“Ning, ayo ... ke luar dulu, biar saya ajak kamu ke restoran dulu untuk makan siang,” ucapnya, aku yang masih bingung hanya mengangguk dan turun dari mobil sesuai dengan perintah nya.
Mobil ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan tadi, sedangkan kami memilih untuk makan siang terlebih dahulu agar tak terlalu merisaukan mobil lagi.“Kita mau makan di mana? Kamu saja yang pilih dan tentukan harus makan di mana,” titahnya.Aku sebenarnya ada keinginan tetapi itu semua ku urungkan terlebih dahulu, karena sangat ingin menghormati serta menghargai suamiku sebagai imam dalam rumah tangga kami, sudah sepantasnya dia ku berikan kenyamanan saat bersama.“Ning, ayo ... katakan ingin makan di mana? Katakan, saya benar-benar ingin kamu yang menentukan, ini perintah suami!”“BONCAFE PREGOLAN,” jawabku dengan tegas.“Baik, kita makan dan beristirahat terlebih dahulu sembari menunggu tukang memperbaiki mobil nya,” cecar Gus Yusuf, dia terlihat seperti sedang memikirkan hal lain, yang berbeda dari topik pembicaraan kami saat ini.Sebelumnya, aku memang lulusan terbaik bimbingan konseling di universitas Uinsa, yang bisa dibilang itu sangat mengejutkan sebagai anak abah, karena banyak sekali orang mengatakan kenapa aku lebih memilih psikologi dibandingkan kerohanian lainnya, ku tak bisa menjelaskan panjang lebar akan hal ini, karena keturunan tak sama dengan keahlian masing-masing seseorang, hanya itu saja yang selalu ku jawab, sedikit tak aneh jika aku bisa dengan mudah membaca gelagat ataupun pikiran seseorang yang ada di sekitar ku.Saat masuk di pintu utama restoran yang ku pilih, tiba-tiba saja ku dikejutkan dengan tanganku digenggam erat oleh tangannya, kami berjalan bersama layaknya suami istri yang benar-benar saling mencintai, padahal kenyataannya sangatlah berbeda.Mungkin dia ingin menunjukkan rasa keamanan saja untukku sebagai istrinya, mungkin hanya begitu saja tak ingin banyak menerka-nerka apapun itu yang belum pasti kebenarannya, yang ujungnya pasti soouzon lagi.“Rupanya kamu suka sekali makan steak, ya? Saya akan pesan meja di sebelah sana,” tanyanya sembari menunjuk ke arah yang diinginkan.Ku mengangguk paham, karena itulah meja yang cukup jauh dari keramaian orang-orang, dan bisa membuatku makan serta minum dengan tenang nantinya.Sembari menunggu pesanan datang, ku perhatikan gerak-gerik Gus Yusuf, cukup tenang seperti tidak ada masalah apapun, bersikap seperti biasanya, seperti bersusah payah menyembunyikan sesuatu dengan cara bersikap tenang, perubahan dari kedua matanya cukup bisa terbaca.“Ada apa, Ning? Saya lihat kamu seperti terus memperhatikan saya?”“Emm, tak ada. Bukan seperti itu, Gus.”“Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan saat sudah makan dan beristirahat saja, jangan khawatir, hujan tidak jadi turun sekarang, masih banyak waktu juga,” cecarnya lagi.“Tapi, Gus ... kenapa mobil nya? Ada masalah, kah? Memangnya tak apa-apa jika kita tinggalkan di pinggir jalan seperti tadi, Gus? Aku hanya cemas.”“Tak apa-apa, lagi pula saya sudah menyerahkan mobil itu pada tukang yang saya kenali di Surabaya, insya Allah aman tak akan ada masalah, nanti mungkin mereka menderek mobil nya.”Tutur katanya, mimik wajahnya, sangat tenang seperti tidak ada masalah sama sekali di dalam hidupnya. Apa mungkin hanya dugaan ku saja? Mungkin memang tak ada apa-apa dalam diri suamiku, terlalu banyak teka-teki sampai bisa menimbulkan fitnah yang tidak-tidak, aku tak harus melanjutkan kecurigaan ini jika memang tak ada bukti kuat.“Ning?”“Kamu sudah siap?”“Siap? Apa maksudnya, Gus? Jangan terus bersikap misterius, aku tak bisa selalu menebak nya, Gus.”“Ya, siap untuk jadi ....”“Permisi, makanan sudah jadi dan siap dihidangkan, maaf saya menganggu.”Baru saja aku akan segera tahu apa sebenarnya yang dimaksud oleh Gus Yusuf, akan tetapi pesanan kami sudah datang, dan pembicaraan pun terpotong kembali, entah nanti akan dilanjutkan atau tidak.Setelah makanan sudah dihidangkan di meja, lalu kami hanya berdua lagi, ku tatap kedua matanya, itu adalah sinyal yang menandakan aku ingin melanjutkan percakapan yang tadi.“Ayo, mari makan, saya tahu kamu tidak sarapan dengan baik di rumah, sekarang sudah saatnya perbaiki asupan gizi untuk kesehatan mu,” ucap Gus Yusuf, dia telah membuatku membeku lagi di tempat.Bagaimana bisa makan? Sedangkan masih ada suatu hal yang belum diselesaikan dengan baik, berbicara banyak saat makan pun tak baik, jadi serba salah jika sudah seperti ini.“Benar dan tepat sekali pilihan mu, Ning. Makan di sini sangatlah tepat, rasa makanan nya masya Allah enak sekali, belum pernah saya makan steak senikmat ini, terkadang ada yang kurang pas dirasa, ada juga pernah saya makan steak yang dalam nya itu kurang matang, untung saja di sini tidak mengecewakan.”“Hmm, benar, Gus. Untung tak mengecewakan, ya.”Makanan memang tak mengecewakan, tetapi tanpa berpikir lagi dia sebenarnya yang sudah membuatku kecewa, ucapannya yang terhenti selalu dianggap nya hal sepele, tidak mengerti bahwa aku? Sangatlah penasaran serta kepikiran.***“Kenapa? Angkat aja dulu, Gus. Siapa tahu memang penting, telepon nya tak berhenti berdering terus dari tadi.”Tak tahu persis siapa sebenarnya yang terus saja menghubungi Gus Yusuf, tetapi itu sangatlah membuatku risih, terlebih lagi Gus Yusuf tak ingin menjawab nya walaupun sekali, suara dering nya semakin terdengar setelah ku lihat dia mengeluarkan ponsel nya di saku celana.“Sudah, suaranya tak akan menganggu kita lagi,” katanya, lalu ku lihat Gus Yusuf kembali memasukkan ponsel itu seperti semula.“Kenapa, Gus? Apa kamu mematikan telepon nya?” tanyaku yang ingin tahu.“Ya, biarkan saja. Saya tidak suka jika telepon berdering saat makan seperti ini, sudah jangan dipikirkan, lanjutkan makan nya.”“Bukan dari seseorang yang penting, kah?” tanyaku lagi.Dia hanya menggeleng kali ini, tanpa menjawab lagi, setelah itu pun ku biarkan saja hal seperti tadi berlalu. Ada dua hal persamaan ku dengannya, yang pertama benar-benar tak suka jika makan ku terganggu oleh ponsel, dan yang kedua sering sekali makan steak ditaburi garam sedikit diatas nya.Apakah itu benar-benar terjadi dengan sendirinya? Kebetulan? Ku tak percaya apa itu kebetulan dalam hidup ini, pertanyaan seperti itu pun ku simpan terlebih dahulu sampai makan siang kali ini selesai.Banyak sekali hal ganjil yang terjadi dari awal pernikahan hingga sampai saat ini, akan tetapi semua itu selalu saja ada alasannya, tidak terjadi dengan tiba-tiba, aku pun yakin ada alasan kuat mengapa suamiku masih berhubungan dengan wanita itu, yang tak lain adalah Marwah.Sekali ku pernah bertanya pada umi, siapa Marwah itu. Katanya, dia seorang anak yatim piatu, sejak usianya tujuh tahun sudah ikut dengan keluarganya Gus Yusuf, yang tak lain adalah sudah dianggap seperti keluarga sendiri.Apa mungkin mereka saling jatuh cinta saat usia keduanya sudah dewasa? Itu yang sangat ingin ku tanyakan pada suamiku, tak ingin tahu dari orang lain, selain dari mulut suamiku sendiri.Tak terasa sudah hampir zuhur, kami masih saja di tempat tadi, selesai makan pun tak ada kabar dari tukang yang sedang memperbaiki mobil, Gus Yusuf memutuskan untuk mencari musala ataupun masjid terdekat, menunaikan ibadah salat bersama.“Kamu tak apa-apa, kan? Kita mencari musala jalan kaki seperti ini?” Gus Yusuf ternyata bisa peka juga terhadap orang yang ada di dekatnya.“Ora apa-apa, sing penting aman, Gus.”“Terima kasih, Ning.”“Lagi pula kita niatkan untuk mencari rumah Allah, bukan sembarangan jalan kaki, Gus. Insya Allah pahala, lelah ataupun letih nya,” ucapku.“Kamu benar, ya sudah ... ayo, sebelum azan,” katanya.Pada saat kami terus berjalan kaki, entah kenapa ada sedikit keanehan lagi pada diri suamiku, bukan dirinya melainkan tubuhnya, saat ini aku sangat dekat dengannya, karena dia terus saja menggenggam tanganku, jadi ku bisa mencium aroma yang ada di tubuhnya.Parfum laki-laki seperti itu, kah? Aku belum pernah sebelumnya berdekatan dengan lawan jenis seperti ini se
Semenjak ku beritahu kidal itu sudah sejak kecil ku alami, Gus Yusuf hanya mengangguk dan tak lagi mencari tahu mengenai wewangian tersebut, apakah mungkin dia sudah tahu siapa orangnya? Namun, tak ingin ku marah, atau ada hal lainnya yang aku sendiri tidak tahu apa itu.“Saya akan segera kembali, sekarang harus menghubungi seseorang terlebih dahulu,” ucapnya, belum sempat ku menjawab dia sudah pergi begitu saja.Untuk pertama kalinya, pergi begitu saja di saat dirinya akan menghubungi seseorang, yang entah siapa orangnya, aku benar-benar tak ingin soouzon pada siapapun.Sembari menunggu, tak ingin menyia-nyiakan waktu dengan penantian sia-sia, aku buka buku yang kebetulan ada di dalam tas, lalu membaca nya agar tak terlalu hening selama menunggu nya.Buku yang saat ini ku baca adalah buku islami, judulnya saja sudah cukup membuatku penasaran ingin cepat-cepat membaca, karena ini buku baru yang belum sempat ku baca sebelumnya.Berjudul menjadi bidadari cantik ala islami, benar-benar b
Sampai menjelang sore lagi, ku tak bisa menemukan di mana keberadaan Gus Yusuf, jangan tanya sudah berapa kali ku menghubungi dirinya hari ini. Terlalu sering aku dikecewakan, membuatku semakin meragukan sosoknya, aku takut dengan seperti itu, akan ada banyak kesalahpahaman yang terjadi pada rumah tangga kami.Selepas salat ashar, aku masih heran dengan lelaki itu, dia begitu betah menunggu entah siapa sebenarnya yang dia tunggu, ku lihat dia belum pergi juga, apakah dia penjaga masjid dan semacamnya? Apapun alasannya, aku tak ingin tahu.“Hei, assalamualaikum? Bagaimana? Masih mau, kah, kamu menunggu seseorang yang tak mungkin datang lagi?” Aku terkejut, saat menyadari dia sudah kembali mendekat dan bahkan bertanya seperti itu kepadaku.Aku tanpa menatapnya pun tetap menjawab, “Tentu, waalaikumussalam.”“Kenapa tentu? Atau hanya karena dia suamimu? Maka dari itu rela menunggu yang tak pasti sendirian di sini? Lebih baik pulang sebelum malam.”“Maaf, sebelumnya. Terima kasih untuk itu
Mana ada wanita yang tetap baik-baik saja setelah dirinya melihat sebuah bukti bahwa lelaki yang semula dia percaya, ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi nya. Mana sudah jelas apa alasannya, ya dia sengaja pergi begitu saja tanpa sebuah kabar, jika memang dari awal kepergian nya hanya sementara ataupun mendesak, mengapa tak memberi kabar? Apa tidak ada rasa cemas pada istrinya? Mungkin memang tak ada kecemasan sama sekali dalam dirinya kepadaku.Aku saja sampai bingung harus bagaimana, untuk pulang ke rumah pun rasanya tak bisa, barang-barang ku ada di mobil nya, lantas apa yang harus ku katakan jika kedua orang serta sanak keluarga bertanya, kenapa aku pulang lagi? Mana suamimu? Ada apa? Dan lain sebagainya.Kebingungan ini terjadi sampai malam, sudah empat kali salat di masjid yang sama, tinggal menunggu subuh saja nanti. Ah, sudahlah mungkin lelaki asing itu memang berkata jujur, suamiku tak mungkin kembali lagi untuk menjemput ataupun menjelaskan.Sungguh, terpaksa diriku memin
“Jangan terlalu dipikirkan, itu semua sudah berlalu cukup lama, kami sudah ikhlas,” ucapnya kemudian.Walaupun demikian, aku bisa merasakan sebenarnya tidak ada keikhlasan yang benar-benar ikhlas dalam hatinya, siapa yang tak luka? Dan mana mungkin bisa semudah itu melupakan serta mengikhlaskan seseorang yang sempat hadir dalam kehidupan, apalagi perannya cukup penting, seperti ibu dari anaknya.Tak begitu banyak pembicaraan karena saat kami akan kembali berbicara, seorang wanita pengasuh Ibrahim sudah kembali dan kami bergegas menuju ke tempat mereka parkir mobil sebelumnya.Semula masih ada keraguan, tetapi pengasuh itu memberikan isyarat padaku bahwa tidak akan ada apa-apa, aku rasa begitu dari tatapan matanya.Di perjalanan pun tidak ada pembicaraan berat, hanya beberapa obrolan ringan untuk memecahkan keheningan semata.“Kalau nanti orang tuamu bertanya-tanya siapa kami, jawab saja kerabat lama yang bertemu kembali,” ucap pria itu, dan aku hanya mengangguk.Dia mengemudi dengan s
Aku membuang benda itu ke dalam tong sampah sesuai yang dia minta, tak harus mencurigai apa yang belum pasti kebenarannya, aku harus lebih pintar dari prasangka itu sendiri.Setelahnya, aku hanya duduk tanpa mengatakan apapun di sebelahnya, ya tentu saja dia masih sibuk berkutat dengan ponsel nya, tanpa memedulikan ku lagi, sebenarnya dia kenapa? Ada apa dengannya? Perubahan dirinya membuat ku ingin bertanya tetapi tak mampu tuk mengeluarkan pertanyaan itu.“Ning, ketika saya sudah tidur, kalau seandainya kamu belum tidur, tolong … periksa ponsel saya sudah terisi penuh atau belum saat di charger oke?”“Nggeh, Gus,” lirih ku tetapi seharusnya itu masih terdengar olehnya.Ku lihat dia menarik selimut dan merebahkan tubuhnya sembari membelakangi ku, tidak ada percakapan lagi selain mulai terdengar dengkuran halus saat dia tertidur, apakah mungkin secepat itu dia tidur? Aku tak berminat untuk memeriksa nya, hanya bisa kembali duduk termenung sembari memikirkan apa yang sebenarnya terjadi
Sudah cukup lama di perjalanan, pada saat ku rasa mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti di pinggir jalan, aku sontak saja menatapnya dengan tatapan penuh tanya.Untuk apa lagi berhenti? Apa dia akan melakukan hal yang sama seperti kejadian di masjid? Aku benar-benar akan sangat kecewa jika dia tega melakukan hal seperti itu lagi.“Gus, kita lagi nunggu seseorang, kah? Kenapa berhenti tapi gak turun?” tanyaku.“Kamu benar, lagi pula tadi saya sudah sempat memberitahu kamu, jika nanti akan ada seseorang yang ikut dengan kita,” jawabnya.Ah, ya aku sampai melupakan itu. Namun, yang ku bingungkan adalah siapa seseorang yang dimaksud? Penting sekali? Sampai-sampai harus ditunggu seperti sekarang.Sangat jenuh menunggu seseorang yang bahkan aku tidak tahu siapa orangnya, melihat ke samping ternyata suamiku begitu sibuk dengan ponsel nya, seperti sedang mengirim pesan karena jari-jari tangannya begitu lincah lalu kedua matanya fokus sekali pada layar ponsel.“Anisa, bisakah kamu pindah
“Aaa, pengen banget makan dulu sebelum benar-benar sampai ke tempat tujuan,” rengek Marwah.“Aih, apakah sebelumnya kamu tak makan dulu? Bukankah uang yang kemarin cukup untuk membeli sarapan?” tanya Gus Yusuf.“Ya, iya tapi, kan, maunya makan sama kamu, jangan marah,” rengek Marwah lagi.Sebenarnya mereka yang gila atau aku yang terlalu bodoh di sini, berpura-pura kuat melihat langsung kemesraan mereka, padahal dibalik kekuatan ini ada segudang kesedihan yang selalu ku tahan.Ku tahan hanya karena tak ingin salah paham ataupun menjabarkan suatu hal yang belum pasti apa itu, sebenarnya mereka sedang bersandiwara atau memang nyata seperti itu biasanya.“Gus, tapi kalau makan nya ada orang lain diantara kita, pasti rasa makanan kelas atas pun jadi rasa warung kaki lima deh,” cetus Marwah, bisa-bisanya dia mengatakan itu.Apakah yang dia maksud orang lain adalah aku? Jika iya, sungguh dia tidak tahu diri, jelas-jelas dia lah orang lain itu dalam pernikahan ini, entah harus berapa banyak