Aku membuang benda itu ke dalam tong sampah sesuai yang dia minta, tak harus mencurigai apa yang belum pasti kebenarannya, aku harus lebih pintar dari prasangka itu sendiri.Setelahnya, aku hanya duduk tanpa mengatakan apapun di sebelahnya, ya tentu saja dia masih sibuk berkutat dengan ponsel nya, tanpa memedulikan ku lagi, sebenarnya dia kenapa? Ada apa dengannya? Perubahan dirinya membuat ku ingin bertanya tetapi tak mampu tuk mengeluarkan pertanyaan itu.“Ning, ketika saya sudah tidur, kalau seandainya kamu belum tidur, tolong … periksa ponsel saya sudah terisi penuh atau belum saat di charger oke?”“Nggeh, Gus,” lirih ku tetapi seharusnya itu masih terdengar olehnya.Ku lihat dia menarik selimut dan merebahkan tubuhnya sembari membelakangi ku, tidak ada percakapan lagi selain mulai terdengar dengkuran halus saat dia tertidur, apakah mungkin secepat itu dia tidur? Aku tak berminat untuk memeriksa nya, hanya bisa kembali duduk termenung sembari memikirkan apa yang sebenarnya terjadi
Sudah cukup lama di perjalanan, pada saat ku rasa mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti di pinggir jalan, aku sontak saja menatapnya dengan tatapan penuh tanya.Untuk apa lagi berhenti? Apa dia akan melakukan hal yang sama seperti kejadian di masjid? Aku benar-benar akan sangat kecewa jika dia tega melakukan hal seperti itu lagi.“Gus, kita lagi nunggu seseorang, kah? Kenapa berhenti tapi gak turun?” tanyaku.“Kamu benar, lagi pula tadi saya sudah sempat memberitahu kamu, jika nanti akan ada seseorang yang ikut dengan kita,” jawabnya.Ah, ya aku sampai melupakan itu. Namun, yang ku bingungkan adalah siapa seseorang yang dimaksud? Penting sekali? Sampai-sampai harus ditunggu seperti sekarang.Sangat jenuh menunggu seseorang yang bahkan aku tidak tahu siapa orangnya, melihat ke samping ternyata suamiku begitu sibuk dengan ponsel nya, seperti sedang mengirim pesan karena jari-jari tangannya begitu lincah lalu kedua matanya fokus sekali pada layar ponsel.“Anisa, bisakah kamu pindah
“Aaa, pengen banget makan dulu sebelum benar-benar sampai ke tempat tujuan,” rengek Marwah.“Aih, apakah sebelumnya kamu tak makan dulu? Bukankah uang yang kemarin cukup untuk membeli sarapan?” tanya Gus Yusuf.“Ya, iya tapi, kan, maunya makan sama kamu, jangan marah,” rengek Marwah lagi.Sebenarnya mereka yang gila atau aku yang terlalu bodoh di sini, berpura-pura kuat melihat langsung kemesraan mereka, padahal dibalik kekuatan ini ada segudang kesedihan yang selalu ku tahan.Ku tahan hanya karena tak ingin salah paham ataupun menjabarkan suatu hal yang belum pasti apa itu, sebenarnya mereka sedang bersandiwara atau memang nyata seperti itu biasanya.“Gus, tapi kalau makan nya ada orang lain diantara kita, pasti rasa makanan kelas atas pun jadi rasa warung kaki lima deh,” cetus Marwah, bisa-bisanya dia mengatakan itu.Apakah yang dia maksud orang lain adalah aku? Jika iya, sungguh dia tidak tahu diri, jelas-jelas dia lah orang lain itu dalam pernikahan ini, entah harus berapa banyak
“Ya Allah, apa yang terjadi padamu? Sebentar, aku akan membeli dan mencari sesuatu dulu,” ucapku sangat terkejut pada saat sampai ke kamar mandi.Aku melihat Marwah sedang duduk di pojokan kamar mandi dan merintih kesakitan, aku memang belum tahu apa penyebabnya, akan tetapi sepertinya yang aku pikirkan tidak akan salah.Jika bukan karena datang bulan yang mendadak datang, tidak mungkin dia lebih percaya padaku untuk membantu nya, benar ataupun salah yang terpenting sekarang aku sudah membeli sesuatu itu.“Maaf, aku sedikit lama. Apakah kamu ....”“Kok kamu bisa tahu kalau aku lagi kedatangan tamu bulanan? Padahal yang kamu lihat hanya rintihan ku aja,” tanya Marwah yang masih duduk di pojokan.Aku semakin mendekati dirinya, aku ikut berjongkok, “Aku asal tebak awalnya, jika memang benar tolong jangan panik, ini pakai lah terlebih dahulu di dalam,” sahutku sembari mengasongkan roti bulanan itu, semua wanita pasti tahu apa yang ku maksud.Setelah Marwah masuk ke dalam kamar mandi denga
“Aw! Gus? Ada apa? Kenapa mobil nya rem mendadak seperti ini, aku hampir aja terpentok,” pekik Marwah.Sedangkan aku sudah berpegangan pada kursi depan untuk tetap menjaga keseimbangan tubuh, jangankan Marwah yang begitu terkejut, aku saja sampai beristighfar berulang kali.“Maaf, kalian tidak apa-apa, kan? Saya rasa mobil nya bermasalah, karena rem sudah saya kendalikan tetap saja tidak bisa, lebih baik mendadak seperti tadi daripada harus terjadi sesuatu nanti nya,” ucap Gus Yusuf dengan wajah yang terlihat panik.“Aku, sih, gapapa ya cuma kaget. Kenapa, sih, ini perjalanan jadi lama banget mana banyak cobaan nya,” gerutu Marwah yang seperti anak kecil.Gus Yusuf menatap ke arah ku di belakang, aku tidak mengerti kenapa dia justru menatap ku padahal sudah jelas yang berbicara sedari tadi adalah Marwah.“Kenapa? Kenapa hanya diam? Turun dan periksa apa yang bermasalah dari mobil ini,” cetus Marwah.“Gus kamu ....”“Diam, Marwah! Diam! Saya tahu harus melakukan apa tanpa harus kamu pe
“Gus? Kenapa kita berhenti di sini? Bukankah kita seharusnya ke Kudus, ya?” tanyaku pada Gus Yusuf yang sudah memarkirkan mobil di sebuah garasi, rumah yang cukup mewah.Gus Yusuf tak menjawab, aku tidak mengerti kenapa dia tidak menjawab padahal apa yang ku tanyakan serius dan penting, justru Gus Yusuf lebih memilih membangunkan Marwah dibandingkan memedulikan aku.Beberapa saat kemudian Marwah pun terbangun dari tidur nya, “Gus? Apakah kita telah sampai?” Marwah menatap ke arah sekitar.“Ya, kita sudah sampai, alhamdulilah sebelum sore pun perjalanan telah dipermudah,” sahut Gus Yusuf.“Anisa?” panggil Marwah.“Hmm, iya? Kenapa? Ada apa, Marwah?” Ku tanya dia seperti itu agar dia langsung menjelaskan.“Kamu tahu ini bukan Kudus, kan? Kita memang tidak akan ke Kudus untuk saat ini, jadi jangan heran apalagi terbengong-bengong seperti itu,” cecar Marwah.“Tapi, kenapa kita ke sini? Ini rumah siapa? Apakah rumah sodara mu, Gus? Atau ....”“Kalian jangan terlalu banyak berbicara, saya s
“Anisa, bagaimana jika kita membuat kesepakatan?” tanya Marwah.Aku pun dengan malas tetap mendengarkan apapun yang dia katakan, selagi aku masih bisa mendengar tentu saja tidak akan aku abaikan siapapun yang tengah berbicara denganku.“Bisakah kita membuat kesepakatan ini tanpa diketahui oleh siapapun kecuali kita berdua?” tanya Marwah lagi.Aku pun mengangguk, “Iya, katakan apa kesepakatan yang kamu inginkan?”“Jangan saling bermusuhan ketika kita hidup bersama seperti sekarang, apapun yang terjadi, kita harus bisa adil seperti yang akan dilakukan oleh Gus,” jawab Marwah dengan tatapan yang serius.“Jadi, maksud kamu ... aku harus bisa ikhlas dimadu seperti ini, begitu?!” Aku benar-benar tidak habis pikir.“Aku hanya ingin kita berdamai dan nggak ada permusuhan, maka semuanya akan baik-baik saja,” cicitnya.Seolah-olah dia lah yang sudah menentukan takdir seseorang yang ada dimuka bumi ini, begitu yakin dirinya mengatakan semuanya akan tetap baik-baik saja, padahal dia sendiri sudah
“Kenapa rumah ini sangat tak nyaman, semalam pun aku tak bisa tidur dengan nyenyak, hanya beberapa menit aku menutup mata.”Aku memutuskan untuk bersiap salat subuh, akan tetapi pada saat ku melewati kamar mereka, terdengar suara itu lagi bahkan lebih keras daripada yang semalam ku dengar, apakah dengan melakukan itu mereka sampai tak sadar sebentar lagi akan subuh? Sungguh, rasa sakit pun sudah tak bisa dibendung lagi.“Ahhh ... Yusuf, jangan didalam, nanti aku akan hamil cepat jika seperti ini!”“Biarkan saja, lagi pula saya benar-benar sangat ingin memiliki keturunan darimu.”Desahan dan suara aneh lainnya semakin terdengar, aku tidak mungkin menghentikan mereka karena memang itu hak keduanya, tetapi sebentar lagi akan segera azan subuh, aku jadi kebingungan sendiri berdiri di depan pintu kamar mereka seperti anak kecil yang tak tahu harus melakukan apa.Benar saja azan sudah berkumandang terdengar cukup jelas, sepertinya disekitar komplek memang ada masjid atau musala yang cukup d