“Loh, kalian berdua ternyata ada di sini, Umi bingung tadi mencari kalian berdua, kirain sudah berangkat.”
Kami terkejut karena kedatangan umi yang secara tiba-tiba seperti itu, aku tidak tahu lagi harus bagaimana setelah ini, bertanya pun rasanya sudah percuma.Agar tak terlihat seperti orang yang sedang bermasalah, ku alihkan pembicaraan sebelum semuanya benar-benar kacau, bisa saja nanti umi menginterogasi lebih jauh lagi daripada sekarang, lebih baik sedia payung sebelum hujan, berjaga-jaga sebelum hal-hal yang tak diinginkan terjadi.“Umi ... ini katanya Gus eh suamiku maksudnya, ada yang ingin dibicarakan dulu sebelum berangkat,” sahutku sedikit gelagapan.“Apa itu? Sebaiknya bicarakan nanti saja saat di perjalanan, Umi bukan apa-apa, coba lihatlah ... di luar sudah mulai mendung, walaupun masih pagi, kan, sebaiknya jangan menunggu hujan deras, kurang aman di jalan nya.”Benar memang apa yang umi katakan, keselamatan di perjalanan jauh lebih penting sekarang, jangan sampai aku lah penyebab kesalahan nanti, syukur-syukur tak terjadi apa-apa sampai ke tempat tujuan, apapun dan bagaimanapun kondisinya.“Benar apa kata Umi, sebaiknya kita langsung berangkat, nanti saja lanjutkan pembicaraan kita di perjalanan, benar begitu, Umi?” Suamiku itu pandai sekali mencari muka pada kedua orang tuaku.Apakah dia juga pandai bermuka dua seperti itu kepada semua yang ada di sekitarnya? Apakah itu semua mungkin? Kenyataan memang tak seindah ekspetasi manusia.Apapun profesi serta gelar nya, bagaimanapun juga setiap manusia pasti ada kesalahan dan kekurangan nya, tak mungkin semuanya baik-baik saja tanpa cela, gelar tak menjamin seseorang itu adalah orang yang baik.Aku tak bisa menghakimi seseorang itu seperti apa dan bagaimana, diri kita saja bahkan belum tahu sebenarnya orang tersebut orang yang bagaimana.Setelah beberapa menit berpamitan lagi dengan semuanya, tak lama dari itu mobil yang kami tumpangi sudah melaju dengan cukup cepat, sebelum diterjang oleh hujan deras, suamiku hanya fokus mengemudi berbeda denganku yang sibuk memikirkan hal-hal aneh untuk ke depannya nanti.Belum pernah satu kali pun terlibat dalam permasalahan asmara, hanya kali ini dan untuk pertama kalinya merasakan serta mengalami semua rasa resah ini. Ternyata rumah tangga memang tak melulu soal kebahagiaan, pasti ada pasang surut nya.“Bagaimana? Mau dilanjutkan perbincangan kita yang tadi di dapur, Ning?” tanya Gus Yusuf memecahkan keheningan.Ku lirik dia, mana mungkin aku berbicara tanpa menatap kedua matanya, ku ingin lihat langsung bagaimana reaksi wajahnya ketika nanti berbicara banyak denganku.Katanya, kontak mata saat berbicara itu sangat penting, kita bisa tahu kapan mereka berbohong dan kapan mereka berkata dengan jujur, melalui kedua matanya, yang memang tak mungkin bisa berbohong seperti mulutnya.“Jika memang tak menganggu saat mengemudi, baiklah ... Gus.”“Biar saya yang berbicara terlebih dahulu, oke? Pertama-tama saya tidak bermaksud untuk berbohong pada kedua orang tuamu, Ning. Saya paham, saat itu kamu mencoba untuk mengalihkan pembicaraan, bukan? Maka dari itu, saya mengikuti kamu. Agar tak ada kecurigaan apapun kepada kita berdua, mencoba lah untuk tak bertanya yang aneh-aneh saat ada orang tua kita, dari pihak manapun.”“Maaf, Gus. Aku tak ada maksud untuk menyela saat suami masih berbicara, tapi kenapa memangnya? Jika aku banyak bertanya saat ada orang tua kita, ada perbedaan jika saat tak ada mereka? Jelaskan, Gus.”“Karena yang mereka semua tahu, kita bisa menerima pernikahan ini,” jawabnya.“Loh? Bukankah itu semua benar? Tak salah, kan, Gus?” Ku tanya lagi, mengapa sekarang semakin aneh.Dari mulai nada suaranya saat berbicara, sampai kedua matanya yang sedikit sinis, ku bisa dengan jelas membedakan dengan dirinya yang sebelumnya.Siapa sebenarnya suamiku ini? Pria seperti apa dia? Aku sebagai istrinya yang baru beberapa hari ini, terkadang sulit untuk memahami semua tentang dirinya.Beberapa saat hening, entah mengapa ucapannya tadi sudah cukup menjawab semua rasa penasaran ku terhadapnya, dia sangat pandai bermain kata, mencari muka, dan hal aneh lainnya, Allahu alam, hanya Allah yang tahu segalanya.“Perjalanan kita akan cukup lama, lima jam jika tak ada kemacetan atau halangan lainnya, saya tanya ... apakah kamu sudah siap menjadi istri yang sesungguhnya dimulai dari hari ini?” Gus Yusuf kembali bersuara ditengah keheningan yang dia ciptakan sendiri.“Istri yang sesungguhnya memang inginku, tapi dalam artian setelahnya ... kita tak boleh ada yang dirahasiakan lagi,” sahutku, saat ini ku hanya meliriknya sekilas saja.Lalu kembali menatap jalanan yang sangat indah luar biasa saat pagi hari, Surabaya memang tak bisa ku pungkiri segala keindahan nya, dari diriku masih kecil hingga sekarang, tak pernah berhenti mencintai kota kelahiran, walaupun hari ini ku benar-benar akan meninggalkan kota tercinta untuk mengabdi sepenuhnya pada suamiku, di tempat yang sudah dia tentukan.“Kita lihat saja nanti, setelah kamu tahu apa artian menjadi istri yang sesungguhnya, masih diinginkan atau bahkan sebaliknya.”“Ma ... maksudnya, Gus?”Ku tatap dia lagi, selalu saja membuatku dag-dig-dug di setiap kata yang keluar dari mulutnya saat berbicara, memangnya apa artian dari istri yang sesungguhnya versi nya? Bukankah itu berarti menyerahkan hidup dan mati kepada suami? Memangnya apalagi? Semoga Engkau tetap melindungi ku ya Rabb.***Belum sampai ke tempat tujuan, mobil yang kami tumpangi sudah tidak bisa melanjutkan lagi perjalanan dalam artian berhenti tiba-tiba di pinggir jalan. Ku tak mengerti sebenarnya ada apa? Mengapa? Apa karena ada masalah dengan mesin dan semacamnya.“Oh, astaghfirullah. Bisa-bisanya,” lirihnya, ku dengar dia mengatakan itu.“Ada apa, Gus? Kenapa berhenti? Ada masalah, kah?”“Ya, Ning. Kamu benar, ada sedikit masalah yang terjadi, sepertinya ... memang tak diperbolehkan untuk membuatmu tersakiti,” jawabnya, apa katanya? Kenapa aku? Lagi dan lagi ku geleng-geleng dengan semua teka-teki ini.“Memangnya apa? Kenapa ada sangkut pautnya denganku, Gus?”Dia tak menjawab, yang ku lihat dia turun dari mobil tanpa mengatakan apapun, tadinya aku ingin ikut turun juga untuk memastikan apa sebenarnya yang terjadi, tetapi dari luar sepertinya dia sudah mengunci pintu mobil nya, otomatis mana bisa aku ke luar jika sudah begitu.Tak ada salahnya jika dia melakukan itu, mungkin saja untuk keselamatan ku, agar tak nekat ke luar dari mobil karena jalanan sini memang cukup rawan sekali kejadian yang sangat tak diinginkan setiap orang, entah itu pencurian barang, pelecehan, dan bahkan sebagainya sering terjadi, meskipun itu siang hari.“Tapi, apa sebenarnya yang dia maksud? Apa sangkut pautnya mobil berhenti dan hatiku yang sakit? Lagi pula, hatiku tak sakit sama sekali, aneh sekali.”Tatapan saat dia mengatakan hal aneh tersebut, tatapannya sangat berbeda saat menatapku, seperti ada sesuatu yang memang dia sembunyikan tanpa sepengetahuan ku selama ini, apapun itu akan ku ketahui sebentar lagi, aku yakin itu.Kebohongan seperti apapun, pasti akan terungkap pada waktunya, tinggal usaha dan doa nya yang tak boleh berhenti, ku pasrahkan semuanya pada Allah SWT, karena itu sebaik-baiknya cara untuk menghindari sikap menghakimi dan juga menjauhkan ku dari prasangka yang buruk terhadap suamiku.“Ning, ayo ... ke luar dulu, biar saya ajak kamu ke restoran dulu untuk makan siang,” ucapnya, aku yang masih bingung hanya mengangguk dan turun dari mobil sesuai dengan perintah nya.Mobil ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan tadi, sedangkan kami memilih untuk makan siang terlebih dahulu agar tak terlalu merisaukan mobil lagi.“Kita mau makan di mana? Kamu saja yang pilih dan tentukan harus makan di mana,” titahnya.Aku sebenarnya ada keinginan tetapi itu semua ku urungkan terlebih dahulu, karena sangat ingin menghormati serta menghargai suamiku sebagai imam dalam rumah tangga kami, sudah sepantasnya dia ku berikan kenyamanan saat bersama.“Ning, ayo ... katakan ingin makan di mana? Katakan, saya benar-benar ingin kamu yang menentukan, ini perintah suami!”“BONCAFE PREGOLAN,” jawabku dengan tegas.“Baik, kita makan dan beristirahat terlebih dahulu sembari menunggu tukang memperbaiki mobil nya,” cecar Gus Yusuf, dia terlihat seperti sedang memikirkan hal lain, yang berbeda dari t
Tak terasa sudah hampir zuhur, kami masih saja di tempat tadi, selesai makan pun tak ada kabar dari tukang yang sedang memperbaiki mobil, Gus Yusuf memutuskan untuk mencari musala ataupun masjid terdekat, menunaikan ibadah salat bersama.“Kamu tak apa-apa, kan? Kita mencari musala jalan kaki seperti ini?” Gus Yusuf ternyata bisa peka juga terhadap orang yang ada di dekatnya.“Ora apa-apa, sing penting aman, Gus.”“Terima kasih, Ning.”“Lagi pula kita niatkan untuk mencari rumah Allah, bukan sembarangan jalan kaki, Gus. Insya Allah pahala, lelah ataupun letih nya,” ucapku.“Kamu benar, ya sudah ... ayo, sebelum azan,” katanya.Pada saat kami terus berjalan kaki, entah kenapa ada sedikit keanehan lagi pada diri suamiku, bukan dirinya melainkan tubuhnya, saat ini aku sangat dekat dengannya, karena dia terus saja menggenggam tanganku, jadi ku bisa mencium aroma yang ada di tubuhnya.Parfum laki-laki seperti itu, kah? Aku belum pernah sebelumnya berdekatan dengan lawan jenis seperti ini se
Semenjak ku beritahu kidal itu sudah sejak kecil ku alami, Gus Yusuf hanya mengangguk dan tak lagi mencari tahu mengenai wewangian tersebut, apakah mungkin dia sudah tahu siapa orangnya? Namun, tak ingin ku marah, atau ada hal lainnya yang aku sendiri tidak tahu apa itu.“Saya akan segera kembali, sekarang harus menghubungi seseorang terlebih dahulu,” ucapnya, belum sempat ku menjawab dia sudah pergi begitu saja.Untuk pertama kalinya, pergi begitu saja di saat dirinya akan menghubungi seseorang, yang entah siapa orangnya, aku benar-benar tak ingin soouzon pada siapapun.Sembari menunggu, tak ingin menyia-nyiakan waktu dengan penantian sia-sia, aku buka buku yang kebetulan ada di dalam tas, lalu membaca nya agar tak terlalu hening selama menunggu nya.Buku yang saat ini ku baca adalah buku islami, judulnya saja sudah cukup membuatku penasaran ingin cepat-cepat membaca, karena ini buku baru yang belum sempat ku baca sebelumnya.Berjudul menjadi bidadari cantik ala islami, benar-benar b
Sampai menjelang sore lagi, ku tak bisa menemukan di mana keberadaan Gus Yusuf, jangan tanya sudah berapa kali ku menghubungi dirinya hari ini. Terlalu sering aku dikecewakan, membuatku semakin meragukan sosoknya, aku takut dengan seperti itu, akan ada banyak kesalahpahaman yang terjadi pada rumah tangga kami.Selepas salat ashar, aku masih heran dengan lelaki itu, dia begitu betah menunggu entah siapa sebenarnya yang dia tunggu, ku lihat dia belum pergi juga, apakah dia penjaga masjid dan semacamnya? Apapun alasannya, aku tak ingin tahu.“Hei, assalamualaikum? Bagaimana? Masih mau, kah, kamu menunggu seseorang yang tak mungkin datang lagi?” Aku terkejut, saat menyadari dia sudah kembali mendekat dan bahkan bertanya seperti itu kepadaku.Aku tanpa menatapnya pun tetap menjawab, “Tentu, waalaikumussalam.”“Kenapa tentu? Atau hanya karena dia suamimu? Maka dari itu rela menunggu yang tak pasti sendirian di sini? Lebih baik pulang sebelum malam.”“Maaf, sebelumnya. Terima kasih untuk itu
Mana ada wanita yang tetap baik-baik saja setelah dirinya melihat sebuah bukti bahwa lelaki yang semula dia percaya, ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi nya. Mana sudah jelas apa alasannya, ya dia sengaja pergi begitu saja tanpa sebuah kabar, jika memang dari awal kepergian nya hanya sementara ataupun mendesak, mengapa tak memberi kabar? Apa tidak ada rasa cemas pada istrinya? Mungkin memang tak ada kecemasan sama sekali dalam dirinya kepadaku.Aku saja sampai bingung harus bagaimana, untuk pulang ke rumah pun rasanya tak bisa, barang-barang ku ada di mobil nya, lantas apa yang harus ku katakan jika kedua orang serta sanak keluarga bertanya, kenapa aku pulang lagi? Mana suamimu? Ada apa? Dan lain sebagainya.Kebingungan ini terjadi sampai malam, sudah empat kali salat di masjid yang sama, tinggal menunggu subuh saja nanti. Ah, sudahlah mungkin lelaki asing itu memang berkata jujur, suamiku tak mungkin kembali lagi untuk menjemput ataupun menjelaskan.Sungguh, terpaksa diriku memin
“Jangan terlalu dipikirkan, itu semua sudah berlalu cukup lama, kami sudah ikhlas,” ucapnya kemudian.Walaupun demikian, aku bisa merasakan sebenarnya tidak ada keikhlasan yang benar-benar ikhlas dalam hatinya, siapa yang tak luka? Dan mana mungkin bisa semudah itu melupakan serta mengikhlaskan seseorang yang sempat hadir dalam kehidupan, apalagi perannya cukup penting, seperti ibu dari anaknya.Tak begitu banyak pembicaraan karena saat kami akan kembali berbicara, seorang wanita pengasuh Ibrahim sudah kembali dan kami bergegas menuju ke tempat mereka parkir mobil sebelumnya.Semula masih ada keraguan, tetapi pengasuh itu memberikan isyarat padaku bahwa tidak akan ada apa-apa, aku rasa begitu dari tatapan matanya.Di perjalanan pun tidak ada pembicaraan berat, hanya beberapa obrolan ringan untuk memecahkan keheningan semata.“Kalau nanti orang tuamu bertanya-tanya siapa kami, jawab saja kerabat lama yang bertemu kembali,” ucap pria itu, dan aku hanya mengangguk.Dia mengemudi dengan s
Aku membuang benda itu ke dalam tong sampah sesuai yang dia minta, tak harus mencurigai apa yang belum pasti kebenarannya, aku harus lebih pintar dari prasangka itu sendiri.Setelahnya, aku hanya duduk tanpa mengatakan apapun di sebelahnya, ya tentu saja dia masih sibuk berkutat dengan ponsel nya, tanpa memedulikan ku lagi, sebenarnya dia kenapa? Ada apa dengannya? Perubahan dirinya membuat ku ingin bertanya tetapi tak mampu tuk mengeluarkan pertanyaan itu.“Ning, ketika saya sudah tidur, kalau seandainya kamu belum tidur, tolong … periksa ponsel saya sudah terisi penuh atau belum saat di charger oke?”“Nggeh, Gus,” lirih ku tetapi seharusnya itu masih terdengar olehnya.Ku lihat dia menarik selimut dan merebahkan tubuhnya sembari membelakangi ku, tidak ada percakapan lagi selain mulai terdengar dengkuran halus saat dia tertidur, apakah mungkin secepat itu dia tidur? Aku tak berminat untuk memeriksa nya, hanya bisa kembali duduk termenung sembari memikirkan apa yang sebenarnya terjadi
Sudah cukup lama di perjalanan, pada saat ku rasa mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti di pinggir jalan, aku sontak saja menatapnya dengan tatapan penuh tanya.Untuk apa lagi berhenti? Apa dia akan melakukan hal yang sama seperti kejadian di masjid? Aku benar-benar akan sangat kecewa jika dia tega melakukan hal seperti itu lagi.“Gus, kita lagi nunggu seseorang, kah? Kenapa berhenti tapi gak turun?” tanyaku.“Kamu benar, lagi pula tadi saya sudah sempat memberitahu kamu, jika nanti akan ada seseorang yang ikut dengan kita,” jawabnya.Ah, ya aku sampai melupakan itu. Namun, yang ku bingungkan adalah siapa seseorang yang dimaksud? Penting sekali? Sampai-sampai harus ditunggu seperti sekarang.Sangat jenuh menunggu seseorang yang bahkan aku tidak tahu siapa orangnya, melihat ke samping ternyata suamiku begitu sibuk dengan ponsel nya, seperti sedang mengirim pesan karena jari-jari tangannya begitu lincah lalu kedua matanya fokus sekali pada layar ponsel.“Anisa, bisakah kamu pindah