Home / Pernikahan / Dinikahi Gus Misterius / Bab 4 : Seperti Apa Suamiku Itu?

Share

Bab 4 : Seperti Apa Suamiku Itu?

Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, setelah ku pakai pakaian itu, ternyata bukan hanya lekuk tubuh saja yang terlihat jelas, melainkan kemaluan ku oh tidak mungkin, mana bisa ku pakai seterusnya? Bagaimana nanti jika Gus Yusuf datang dan tidak bisa menerima penampilan ku yang seperti sekarang.

Buru-buru ku ingin mengganti kembali pakaian yang tadinya sangat terbuka menjadi pakaian seperti semula, memang lebih nyaman menggunakan gamis syar'i dibandingkan pakaian seperti itu, sangat tidak percaya diri saat memakai nya.

Ku dengar ketukan pada pintu, betapa terkejutnya aku. Bagaimanapun juga pakaian aneh itu masih ada di atas tempat tidur dan tentunya sangat berantakan, dengan cepat ku langsung merapikan nya dan sebisa mungkin menyembunyikan semua pakaian tersebut di tempat yang cukup aman, tidak mungkin siapapun bisa menemukan nya.

Setelah ku buka pintu kamar, ku dapati bahwa pria yang sudah bergelar sebagai suami kini tengah menatapku dengan tatapan yang sulit sekali untuk diartikan tatapan seperti apa itu.

Tentu saja, aku sudah mencium punggung tangannya lalu menunduk setelahnya, benar-benar tak sanggup jika dia menatap lekat seperti tadi. Mengapa tak ada suara juga? Selain ucapan salam yang dia ucapkan tadi, ku beranikan diri untuk mengangkat wajah ini dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa jenis keheningan ini.

“Nah, seperti inilah. Ini baru namanya istri, jangan selalu menunduk seperti tadi, saya tidak suka kamu begitu, Ning.”

“Emm, benarkah? Ma—”

“Ning, bisakah kamu memijat pundak saya? Hari ini sangat melelahkan, dan saya rasa ... keputusan saya untuk pulang lebih awal adalah hal yang tepat, karena saya tahu, rasa lelah ini pasti akan langsung hilang.”

“Oh, iya, Gus? Mengapa begitu? Apakah udah nyaman dengan rumah ku ini?” Ku beranikan bertanya seperti itu.

Ku lihat dia hanya tersenyum, lalu tak lama dia mengenggam tangan ini, yang pada akhirnya sesi saling tatap menatap terulang kembali malam ini, entah apa sebenarnya maksud dari ucapannya tadi, aku benar-benar tak mengerti.

“Kamu salah, Ning. Bukan salah tapi mungkin kurang tepat, alasannya ... bukan hanya sudah merasa nyaman berada di rumah ini, melainkan rasa lelah itu, bisa langsung hilang ketika saya melihat kamu,” tuturnya lembut, dia masih saja menatapku.

Ah, tidak mungkin. Pasti ini semua hanya mimpi? Mana mungkin dia bisa mengatakan hal seperti itu kepadaku? Memangnya aku bisa membuatnya bahagia? Penampilan ku saja belum ada perubahan, masih begini-begini tanpa menarik perhatian sama sekali.

Dia semakin mendekat, ku bisa saja berjalan mundur untuk menjauhinya agar tak terlalu dekat jarak diantara kami, hanya saja mana bisa aku melakukan hal seperti itu kepadanya, yang pada kenyataannya sudah menjadi suamiku.

“Kenapa, hmm? Saya tidak sedang berbohong, Ning. Sungguh, lelah yang saya rasakan langsung hilang ketika kedua mata ini, melihatmu yang sangat membahagiakan hati.”

Katanya, aku sangat membahagiakan hatinya, benarkah itu semua yang dia katakan? Ah, lalu bagaimana dengan kisahnya yang lain, maksudku kisahnya bersama wanita itu, yang bernama Marwah. Aku bisa saja sekalian bertanya karena memang sudah meledak rasa ingin tahu ku ini, akan tetapi jangan sampai rasa lelahnya itu pulih kembali hanya karena pertanyaan aneh yang nantinya akan ku tanyakan kepadanya.

“Kamu masih saja bersikap diam dan sangat malu-malu, saya suka itu, Ning.”

Oh tidak, apa itu? Kenapa dia semakin mendekati aku, pintu kamar dia kunci dari dalam. Jangankan untuk menjawab semua pertanyaannya, sekadar menetralkan detak jantung saja tidak bisa ku lakukan dengan benar malam ini.

Perlahan, sapuan hangat tangannya ku rasakan tepat pada tanganku ini, entah apa yang akan dia lakukan malam ini kepadaku, menunduk adalah hal yang paling mendukung untuk mengusir rasa gugup ataupun kecanggungan yang dirasa.

“Duduk, dan tetaplah mengangkat wajahmu seperti tadi, Ning,” titahnya, lalu ku rasakan tangannya yang selalu hangat mengangkat daguku secara perlahan. Padahal ku pakai cadar yang bahan nya cukup tebal malam ini, tetapi tetap saja masih bisa ku rasakan hangatnya dia.

Kini, kedua mata kami saling bertemu dengan lekat kembali, dia menyunggingkan senyumnya yang bagiku itu menjadi manis saat senyuman nya hanya ditujukan kepadaku saja, seperti malam ini hanya ada kami berdua.

“Bolehkah? Malam ini, saya buka cadar mu, lalu melihat wajahmu? Jangan lupa, malam-malam itu terlewatkan begitu saja, hanya karena kita terlalu lelah,” tanyanya, yang langsung membuatku membeku di tempat.

Apa yang dia minta memang benar sudah menjadi kewajiban ku untuk melakukannya, apalagi ucapannya sangat benar, kami sudah melewatkan masa-masa itu hanya karena rasa lelah, dan rasa kesal saat masih ada penghalang diantara kami malam kemarin, kalian pasti sudah tahu apa maksudku dan siapa orangnya.

“Bolehkah, Ning?” Dia kembali bertanya.

Kami saling bertatapan tanpa henti, sedari tadi posisi duduk pun sangat dekat, seperti jarak pun dia terjang. Buktinya aku sangat terlena karena bisa merasakan hembusan napasnya secara dekat seperti sekarang.

Saat ku anggukan kepala sebagai jawaban, kedua tangannya sudah bersiap untuk membuka cadar ku ini, sangat dinantikan sejak kemarin momen di saat wajahku dilihat untuk pertama kalinya oleh suamiku sendiri, begitu cepat tanpa hitungan menit, cadar yang tadinya ku pakai sudah dia buka, dan betapa malunya diriku, mendapati kenyataan ada yang tengah menatap wajahku secara nyata tanpa menggunakan cadar, apalagi itu seorang pria.

“Masya Allah, begitu indahnya bidadari yang sudah Engkau berikan kepada saya, ya Rabb. Kamu sangat cantik, Ning,” ucapnya, lalu saat dia hendak mendekatkan wajahnya.

Suara dering ponsel yang entah itu berasal dari mana, tiba-tiba berhasil menghentikan momen antara kami yang sudah seharusnya tak diganggu terlebih dahulu sebelum benar-benar selesai semuanya.

“Ya ... beginilah jadinya, maafkan saya, Ning. Jadi terganggu,” ucapnya lagi, sepertinya dia benar-benar sangat menyesal.

Aku biarkan saja dia menerima telepon terlebih dahulu, aku pikir dia akan melakukan nya dengan cara menjauh atau bagaimana, tetapi ternyata dia menerima telepon tersebut masih dengan posisi yang sama, duduk dekat denganku.

Tangan kanannya memegangi tanganku sedangkan tangan kiri dia gunakan untuk memegang ponsel nya, begitu manisnya dia. Andai saja dari awal tidak ada wanita itu, mungkin pernikahan ini akan berjalan mulus tanpa kerikil diawal.

Pernikahan ini memang terjadi karena perjodohan, tetapi jika dari awal tak ada sosok Marwah, sudah pasti semuanya berjalan dengan baik, mengalir sebagaimana mestinya berjalan, mengingat itu semua tentunya tak mudah bagiku, tak semudah itu menyembunyikan rasa kesal yang ku tahan-tahan.

“Sudah, alhamdulilah semuanya berakhir. Maafkan saya, Ning. Tadi ada panggilan dari seorang mualaf yang sempat saya bimbing,” ucapnya, dia dengan mudah memperlihatkan nama terakhir yang tertera di ponselnya yang tentunya itulah yang menghubungi nya tadi.

Apa maksudnya? Kenapa Gus Yusuf memperlihatkan semua itu kepadaku? Padahal aku tidak segitunya ingin tahu, aku juga bukan wanita posesif yang harus selalu tahu dengan siapa suamiku berbicara.

“Tak apa-apa, Gus. Yang penting urusanmu selesai.”

“Belum, kamu salah lagi, urusan saya belum selesai malam ini,” ungkapnya.

“Maksudnya? Apa dia masih ingin meminta bantuan padamu malam ini, Gus?” tanyaku, mengenai seorang mualaf itu.

Gus Yusuf tersenyum lagi, dia kali ini tertawa juga, membiusku untuk tetap membeku di tempat, tanpa bisa melakukan apapun lagi selain menggaruk atas kepala yang sebenarnya tidak terasa gatal.

Membiusku dengan senyuman manisnya lagi, entah mau sampai kapan aku yang seperti ini, bisa langsung terpana hanya karena terpesona akan indahnya senyuman itu.

***

“Saat ini, saya sudah menjadi suamimu dan tentunya kamu menjadi istri saya,” ucapnya lalu dia mengangkat ponsel nya ke atas, “Isi ponsel ini, memang sudah seharusnya kamu ketahui, apapun itu yang ada didalam nya, kamu sudah pasti diberitahu oleh saya,” sambungnya.

“Jadi, saya tidak ingin kamu terkejut seperti tadi, di saat saya memperlihatkan siapa yang telah menghubungi suamimu ini, malam hari seperti sekarang, sejatinya saya tidak ingin ada kesalahpahaman diantara kita, meskipun kita sama-sama tahu, pernikahan ini terjadi karena perjodohan.”

“Dan sama-sama tahu juga, kalau kita gak saling mencintai,” ucapku begitu saja, entah dari mana keberanian seperti itu bisa ku ucapkan.

“Ning?”

“Ya, Gus?”

“Jangan berbicara seperti itu, Ning. Tidak ada yang tahu kehidupan masa depan nanti akan seperti apa dan bagaimana, cinta akan datang dengan sendirinya, saya yakin itu.”

Kamu yakin tetapi aku tidak semudah itu, Gus. Urusan ku dengan wanita yang bernama Marwah saja belum benar-benar selesai lalu bagaimana bisa kata-kata cinta itu ada untuk pernikahan ini.

Keheningan kembali hadir diantara kami malam ini, entahlah jika sudah membahas hati pasti semua kebahagiaan akan tiba-tiba hilang, dengan sendirinya.

“Ning?”

“Ya?”

“Bisakah kita melakukan nya malam ini?”

Ku tak mengerti apa maksudnya lagi, kali ini aku hanya menunggu ucapannya lagi, sebelum benar-benar diperjelas, maka aku harus tetap diam.

“Melakukan yang saya maksud adalah ... hak yang sudah seharusnya saya minta sejak kemarin,” lanjutnya.

“Bagaimana, Ning?”

“Memangnya bisa, ya? Melakukan itu tanpa cinta?” Kali ini, hal yang aku tanyakan semakin menjadi-jadi.

“Tentu, kenapa tidak bisa? Bahkan saya bisa melakukan nya tanpa rasa.”

Deg, apa maksudnya? Kenapa dia berkata seperti itu? Melakukan tanpa rasa? Bisa dia lakukan? Memangnya dia pernah melakukannya? Ah, tidak apa ini, pikiran macam apa, astaghfirullah Anisa.

“Ning?”

“Ning Anisa?”

Dia terus saja memanggilku tak ada hentinya, mungkin pria itu mengira aku sedang melamun sampai-sampai memanggilku tanpa henti. Padahal, aku hanya sedang berpikir keras, dan bertanya-tanya pada diri sendiri, pria seperti apa yang saat ini sudah menjadi suamiku? Apa sebenarnya yang tidak aku ketahui, dan bagaimana hubungannya dengan para wanita selama ini.

Aku tidak bermaksud untuk berpikir yang tidak-tidak pada suami sendiri, akan tetapi naluri seorang wanita tak mungkin salah, meskipun baru mengenalnya beberapa hari, hatiku berkata memang ada sesuatu yang harus ku cari tahu terlebih dahulu, sebelum diriku benar-benar menjadi miliknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status