Ada banyak pertanyaan yang sudah ku pikirkan sebelumnya, tetapi kenapa setelah ingin membahas nya aku tidak bisa seberani itu kepadanya. Malam ini, hal baik yang sudah seharusnya dilakukan pun tidak terjadi lagi, aku tidak menjawabnya, dan dia pun tak lagi memaksa untuk melakukan apapun.
Selain hanya saling diam, kami tak ingin membahas nya lagi. Ku biarkan saja dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, aku hanya ingin sedikit mengurangi kecemasan terhadapnya, dengan cara tak terlalu banyak berbicara saat berada di dekatnya.“Ning ... kemarilah, kenapa kamu masih saja berdiri di situ? Masih marah pada saya?” tanya Gus Yusuf.“Aku? Marah? Nggak mungkin, Gus.”“Lalu? Apa yang membuatmu seperti ini sekarang, jika tidak ada kemarahan, lantas apalagi? Katakan, jika memang kamu sedang marah,” tanyanya, sangat menuntut kali ini.Menuntut seperti ingin segera dijawab olehku, hanya saja rasanya masih malas untuk kembali berbicara dengan seseorang yang sudah membuatku semakin meningkatkan tingkat soouzon yang tak seharusnya ku lakukan kepadanya ataupun pada orang lain.Selama ini, umi dan abah tak pernah mengajarkan aku untuk melakukan ataupun bersikap yang tidak baik pada semua orang, seburuk apapun orang tersebut. Akan tetapi, kali ini dia yang sudah bergelar suami, sudah berhasil meruntuhkan tingkat kebaikan menjadi tingkat tinggi kemarahan dalam dada.Ku beranikan diri untuk lebih dekat lagi dengannya saat berbicara, jika punya nyali kecil bagaimana nanti untuk mengungkap misteri yang ada? Ku tak harus lemah di hadapannya, hanya karena dia suamiku.“Jika aku boleh membuka pembicaraan, apakah boleh juga aku bertanya sesuatu yang cukup serius, Gus?” tanyaku, pada akhirnya aku berani juga.“Tentu, apa yang ingin kamu tanyakan pada saya, hmm? Tanyakan jika itu bisa membuatmu jauh lebih tenang, Ning.”“Apa alasan kamu berkata seperti itu kepadaku tadi? Mengatakan bisa melakukan walaupun tanpa rasa, apa itu menandakan sebelumnya Gus pernah ... hmm melakukannya, maaf jika pertanyaan ini membuatmu tersinggung, Gus.”Aku hanya bisa menatapnya, ku lihat raut wajahnya biasa saja setelah mendengar pertanyaan dariku tadi, apakah dia memang sesantai itu dalam menghadapi semua masalah? Ya, ini sudah jelas-jelas masalah bagi pernikahan kami, dia yang lebih dulu memberikan teka-teki misteri yang sudah seharusnya ku pecahkan agar selesai dengan baik.“Gus?”“Memang, jika seandainya saya pernah melakukan, apa yang akan kamu lakukan kepada saya, hmm? Apa mungkin itu berpisah? Menggugat saya? Atau mungkin ... yang lebih parah dari itu semua?” Pertanyaan macam apa itu? Dia seolah-olah tak ingin dikalahkan, justru sekarang dia melemparkan pertanyaan yang sangat sulit untuk ku jawab.Rupanya dia sudah sangat pandai bermain-main dengan kata saat berbicara dengan lawan bicaranya, ku tak ingin dikalahkan juga jika sudah begini, tetap menatap kedua matanya, dia pun terlihat seperti meremehkan wajahku yang tengah nerves saat menghadapi dirinya.Andai saja cadar ku belum dia buka, mungkin ku bisa menutupi rasa tidak percaya diri ini di balik cadar ku, sungguh ini posisi yang sangat menyulitkan.“Ning, jawab lah. Katanya, kamu ingin tahu, tapi kenapa pertanyaan saya tidak dijawab, aja seneng mbuwang wektu, Ning.”Memangnya siapa yang suka membuang waktu? Tidak ada seperti itu, hanya saja memang benar-benar sangat sulit menjawab pertanyaan yang sudah dia tanyakan tadi.“Jika kamu saja tidak bisa menjawab, maka saya juga tak mungkin menjawab pertanyaan yang sebelumnya kamu tanyakan,” cecarnya, lalu ku lihat dia menarik selimut dan menyelimuti tubuhnya.“Sudah, lebih baik kita tidur sekarang, ada hari esok untuk kembali membicarakan nya, ayo ... tidur, tenang saja, saya tidak mungkin melakukan apapun jika kamu tak memberi izin,” ungkapnya.Baiklah, mungkin memang sesi pertanyaan itu diakhiri saja dulu sampai benar-benar aku siap untuk menjawabnya, dan siap menerima kenyataan apapun yang terjadi sebelumnya.Seperti kemarin malam, kami hanya merebahkan tubuh masing-masing di tempat tidur yang sama tanpa melakukan apapun selain tidur, tetapi entah apa saja yang dia lakukan selama aku tertidur pulas semalaman tanpa memperhatikan nya lagi.Katakan saja aku ini hanya ingin tahu masa lalunya, tanpa harus menghakimi masa itu jika memang nanti kenyatannya sangat menyakitkan.***Dua hari setelah kejadian malam yang sangat membingungkan hanya karena sebuah pertanyaan, hari ini kami semua sedang berkumpul di ruang keluarga, katanya memang ada yang ingin didiskusikan untuk ke depannya akan seperti apa.“Anisa, tolong dengarkan Abah baik-baik, ya, Ning. Abah sudah tua, maka dari itu Abah menikahkan kamu dengan Gus Yusuf, untuk apa? Untuk bisa menggantikan posisinya Abah, menjaga kamu sekaligus membimbing kamu,” ucap Abah.Apa maksudnya? Kenapa Abah berbicara seperti itu? Aku hanya bisa mendengarkan tanpa ada keberanian untuk menyela pembicaraan kali ini, umi saja senyum-senyum seperti tak ada masalah, aneh sekali.“Jadi, alangkah baiknya kamu ikut dengan suamimu. Untuk tinggal bersamanya, di manapun yang diinginkan oleh suamimu.”Itulah kata-kata yang sangat menancap di hatiku, entah kenapa rasanya seperti diusir secara tidak langsung oleh kedua orang tuaku. Tak banyak percakapan setelah keputusan yang Abah putuskan tadi, mau tak mau, terima ataupun tidak, aku tetap harus ikut dengan suamiku, ke manapun dia melangkah.Selama itu langkah yang baik, akan ku ikuti dia, meskipun masih ada keraguan serta rasa takut yang ku rasakan sejak dua hari yang lalu.“Sudah selesai, kah, kamu berkemas-kemas? Saya tunggu di mobil, ya, biar koper yang besar saya yang bawa,” ucap Gus Yusuf.Tanpa ku jawab pun dia sudah melakukan nya, melenggang ke luar sembari membawa koper besar milikku. Dia memang selalu mencurigakan, tetapi kedewasaannya saat menghadapi masalah, itulah yang menjadi poin dari penilaian ku akhir-akhir ini.Kedewasaan yang tidak memaksa, tidak bersikeras, itulah yang ku suka darinya. Usianya saja jauh lebih tua dariku, tidak aneh lagi jika dirinya jauh lebih dewasa saat menghadapi permasalahan.Kembali percaya padanya itu sebuah tantangan bagiku, belum lama menikah pun dia sendiri yang sudah meluluh lantakan diriku. Membuat benteng yang sangat besar diantara kami, dengan ketidakmampuan untuk saling jujur.Setelah selesai berkemas, niatku ingin berpamitan dengan umi sekali lagi, tetapi kedua telinga ini tak sengaja mendengar percakapan seseorang dengan siapa itu? Tidak jelas, seperti sedang menelepon.“Jangan khawatir, secepatnya akan ku selesaikan semua ini, kamu jangan panik begitu, tunggu aku, dan tetaplah bersabar.”Rasa penasaran membuatku kembali nekat untuk terus mendengarkan, dan saat ku lihat siapa orang itu, ternyata suamiku, dia? Menelepon siapa? Katanya, langsung menunggu di mobil tetapi kenapa masih ada di dapur? Hobi sekali dia membuat misteri di dapur rumah ini.“Gus?” panggilku.Ku lihat dia langsung memasukkan ponsel nya ke dalam saku celana, dia tetap rileks tanpa terlihat gemetar sama sekali saat ku pergoki dirinya.Sesantai itukah dia? Benar-benar sangat tidak ketakutan sama sekali, mungkin gerogi saja tidak pernah dia rasakan, selalu santai setiap harinya.“Sedang apa kamu di sini, Gus? Katanya, akan menunggu di mobil, kok masih di dapur?” tanyaku, kali ini aku berpura-pura seperti tak terjadi apa-apa.Dia saja bisa setenang itu, aku pun harus bisa bermain cantik agar tak ada kekalahan dalam menghadapi dirinya.“Gus? Kenapa diam terus? Ada yang diinginkan, kah? Apa masih lapar?” tanyaku lagi.Tetapi, dia tetap diam. Apa diam caranya untuk menyembunyikan rasa bersalah nya? Entahlah, terlalu banyak misteri dalam hidupnya.“Loh, kalian berdua ternyata ada di sini, Umi bingung tadi mencari kalian berdua, kirain sudah berangkat.”Kami terkejut karena kedatangan umi yang secara tiba-tiba seperti itu, aku tidak tahu lagi harus bagaimana setelah ini, bertanya pun rasanya sudah percuma.Agar tak terlihat seperti orang yang sedang bermasalah, ku alihkan pembicaraan sebelum semuanya benar-benar kacau, bisa saja nanti umi menginterogasi lebih jauh lagi daripada sekarang, lebih baik sedia payung sebelum hujan, berjaga-jaga sebelum hal-hal yang tak diinginkan terjadi.“Umi ... ini katanya Gus eh suamiku maksudnya, ada yang ingin dibicarakan dulu sebelum berangkat,” sahutku sedikit gelagapan.“Apa itu? Sebaiknya bicarakan nanti saja saat di perjalanan, Umi bukan apa-apa, coba lihatlah ... di luar sudah mulai mendung, walaupun masih pagi, kan, sebaiknya jangan menunggu hujan deras, kurang aman di jalan nya.”Benar memang apa yang umi katakan, keselamatan di perjalanan jauh lebih penting sekarang, jangan sampai aku l
“Ning, ayo ... ke luar dulu, biar saya ajak kamu ke restoran dulu untuk makan siang,” ucapnya, aku yang masih bingung hanya mengangguk dan turun dari mobil sesuai dengan perintah nya.Mobil ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan tadi, sedangkan kami memilih untuk makan siang terlebih dahulu agar tak terlalu merisaukan mobil lagi.“Kita mau makan di mana? Kamu saja yang pilih dan tentukan harus makan di mana,” titahnya.Aku sebenarnya ada keinginan tetapi itu semua ku urungkan terlebih dahulu, karena sangat ingin menghormati serta menghargai suamiku sebagai imam dalam rumah tangga kami, sudah sepantasnya dia ku berikan kenyamanan saat bersama.“Ning, ayo ... katakan ingin makan di mana? Katakan, saya benar-benar ingin kamu yang menentukan, ini perintah suami!”“BONCAFE PREGOLAN,” jawabku dengan tegas.“Baik, kita makan dan beristirahat terlebih dahulu sembari menunggu tukang memperbaiki mobil nya,” cecar Gus Yusuf, dia terlihat seperti sedang memikirkan hal lain, yang berbeda dari t
Tak terasa sudah hampir zuhur, kami masih saja di tempat tadi, selesai makan pun tak ada kabar dari tukang yang sedang memperbaiki mobil, Gus Yusuf memutuskan untuk mencari musala ataupun masjid terdekat, menunaikan ibadah salat bersama.“Kamu tak apa-apa, kan? Kita mencari musala jalan kaki seperti ini?” Gus Yusuf ternyata bisa peka juga terhadap orang yang ada di dekatnya.“Ora apa-apa, sing penting aman, Gus.”“Terima kasih, Ning.”“Lagi pula kita niatkan untuk mencari rumah Allah, bukan sembarangan jalan kaki, Gus. Insya Allah pahala, lelah ataupun letih nya,” ucapku.“Kamu benar, ya sudah ... ayo, sebelum azan,” katanya.Pada saat kami terus berjalan kaki, entah kenapa ada sedikit keanehan lagi pada diri suamiku, bukan dirinya melainkan tubuhnya, saat ini aku sangat dekat dengannya, karena dia terus saja menggenggam tanganku, jadi ku bisa mencium aroma yang ada di tubuhnya.Parfum laki-laki seperti itu, kah? Aku belum pernah sebelumnya berdekatan dengan lawan jenis seperti ini se
Semenjak ku beritahu kidal itu sudah sejak kecil ku alami, Gus Yusuf hanya mengangguk dan tak lagi mencari tahu mengenai wewangian tersebut, apakah mungkin dia sudah tahu siapa orangnya? Namun, tak ingin ku marah, atau ada hal lainnya yang aku sendiri tidak tahu apa itu.“Saya akan segera kembali, sekarang harus menghubungi seseorang terlebih dahulu,” ucapnya, belum sempat ku menjawab dia sudah pergi begitu saja.Untuk pertama kalinya, pergi begitu saja di saat dirinya akan menghubungi seseorang, yang entah siapa orangnya, aku benar-benar tak ingin soouzon pada siapapun.Sembari menunggu, tak ingin menyia-nyiakan waktu dengan penantian sia-sia, aku buka buku yang kebetulan ada di dalam tas, lalu membaca nya agar tak terlalu hening selama menunggu nya.Buku yang saat ini ku baca adalah buku islami, judulnya saja sudah cukup membuatku penasaran ingin cepat-cepat membaca, karena ini buku baru yang belum sempat ku baca sebelumnya.Berjudul menjadi bidadari cantik ala islami, benar-benar b
Sampai menjelang sore lagi, ku tak bisa menemukan di mana keberadaan Gus Yusuf, jangan tanya sudah berapa kali ku menghubungi dirinya hari ini. Terlalu sering aku dikecewakan, membuatku semakin meragukan sosoknya, aku takut dengan seperti itu, akan ada banyak kesalahpahaman yang terjadi pada rumah tangga kami.Selepas salat ashar, aku masih heran dengan lelaki itu, dia begitu betah menunggu entah siapa sebenarnya yang dia tunggu, ku lihat dia belum pergi juga, apakah dia penjaga masjid dan semacamnya? Apapun alasannya, aku tak ingin tahu.“Hei, assalamualaikum? Bagaimana? Masih mau, kah, kamu menunggu seseorang yang tak mungkin datang lagi?” Aku terkejut, saat menyadari dia sudah kembali mendekat dan bahkan bertanya seperti itu kepadaku.Aku tanpa menatapnya pun tetap menjawab, “Tentu, waalaikumussalam.”“Kenapa tentu? Atau hanya karena dia suamimu? Maka dari itu rela menunggu yang tak pasti sendirian di sini? Lebih baik pulang sebelum malam.”“Maaf, sebelumnya. Terima kasih untuk itu
Mana ada wanita yang tetap baik-baik saja setelah dirinya melihat sebuah bukti bahwa lelaki yang semula dia percaya, ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi nya. Mana sudah jelas apa alasannya, ya dia sengaja pergi begitu saja tanpa sebuah kabar, jika memang dari awal kepergian nya hanya sementara ataupun mendesak, mengapa tak memberi kabar? Apa tidak ada rasa cemas pada istrinya? Mungkin memang tak ada kecemasan sama sekali dalam dirinya kepadaku.Aku saja sampai bingung harus bagaimana, untuk pulang ke rumah pun rasanya tak bisa, barang-barang ku ada di mobil nya, lantas apa yang harus ku katakan jika kedua orang serta sanak keluarga bertanya, kenapa aku pulang lagi? Mana suamimu? Ada apa? Dan lain sebagainya.Kebingungan ini terjadi sampai malam, sudah empat kali salat di masjid yang sama, tinggal menunggu subuh saja nanti. Ah, sudahlah mungkin lelaki asing itu memang berkata jujur, suamiku tak mungkin kembali lagi untuk menjemput ataupun menjelaskan.Sungguh, terpaksa diriku memin
“Jangan terlalu dipikirkan, itu semua sudah berlalu cukup lama, kami sudah ikhlas,” ucapnya kemudian.Walaupun demikian, aku bisa merasakan sebenarnya tidak ada keikhlasan yang benar-benar ikhlas dalam hatinya, siapa yang tak luka? Dan mana mungkin bisa semudah itu melupakan serta mengikhlaskan seseorang yang sempat hadir dalam kehidupan, apalagi perannya cukup penting, seperti ibu dari anaknya.Tak begitu banyak pembicaraan karena saat kami akan kembali berbicara, seorang wanita pengasuh Ibrahim sudah kembali dan kami bergegas menuju ke tempat mereka parkir mobil sebelumnya.Semula masih ada keraguan, tetapi pengasuh itu memberikan isyarat padaku bahwa tidak akan ada apa-apa, aku rasa begitu dari tatapan matanya.Di perjalanan pun tidak ada pembicaraan berat, hanya beberapa obrolan ringan untuk memecahkan keheningan semata.“Kalau nanti orang tuamu bertanya-tanya siapa kami, jawab saja kerabat lama yang bertemu kembali,” ucap pria itu, dan aku hanya mengangguk.Dia mengemudi dengan s
Aku membuang benda itu ke dalam tong sampah sesuai yang dia minta, tak harus mencurigai apa yang belum pasti kebenarannya, aku harus lebih pintar dari prasangka itu sendiri.Setelahnya, aku hanya duduk tanpa mengatakan apapun di sebelahnya, ya tentu saja dia masih sibuk berkutat dengan ponsel nya, tanpa memedulikan ku lagi, sebenarnya dia kenapa? Ada apa dengannya? Perubahan dirinya membuat ku ingin bertanya tetapi tak mampu tuk mengeluarkan pertanyaan itu.“Ning, ketika saya sudah tidur, kalau seandainya kamu belum tidur, tolong … periksa ponsel saya sudah terisi penuh atau belum saat di charger oke?”“Nggeh, Gus,” lirih ku tetapi seharusnya itu masih terdengar olehnya.Ku lihat dia menarik selimut dan merebahkan tubuhnya sembari membelakangi ku, tidak ada percakapan lagi selain mulai terdengar dengkuran halus saat dia tertidur, apakah mungkin secepat itu dia tidur? Aku tak berminat untuk memeriksa nya, hanya bisa kembali duduk termenung sembari memikirkan apa yang sebenarnya terjadi