnya dia siapa? Mertua bukan, umiku juga bukan.“Kok, kamu bicara seperti itu, ya? Siapa yang nggak becus? Aku ....” ucapan ku terhenti.“Marwah, kamu tidak boleh bicara seperti itu, dia istri saya, loh. Ayo, minta maaf sekarang!” titah Gus Yusuf.“Ih, kok belain dia, sih!” Dengan hentakan kaki Marwah langsung pergi begitu saja meninggalkan kami.Tidak ada yang berbicara sampai akhirnya aku lebih memilih pergi ke arah kamar saja daripada kepala ini pening dengan kejadian tadi.“Tunggu,” pinta Gus Yusuf menahan tangan ini untuk tidak pergi.Karena tak ingin berdosa, aku pun menatapnya dengan malu. Apa dia akan membela wanita itu lagi? Atau ... astaghfirullah jangan berpikir seperti itu.“Mau masakin saya sarapan, kan?” tanya Gus Yusuf.Aku hanya bisa mengangguk saja karena tak ingin memperpanjang masalah tadi, tidak penting juga membahas wanita seperti Marwah.“Di dalam kulkas ada apa saja?” tanyanya lagi.“Banyak, Gus.”“Hmm, ada wortel sama daging ayam yang masih mentah?” Gus Yusuf pun membuka pintu kulkas.Aku langsung tersenyum mendengar itu, kok bisa satu pemikiran? Wortel dan daging ayam?“Masakin saya sop daging pakai wortel, ya, kebetulan ini ada bahan nya.”“Bismilah, aku mau, Gus. Kebetulan memang ini yang aku pikirkan tadi,” ucapku.Dia tersenyum dan membelai kepala ini kemudian merapalkan doa-doa yang langsung aku aamiinkan, sangat tersentuh oleh sikap serta perlakuannya.“Terima kasih, Ning. Sudah, jangan dipikirkan ucapan Marwah tadi, saya percaya kalau kamu bisa masak, kenapa begitu? Karena suami memang harus percaya istri daripada orang lain.”“Harusnya aku yang berterima kasih, Gus. Sudah nggak apa-apa kok, aku mulai masak, ya.”Akhirnya masalah pagi ini terselesaikan dengan baik walaupun awalnya aku sudah berprasangka buruk kepada suamiku.***Semua masakan sudah ku siapkan semuanya di meja makan, menunggu semuanya berkumpul tapi ke mana suamiku? Hanya dia dan Marwah yang belum ada.“Ning, ke mana suamimu? Cepat panggil,” titah umiku.Hanya mengangguk dan langsung pergi mencari suamiku, ke mana? Kenapa di saat aku bahagia dia justru membuat hati ini sakit.Sudah mencarinya di kamar tidak ada, entah ada dorongan apa aku langsung melangkah menuju dapur. Ada apa sebenarnya dengan pikiran ini?Astaghfirullah, aku lihat mereka berduaan lagi? Aku dengarkan saja apa yang seharusnya didengarkan.“Kenapa, sih, tadi kamu belain dia! Nggak bela aku, Gus.”“Ya salam, kamu ini kenapa tidak bisa kontrol emosi? Memangnya ini di mana? Ini bukan rumah kita, jangan sampai kamu buat keributan di rumah ini,” ucap Gus Yusuf.“Ya aku tahu itu, hanya saja aku kesal sama istrimu, Gus. Gimana kalau hari ini kita ke Kudus berdua saja? Ayo, kita ....”“Istighfar kamu, Marwah. Cinta kita sudah tak sehat, tidak seharusnya ada lagi. Jangan berharap lebih lagi, siang ini kamu harus pulang bersama umi, tidak ada kata tapi!”Ku lihat dan mendengar dengan jelas, kini Gus Yusuf tengah berjalan menuju ke tempat persembunyian ku, gimana ini? Bakalan ketahuan tidak, ya.Aku pejamkan kedua mata dan ku bekap mulut ini, jangan sampai ketahuan oleh siapapun.“Ning, ayo, kita sarapan. Jangan pikirkan apa yang kamu dengarkan.” Aku mendengar itu, tangan ini pun ditarik dengan halus olehnya.Gus Yusuf kok bisa tahu aku sembunyi di sini? Kok bisa, sih?“Ning, kenapa diam? Ayo, kita makan.”Tetap saja perasaan seorang wanita tidak bisa dibohongi oleh senyuman ataupun kata baik-baik saja, apalagi sekarang aku sudah ketahuan sedang bersembunyi oleh suamiku, entah dari mana dia tahu, aku hanya bisa diam tidak tahu harus bagaimana dalam menyikapinya.Walaupun sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin sekali aku tanyakan kepadanya, tetapi semua itu aku urungkan terlebih dahulu sampai situasi benar-benar kembali membaik, dan hatiku pun siap melewatinya.Betapa takutnya hamba saat ini ya Allah, bagaimana jika nanti semuanya tahu sedari tadi aku dengan sengaja mendengarkan mereka berdua berbicara.Tidak ada maksud lain selain ingin tahu apa saja yang Gus Yusuf lakukan di belakangku, tak ada niat buruk apalagi tidak sopan.“Ning, kamu kenapa? Ayo,” ajak Gus Yusuf.“Eh, iya,” jawabku langsung mengikuti langkahnya.Sampai selesai makan pun ternyata wanita itu masih belum pulang juga dari rumah, kalau saja aku tidak takut pada orang tua, dan tidak peduli dengan dosa, pasti sedari tadi aku sudah mengusirnya, agar tak menganggu lagi.Menganggu di rumah, sih, tak masalah karena pintu rumah selalu terbuka untuk tamu, tapi menganggu rumah tanggaku? Jangan harap aku diam saja, paling-paling aku hanya berusaha diam tapi beraksi.Di dalam kamar saat ini, kami hanya berdua saja, tidak mungkin juga, kan, Marwah mengikuti sampai ke kamar? Memangnya dia siapa?“Ning, koleksi buku kamu banyak sekali, suka atau sering baca?” tanya Gus Yusuf.“Hmm, dua-d
Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, setelah ku pakai pakaian itu, ternyata bukan hanya lekuk tubuh saja yang terlihat jelas, melainkan kemaluan ku oh tidak mungkin, mana bisa ku pakai seterusnya? Bagaimana nanti jika Gus Yusuf datang dan tidak bisa menerima penampilan ku yang seperti sekarang.Buru-buru ku ingin mengganti kembali pakaian yang tadinya sangat terbuka menjadi pakaian seperti semula, memang lebih nyaman menggunakan gamis syar'i dibandingkan pakaian seperti itu, sangat tidak percaya diri saat memakai nya.Ku dengar ketukan pada pintu, betapa terkejutnya aku. Bagaimanapun juga pakaian aneh itu masih ada di atas tempat tidur dan tentunya sangat berantakan, dengan cepat ku langsung merapikan nya dan sebisa mungkin menyembunyikan semua pakaian tersebut di tempat yang cukup aman, tidak mungkin siapapun bisa menemukan nya.Setelah ku buka pintu kamar, ku dapati bahwa pria yang sudah bergelar sebagai suami kini tengah menatapku dengan tatapan yang sulit sekali untuk diar
Ada banyak pertanyaan yang sudah ku pikirkan sebelumnya, tetapi kenapa setelah ingin membahas nya aku tidak bisa seberani itu kepadanya. Malam ini, hal baik yang sudah seharusnya dilakukan pun tidak terjadi lagi, aku tidak menjawabnya, dan dia pun tak lagi memaksa untuk melakukan apapun.Selain hanya saling diam, kami tak ingin membahas nya lagi. Ku biarkan saja dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, aku hanya ingin sedikit mengurangi kecemasan terhadapnya, dengan cara tak terlalu banyak berbicara saat berada di dekatnya.“Ning ... kemarilah, kenapa kamu masih saja berdiri di situ? Masih marah pada saya?” tanya Gus Yusuf.“Aku? Marah? Nggak mungkin, Gus.”“Lalu? Apa yang membuatmu seperti ini sekarang, jika tidak ada kemarahan, lantas apalagi? Katakan, jika memang kamu sedang marah,” tanyanya, sangat menuntut kali ini.Menuntut seperti ingin segera dijawab olehku, hanya saja rasanya masih malas untuk kembali berbicara dengan seseorang yang sudah membuatku semakin meningkatkan t
“Loh, kalian berdua ternyata ada di sini, Umi bingung tadi mencari kalian berdua, kirain sudah berangkat.”Kami terkejut karena kedatangan umi yang secara tiba-tiba seperti itu, aku tidak tahu lagi harus bagaimana setelah ini, bertanya pun rasanya sudah percuma.Agar tak terlihat seperti orang yang sedang bermasalah, ku alihkan pembicaraan sebelum semuanya benar-benar kacau, bisa saja nanti umi menginterogasi lebih jauh lagi daripada sekarang, lebih baik sedia payung sebelum hujan, berjaga-jaga sebelum hal-hal yang tak diinginkan terjadi.“Umi ... ini katanya Gus eh suamiku maksudnya, ada yang ingin dibicarakan dulu sebelum berangkat,” sahutku sedikit gelagapan.“Apa itu? Sebaiknya bicarakan nanti saja saat di perjalanan, Umi bukan apa-apa, coba lihatlah ... di luar sudah mulai mendung, walaupun masih pagi, kan, sebaiknya jangan menunggu hujan deras, kurang aman di jalan nya.”Benar memang apa yang umi katakan, keselamatan di perjalanan jauh lebih penting sekarang, jangan sampai aku l
“Ning, ayo ... ke luar dulu, biar saya ajak kamu ke restoran dulu untuk makan siang,” ucapnya, aku yang masih bingung hanya mengangguk dan turun dari mobil sesuai dengan perintah nya.Mobil ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan tadi, sedangkan kami memilih untuk makan siang terlebih dahulu agar tak terlalu merisaukan mobil lagi.“Kita mau makan di mana? Kamu saja yang pilih dan tentukan harus makan di mana,” titahnya.Aku sebenarnya ada keinginan tetapi itu semua ku urungkan terlebih dahulu, karena sangat ingin menghormati serta menghargai suamiku sebagai imam dalam rumah tangga kami, sudah sepantasnya dia ku berikan kenyamanan saat bersama.“Ning, ayo ... katakan ingin makan di mana? Katakan, saya benar-benar ingin kamu yang menentukan, ini perintah suami!”“BONCAFE PREGOLAN,” jawabku dengan tegas.“Baik, kita makan dan beristirahat terlebih dahulu sembari menunggu tukang memperbaiki mobil nya,” cecar Gus Yusuf, dia terlihat seperti sedang memikirkan hal lain, yang berbeda dari t
Tak terasa sudah hampir zuhur, kami masih saja di tempat tadi, selesai makan pun tak ada kabar dari tukang yang sedang memperbaiki mobil, Gus Yusuf memutuskan untuk mencari musala ataupun masjid terdekat, menunaikan ibadah salat bersama.“Kamu tak apa-apa, kan? Kita mencari musala jalan kaki seperti ini?” Gus Yusuf ternyata bisa peka juga terhadap orang yang ada di dekatnya.“Ora apa-apa, sing penting aman, Gus.”“Terima kasih, Ning.”“Lagi pula kita niatkan untuk mencari rumah Allah, bukan sembarangan jalan kaki, Gus. Insya Allah pahala, lelah ataupun letih nya,” ucapku.“Kamu benar, ya sudah ... ayo, sebelum azan,” katanya.Pada saat kami terus berjalan kaki, entah kenapa ada sedikit keanehan lagi pada diri suamiku, bukan dirinya melainkan tubuhnya, saat ini aku sangat dekat dengannya, karena dia terus saja menggenggam tanganku, jadi ku bisa mencium aroma yang ada di tubuhnya.Parfum laki-laki seperti itu, kah? Aku belum pernah sebelumnya berdekatan dengan lawan jenis seperti ini se
Semenjak ku beritahu kidal itu sudah sejak kecil ku alami, Gus Yusuf hanya mengangguk dan tak lagi mencari tahu mengenai wewangian tersebut, apakah mungkin dia sudah tahu siapa orangnya? Namun, tak ingin ku marah, atau ada hal lainnya yang aku sendiri tidak tahu apa itu.“Saya akan segera kembali, sekarang harus menghubungi seseorang terlebih dahulu,” ucapnya, belum sempat ku menjawab dia sudah pergi begitu saja.Untuk pertama kalinya, pergi begitu saja di saat dirinya akan menghubungi seseorang, yang entah siapa orangnya, aku benar-benar tak ingin soouzon pada siapapun.Sembari menunggu, tak ingin menyia-nyiakan waktu dengan penantian sia-sia, aku buka buku yang kebetulan ada di dalam tas, lalu membaca nya agar tak terlalu hening selama menunggu nya.Buku yang saat ini ku baca adalah buku islami, judulnya saja sudah cukup membuatku penasaran ingin cepat-cepat membaca, karena ini buku baru yang belum sempat ku baca sebelumnya.Berjudul menjadi bidadari cantik ala islami, benar-benar b
Sampai menjelang sore lagi, ku tak bisa menemukan di mana keberadaan Gus Yusuf, jangan tanya sudah berapa kali ku menghubungi dirinya hari ini. Terlalu sering aku dikecewakan, membuatku semakin meragukan sosoknya, aku takut dengan seperti itu, akan ada banyak kesalahpahaman yang terjadi pada rumah tangga kami.Selepas salat ashar, aku masih heran dengan lelaki itu, dia begitu betah menunggu entah siapa sebenarnya yang dia tunggu, ku lihat dia belum pergi juga, apakah dia penjaga masjid dan semacamnya? Apapun alasannya, aku tak ingin tahu.“Hei, assalamualaikum? Bagaimana? Masih mau, kah, kamu menunggu seseorang yang tak mungkin datang lagi?” Aku terkejut, saat menyadari dia sudah kembali mendekat dan bahkan bertanya seperti itu kepadaku.Aku tanpa menatapnya pun tetap menjawab, “Tentu, waalaikumussalam.”“Kenapa tentu? Atau hanya karena dia suamimu? Maka dari itu rela menunggu yang tak pasti sendirian di sini? Lebih baik pulang sebelum malam.”“Maaf, sebelumnya. Terima kasih untuk itu