Betapa takutnya hamba saat ini ya Allah, bagaimana jika nanti semuanya tahu sedari tadi aku dengan sengaja mendengarkan mereka berdua berbicara.
Tidak ada maksud lain selain ingin tahu apa saja yang Gus Yusuf lakukan di belakangku, tak ada niat buruk apalagi tidak sopan.“Ning, kamu kenapa? Ayo,” ajak Gus Yusuf.“Eh, iya,” jawabku langsung mengikuti langkahnya.Sampai selesai makan pun ternyata wanita itu masih belum pulang juga dari rumah, kalau saja aku tidak takut pada orang tua, dan tidak peduli dengan dosa, pasti sedari tadi aku sudah mengusirnya, agar tak menganggu lagi.Menganggu di rumah, sih, tak masalah karena pintu rumah selalu terbuka untuk tamu, tapi menganggu rumah tanggaku? Jangan harap aku diam saja, paling-paling aku hanya berusaha diam tapi beraksi.Di dalam kamar saat ini, kami hanya berdua saja, tidak mungkin juga, kan, Marwah mengikuti sampai ke kamar? Memangnya dia siapa?“Ning, koleksi buku kamu banyak sekali, suka atau sering baca?” tanya Gus Yusuf.“Hmm, dua-duanya, Gus.”“Jangan malu-malu gitu dong, saat ini kita sudah sah menjadi suami istri, jadi biasakan untuk mengakrabkan diri,” ucap Gus Yusuf.“Insya Allah, Gus,” jawabku.“Tidak kenapa-kenapa, kan?” Gus Yusuf memegangi keningku, “Alhamdulilah tidak panas kok, tapi kenapa diam saja?” tanyanya.Tak tahu harus menjawab apa yang jelas pertanyaan untuknya sangat banyak, apa harus sekarang bertanya tentang Marwah? Ah, lebih baik aku pendam saja.Lebih memilih diam untuk tidak bermasalah daripada banyak bicara bisa mengakibatkan keributan, itu yang sering umi beritahu padaku, jangan sampai ribut hanya karena orang lain.Banyak yang bilang Gus Yusuf itu selain tampan rupa, dia juga tampan akhlak dan budi pekerti, apakah semua itu benar? Saat ini aku harus mengujinya.“Maaf, Gus. Aku mau tanya sesuatu boleh?” tanyaku.“Boleh, ada apa? Langsung saja tanyakan,” sahutnya.Aku belum berani menatapnya lama-lama hanya sekilas dua kilas saja, itu juga sudah lebih dari kata cukup untuk wanita seperti aku.“Mau tanya apa, Ning? Silakan,” tanya Gus Yusuf.Kami pun duduk bersebelahan di pinggir ranjang, tidak berani menatapnya tapi sangat terasa hembusan napasnya, apakah dia sedekat itu sekarang?“Apa Gus mau ajarin aku mengaji? Mengajarkan aku hal-hal baik lainnya yang belum aku ketahui,” tuturku memberanikan diri.“Kirain apa, kalau soal itu sudah pasti diajarkan dan dibimbing, sebagai seorang suami sekaligus imam dalam rumah tangga,” sahutnya lemah lembut sekali.“Masya Allah benarkah?” tanyaku lagi untuk memastikan.“Iya insya Allah semoga kita selalu diberikan kesehatan dan panjang umur,” jawabnya.Aku pun hanya mengangguk dan berlega hati karena sudah berani sekali memberitahu dia apa keinginan aku saat ini bersamanya, sungguh tidak ada yang lain selain itu yang aku mau.***Dua hari kemudian, sampai saat ini pun aku masih gadis tapi berstatus menikah, bukan karena Gus Yusuf yang tak ingin menyentuh ku, justru aku yang belum siap untuk melaksanakannya, melaksanakan kewajiban itu.Bersyukur sekali Gus bisa mengerti dan tidak memaksa walaupun sempat murung juga di kamar, bukan karena aku yang menolak tapi ini semua perihal kepercayaan dan kesiapan.Kemarin, mertuaku sekaligus Marwah sudah pulang ke Kudus lagi, memang awalnya aku dan Gus Yusuf diajak untuk ikut tinggal di sana, tetapi aku langsung menolak karena belum bisa jauh dari kedua orang tua.Masih belum puas membahagiakan kedua orang tua sampai lupa sekarang harus lebih fokus kepada Gus Yusuf, suamiku dunia yang insya Allah akhirat juga.“Kamu kenapa nggak ikut tinggal di Kudus, Sayang?” tanya Umi.“Maaf, Umi. Karena aku nggak bisa jauh dari Umi dan juga Abi. Hanya itu saja kok alasannya, nggak ada yang lain,” jawabku malu.“Bukan karena hal lain, kan?” tanya umi tiba-tiba menyelidiki anaknya sendiri.“Yakin insya Allah, memangnya menurut Umi apa? Kenapa nggak percaya sama aku,” jawabku penasaran.Umi langsung pergi meninggalkan aku yang masih penasaran ini, aneh sekali dengan umi sekarang tidak seperti biasanya seperti ini, tanpa diduga umi datang lagi membawa jinjingan yang entah apa isinya.“Itu apa Umi?” Kali ini aku yang bertanya karena penasaran sekali.“Ini untuk kamu, Sayang, dari mertua kamu langsung loh, tadinya beliau mau kasih langsung sebelum pulang tapi takut kamu tolak,” ucap umi menyerahkannya padaku.Aku pun terima dengan senang hati karena katanya dari mertuaku langsung, tapi saat akan dibuka dilarang keras oleh umi, katanya buka di dalam kamar saja.“Ya, sudah gih kamu lihat dan pakai, ya, cobain dulu juga gak papa, suami kamu lagi nggak ada di rumah, kan?” tanya umi.“Iya nggak ada, Umi. Lagi pengajian, kenapa memangnya?” Aku jadi semakin penasaran.“He he, sudah sana cobain di dalam kamar, ya, Umi permisi dulu mau ke rumah tetangga, assalamualaikum,” pamit umi lalu aku pun menyalami tangannya.“Iya Umi waalaikumussalam,” jawabku.Memangnya ini dalamnya apa, sih? Kenapa Umi sampai cengengesan dan langsung pergi begitu saja, aku jadi semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi.Setelah dibuka ternyata dalamnya ada beberapa pakaian aneh, baju apa ini? Astaghfirullah, aku sampai terkejut melihat semua baju-baju ini.“Baju apa ini? Baru pertama kalinya aku melihat dan memegang nya,” ucapku lirih.Tak ingin salah dalam mengartikan semua ini, aku pun langsung mengirimkan pesan pada umi melalui aplikasi hijau, untuk memastikan kebenarannya.[Assalamualaikum, Umi, maksudnya ini apa? Kenapa setelah aku buka kok dalamnya banyak sekali baju yang kekurangan bahan, sangat sexy, apa maksudnya mertuaku memberikan ini?].Menunggu balasan dari umi, semoga saja tidak ada hal-hal yang buruk, dan semoga niatnya baik memberikan semua ini pada diriku, jangan sampai soouzon.[Waalaikumussalam, he he itulah alasan Umi langsung pergi karena takut kamu jadi banyak tanya, pakailah malam ini, ya, selesai salat isya nanti langsung pakai di kamar saja, jangan ke luar kamar pakai itu, oke? Umi mau melanjutkan buat kue di rumah tetangga].Itu balasan dari umi, ya Allah apa harus aku memakai pakaian ini? Malu? Takut? Kata Umi pakai ini di dalam kamar saja malam ini, dan jangan dipakai di luar kamar.Maksudnya apa, sih? Aku kok benar-benar nggak mengerti apa maksud dari semua ini, ya.Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, setelah ku pakai pakaian itu, ternyata bukan hanya lekuk tubuh saja yang terlihat jelas, melainkan kemaluan ku oh tidak mungkin, mana bisa ku pakai seterusnya? Bagaimana nanti jika Gus Yusuf datang dan tidak bisa menerima penampilan ku yang seperti sekarang.Buru-buru ku ingin mengganti kembali pakaian yang tadinya sangat terbuka menjadi pakaian seperti semula, memang lebih nyaman menggunakan gamis syar'i dibandingkan pakaian seperti itu, sangat tidak percaya diri saat memakai nya.Ku dengar ketukan pada pintu, betapa terkejutnya aku. Bagaimanapun juga pakaian aneh itu masih ada di atas tempat tidur dan tentunya sangat berantakan, dengan cepat ku langsung merapikan nya dan sebisa mungkin menyembunyikan semua pakaian tersebut di tempat yang cukup aman, tidak mungkin siapapun bisa menemukan nya.Setelah ku buka pintu kamar, ku dapati bahwa pria yang sudah bergelar sebagai suami kini tengah menatapku dengan tatapan yang sulit sekali untuk diar
Ada banyak pertanyaan yang sudah ku pikirkan sebelumnya, tetapi kenapa setelah ingin membahas nya aku tidak bisa seberani itu kepadanya. Malam ini, hal baik yang sudah seharusnya dilakukan pun tidak terjadi lagi, aku tidak menjawabnya, dan dia pun tak lagi memaksa untuk melakukan apapun.Selain hanya saling diam, kami tak ingin membahas nya lagi. Ku biarkan saja dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, aku hanya ingin sedikit mengurangi kecemasan terhadapnya, dengan cara tak terlalu banyak berbicara saat berada di dekatnya.“Ning ... kemarilah, kenapa kamu masih saja berdiri di situ? Masih marah pada saya?” tanya Gus Yusuf.“Aku? Marah? Nggak mungkin, Gus.”“Lalu? Apa yang membuatmu seperti ini sekarang, jika tidak ada kemarahan, lantas apalagi? Katakan, jika memang kamu sedang marah,” tanyanya, sangat menuntut kali ini.Menuntut seperti ingin segera dijawab olehku, hanya saja rasanya masih malas untuk kembali berbicara dengan seseorang yang sudah membuatku semakin meningkatkan t
“Loh, kalian berdua ternyata ada di sini, Umi bingung tadi mencari kalian berdua, kirain sudah berangkat.”Kami terkejut karena kedatangan umi yang secara tiba-tiba seperti itu, aku tidak tahu lagi harus bagaimana setelah ini, bertanya pun rasanya sudah percuma.Agar tak terlihat seperti orang yang sedang bermasalah, ku alihkan pembicaraan sebelum semuanya benar-benar kacau, bisa saja nanti umi menginterogasi lebih jauh lagi daripada sekarang, lebih baik sedia payung sebelum hujan, berjaga-jaga sebelum hal-hal yang tak diinginkan terjadi.“Umi ... ini katanya Gus eh suamiku maksudnya, ada yang ingin dibicarakan dulu sebelum berangkat,” sahutku sedikit gelagapan.“Apa itu? Sebaiknya bicarakan nanti saja saat di perjalanan, Umi bukan apa-apa, coba lihatlah ... di luar sudah mulai mendung, walaupun masih pagi, kan, sebaiknya jangan menunggu hujan deras, kurang aman di jalan nya.”Benar memang apa yang umi katakan, keselamatan di perjalanan jauh lebih penting sekarang, jangan sampai aku l
“Ning, ayo ... ke luar dulu, biar saya ajak kamu ke restoran dulu untuk makan siang,” ucapnya, aku yang masih bingung hanya mengangguk dan turun dari mobil sesuai dengan perintah nya.Mobil ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan tadi, sedangkan kami memilih untuk makan siang terlebih dahulu agar tak terlalu merisaukan mobil lagi.“Kita mau makan di mana? Kamu saja yang pilih dan tentukan harus makan di mana,” titahnya.Aku sebenarnya ada keinginan tetapi itu semua ku urungkan terlebih dahulu, karena sangat ingin menghormati serta menghargai suamiku sebagai imam dalam rumah tangga kami, sudah sepantasnya dia ku berikan kenyamanan saat bersama.“Ning, ayo ... katakan ingin makan di mana? Katakan, saya benar-benar ingin kamu yang menentukan, ini perintah suami!”“BONCAFE PREGOLAN,” jawabku dengan tegas.“Baik, kita makan dan beristirahat terlebih dahulu sembari menunggu tukang memperbaiki mobil nya,” cecar Gus Yusuf, dia terlihat seperti sedang memikirkan hal lain, yang berbeda dari t
Tak terasa sudah hampir zuhur, kami masih saja di tempat tadi, selesai makan pun tak ada kabar dari tukang yang sedang memperbaiki mobil, Gus Yusuf memutuskan untuk mencari musala ataupun masjid terdekat, menunaikan ibadah salat bersama.“Kamu tak apa-apa, kan? Kita mencari musala jalan kaki seperti ini?” Gus Yusuf ternyata bisa peka juga terhadap orang yang ada di dekatnya.“Ora apa-apa, sing penting aman, Gus.”“Terima kasih, Ning.”“Lagi pula kita niatkan untuk mencari rumah Allah, bukan sembarangan jalan kaki, Gus. Insya Allah pahala, lelah ataupun letih nya,” ucapku.“Kamu benar, ya sudah ... ayo, sebelum azan,” katanya.Pada saat kami terus berjalan kaki, entah kenapa ada sedikit keanehan lagi pada diri suamiku, bukan dirinya melainkan tubuhnya, saat ini aku sangat dekat dengannya, karena dia terus saja menggenggam tanganku, jadi ku bisa mencium aroma yang ada di tubuhnya.Parfum laki-laki seperti itu, kah? Aku belum pernah sebelumnya berdekatan dengan lawan jenis seperti ini se
Semenjak ku beritahu kidal itu sudah sejak kecil ku alami, Gus Yusuf hanya mengangguk dan tak lagi mencari tahu mengenai wewangian tersebut, apakah mungkin dia sudah tahu siapa orangnya? Namun, tak ingin ku marah, atau ada hal lainnya yang aku sendiri tidak tahu apa itu.“Saya akan segera kembali, sekarang harus menghubungi seseorang terlebih dahulu,” ucapnya, belum sempat ku menjawab dia sudah pergi begitu saja.Untuk pertama kalinya, pergi begitu saja di saat dirinya akan menghubungi seseorang, yang entah siapa orangnya, aku benar-benar tak ingin soouzon pada siapapun.Sembari menunggu, tak ingin menyia-nyiakan waktu dengan penantian sia-sia, aku buka buku yang kebetulan ada di dalam tas, lalu membaca nya agar tak terlalu hening selama menunggu nya.Buku yang saat ini ku baca adalah buku islami, judulnya saja sudah cukup membuatku penasaran ingin cepat-cepat membaca, karena ini buku baru yang belum sempat ku baca sebelumnya.Berjudul menjadi bidadari cantik ala islami, benar-benar b
Sampai menjelang sore lagi, ku tak bisa menemukan di mana keberadaan Gus Yusuf, jangan tanya sudah berapa kali ku menghubungi dirinya hari ini. Terlalu sering aku dikecewakan, membuatku semakin meragukan sosoknya, aku takut dengan seperti itu, akan ada banyak kesalahpahaman yang terjadi pada rumah tangga kami.Selepas salat ashar, aku masih heran dengan lelaki itu, dia begitu betah menunggu entah siapa sebenarnya yang dia tunggu, ku lihat dia belum pergi juga, apakah dia penjaga masjid dan semacamnya? Apapun alasannya, aku tak ingin tahu.“Hei, assalamualaikum? Bagaimana? Masih mau, kah, kamu menunggu seseorang yang tak mungkin datang lagi?” Aku terkejut, saat menyadari dia sudah kembali mendekat dan bahkan bertanya seperti itu kepadaku.Aku tanpa menatapnya pun tetap menjawab, “Tentu, waalaikumussalam.”“Kenapa tentu? Atau hanya karena dia suamimu? Maka dari itu rela menunggu yang tak pasti sendirian di sini? Lebih baik pulang sebelum malam.”“Maaf, sebelumnya. Terima kasih untuk itu
Mana ada wanita yang tetap baik-baik saja setelah dirinya melihat sebuah bukti bahwa lelaki yang semula dia percaya, ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi nya. Mana sudah jelas apa alasannya, ya dia sengaja pergi begitu saja tanpa sebuah kabar, jika memang dari awal kepergian nya hanya sementara ataupun mendesak, mengapa tak memberi kabar? Apa tidak ada rasa cemas pada istrinya? Mungkin memang tak ada kecemasan sama sekali dalam dirinya kepadaku.Aku saja sampai bingung harus bagaimana, untuk pulang ke rumah pun rasanya tak bisa, barang-barang ku ada di mobil nya, lantas apa yang harus ku katakan jika kedua orang serta sanak keluarga bertanya, kenapa aku pulang lagi? Mana suamimu? Ada apa? Dan lain sebagainya.Kebingungan ini terjadi sampai malam, sudah empat kali salat di masjid yang sama, tinggal menunggu subuh saja nanti. Ah, sudahlah mungkin lelaki asing itu memang berkata jujur, suamiku tak mungkin kembali lagi untuk menjemput ataupun menjelaskan.Sungguh, terpaksa diriku memin