“Aaa, pengen banget makan dulu sebelum benar-benar sampai ke tempat tujuan,” rengek Marwah.“Aih, apakah sebelumnya kamu tak makan dulu? Bukankah uang yang kemarin cukup untuk membeli sarapan?” tanya Gus Yusuf.“Ya, iya tapi, kan, maunya makan sama kamu, jangan marah,” rengek Marwah lagi.Sebenarnya mereka yang gila atau aku yang terlalu bodoh di sini, berpura-pura kuat melihat langsung kemesraan mereka, padahal dibalik kekuatan ini ada segudang kesedihan yang selalu ku tahan.Ku tahan hanya karena tak ingin salah paham ataupun menjabarkan suatu hal yang belum pasti apa itu, sebenarnya mereka sedang bersandiwara atau memang nyata seperti itu biasanya.“Gus, tapi kalau makan nya ada orang lain diantara kita, pasti rasa makanan kelas atas pun jadi rasa warung kaki lima deh,” cetus Marwah, bisa-bisanya dia mengatakan itu.Apakah yang dia maksud orang lain adalah aku? Jika iya, sungguh dia tidak tahu diri, jelas-jelas dia lah orang lain itu dalam pernikahan ini, entah harus berapa banyak
“Ya Allah, apa yang terjadi padamu? Sebentar, aku akan membeli dan mencari sesuatu dulu,” ucapku sangat terkejut pada saat sampai ke kamar mandi.Aku melihat Marwah sedang duduk di pojokan kamar mandi dan merintih kesakitan, aku memang belum tahu apa penyebabnya, akan tetapi sepertinya yang aku pikirkan tidak akan salah.Jika bukan karena datang bulan yang mendadak datang, tidak mungkin dia lebih percaya padaku untuk membantu nya, benar ataupun salah yang terpenting sekarang aku sudah membeli sesuatu itu.“Maaf, aku sedikit lama. Apakah kamu ....”“Kok kamu bisa tahu kalau aku lagi kedatangan tamu bulanan? Padahal yang kamu lihat hanya rintihan ku aja,” tanya Marwah yang masih duduk di pojokan.Aku semakin mendekati dirinya, aku ikut berjongkok, “Aku asal tebak awalnya, jika memang benar tolong jangan panik, ini pakai lah terlebih dahulu di dalam,” sahutku sembari mengasongkan roti bulanan itu, semua wanita pasti tahu apa yang ku maksud.Setelah Marwah masuk ke dalam kamar mandi denga
“Aw! Gus? Ada apa? Kenapa mobil nya rem mendadak seperti ini, aku hampir aja terpentok,” pekik Marwah.Sedangkan aku sudah berpegangan pada kursi depan untuk tetap menjaga keseimbangan tubuh, jangankan Marwah yang begitu terkejut, aku saja sampai beristighfar berulang kali.“Maaf, kalian tidak apa-apa, kan? Saya rasa mobil nya bermasalah, karena rem sudah saya kendalikan tetap saja tidak bisa, lebih baik mendadak seperti tadi daripada harus terjadi sesuatu nanti nya,” ucap Gus Yusuf dengan wajah yang terlihat panik.“Aku, sih, gapapa ya cuma kaget. Kenapa, sih, ini perjalanan jadi lama banget mana banyak cobaan nya,” gerutu Marwah yang seperti anak kecil.Gus Yusuf menatap ke arah ku di belakang, aku tidak mengerti kenapa dia justru menatap ku padahal sudah jelas yang berbicara sedari tadi adalah Marwah.“Kenapa? Kenapa hanya diam? Turun dan periksa apa yang bermasalah dari mobil ini,” cetus Marwah.“Gus kamu ....”“Diam, Marwah! Diam! Saya tahu harus melakukan apa tanpa harus kamu pe
“Gus? Kenapa kita berhenti di sini? Bukankah kita seharusnya ke Kudus, ya?” tanyaku pada Gus Yusuf yang sudah memarkirkan mobil di sebuah garasi, rumah yang cukup mewah.Gus Yusuf tak menjawab, aku tidak mengerti kenapa dia tidak menjawab padahal apa yang ku tanyakan serius dan penting, justru Gus Yusuf lebih memilih membangunkan Marwah dibandingkan memedulikan aku.Beberapa saat kemudian Marwah pun terbangun dari tidur nya, “Gus? Apakah kita telah sampai?” Marwah menatap ke arah sekitar.“Ya, kita sudah sampai, alhamdulilah sebelum sore pun perjalanan telah dipermudah,” sahut Gus Yusuf.“Anisa?” panggil Marwah.“Hmm, iya? Kenapa? Ada apa, Marwah?” Ku tanya dia seperti itu agar dia langsung menjelaskan.“Kamu tahu ini bukan Kudus, kan? Kita memang tidak akan ke Kudus untuk saat ini, jadi jangan heran apalagi terbengong-bengong seperti itu,” cecar Marwah.“Tapi, kenapa kita ke sini? Ini rumah siapa? Apakah rumah sodara mu, Gus? Atau ....”“Kalian jangan terlalu banyak berbicara, saya s
“Anisa, bagaimana jika kita membuat kesepakatan?” tanya Marwah.Aku pun dengan malas tetap mendengarkan apapun yang dia katakan, selagi aku masih bisa mendengar tentu saja tidak akan aku abaikan siapapun yang tengah berbicara denganku.“Bisakah kita membuat kesepakatan ini tanpa diketahui oleh siapapun kecuali kita berdua?” tanya Marwah lagi.Aku pun mengangguk, “Iya, katakan apa kesepakatan yang kamu inginkan?”“Jangan saling bermusuhan ketika kita hidup bersama seperti sekarang, apapun yang terjadi, kita harus bisa adil seperti yang akan dilakukan oleh Gus,” jawab Marwah dengan tatapan yang serius.“Jadi, maksud kamu ... aku harus bisa ikhlas dimadu seperti ini, begitu?!” Aku benar-benar tidak habis pikir.“Aku hanya ingin kita berdamai dan nggak ada permusuhan, maka semuanya akan baik-baik saja,” cicitnya.Seolah-olah dia lah yang sudah menentukan takdir seseorang yang ada dimuka bumi ini, begitu yakin dirinya mengatakan semuanya akan tetap baik-baik saja, padahal dia sendiri sudah
“Kenapa rumah ini sangat tak nyaman, semalam pun aku tak bisa tidur dengan nyenyak, hanya beberapa menit aku menutup mata.”Aku memutuskan untuk bersiap salat subuh, akan tetapi pada saat ku melewati kamar mereka, terdengar suara itu lagi bahkan lebih keras daripada yang semalam ku dengar, apakah dengan melakukan itu mereka sampai tak sadar sebentar lagi akan subuh? Sungguh, rasa sakit pun sudah tak bisa dibendung lagi.“Ahhh ... Yusuf, jangan didalam, nanti aku akan hamil cepat jika seperti ini!”“Biarkan saja, lagi pula saya benar-benar sangat ingin memiliki keturunan darimu.”Desahan dan suara aneh lainnya semakin terdengar, aku tidak mungkin menghentikan mereka karena memang itu hak keduanya, tetapi sebentar lagi akan segera azan subuh, aku jadi kebingungan sendiri berdiri di depan pintu kamar mereka seperti anak kecil yang tak tahu harus melakukan apa.Benar saja azan sudah berkumandang terdengar cukup jelas, sepertinya disekitar komplek memang ada masjid atau musala yang cukup d
“Tahu gak? Ini makanan kok kayak nggak ada gurih-gurih nya sama sekali, sejak awal aku emang ragu, kamu bisa masak nggak, sih, Anisa?” Bahkan aku juga belum duduk bersama mereka, karena aku masih sibuk merapikan rumah, tetapi sudah mendapatkan hinaan seperti itu dari madu ku sendiri.Benar-benar keterlaluan, sebentar baik dan sebentar lagi licik, sebenarnya apa yang diinginkan oleh Marwah? Aku yakin dia hanya terobsesi dengan Gus Yusuf, aku bisa merasakan itu. Cinta bukan perihal memaksa, tetapi perihal ikhlas.Jika sejak awal Marwah memang tulus mencintai Gus Yusuf, mungkin sejak awal juga dia akan mengikhlaskan pernikahan ku ini, walaupun hanya melalui perjodohan.“Udah nggak becus masak, mana kalau dikasih tahu nggak pernah didengar, rese banget,” cetusnya, Marwah sudah keterlaluan.“Tapi, masakan ini baik-baik saja. Saya merasa nikmat saat memakan nya, kamu jangan begitu, Marwah,” ucap Gus Yusuf, aku tak menyangka dia akan berbicara seperti itu.Aku berusaha tidak terlalu terbawa
Gus Yusuf masih saja menatap ke arah ku seperti tadi, semula aku pikir dia akan menyerah karena aku selalu menolak secara halus, tetap saja tolakan ku tidak membuatnya berhenti.Aku tahu, itu memang kewajiban ku yang harus dilakukan dengannya, tetapi untuk saat ini, dalam situasi seperti sekarang benar-benar tak mungkin bisa melakukannya.Kalaupun aku melakukan, itu tidak akan terjadi dengan lancar ataupun penuh dengan keberkahan, aku tidak rela itulah alasan utamanya.“Anisa? Kenapa? Kenapa diam, jawab saya siap atau tidak malam ini,” tanya Gus Yusuf lagi.Kali ini, dia semakin mendekat seperti tak ingin ada jarak lagi diantara kami. Aku juga jadi bisa merasakan bagaimana napasnya memburu didekat ku, sangat terasa.“Jika kamu terus diam bahkan menolak, bukan saya yang akan tanggung jawab nanti, akan semua dosa itu,” ucapnya pelan.Coba lihat benar saja dugaan ku, dia selalu mengatasnamakan dosa dan kewajiban, tanpa dia beritahu pun sebenarnya aku juga sudah tahu bahkan paham, hanya s