Nanti bab selanjutnya atau bab 39 sampai beberapa bab akan ada POV Marwah dan Yusuf ya :) jangan lupa untuk komentar, vote GEM, follow author dan kasih ulasan buku ini dengan bintang 5.
“Apa yang harus ku lakukan lagi untukmu, hmm? Aku sudah rela serta ikhlas menjalani kehidupan seperti ini, menjadi madu dari wanita lain, yang seharusnya dilakukan olehnya bukan olehku!”“Berhenti berbicara omong kosong seperti itu lagi, kita sudah menyepakati segalanya sejak awal, bukankah ini keinginan mu juga? Jangan lupakan itu, jangan lupa siapa yang merengek dan memohon untuk tidak ditinggalkan,” cecar Gus Yusuf, kedua matanya masih menatap jalanan tanpa mempedulikan ku sama sekali.Kemudian ku hentikan langkah kakinya dengan berjalan lebih cepat darinya, “Tunggu, aku yang merengek? Bukankah kamu yang berkata, akan tetap adil walaupun posisiku tidak seindah yang ku bayangkan, tapi mana? Beginilah seorang pria, mudah berjanji tapi tidak bisa membuktikan,” cela ku.“Katakan, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Dan apa yang kamu inginkan? Sebagai seorang suami, aku terlihat seperti budak jika terus diperlakukan seperti ini olehmu, Marwah,” katanya dengan suara berat.Aku? Memperlaku
“Kenapa Ibu tidak melanjutkan ucapan yang tadi? Apakah ada masalah tentang suamiku?” Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya seperti ini.Semua orang memang harus bertindak ketika dirinya sendiri tidak yakin dengan keadaan yang sedang dialaminya, karena tak selamanya diam bisa menyelesaikan masalah.Ibu itu tidak langsung menjawab, apapun yang sebenarnya terjadi, aku berjanji pada diriku tidak akan mudah marah selama mereka mau jujur dan berterus terang tanpa menyembunyikan apapun lagi dariku.Sedangkan aku juga sangat tidak mungkin jika harus bertanya kepada Gus Yusuf, kami bahkan tidak baik-baik saja akhir-akhir ini.“Bu? Tidak apa-apa, kan?” tegurku dengan sopan.“Ah, iya tidak apa-apa atuh, hehe tidak ada masalah sebenarnya tapi ....”Sedikit lagi saja semuanya akan terjawab tetapi lagi dan lagi gagal karena tertunda, setelah datangnya kembali gadis tersebut.“Ibu, bisa ikut aku sebentar? Maaf, ya, Teh. Ada masalah sedikit di dapur,” ucapnya.Aku tidak bisa berkata apapun
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Anisa Azahra Khumaira binti Abdul Qodir Jaelani dengan maskawin nya yang tersebut dibayar tunai.”Hari ini, hari dimana aku dan pria itu akan bersatu dalam ikatan suci pernikahan. Aku yang tak mengenalnya, harus ikhlas menerima perjodohan ini. Keinginan orang tua tak bisa ku tolak.Aku masih di dalam kamar bersama umi dan calon ibu mertua, menunggu ijab kabul selesai. Aku mendengar suara lantang itu menggema begitu indah menyentuh hati ini.SAH.Mendengar ijab dan qabul itu membuat hati dan pikiran ini tak dapat bereaksi dengan seimbang. Pikiranku menolak sedangkan hatiku begitu tersentuh akan dirinya.Aku dan pria itu sudah sah menjadi sepasang suami—istri sehingga sudah halal untuk dipertemukan. Umi dan mertuaku menuntun tangan ini, ke luar dari kamar.Kini, aku dan dia berdekatan. Aku belum berani menatapnya, apalagi mencium punggung tangannya, hanya bisa memperhatikan kedua kakinya saja.“Ning, kamu ini bagaimana, sih? Ini suami kamu didiemin. Ayo
Setelah selesai salat subuh, aku sebagai seorang istri harus sudah siap siaga di dapur untuk berkutat dengan alat dapur beserta bahan-bahannya.Selalu mengingat apa yang selama ini umi katakan, jika seorang istri selalu bangun lebih awal daripada suami lalu dia menyiapkan sarapan yang terbaik untuk suaminya, akan ada kebaikan untuk keduanya.Belum tahu apa saja yang dia suka dan tidak disukai, memang benar uminya belum pulang lagi ke Kudus tapi aku sangat malu untuk bertanya padanya apa makanan kesukaan suamiku.“Masak apa, ya, pagi ini? Aku takut dia nggak suka sama yang aku masak,” ucapku sambil melihat isi kulkas.Menatap wortel, dan daging ayam menjadi semakin bingung harus masak apa, mau bertanya pun rasanya malu.“Hmm.”Ku dengar deheman seorang wanita, langsung ku lihat ke arah sumber suara ternyata wanita itu? Apa dia belum pulang? Tidur di mana dia semalam, jadi penasaran.“Kamu ....” aku tidak boleh menegurnya, pura-pura tak tahu apa-apa.“Aku Marwah, Mbak. Ada apa subuh-sub
Betapa takutnya hamba saat ini ya Allah, bagaimana jika nanti semuanya tahu sedari tadi aku dengan sengaja mendengarkan mereka berdua berbicara.Tidak ada maksud lain selain ingin tahu apa saja yang Gus Yusuf lakukan di belakangku, tak ada niat buruk apalagi tidak sopan.“Ning, kamu kenapa? Ayo,” ajak Gus Yusuf.“Eh, iya,” jawabku langsung mengikuti langkahnya.Sampai selesai makan pun ternyata wanita itu masih belum pulang juga dari rumah, kalau saja aku tidak takut pada orang tua, dan tidak peduli dengan dosa, pasti sedari tadi aku sudah mengusirnya, agar tak menganggu lagi.Menganggu di rumah, sih, tak masalah karena pintu rumah selalu terbuka untuk tamu, tapi menganggu rumah tanggaku? Jangan harap aku diam saja, paling-paling aku hanya berusaha diam tapi beraksi.Di dalam kamar saat ini, kami hanya berdua saja, tidak mungkin juga, kan, Marwah mengikuti sampai ke kamar? Memangnya dia siapa?“Ning, koleksi buku kamu banyak sekali, suka atau sering baca?” tanya Gus Yusuf.“Hmm, dua-d
Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, setelah ku pakai pakaian itu, ternyata bukan hanya lekuk tubuh saja yang terlihat jelas, melainkan kemaluan ku oh tidak mungkin, mana bisa ku pakai seterusnya? Bagaimana nanti jika Gus Yusuf datang dan tidak bisa menerima penampilan ku yang seperti sekarang.Buru-buru ku ingin mengganti kembali pakaian yang tadinya sangat terbuka menjadi pakaian seperti semula, memang lebih nyaman menggunakan gamis syar'i dibandingkan pakaian seperti itu, sangat tidak percaya diri saat memakai nya.Ku dengar ketukan pada pintu, betapa terkejutnya aku. Bagaimanapun juga pakaian aneh itu masih ada di atas tempat tidur dan tentunya sangat berantakan, dengan cepat ku langsung merapikan nya dan sebisa mungkin menyembunyikan semua pakaian tersebut di tempat yang cukup aman, tidak mungkin siapapun bisa menemukan nya.Setelah ku buka pintu kamar, ku dapati bahwa pria yang sudah bergelar sebagai suami kini tengah menatapku dengan tatapan yang sulit sekali untuk diar
Ada banyak pertanyaan yang sudah ku pikirkan sebelumnya, tetapi kenapa setelah ingin membahas nya aku tidak bisa seberani itu kepadanya. Malam ini, hal baik yang sudah seharusnya dilakukan pun tidak terjadi lagi, aku tidak menjawabnya, dan dia pun tak lagi memaksa untuk melakukan apapun.Selain hanya saling diam, kami tak ingin membahas nya lagi. Ku biarkan saja dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, aku hanya ingin sedikit mengurangi kecemasan terhadapnya, dengan cara tak terlalu banyak berbicara saat berada di dekatnya.“Ning ... kemarilah, kenapa kamu masih saja berdiri di situ? Masih marah pada saya?” tanya Gus Yusuf.“Aku? Marah? Nggak mungkin, Gus.”“Lalu? Apa yang membuatmu seperti ini sekarang, jika tidak ada kemarahan, lantas apalagi? Katakan, jika memang kamu sedang marah,” tanyanya, sangat menuntut kali ini.Menuntut seperti ingin segera dijawab olehku, hanya saja rasanya masih malas untuk kembali berbicara dengan seseorang yang sudah membuatku semakin meningkatkan t
“Loh, kalian berdua ternyata ada di sini, Umi bingung tadi mencari kalian berdua, kirain sudah berangkat.”Kami terkejut karena kedatangan umi yang secara tiba-tiba seperti itu, aku tidak tahu lagi harus bagaimana setelah ini, bertanya pun rasanya sudah percuma.Agar tak terlihat seperti orang yang sedang bermasalah, ku alihkan pembicaraan sebelum semuanya benar-benar kacau, bisa saja nanti umi menginterogasi lebih jauh lagi daripada sekarang, lebih baik sedia payung sebelum hujan, berjaga-jaga sebelum hal-hal yang tak diinginkan terjadi.“Umi ... ini katanya Gus eh suamiku maksudnya, ada yang ingin dibicarakan dulu sebelum berangkat,” sahutku sedikit gelagapan.“Apa itu? Sebaiknya bicarakan nanti saja saat di perjalanan, Umi bukan apa-apa, coba lihatlah ... di luar sudah mulai mendung, walaupun masih pagi, kan, sebaiknya jangan menunggu hujan deras, kurang aman di jalan nya.”Benar memang apa yang umi katakan, keselamatan di perjalanan jauh lebih penting sekarang, jangan sampai aku l