Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, setelah ku pakai pakaian itu, ternyata bukan hanya lekuk tubuh saja yang terlihat jelas, melainkan kemaluan ku oh tidak mungkin, mana bisa ku pakai seterusnya? Bagaimana nanti jika Gus Yusuf datang dan tidak bisa menerima penampilan ku yang seperti sekarang.
Buru-buru ku ingin mengganti kembali pakaian yang tadinya sangat terbuka menjadi pakaian seperti semula, memang lebih nyaman menggunakan gamis syar'i dibandingkan pakaian seperti itu, sangat tidak percaya diri saat memakai nya.Ku dengar ketukan pada pintu, betapa terkejutnya aku. Bagaimanapun juga pakaian aneh itu masih ada di atas tempat tidur dan tentunya sangat berantakan, dengan cepat ku langsung merapikan nya dan sebisa mungkin menyembunyikan semua pakaian tersebut di tempat yang cukup aman, tidak mungkin siapapun bisa menemukan nya.Setelah ku buka pintu kamar, ku dapati bahwa pria yang sudah bergelar sebagai suami kini tengah menatapku dengan tatapan yang sulit sekali untuk diartikan tatapan seperti apa itu.Tentu saja, aku sudah mencium punggung tangannya lalu menunduk setelahnya, benar-benar tak sanggup jika dia menatap lekat seperti tadi. Mengapa tak ada suara juga? Selain ucapan salam yang dia ucapkan tadi, ku beranikan diri untuk mengangkat wajah ini dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa jenis keheningan ini.“Nah, seperti inilah. Ini baru namanya istri, jangan selalu menunduk seperti tadi, saya tidak suka kamu begitu, Ning.”“Emm, benarkah? Ma—”“Ning, bisakah kamu memijat pundak saya? Hari ini sangat melelahkan, dan saya rasa ... keputusan saya untuk pulang lebih awal adalah hal yang tepat, karena saya tahu, rasa lelah ini pasti akan langsung hilang.”“Oh, iya, Gus? Mengapa begitu? Apakah udah nyaman dengan rumah ku ini?” Ku beranikan bertanya seperti itu.Ku lihat dia hanya tersenyum, lalu tak lama dia mengenggam tangan ini, yang pada akhirnya sesi saling tatap menatap terulang kembali malam ini, entah apa sebenarnya maksud dari ucapannya tadi, aku benar-benar tak mengerti.“Kamu salah, Ning. Bukan salah tapi mungkin kurang tepat, alasannya ... bukan hanya sudah merasa nyaman berada di rumah ini, melainkan rasa lelah itu, bisa langsung hilang ketika saya melihat kamu,” tuturnya lembut, dia masih saja menatapku.Ah, tidak mungkin. Pasti ini semua hanya mimpi? Mana mungkin dia bisa mengatakan hal seperti itu kepadaku? Memangnya aku bisa membuatnya bahagia? Penampilan ku saja belum ada perubahan, masih begini-begini tanpa menarik perhatian sama sekali.Dia semakin mendekat, ku bisa saja berjalan mundur untuk menjauhinya agar tak terlalu dekat jarak diantara kami, hanya saja mana bisa aku melakukan hal seperti itu kepadanya, yang pada kenyataannya sudah menjadi suamiku.“Kenapa, hmm? Saya tidak sedang berbohong, Ning. Sungguh, lelah yang saya rasakan langsung hilang ketika kedua mata ini, melihatmu yang sangat membahagiakan hati.”Katanya, aku sangat membahagiakan hatinya, benarkah itu semua yang dia katakan? Ah, lalu bagaimana dengan kisahnya yang lain, maksudku kisahnya bersama wanita itu, yang bernama Marwah. Aku bisa saja sekalian bertanya karena memang sudah meledak rasa ingin tahu ku ini, akan tetapi jangan sampai rasa lelahnya itu pulih kembali hanya karena pertanyaan aneh yang nantinya akan ku tanyakan kepadanya.“Kamu masih saja bersikap diam dan sangat malu-malu, saya suka itu, Ning.”Oh tidak, apa itu? Kenapa dia semakin mendekati aku, pintu kamar dia kunci dari dalam. Jangankan untuk menjawab semua pertanyaannya, sekadar menetralkan detak jantung saja tidak bisa ku lakukan dengan benar malam ini.Perlahan, sapuan hangat tangannya ku rasakan tepat pada tanganku ini, entah apa yang akan dia lakukan malam ini kepadaku, menunduk adalah hal yang paling mendukung untuk mengusir rasa gugup ataupun kecanggungan yang dirasa.“Duduk, dan tetaplah mengangkat wajahmu seperti tadi, Ning,” titahnya, lalu ku rasakan tangannya yang selalu hangat mengangkat daguku secara perlahan. Padahal ku pakai cadar yang bahan nya cukup tebal malam ini, tetapi tetap saja masih bisa ku rasakan hangatnya dia.Kini, kedua mata kami saling bertemu dengan lekat kembali, dia menyunggingkan senyumnya yang bagiku itu menjadi manis saat senyuman nya hanya ditujukan kepadaku saja, seperti malam ini hanya ada kami berdua.“Bolehkah? Malam ini, saya buka cadar mu, lalu melihat wajahmu? Jangan lupa, malam-malam itu terlewatkan begitu saja, hanya karena kita terlalu lelah,” tanyanya, yang langsung membuatku membeku di tempat.Apa yang dia minta memang benar sudah menjadi kewajiban ku untuk melakukannya, apalagi ucapannya sangat benar, kami sudah melewatkan masa-masa itu hanya karena rasa lelah, dan rasa kesal saat masih ada penghalang diantara kami malam kemarin, kalian pasti sudah tahu apa maksudku dan siapa orangnya.“Bolehkah, Ning?” Dia kembali bertanya.Kami saling bertatapan tanpa henti, sedari tadi posisi duduk pun sangat dekat, seperti jarak pun dia terjang. Buktinya aku sangat terlena karena bisa merasakan hembusan napasnya secara dekat seperti sekarang.Saat ku anggukan kepala sebagai jawaban, kedua tangannya sudah bersiap untuk membuka cadar ku ini, sangat dinantikan sejak kemarin momen di saat wajahku dilihat untuk pertama kalinya oleh suamiku sendiri, begitu cepat tanpa hitungan menit, cadar yang tadinya ku pakai sudah dia buka, dan betapa malunya diriku, mendapati kenyataan ada yang tengah menatap wajahku secara nyata tanpa menggunakan cadar, apalagi itu seorang pria.“Masya Allah, begitu indahnya bidadari yang sudah Engkau berikan kepada saya, ya Rabb. Kamu sangat cantik, Ning,” ucapnya, lalu saat dia hendak mendekatkan wajahnya.Suara dering ponsel yang entah itu berasal dari mana, tiba-tiba berhasil menghentikan momen antara kami yang sudah seharusnya tak diganggu terlebih dahulu sebelum benar-benar selesai semuanya.“Ya ... beginilah jadinya, maafkan saya, Ning. Jadi terganggu,” ucapnya lagi, sepertinya dia benar-benar sangat menyesal.Aku biarkan saja dia menerima telepon terlebih dahulu, aku pikir dia akan melakukan nya dengan cara menjauh atau bagaimana, tetapi ternyata dia menerima telepon tersebut masih dengan posisi yang sama, duduk dekat denganku.Tangan kanannya memegangi tanganku sedangkan tangan kiri dia gunakan untuk memegang ponsel nya, begitu manisnya dia. Andai saja dari awal tidak ada wanita itu, mungkin pernikahan ini akan berjalan mulus tanpa kerikil diawal.Pernikahan ini memang terjadi karena perjodohan, tetapi jika dari awal tak ada sosok Marwah, sudah pasti semuanya berjalan dengan baik, mengalir sebagaimana mestinya berjalan, mengingat itu semua tentunya tak mudah bagiku, tak semudah itu menyembunyikan rasa kesal yang ku tahan-tahan.“Sudah, alhamdulilah semuanya berakhir. Maafkan saya, Ning. Tadi ada panggilan dari seorang mualaf yang sempat saya bimbing,” ucapnya, dia dengan mudah memperlihatkan nama terakhir yang tertera di ponselnya yang tentunya itulah yang menghubungi nya tadi.Apa maksudnya? Kenapa Gus Yusuf memperlihatkan semua itu kepadaku? Padahal aku tidak segitunya ingin tahu, aku juga bukan wanita posesif yang harus selalu tahu dengan siapa suamiku berbicara.“Tak apa-apa, Gus. Yang penting urusanmu selesai.”“Belum, kamu salah lagi, urusan saya belum selesai malam ini,” ungkapnya.“Maksudnya? Apa dia masih ingin meminta bantuan padamu malam ini, Gus?” tanyaku, mengenai seorang mualaf itu.Gus Yusuf tersenyum lagi, dia kali ini tertawa juga, membiusku untuk tetap membeku di tempat, tanpa bisa melakukan apapun lagi selain menggaruk atas kepala yang sebenarnya tidak terasa gatal.Membiusku dengan senyuman manisnya lagi, entah mau sampai kapan aku yang seperti ini, bisa langsung terpana hanya karena terpesona akan indahnya senyuman itu.***“Saat ini, saya sudah menjadi suamimu dan tentunya kamu menjadi istri saya,” ucapnya lalu dia mengangkat ponsel nya ke atas, “Isi ponsel ini, memang sudah seharusnya kamu ketahui, apapun itu yang ada didalam nya, kamu sudah pasti diberitahu oleh saya,” sambungnya.“Jadi, saya tidak ingin kamu terkejut seperti tadi, di saat saya memperlihatkan siapa yang telah menghubungi suamimu ini, malam hari seperti sekarang, sejatinya saya tidak ingin ada kesalahpahaman diantara kita, meskipun kita sama-sama tahu, pernikahan ini terjadi karena perjodohan.”“Dan sama-sama tahu juga, kalau kita gak saling mencintai,” ucapku begitu saja, entah dari mana keberanian seperti itu bisa ku ucapkan.“Ning?”“Ya, Gus?”“Jangan berbicara seperti itu, Ning. Tidak ada yang tahu kehidupan masa depan nanti akan seperti apa dan bagaimana, cinta akan datang dengan sendirinya, saya yakin itu.”Kamu yakin tetapi aku tidak semudah itu, Gus. Urusan ku dengan wanita yang bernama Marwah saja belum benar-benar selesai lalu bagaimana bisa kata-kata cinta itu ada untuk pernikahan ini.Keheningan kembali hadir diantara kami malam ini, entahlah jika sudah membahas hati pasti semua kebahagiaan akan tiba-tiba hilang, dengan sendirinya.“Ning?”“Ya?”“Bisakah kita melakukan nya malam ini?”Ku tak mengerti apa maksudnya lagi, kali ini aku hanya menunggu ucapannya lagi, sebelum benar-benar diperjelas, maka aku harus tetap diam.“Melakukan yang saya maksud adalah ... hak yang sudah seharusnya saya minta sejak kemarin,” lanjutnya.“Bagaimana, Ning?”“Memangnya bisa, ya? Melakukan itu tanpa cinta?” Kali ini, hal yang aku tanyakan semakin menjadi-jadi.“Tentu, kenapa tidak bisa? Bahkan saya bisa melakukan nya tanpa rasa.”Deg, apa maksudnya? Kenapa dia berkata seperti itu? Melakukan tanpa rasa? Bisa dia lakukan? Memangnya dia pernah melakukannya? Ah, tidak apa ini, pikiran macam apa, astaghfirullah Anisa.“Ning?”“Ning Anisa?”Dia terus saja memanggilku tak ada hentinya, mungkin pria itu mengira aku sedang melamun sampai-sampai memanggilku tanpa henti. Padahal, aku hanya sedang berpikir keras, dan bertanya-tanya pada diri sendiri, pria seperti apa yang saat ini sudah menjadi suamiku? Apa sebenarnya yang tidak aku ketahui, dan bagaimana hubungannya dengan para wanita selama ini.Aku tidak bermaksud untuk berpikir yang tidak-tidak pada suami sendiri, akan tetapi naluri seorang wanita tak mungkin salah, meskipun baru mengenalnya beberapa hari, hatiku berkata memang ada sesuatu yang harus ku cari tahu terlebih dahulu, sebelum diriku benar-benar menjadi miliknya.Ada banyak pertanyaan yang sudah ku pikirkan sebelumnya, tetapi kenapa setelah ingin membahas nya aku tidak bisa seberani itu kepadanya. Malam ini, hal baik yang sudah seharusnya dilakukan pun tidak terjadi lagi, aku tidak menjawabnya, dan dia pun tak lagi memaksa untuk melakukan apapun.Selain hanya saling diam, kami tak ingin membahas nya lagi. Ku biarkan saja dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, aku hanya ingin sedikit mengurangi kecemasan terhadapnya, dengan cara tak terlalu banyak berbicara saat berada di dekatnya.“Ning ... kemarilah, kenapa kamu masih saja berdiri di situ? Masih marah pada saya?” tanya Gus Yusuf.“Aku? Marah? Nggak mungkin, Gus.”“Lalu? Apa yang membuatmu seperti ini sekarang, jika tidak ada kemarahan, lantas apalagi? Katakan, jika memang kamu sedang marah,” tanyanya, sangat menuntut kali ini.Menuntut seperti ingin segera dijawab olehku, hanya saja rasanya masih malas untuk kembali berbicara dengan seseorang yang sudah membuatku semakin meningkatkan t
“Loh, kalian berdua ternyata ada di sini, Umi bingung tadi mencari kalian berdua, kirain sudah berangkat.”Kami terkejut karena kedatangan umi yang secara tiba-tiba seperti itu, aku tidak tahu lagi harus bagaimana setelah ini, bertanya pun rasanya sudah percuma.Agar tak terlihat seperti orang yang sedang bermasalah, ku alihkan pembicaraan sebelum semuanya benar-benar kacau, bisa saja nanti umi menginterogasi lebih jauh lagi daripada sekarang, lebih baik sedia payung sebelum hujan, berjaga-jaga sebelum hal-hal yang tak diinginkan terjadi.“Umi ... ini katanya Gus eh suamiku maksudnya, ada yang ingin dibicarakan dulu sebelum berangkat,” sahutku sedikit gelagapan.“Apa itu? Sebaiknya bicarakan nanti saja saat di perjalanan, Umi bukan apa-apa, coba lihatlah ... di luar sudah mulai mendung, walaupun masih pagi, kan, sebaiknya jangan menunggu hujan deras, kurang aman di jalan nya.”Benar memang apa yang umi katakan, keselamatan di perjalanan jauh lebih penting sekarang, jangan sampai aku l
“Ning, ayo ... ke luar dulu, biar saya ajak kamu ke restoran dulu untuk makan siang,” ucapnya, aku yang masih bingung hanya mengangguk dan turun dari mobil sesuai dengan perintah nya.Mobil ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan tadi, sedangkan kami memilih untuk makan siang terlebih dahulu agar tak terlalu merisaukan mobil lagi.“Kita mau makan di mana? Kamu saja yang pilih dan tentukan harus makan di mana,” titahnya.Aku sebenarnya ada keinginan tetapi itu semua ku urungkan terlebih dahulu, karena sangat ingin menghormati serta menghargai suamiku sebagai imam dalam rumah tangga kami, sudah sepantasnya dia ku berikan kenyamanan saat bersama.“Ning, ayo ... katakan ingin makan di mana? Katakan, saya benar-benar ingin kamu yang menentukan, ini perintah suami!”“BONCAFE PREGOLAN,” jawabku dengan tegas.“Baik, kita makan dan beristirahat terlebih dahulu sembari menunggu tukang memperbaiki mobil nya,” cecar Gus Yusuf, dia terlihat seperti sedang memikirkan hal lain, yang berbeda dari t
Tak terasa sudah hampir zuhur, kami masih saja di tempat tadi, selesai makan pun tak ada kabar dari tukang yang sedang memperbaiki mobil, Gus Yusuf memutuskan untuk mencari musala ataupun masjid terdekat, menunaikan ibadah salat bersama.“Kamu tak apa-apa, kan? Kita mencari musala jalan kaki seperti ini?” Gus Yusuf ternyata bisa peka juga terhadap orang yang ada di dekatnya.“Ora apa-apa, sing penting aman, Gus.”“Terima kasih, Ning.”“Lagi pula kita niatkan untuk mencari rumah Allah, bukan sembarangan jalan kaki, Gus. Insya Allah pahala, lelah ataupun letih nya,” ucapku.“Kamu benar, ya sudah ... ayo, sebelum azan,” katanya.Pada saat kami terus berjalan kaki, entah kenapa ada sedikit keanehan lagi pada diri suamiku, bukan dirinya melainkan tubuhnya, saat ini aku sangat dekat dengannya, karena dia terus saja menggenggam tanganku, jadi ku bisa mencium aroma yang ada di tubuhnya.Parfum laki-laki seperti itu, kah? Aku belum pernah sebelumnya berdekatan dengan lawan jenis seperti ini se
Semenjak ku beritahu kidal itu sudah sejak kecil ku alami, Gus Yusuf hanya mengangguk dan tak lagi mencari tahu mengenai wewangian tersebut, apakah mungkin dia sudah tahu siapa orangnya? Namun, tak ingin ku marah, atau ada hal lainnya yang aku sendiri tidak tahu apa itu.“Saya akan segera kembali, sekarang harus menghubungi seseorang terlebih dahulu,” ucapnya, belum sempat ku menjawab dia sudah pergi begitu saja.Untuk pertama kalinya, pergi begitu saja di saat dirinya akan menghubungi seseorang, yang entah siapa orangnya, aku benar-benar tak ingin soouzon pada siapapun.Sembari menunggu, tak ingin menyia-nyiakan waktu dengan penantian sia-sia, aku buka buku yang kebetulan ada di dalam tas, lalu membaca nya agar tak terlalu hening selama menunggu nya.Buku yang saat ini ku baca adalah buku islami, judulnya saja sudah cukup membuatku penasaran ingin cepat-cepat membaca, karena ini buku baru yang belum sempat ku baca sebelumnya.Berjudul menjadi bidadari cantik ala islami, benar-benar b
Sampai menjelang sore lagi, ku tak bisa menemukan di mana keberadaan Gus Yusuf, jangan tanya sudah berapa kali ku menghubungi dirinya hari ini. Terlalu sering aku dikecewakan, membuatku semakin meragukan sosoknya, aku takut dengan seperti itu, akan ada banyak kesalahpahaman yang terjadi pada rumah tangga kami.Selepas salat ashar, aku masih heran dengan lelaki itu, dia begitu betah menunggu entah siapa sebenarnya yang dia tunggu, ku lihat dia belum pergi juga, apakah dia penjaga masjid dan semacamnya? Apapun alasannya, aku tak ingin tahu.“Hei, assalamualaikum? Bagaimana? Masih mau, kah, kamu menunggu seseorang yang tak mungkin datang lagi?” Aku terkejut, saat menyadari dia sudah kembali mendekat dan bahkan bertanya seperti itu kepadaku.Aku tanpa menatapnya pun tetap menjawab, “Tentu, waalaikumussalam.”“Kenapa tentu? Atau hanya karena dia suamimu? Maka dari itu rela menunggu yang tak pasti sendirian di sini? Lebih baik pulang sebelum malam.”“Maaf, sebelumnya. Terima kasih untuk itu
Mana ada wanita yang tetap baik-baik saja setelah dirinya melihat sebuah bukti bahwa lelaki yang semula dia percaya, ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi nya. Mana sudah jelas apa alasannya, ya dia sengaja pergi begitu saja tanpa sebuah kabar, jika memang dari awal kepergian nya hanya sementara ataupun mendesak, mengapa tak memberi kabar? Apa tidak ada rasa cemas pada istrinya? Mungkin memang tak ada kecemasan sama sekali dalam dirinya kepadaku.Aku saja sampai bingung harus bagaimana, untuk pulang ke rumah pun rasanya tak bisa, barang-barang ku ada di mobil nya, lantas apa yang harus ku katakan jika kedua orang serta sanak keluarga bertanya, kenapa aku pulang lagi? Mana suamimu? Ada apa? Dan lain sebagainya.Kebingungan ini terjadi sampai malam, sudah empat kali salat di masjid yang sama, tinggal menunggu subuh saja nanti. Ah, sudahlah mungkin lelaki asing itu memang berkata jujur, suamiku tak mungkin kembali lagi untuk menjemput ataupun menjelaskan.Sungguh, terpaksa diriku memin
“Jangan terlalu dipikirkan, itu semua sudah berlalu cukup lama, kami sudah ikhlas,” ucapnya kemudian.Walaupun demikian, aku bisa merasakan sebenarnya tidak ada keikhlasan yang benar-benar ikhlas dalam hatinya, siapa yang tak luka? Dan mana mungkin bisa semudah itu melupakan serta mengikhlaskan seseorang yang sempat hadir dalam kehidupan, apalagi perannya cukup penting, seperti ibu dari anaknya.Tak begitu banyak pembicaraan karena saat kami akan kembali berbicara, seorang wanita pengasuh Ibrahim sudah kembali dan kami bergegas menuju ke tempat mereka parkir mobil sebelumnya.Semula masih ada keraguan, tetapi pengasuh itu memberikan isyarat padaku bahwa tidak akan ada apa-apa, aku rasa begitu dari tatapan matanya.Di perjalanan pun tidak ada pembicaraan berat, hanya beberapa obrolan ringan untuk memecahkan keheningan semata.“Kalau nanti orang tuamu bertanya-tanya siapa kami, jawab saja kerabat lama yang bertemu kembali,” ucap pria itu, dan aku hanya mengangguk.Dia mengemudi dengan s