“Gus? Kenapa kita berhenti di sini? Bukankah kita seharusnya ke Kudus, ya?” tanyaku pada Gus Yusuf yang sudah memarkirkan mobil di sebuah garasi, rumah yang cukup mewah.Gus Yusuf tak menjawab, aku tidak mengerti kenapa dia tidak menjawab padahal apa yang ku tanyakan serius dan penting, justru Gus Yusuf lebih memilih membangunkan Marwah dibandingkan memedulikan aku.Beberapa saat kemudian Marwah pun terbangun dari tidur nya, “Gus? Apakah kita telah sampai?” Marwah menatap ke arah sekitar.“Ya, kita sudah sampai, alhamdulilah sebelum sore pun perjalanan telah dipermudah,” sahut Gus Yusuf.“Anisa?” panggil Marwah.“Hmm, iya? Kenapa? Ada apa, Marwah?” Ku tanya dia seperti itu agar dia langsung menjelaskan.“Kamu tahu ini bukan Kudus, kan? Kita memang tidak akan ke Kudus untuk saat ini, jadi jangan heran apalagi terbengong-bengong seperti itu,” cecar Marwah.“Tapi, kenapa kita ke sini? Ini rumah siapa? Apakah rumah sodara mu, Gus? Atau ....”“Kalian jangan terlalu banyak berbicara, saya s
“Anisa, bagaimana jika kita membuat kesepakatan?” tanya Marwah.Aku pun dengan malas tetap mendengarkan apapun yang dia katakan, selagi aku masih bisa mendengar tentu saja tidak akan aku abaikan siapapun yang tengah berbicara denganku.“Bisakah kita membuat kesepakatan ini tanpa diketahui oleh siapapun kecuali kita berdua?” tanya Marwah lagi.Aku pun mengangguk, “Iya, katakan apa kesepakatan yang kamu inginkan?”“Jangan saling bermusuhan ketika kita hidup bersama seperti sekarang, apapun yang terjadi, kita harus bisa adil seperti yang akan dilakukan oleh Gus,” jawab Marwah dengan tatapan yang serius.“Jadi, maksud kamu ... aku harus bisa ikhlas dimadu seperti ini, begitu?!” Aku benar-benar tidak habis pikir.“Aku hanya ingin kita berdamai dan nggak ada permusuhan, maka semuanya akan baik-baik saja,” cicitnya.Seolah-olah dia lah yang sudah menentukan takdir seseorang yang ada dimuka bumi ini, begitu yakin dirinya mengatakan semuanya akan tetap baik-baik saja, padahal dia sendiri sudah
“Kenapa rumah ini sangat tak nyaman, semalam pun aku tak bisa tidur dengan nyenyak, hanya beberapa menit aku menutup mata.”Aku memutuskan untuk bersiap salat subuh, akan tetapi pada saat ku melewati kamar mereka, terdengar suara itu lagi bahkan lebih keras daripada yang semalam ku dengar, apakah dengan melakukan itu mereka sampai tak sadar sebentar lagi akan subuh? Sungguh, rasa sakit pun sudah tak bisa dibendung lagi.“Ahhh ... Yusuf, jangan didalam, nanti aku akan hamil cepat jika seperti ini!”“Biarkan saja, lagi pula saya benar-benar sangat ingin memiliki keturunan darimu.”Desahan dan suara aneh lainnya semakin terdengar, aku tidak mungkin menghentikan mereka karena memang itu hak keduanya, tetapi sebentar lagi akan segera azan subuh, aku jadi kebingungan sendiri berdiri di depan pintu kamar mereka seperti anak kecil yang tak tahu harus melakukan apa.Benar saja azan sudah berkumandang terdengar cukup jelas, sepertinya disekitar komplek memang ada masjid atau musala yang cukup d
“Tahu gak? Ini makanan kok kayak nggak ada gurih-gurih nya sama sekali, sejak awal aku emang ragu, kamu bisa masak nggak, sih, Anisa?” Bahkan aku juga belum duduk bersama mereka, karena aku masih sibuk merapikan rumah, tetapi sudah mendapatkan hinaan seperti itu dari madu ku sendiri.Benar-benar keterlaluan, sebentar baik dan sebentar lagi licik, sebenarnya apa yang diinginkan oleh Marwah? Aku yakin dia hanya terobsesi dengan Gus Yusuf, aku bisa merasakan itu. Cinta bukan perihal memaksa, tetapi perihal ikhlas.Jika sejak awal Marwah memang tulus mencintai Gus Yusuf, mungkin sejak awal juga dia akan mengikhlaskan pernikahan ku ini, walaupun hanya melalui perjodohan.“Udah nggak becus masak, mana kalau dikasih tahu nggak pernah didengar, rese banget,” cetusnya, Marwah sudah keterlaluan.“Tapi, masakan ini baik-baik saja. Saya merasa nikmat saat memakan nya, kamu jangan begitu, Marwah,” ucap Gus Yusuf, aku tak menyangka dia akan berbicara seperti itu.Aku berusaha tidak terlalu terbawa
Gus Yusuf masih saja menatap ke arah ku seperti tadi, semula aku pikir dia akan menyerah karena aku selalu menolak secara halus, tetap saja tolakan ku tidak membuatnya berhenti.Aku tahu, itu memang kewajiban ku yang harus dilakukan dengannya, tetapi untuk saat ini, dalam situasi seperti sekarang benar-benar tak mungkin bisa melakukannya.Kalaupun aku melakukan, itu tidak akan terjadi dengan lancar ataupun penuh dengan keberkahan, aku tidak rela itulah alasan utamanya.“Anisa? Kenapa? Kenapa diam, jawab saya siap atau tidak malam ini,” tanya Gus Yusuf lagi.Kali ini, dia semakin mendekat seperti tak ingin ada jarak lagi diantara kami. Aku juga jadi bisa merasakan bagaimana napasnya memburu didekat ku, sangat terasa.“Jika kamu terus diam bahkan menolak, bukan saya yang akan tanggung jawab nanti, akan semua dosa itu,” ucapnya pelan.Coba lihat benar saja dugaan ku, dia selalu mengatasnamakan dosa dan kewajiban, tanpa dia beritahu pun sebenarnya aku juga sudah tahu bahkan paham, hanya s
Ke luar dari kamar setelah menangis hampir semalaman, aku mencium aroma yang sudah tidak asing lagi bagiku, apakah itu umi? Mungkinkah umi yang memasak di dapur? Tetapi, mana mungkin bisa.Aku pun bergegas menuju ke dapur untuk memastikan kebenaran nya, benar-benar mustahil jika umi ada di sini karena siapa yang memberitahu alamat jika bukan aku ataupun Gus Yusuf.“Gus?”“Anisa, kamu sudah bangun? Saya pikir kamu tidak akan ke luar, karena salat subuh pun tidak berjamaah dengan saya.”“Kenapa diam di situ? Kemarilah ... apakah kamu datang ke dapur karena aroma masakan ini?” Gus Yusuf terus berbicara padaku yang masih acuh padanya.Jujur saja semua itu sangat mengejutkan bagiku, aroma masakan itu hanya bisa ku cium aromanya pada saat umi memasak, belum pernah ada yang melakukan nya selain umi sebelum hari ini.“Anisa, kenapa hmm? Bingung dengan semua ini? Mertua saya lah yang mengirim resep sekaligus tata cara meluluhkan hatimu pada saat merajuk seperti sekarang, sungguh baik mertua sa
“Aku tahu, kamu menikahi aku bukan karena sepenuhnya kamu ingin, Gus. Tapi bukankah sejak dulu cinta kita nyata? Kenapa sekarang kamu berbicara seolah-olah aku lah penyebab kehancuran ini!”“Saya tidak mengatakan hal seperti itu, Marwah. Saya hanya mengingatkan bahwa kamu ataupun Anisa sama bagi saya, harus saya berikan keadilan, jadi tolong jangan seenaknya dalam bersikap.”“Apa? Apa katamu, Gus? Aku seenaknya dalam bersikap? Bukankah kamu yang begitu, hmm? Salahkan saja aku, salahkan aku sampai kamu puas!”Aku tidak sengaja mendengarkan itu semua di balik pintu, tadinya aku pikir di dalam hanya ada Marwah seperti tadi pagi, aku datang lagi hanya untuk membawakan makanan yang aku pisahkan tadi, untuk dia makan. Akan tetapi, kedua telingaku dikejutkan dengan semua yang ku dengar tadi.Ternyata, di belakang ku mereka tidak seperti yang terlihat di depan ku, benar-benar berbeda, aku sudah banyak soouzon pada keduanya. Sebenarnya apa alasan mereka menikah? Kenapa Gus Yusuf tidak terlihat
Ternyata setelah ku pikir-pikir memang ada keanehan juga dari dirinya, ya Marwah lah yang aku maksud. Sejak awal dia selalu bersikap agresif pada Gus Yusuf, tetapi yang ku rasakan balasan dari Gus Yusuf seperti ada sesuatu, tidak bisa ku pastikan itu cinta, pasti ada sesuatu yang memang aku tidak tahu.“Jangan banyak ngelamun, kalau suami ngajak gituan tuh harusnya kamu senang, Anisa. Kalau posisinya terbalik itu akan menyakitkan loh,” celetuk Marwah yang sedari tadi memang sedang membaca majalah di hadapan ku.Berbeda denganku yang sejak tadi bersih-bersih rumah sebelum malam, agar tidak terganggu pada saat beristirahat nanti oleh debu. Aneh sekali selalu saja ada debu padahal rumah semewah ini AC pun sangat terasa disetiap ruangan, aneh bukan? Aku juga tidak mengerti.“Anisa, kalau dibahas itu ya dijawab jangan pura-pura tak dengar.”“Apa yang harus aku jawab, Marwah? Aku sedang sibuk, nanti saja.”“Sibuk? Sibuk apaan itu cuma elap-elap aja, jangan sering menolak, nanti nyesel,” cel