Tiffany menundukkan kepala sambil mengeluarkan buku dan catatan dari tasnya. "Punya uang memang hebat." Sejak neneknya jatuh sakit, Tiffany sangat berharap bisa menjadi orang kaya. Sekarang dia memang sudah menjadi istri orang kaya, tetapi dia masih merasa bahwa hidupnya terasa tidak nyata."Nggak bisa dibilang begitu," kata Julie, cemberut. "Kalau perlu, suruh saja Sean datang dan mempermalukan Leslie. Biar dia berlutut dan minta maaf padamu!"Tiffany menggelengkan kepala. "Lupakan saja.""Kenapa?" tanya Julie dengan bingung."Kalau memang berniat mengejekku, mereka akan selalu menemukan caranya. Kalaupun aku membuktikan bahwa Sean bukan pria tua, jelek, gemuk, dan botak, mereka tetap akan mengejeknya cacat." Tiffany menarik napas panjang dan memasang earphone-nya. "Omongan orang lain nggak usah didengar."Tiffany menikahi Sean untuk merawatnya dan dia tidak ingin menambah masalah bagi Sean.Julie menghela napas dengan kesal. "Jadi Leslie bisa mengejekmu seenaknya?" Jika tidak bisa me
Tiffany mengerutkan kening melihat pesan itu. Baru saja dia ingin membalas pesan Genta untuk menyuruhnya tidak usah repot-repot, tiba-tiba terdengar keributan di sekitarnya. Secara refleks, Tiffany mendongak dan melihat Taufik yang sudah mendekati usia 50-an itu, berjalan dengan penuh hormat ke arahnya."Nyonya, saya menggantikan Genta untuk menjemput Anda pulang."Suasana langsung menjadi gempar. Mata Leslie terbelalak lebar. "Ayah!" serunya.Taufik menoleh dan menatapnya tajam. "Aku sedang kerja!" Setelah itu, dia kembali menatap Tiffany dengan senyuman penuh hormat. "Nyonya, silakan lewat sini."Tiffany merasakan kepalanya berdenyut. Orang yang disebutkan Genta untuk menjemputnya ternyata ayah Leslie?Suara bisikan di sekitar semakin keras, sedangkan wajah Leslie berubah pucat. Akhirnya, Leslie berlari ke arah Taufik dan mengadangnya. "Ayah pasti lagi bercanda, 'kan? Memangnya Ayah ini siapa? Kenapa Ayah malah jemput jalang rendahan seperti Tiffany ini pulang?""Seberapa hebat gadun
Tiffany mengerutkan kening. "Bisa nggak, lain kali nggak usah suruh orang untuk jemput aku lagi? Aku sudah pelajari rute busnya. Dari kampus ke rumah cuma perlu dua kali ganti bus. Mudah saja," lanjutnya.Sean tersenyum tipis. "Apakah dengan naik bus, teman-temanmu akan berhenti menggosipkanmu?"Tiffany terkejut. "Kamu ... tahu semuanya?" Namun setelah dipikir-pikir, jika Sean bisa mengirim ayah Leslie untuk menjemputnya, tentu dia juga sudah mengetahui apa yang terjadi di sekolah.Menyadari hal itu, Tiffany diam-diam mencuri pandang ke arah Sean. Awalnya, Tiffany mengira harus merawat Sean seumur hidup karena telah menikahinya. Namun sekarang, dia semakin merasa bahwa Sean adalah orang yang sulit ditebak.Bahkan sebagai orang yang sehat, Tiffany merasa justru dia yang lebih banyak mendapatkan perhatian dari Sean ....Sean tersenyum tipis lagi. "Kamu benar-benar mengira aku ini pria buta yang nggak peduli dengan apa yang terjadi di luar sana?" Nada bicara Sean terdengar agak mencemooh
Tiffany sibuk di dapur selama satu setengah jam. Setelah menaruh hidangan terakhir di meja makan, dia menatap masakan yang tersaji dengan penuh kepuasan, lalu berlari kecil ke arah Sean. "Aku sudah selesai. Kamu mau makan sekarang atau nanti?"Suara Tiffany yang manis menyapa telinga Sean dan dia menjawab dengan tersenyum, "Sekarang.""Kudorong ke meja makan ya," kata Tiffany dengan suara yang penuh semangat. "Aku masak masakan andalanku malam ini. Coba cicipi dan beri tahu aku mana yang paling kamu sukai. Aku bisa memasaknya setiap hari untukmu!"Sambil berbicara, dia mendorong kursi roda Sean ke meja makan. Setelah sampai di sana, Tiffany menyerahkan sebuah sendok dengan senyum lebar. Namun kemudian, dia merasa ada yang kurang tepat. "Oh, aku lupa kamu nggak bisa lihat .... Gimana kalau kusuapi saja?"Sean meliriknya dengan tenang dan tidak bersuara, tetapi dia menyerahkan sendoknya kepada Tiffany dengan patuh. Tiffany mengambil sendok itu dengan hati-hati, lalu mengambil sedikit ika
"Kalau kamu kangen sama Nenek, datang saja sendiri. Jangan bawa Sean dulu," ucap Kendra.Hati Tiffany perlahan-lahan semakin cemas. Dia berkata dengan suara rendah, "Aku mengerti."Baru saja Tiffany menutup telepon dari pamannya, bibinya telah meneleponnya. Ini sudah ke-60 kalinya Thalia meneleponnya dalam beberapa hari terakhir. Berhubung kampus Tiffany terlalu besar dan Thalia tidak tahu di mana tempat tinggalnya, satu-satunya cara adalah terus-menerus membombardirnya dengan panggilan telepon.Tiffany meletakkan ponselnya di atas meja dan menatap layar yang menampilkan nama "Bibi Thalia" dengan perasaan kacau. Setelah beberapa saat, panggilan itu akhirnya berhenti. Namun, Thalia mengirimkan sebuah pesan teks.[ Nak, aku tahu apa yang paling kamu takuti sekarang. Kalau kamu nggak mau nenekmu tahu kamu menikahi seorang pria buta, bawa uang ke sini! ]Tiffany mengernyit dan merasa tubuhnya mulai dingin saat membaca pesan tersebut. Pamannya baru saja memperingatkannya untuk tidak membiar
Vernon baru dirawat selama tiga hari, mana mungkin biayanya bisa mencapai 200 juta?Di ujung telepon, Thalia terdengar meremehkan. "Kenapa nggak mungkin? Vernon mengalami cedera serius pada ... bagian pentingnya ...." Thalia tiba-tiba tersadar bahwa topik ini sangat memalukan. Dia kemudian berdeham sejenak dan mengalihkan pembicaraan, "Pokoknya, Vernon terluka parah."Namun, suara Thalia tiba-tiba berhenti sejenak. "Tunggu, kenapa kamu bisa tahu Vernon sudah tiga hari dirawat?"Thalia bahkan tidak memberi tahu Kendra soal Vernon yang terluka parah setelah berkelahi dan hampir kehilangan alat vitalnya. Selama beberapa hari ini, Tiffany juga tidak pernah mengangkat teleponnya. Ini adalah pertama kalinya Thalia menyebutkan tentang Vernon yang dirawat di rumah sakit.Jadi, bagaimana Tiffany bisa tahu bahwa Vernon sudah dirawat selama tiga hari?"Kamu tahu sesuatu tentang Vernon yang dipukuli, bukan?" Suara Thalia tiba-tiba meninggi. "Jangan-jangan kamu terlibat dalam masalah ini?"Tiffany
"Besok akan kuantarkan langsung ke kamar pasien untukmu." Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, "Kamu kirimkan saja alamatnya padaku nanti."Setelah menutup telepon, Tiffany duduk bersandar di bawah pohon besar di taman kecil dan mencoba untuk menenangkan diri. Hanya Tuhan yang tahu seberapa banyak mental yang terkuras saat dia berbicara dengan Thalia tadi!Tiffany memiliki kelemahan, yaitu pikirannya sering kali lambat dalam menanggapi situasi. Misalnya, saat bertengkar dengan seseorang, dia sering kali baru menemukan cara untuk membalas argumen itu setelah orang tersebut pergi.Setelah beberapa kali mengalami hal ini, Tiffany menyadari bahwa dia bukan tipe orang yang pandai berdebat atau bersiasat. Oleh karena itu, dia selalu berusaha untuk menghindari masalah dan tidak memulai konflik jika memang bisa dihindari.Ucapan yang dikatakannya kepada Thalia di telepon tadi adalah hasil dari renungannya selama beberapa hari menolak menjawab telepon dari Thalia. Namun, memikir
"Khawatir ...." Tiffany menguap lagi dan hampir saja menceritakan tentang masalahnya dengan Thalia. Namun kemudian, dia tersadar dan segera menutup mulutnya.Akal sehatnya mengatakan bahwa masalah ini tidak boleh diberitahukan kepada Sean. Mengeluh tentang uang kepadanya akan terlihat seperti meminta uang secara tidak langsung.Jadi, dia tersenyum dan mencoba mengalihkan perhatian dengan berkata, "Aku cuma khawatir sama ujian fisika hari ini.""Aku memang nggak pandai fisika," tambahnya dengan agak gugup. Bulu matanya bergetar dan pandangannya terlihat bingung.Sean mengerutkan kening, tetapi memutuskan untuk tidak membongkar kebohongannya. "Kalau begitu, sebaiknya kamu belajar baik-baik."Tiffany berpikir sejenak, lalu melanjutkan, "Apa aku bisa pulang lebih lambat setelah sekolah nanti? Nggak usah suruh Pak Genta jemput aku. Aku mau belajar di perpustakaan, lalu pulang sendiri naik bus. Boleh?"Setiap hari dijemput oleh Genta terasa lebih seperti sebuah pengawasan dan penghalang kebe