Sampai menjelang sore lagi, ku tak bisa menemukan di mana keberadaan Gus Yusuf, jangan tanya sudah berapa kali ku menghubungi dirinya hari ini. Terlalu sering aku dikecewakan, membuatku semakin meragukan sosoknya, aku takut dengan seperti itu, akan ada banyak kesalahpahaman yang terjadi pada rumah tangga kami.Selepas salat ashar, aku masih heran dengan lelaki itu, dia begitu betah menunggu entah siapa sebenarnya yang dia tunggu, ku lihat dia belum pergi juga, apakah dia penjaga masjid dan semacamnya? Apapun alasannya, aku tak ingin tahu.“Hei, assalamualaikum? Bagaimana? Masih mau, kah, kamu menunggu seseorang yang tak mungkin datang lagi?” Aku terkejut, saat menyadari dia sudah kembali mendekat dan bahkan bertanya seperti itu kepadaku.Aku tanpa menatapnya pun tetap menjawab, “Tentu, waalaikumussalam.”“Kenapa tentu? Atau hanya karena dia suamimu? Maka dari itu rela menunggu yang tak pasti sendirian di sini? Lebih baik pulang sebelum malam.”“Maaf, sebelumnya. Terima kasih untuk itu
Mana ada wanita yang tetap baik-baik saja setelah dirinya melihat sebuah bukti bahwa lelaki yang semula dia percaya, ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi nya. Mana sudah jelas apa alasannya, ya dia sengaja pergi begitu saja tanpa sebuah kabar, jika memang dari awal kepergian nya hanya sementara ataupun mendesak, mengapa tak memberi kabar? Apa tidak ada rasa cemas pada istrinya? Mungkin memang tak ada kecemasan sama sekali dalam dirinya kepadaku.Aku saja sampai bingung harus bagaimana, untuk pulang ke rumah pun rasanya tak bisa, barang-barang ku ada di mobil nya, lantas apa yang harus ku katakan jika kedua orang serta sanak keluarga bertanya, kenapa aku pulang lagi? Mana suamimu? Ada apa? Dan lain sebagainya.Kebingungan ini terjadi sampai malam, sudah empat kali salat di masjid yang sama, tinggal menunggu subuh saja nanti. Ah, sudahlah mungkin lelaki asing itu memang berkata jujur, suamiku tak mungkin kembali lagi untuk menjemput ataupun menjelaskan.Sungguh, terpaksa diriku memin
“Jangan terlalu dipikirkan, itu semua sudah berlalu cukup lama, kami sudah ikhlas,” ucapnya kemudian.Walaupun demikian, aku bisa merasakan sebenarnya tidak ada keikhlasan yang benar-benar ikhlas dalam hatinya, siapa yang tak luka? Dan mana mungkin bisa semudah itu melupakan serta mengikhlaskan seseorang yang sempat hadir dalam kehidupan, apalagi perannya cukup penting, seperti ibu dari anaknya.Tak begitu banyak pembicaraan karena saat kami akan kembali berbicara, seorang wanita pengasuh Ibrahim sudah kembali dan kami bergegas menuju ke tempat mereka parkir mobil sebelumnya.Semula masih ada keraguan, tetapi pengasuh itu memberikan isyarat padaku bahwa tidak akan ada apa-apa, aku rasa begitu dari tatapan matanya.Di perjalanan pun tidak ada pembicaraan berat, hanya beberapa obrolan ringan untuk memecahkan keheningan semata.“Kalau nanti orang tuamu bertanya-tanya siapa kami, jawab saja kerabat lama yang bertemu kembali,” ucap pria itu, dan aku hanya mengangguk.Dia mengemudi dengan s
Aku membuang benda itu ke dalam tong sampah sesuai yang dia minta, tak harus mencurigai apa yang belum pasti kebenarannya, aku harus lebih pintar dari prasangka itu sendiri.Setelahnya, aku hanya duduk tanpa mengatakan apapun di sebelahnya, ya tentu saja dia masih sibuk berkutat dengan ponsel nya, tanpa memedulikan ku lagi, sebenarnya dia kenapa? Ada apa dengannya? Perubahan dirinya membuat ku ingin bertanya tetapi tak mampu tuk mengeluarkan pertanyaan itu.“Ning, ketika saya sudah tidur, kalau seandainya kamu belum tidur, tolong … periksa ponsel saya sudah terisi penuh atau belum saat di charger oke?”“Nggeh, Gus,” lirih ku tetapi seharusnya itu masih terdengar olehnya.Ku lihat dia menarik selimut dan merebahkan tubuhnya sembari membelakangi ku, tidak ada percakapan lagi selain mulai terdengar dengkuran halus saat dia tertidur, apakah mungkin secepat itu dia tidur? Aku tak berminat untuk memeriksa nya, hanya bisa kembali duduk termenung sembari memikirkan apa yang sebenarnya terjadi
Sudah cukup lama di perjalanan, pada saat ku rasa mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti di pinggir jalan, aku sontak saja menatapnya dengan tatapan penuh tanya.Untuk apa lagi berhenti? Apa dia akan melakukan hal yang sama seperti kejadian di masjid? Aku benar-benar akan sangat kecewa jika dia tega melakukan hal seperti itu lagi.“Gus, kita lagi nunggu seseorang, kah? Kenapa berhenti tapi gak turun?” tanyaku.“Kamu benar, lagi pula tadi saya sudah sempat memberitahu kamu, jika nanti akan ada seseorang yang ikut dengan kita,” jawabnya.Ah, ya aku sampai melupakan itu. Namun, yang ku bingungkan adalah siapa seseorang yang dimaksud? Penting sekali? Sampai-sampai harus ditunggu seperti sekarang.Sangat jenuh menunggu seseorang yang bahkan aku tidak tahu siapa orangnya, melihat ke samping ternyata suamiku begitu sibuk dengan ponsel nya, seperti sedang mengirim pesan karena jari-jari tangannya begitu lincah lalu kedua matanya fokus sekali pada layar ponsel.“Anisa, bisakah kamu pindah
“Aaa, pengen banget makan dulu sebelum benar-benar sampai ke tempat tujuan,” rengek Marwah.“Aih, apakah sebelumnya kamu tak makan dulu? Bukankah uang yang kemarin cukup untuk membeli sarapan?” tanya Gus Yusuf.“Ya, iya tapi, kan, maunya makan sama kamu, jangan marah,” rengek Marwah lagi.Sebenarnya mereka yang gila atau aku yang terlalu bodoh di sini, berpura-pura kuat melihat langsung kemesraan mereka, padahal dibalik kekuatan ini ada segudang kesedihan yang selalu ku tahan.Ku tahan hanya karena tak ingin salah paham ataupun menjabarkan suatu hal yang belum pasti apa itu, sebenarnya mereka sedang bersandiwara atau memang nyata seperti itu biasanya.“Gus, tapi kalau makan nya ada orang lain diantara kita, pasti rasa makanan kelas atas pun jadi rasa warung kaki lima deh,” cetus Marwah, bisa-bisanya dia mengatakan itu.Apakah yang dia maksud orang lain adalah aku? Jika iya, sungguh dia tidak tahu diri, jelas-jelas dia lah orang lain itu dalam pernikahan ini, entah harus berapa banyak
“Ya Allah, apa yang terjadi padamu? Sebentar, aku akan membeli dan mencari sesuatu dulu,” ucapku sangat terkejut pada saat sampai ke kamar mandi.Aku melihat Marwah sedang duduk di pojokan kamar mandi dan merintih kesakitan, aku memang belum tahu apa penyebabnya, akan tetapi sepertinya yang aku pikirkan tidak akan salah.Jika bukan karena datang bulan yang mendadak datang, tidak mungkin dia lebih percaya padaku untuk membantu nya, benar ataupun salah yang terpenting sekarang aku sudah membeli sesuatu itu.“Maaf, aku sedikit lama. Apakah kamu ....”“Kok kamu bisa tahu kalau aku lagi kedatangan tamu bulanan? Padahal yang kamu lihat hanya rintihan ku aja,” tanya Marwah yang masih duduk di pojokan.Aku semakin mendekati dirinya, aku ikut berjongkok, “Aku asal tebak awalnya, jika memang benar tolong jangan panik, ini pakai lah terlebih dahulu di dalam,” sahutku sembari mengasongkan roti bulanan itu, semua wanita pasti tahu apa yang ku maksud.Setelah Marwah masuk ke dalam kamar mandi denga
“Aw! Gus? Ada apa? Kenapa mobil nya rem mendadak seperti ini, aku hampir aja terpentok,” pekik Marwah.Sedangkan aku sudah berpegangan pada kursi depan untuk tetap menjaga keseimbangan tubuh, jangankan Marwah yang begitu terkejut, aku saja sampai beristighfar berulang kali.“Maaf, kalian tidak apa-apa, kan? Saya rasa mobil nya bermasalah, karena rem sudah saya kendalikan tetap saja tidak bisa, lebih baik mendadak seperti tadi daripada harus terjadi sesuatu nanti nya,” ucap Gus Yusuf dengan wajah yang terlihat panik.“Aku, sih, gapapa ya cuma kaget. Kenapa, sih, ini perjalanan jadi lama banget mana banyak cobaan nya,” gerutu Marwah yang seperti anak kecil.Gus Yusuf menatap ke arah ku di belakang, aku tidak mengerti kenapa dia justru menatap ku padahal sudah jelas yang berbicara sedari tadi adalah Marwah.“Kenapa? Kenapa hanya diam? Turun dan periksa apa yang bermasalah dari mobil ini,” cetus Marwah.“Gus kamu ....”“Diam, Marwah! Diam! Saya tahu harus melakukan apa tanpa harus kamu pe