“Kalau kamu juga penasaran dan mau ikut, sebaiknya bilang deh dari sekarang, jangan sampai kamu menyesal,” lanjut Marwah.Memangnya untuk apa? Apa yang akan terjadi hingga aku menyesal karena tidak ikut? Aku akui itu semua memang mencurigakan, akan tetapi ku tatap kembali bayi yang ku gendong, ternyata dia lebih berarti daripada rasa curiga ini terhadap semuanya.Jika aku ikut, itu sama saja membuat beban untuk ayahnya Ibrahim, lebih baik membiarkan mereka pergi dan cukup mendoakan saja dari kejauhan, perihal apa yang akan terjadi nanti, itu semua sudah kuasa Allah, segimana pun ditutupi pasti akan terungkap juga pada akhirnya.Hanya harus bersabar dan tak boleh gegabah, bisa saja memang itu hanya sebuah cobaan untuk hidup ku, agar lebih kuat dan bisa melangkah dengan baik ke depannya.“Ayolah, kamu juga pasti mau ikut, kan? Katanya, kamu penasaran dengan semua yang ....”“Enggak, aku akan di rumah saja. Apapun yang terjadi di sana, bagaimanapun itu, aku akan tetap berada di rumah, be
“Sekiranya kamu tidak tahu apa-apa, lebih baik cari tahu sendiri deh, daripada sibuk mikir aku seperti apa, mending cari tahu suamimu itu kayak gimana,” cecar Marwah, aku lihat raut wajahnya seperti kesal, entah pada siapa.Aku hanya diam sembari menatap matanya dengan tatapan heran, mau sampai kapan dia lempar batu sembunyi tangan? Sudah jelas-jelas dia yang terlalu banyak misteri dan rahasia, Kenapa harus menuduh suamiku yang tak lain adalah suaminya juga.Lagipula sejauh ini sikap dan perilaku Gus Yusuf tidak ada yang harus dicurigai, memangnya apa? Aku lebih merasa Marwah lah biang dari semua misteri ini, yang sudah seharusnya aku pecahkan sesegera mungkin.“Jangan lupakan semua kata-kata ku tadi, Anisa. Aku memang istri kedua, aku sadar akan itu, tapi setidaknya aku masih memiliki hati nurani untuk tetap mengingatkan kamu,” ucap Marwah, lebih tenang dibandingkan sebelumnya.“Terima kasih, jika memang niat kamu baik untuk mengingatkan aku, akan lebih berhati-hati lagi,” sahut ku,
Sudah hampir setengah jam Ibrahim terus saja menangis walaupun tidak pernah lepas dari gendongan ku, sebenarnya dia kenapa? Aku masih ingat jelas apa pesan dan amanah dari ayahnya, jangan pernah memberikan Ibrahim susu formula yang sudah dingin, tetapi aku benar-benar membuatnya dengan sangat baik, air yang masih hangat.Mungkin bukan karena itu, lantas apa yang membuat bayi menangis terus-menerus? Sungguh mendengar tangisannya, membuat ku tidak tega, rasanya hatiku ikut sakit.“Anisa, assalamualaikum ... apakah kamu ada di rumah? Anisa ....”Siapa itu? Ah, iya itu mungkin mertuaku sudah datang, aku memang sengaja tidak mengunci pintu rumah setelah tadi membuang sampah di luar, untuk memudahkan mertuaku ketika sudah datang ke rumah, karena bagaimanapun juga saat ini posisi serta situasi ku sangat tidak memungkinkan untuk turun ke lantai bawah, membukakan pintu ketika ada yang datang.Ibrahim sangat rewel, dia terus menangis dan tidak bisa aku tinggalkan begitu saja. Menunggu pemilik su
“Sayang, ternyata Umi tidak bisa lama-lama hari ini, ada keperluan mendesak yang harus segera diselesaikan, apakah tidak apa-apa? Jika pembicaraan kita ditunda untuk sementara waktu?”Mendengar itu membuat ku semakin banyak berpikir tentang hal-hal yang seharusnya tidak ku pikirkan, karena jika apa yang dipikirkan ternyata salah, aku bisa memfitnah ataupun soouzon yang berlebihan.Terlebih lagi, orang yang saat ini berhadapan denganku adalah mertuaku sendiri, bukan sembarangan orang. Tidak mungkin juga jika mertuaku orang yang seperti itu, pikiran ini terganggu karena banyaknya tekanan, mungkin karena itu.“Umi benar-benar minta maaf, Sayang. Umi tidak janji tapi insya Allah akan secepatnya kembali datang ke sini, oke? Tunggu dan tetaplah bersabar, Umi sangat yakin, kamu bisa melewati ini semua dengan baik, karena kamu yang terbaik.”“Baik, Umi. Apapun yang terjadi aku akan tetap sabar dan menunggu, insya Allah akan ada waktu lagi, dimana kita akan kembali berbicara,” kataku dengan hel
“Apa yang harus ku lakukan lagi untukmu, hmm? Aku sudah rela serta ikhlas menjalani kehidupan seperti ini, menjadi madu dari wanita lain, yang seharusnya dilakukan olehnya bukan olehku!”“Berhenti berbicara omong kosong seperti itu lagi, kita sudah menyepakati segalanya sejak awal, bukankah ini keinginan mu juga? Jangan lupakan itu, jangan lupa siapa yang merengek dan memohon untuk tidak ditinggalkan,” cecar Gus Yusuf, kedua matanya masih menatap jalanan tanpa mempedulikan ku sama sekali.Kemudian ku hentikan langkah kakinya dengan berjalan lebih cepat darinya, “Tunggu, aku yang merengek? Bukankah kamu yang berkata, akan tetap adil walaupun posisiku tidak seindah yang ku bayangkan, tapi mana? Beginilah seorang pria, mudah berjanji tapi tidak bisa membuktikan,” cela ku.“Katakan, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Dan apa yang kamu inginkan? Sebagai seorang suami, aku terlihat seperti budak jika terus diperlakukan seperti ini olehmu, Marwah,” katanya dengan suara berat.Aku? Memperlaku
“Kenapa Ibu tidak melanjutkan ucapan yang tadi? Apakah ada masalah tentang suamiku?” Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya seperti ini.Semua orang memang harus bertindak ketika dirinya sendiri tidak yakin dengan keadaan yang sedang dialaminya, karena tak selamanya diam bisa menyelesaikan masalah.Ibu itu tidak langsung menjawab, apapun yang sebenarnya terjadi, aku berjanji pada diriku tidak akan mudah marah selama mereka mau jujur dan berterus terang tanpa menyembunyikan apapun lagi dariku.Sedangkan aku juga sangat tidak mungkin jika harus bertanya kepada Gus Yusuf, kami bahkan tidak baik-baik saja akhir-akhir ini.“Bu? Tidak apa-apa, kan?” tegurku dengan sopan.“Ah, iya tidak apa-apa atuh, hehe tidak ada masalah sebenarnya tapi ....”Sedikit lagi saja semuanya akan terjawab tetapi lagi dan lagi gagal karena tertunda, setelah datangnya kembali gadis tersebut.“Ibu, bisa ikut aku sebentar? Maaf, ya, Teh. Ada masalah sedikit di dapur,” ucapnya.Aku tidak bisa berkata apapun
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Anisa Azahra Khumaira binti Abdul Qodir Jaelani dengan maskawin nya yang tersebut dibayar tunai.”Hari ini, hari dimana aku dan pria itu akan bersatu dalam ikatan suci pernikahan. Aku yang tak mengenalnya, harus ikhlas menerima perjodohan ini. Keinginan orang tua tak bisa ku tolak.Aku masih di dalam kamar bersama umi dan calon ibu mertua, menunggu ijab kabul selesai. Aku mendengar suara lantang itu menggema begitu indah menyentuh hati ini.SAH.Mendengar ijab dan qabul itu membuat hati dan pikiran ini tak dapat bereaksi dengan seimbang. Pikiranku menolak sedangkan hatiku begitu tersentuh akan dirinya.Aku dan pria itu sudah sah menjadi sepasang suami—istri sehingga sudah halal untuk dipertemukan. Umi dan mertuaku menuntun tangan ini, ke luar dari kamar.Kini, aku dan dia berdekatan. Aku belum berani menatapnya, apalagi mencium punggung tangannya, hanya bisa memperhatikan kedua kakinya saja.“Ning, kamu ini bagaimana, sih? Ini suami kamu didiemin. Ayo
Setelah selesai salat subuh, aku sebagai seorang istri harus sudah siap siaga di dapur untuk berkutat dengan alat dapur beserta bahan-bahannya.Selalu mengingat apa yang selama ini umi katakan, jika seorang istri selalu bangun lebih awal daripada suami lalu dia menyiapkan sarapan yang terbaik untuk suaminya, akan ada kebaikan untuk keduanya.Belum tahu apa saja yang dia suka dan tidak disukai, memang benar uminya belum pulang lagi ke Kudus tapi aku sangat malu untuk bertanya padanya apa makanan kesukaan suamiku.“Masak apa, ya, pagi ini? Aku takut dia nggak suka sama yang aku masak,” ucapku sambil melihat isi kulkas.Menatap wortel, dan daging ayam menjadi semakin bingung harus masak apa, mau bertanya pun rasanya malu.“Hmm.”Ku dengar deheman seorang wanita, langsung ku lihat ke arah sumber suara ternyata wanita itu? Apa dia belum pulang? Tidur di mana dia semalam, jadi penasaran.“Kamu ....” aku tidak boleh menegurnya, pura-pura tak tahu apa-apa.“Aku Marwah, Mbak. Ada apa subuh-sub
“Kenapa Ibu tidak melanjutkan ucapan yang tadi? Apakah ada masalah tentang suamiku?” Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya seperti ini.Semua orang memang harus bertindak ketika dirinya sendiri tidak yakin dengan keadaan yang sedang dialaminya, karena tak selamanya diam bisa menyelesaikan masalah.Ibu itu tidak langsung menjawab, apapun yang sebenarnya terjadi, aku berjanji pada diriku tidak akan mudah marah selama mereka mau jujur dan berterus terang tanpa menyembunyikan apapun lagi dariku.Sedangkan aku juga sangat tidak mungkin jika harus bertanya kepada Gus Yusuf, kami bahkan tidak baik-baik saja akhir-akhir ini.“Bu? Tidak apa-apa, kan?” tegurku dengan sopan.“Ah, iya tidak apa-apa atuh, hehe tidak ada masalah sebenarnya tapi ....”Sedikit lagi saja semuanya akan terjawab tetapi lagi dan lagi gagal karena tertunda, setelah datangnya kembali gadis tersebut.“Ibu, bisa ikut aku sebentar? Maaf, ya, Teh. Ada masalah sedikit di dapur,” ucapnya.Aku tidak bisa berkata apapun
“Apa yang harus ku lakukan lagi untukmu, hmm? Aku sudah rela serta ikhlas menjalani kehidupan seperti ini, menjadi madu dari wanita lain, yang seharusnya dilakukan olehnya bukan olehku!”“Berhenti berbicara omong kosong seperti itu lagi, kita sudah menyepakati segalanya sejak awal, bukankah ini keinginan mu juga? Jangan lupakan itu, jangan lupa siapa yang merengek dan memohon untuk tidak ditinggalkan,” cecar Gus Yusuf, kedua matanya masih menatap jalanan tanpa mempedulikan ku sama sekali.Kemudian ku hentikan langkah kakinya dengan berjalan lebih cepat darinya, “Tunggu, aku yang merengek? Bukankah kamu yang berkata, akan tetap adil walaupun posisiku tidak seindah yang ku bayangkan, tapi mana? Beginilah seorang pria, mudah berjanji tapi tidak bisa membuktikan,” cela ku.“Katakan, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Dan apa yang kamu inginkan? Sebagai seorang suami, aku terlihat seperti budak jika terus diperlakukan seperti ini olehmu, Marwah,” katanya dengan suara berat.Aku? Memperlaku
“Sayang, ternyata Umi tidak bisa lama-lama hari ini, ada keperluan mendesak yang harus segera diselesaikan, apakah tidak apa-apa? Jika pembicaraan kita ditunda untuk sementara waktu?”Mendengar itu membuat ku semakin banyak berpikir tentang hal-hal yang seharusnya tidak ku pikirkan, karena jika apa yang dipikirkan ternyata salah, aku bisa memfitnah ataupun soouzon yang berlebihan.Terlebih lagi, orang yang saat ini berhadapan denganku adalah mertuaku sendiri, bukan sembarangan orang. Tidak mungkin juga jika mertuaku orang yang seperti itu, pikiran ini terganggu karena banyaknya tekanan, mungkin karena itu.“Umi benar-benar minta maaf, Sayang. Umi tidak janji tapi insya Allah akan secepatnya kembali datang ke sini, oke? Tunggu dan tetaplah bersabar, Umi sangat yakin, kamu bisa melewati ini semua dengan baik, karena kamu yang terbaik.”“Baik, Umi. Apapun yang terjadi aku akan tetap sabar dan menunggu, insya Allah akan ada waktu lagi, dimana kita akan kembali berbicara,” kataku dengan hel
Sudah hampir setengah jam Ibrahim terus saja menangis walaupun tidak pernah lepas dari gendongan ku, sebenarnya dia kenapa? Aku masih ingat jelas apa pesan dan amanah dari ayahnya, jangan pernah memberikan Ibrahim susu formula yang sudah dingin, tetapi aku benar-benar membuatnya dengan sangat baik, air yang masih hangat.Mungkin bukan karena itu, lantas apa yang membuat bayi menangis terus-menerus? Sungguh mendengar tangisannya, membuat ku tidak tega, rasanya hatiku ikut sakit.“Anisa, assalamualaikum ... apakah kamu ada di rumah? Anisa ....”Siapa itu? Ah, iya itu mungkin mertuaku sudah datang, aku memang sengaja tidak mengunci pintu rumah setelah tadi membuang sampah di luar, untuk memudahkan mertuaku ketika sudah datang ke rumah, karena bagaimanapun juga saat ini posisi serta situasi ku sangat tidak memungkinkan untuk turun ke lantai bawah, membukakan pintu ketika ada yang datang.Ibrahim sangat rewel, dia terus menangis dan tidak bisa aku tinggalkan begitu saja. Menunggu pemilik su
“Sekiranya kamu tidak tahu apa-apa, lebih baik cari tahu sendiri deh, daripada sibuk mikir aku seperti apa, mending cari tahu suamimu itu kayak gimana,” cecar Marwah, aku lihat raut wajahnya seperti kesal, entah pada siapa.Aku hanya diam sembari menatap matanya dengan tatapan heran, mau sampai kapan dia lempar batu sembunyi tangan? Sudah jelas-jelas dia yang terlalu banyak misteri dan rahasia, Kenapa harus menuduh suamiku yang tak lain adalah suaminya juga.Lagipula sejauh ini sikap dan perilaku Gus Yusuf tidak ada yang harus dicurigai, memangnya apa? Aku lebih merasa Marwah lah biang dari semua misteri ini, yang sudah seharusnya aku pecahkan sesegera mungkin.“Jangan lupakan semua kata-kata ku tadi, Anisa. Aku memang istri kedua, aku sadar akan itu, tapi setidaknya aku masih memiliki hati nurani untuk tetap mengingatkan kamu,” ucap Marwah, lebih tenang dibandingkan sebelumnya.“Terima kasih, jika memang niat kamu baik untuk mengingatkan aku, akan lebih berhati-hati lagi,” sahut ku,
“Kalau kamu juga penasaran dan mau ikut, sebaiknya bilang deh dari sekarang, jangan sampai kamu menyesal,” lanjut Marwah.Memangnya untuk apa? Apa yang akan terjadi hingga aku menyesal karena tidak ikut? Aku akui itu semua memang mencurigakan, akan tetapi ku tatap kembali bayi yang ku gendong, ternyata dia lebih berarti daripada rasa curiga ini terhadap semuanya.Jika aku ikut, itu sama saja membuat beban untuk ayahnya Ibrahim, lebih baik membiarkan mereka pergi dan cukup mendoakan saja dari kejauhan, perihal apa yang akan terjadi nanti, itu semua sudah kuasa Allah, segimana pun ditutupi pasti akan terungkap juga pada akhirnya.Hanya harus bersabar dan tak boleh gegabah, bisa saja memang itu hanya sebuah cobaan untuk hidup ku, agar lebih kuat dan bisa melangkah dengan baik ke depannya.“Ayolah, kamu juga pasti mau ikut, kan? Katanya, kamu penasaran dengan semua yang ....”“Enggak, aku akan di rumah saja. Apapun yang terjadi di sana, bagaimanapun itu, aku akan tetap berada di rumah, be
Tak terasa sudah beberapa hari saja aku melewati hari-hari yang begitu sulit, tentu saja tanpa kedua orang tua ataupun keluarga besar.Saat ini aku benar-benar hanya ingin duduk termenung sembari menatap jalanan yang begitu ramai di depan rumah, ya benar aku sedang duduk di luar gerbang, itu semua sudah cukup untuk aku yang ingin menenangkan diri.Terlalu banyak hal-hal aneh, dan kejanggalan selama ini, sampai membuat ku tidak percaya lagi pada orang-orang yang disekitar, termasuk Gus Yusuf ataupun Marwah, kedua orang yang dekat denganku tetapi tak bisa ku tebak orang seperti apa mereka selama ini.Aku tidak tahu harus bagaimana lagi selain menangis dalam diam, pihak keluarga ku selalu bertanya kapan momong cucu? Kapan datang? Dan lain sebagainya, membuat kepalaku semakin pening karena harus bisa memikirkan jawaban yang tepat untuk mereka agar tidak curiga tentunya.“Butuh yang manis-manis?”“Nuwun sewu, mboten. matur nuwun,” sahut ku, mungkin itu hanya tukang asongan yang sering lewa
“Kamu sedang sakit, kan? Apa yang kamu rasakan? Beritahu aku, Marwah. Apa ini juga ada sangkut pautnya dengan pernikahan kalian?”“Jika iya, tolong beritahu aku dengan jelas. Agar aku tidak selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri, agar aku juga bisa tenang, Marwah.”Tidak ada kata menyerah bagiku, karena memang untuk saat ini aku benar-benar ingin segera tahu tentang kebenaran itu, jika terus-menerus diundur, maka aku sendiri yang akan hidup tanpa ketenangan setiap harinya.Bagiku, kejujuran dari seseorang sangatlah penting dibandingkan segala kebaikan tetapi berselimut dusta, mungkin terkadang jujur itu menyakitkan tetapi kebohongan lebih meresahkan jika tetap dilakukan, apalagi jika untuk menutupi segala kesalahan.“Kenapa kamu hanya diam? Aku bertanya seperti itu bukan untuk hal buruk, aku juga peduli padamu, aku yakin pendarahan yang sering terjadi pada dirimu bukan pendarahan biasa, jangan hanya diam, ayo katakan.”Sengaja ku desak sampai dia mau jujur, tetap saja Marwah bungka
“Hukuman yang memang benar-benar pantas jika kamu berani membantah, sudah ... jangan terlalu sering bicara saat di meja makan.”Dia mengatakan semua itu seolah-olah aku adalah budaknya lalu dia adalah tuannya, memang hukuman seperti apa? Tak ada kerisauan sama sekali dari raut wajahnya. Jika itu adalah hal yang menyeramkan, aku akan lebih berhati-hati padanya dalam bersikap.Melanjutkan makan yang sempat tertunda, aku benar-benar sudah tak berselera makan lagi, hanya saja membuang makam itu mubajir, sangat tidak boleh sampai terjadi apalagi jika hanya karena persoalan seperti tadi dengan Gus Yusuf.Cepat-cepat aku menyelesaikan makan kali ini, dan segera melakukan apa yang sudah seharusnya ku lakukan sejak awal, ya benar aku akan memberanikan diri untuk bertanya pada mertuaku, walaupun itu hanya sekadar berkomunikasi melalui ponsel.Setidaknya akan ada yang aku ketahui nanti, aku harap akan seperti itu. Usaha tidak akan mengkhianati hasil, segala keraguan dan ketakutan sebaiknya menyi