Vernon baru dirawat selama tiga hari, mana mungkin biayanya bisa mencapai 200 juta?Di ujung telepon, Thalia terdengar meremehkan. "Kenapa nggak mungkin? Vernon mengalami cedera serius pada ... bagian pentingnya ...." Thalia tiba-tiba tersadar bahwa topik ini sangat memalukan. Dia kemudian berdeham sejenak dan mengalihkan pembicaraan, "Pokoknya, Vernon terluka parah."Namun, suara Thalia tiba-tiba berhenti sejenak. "Tunggu, kenapa kamu bisa tahu Vernon sudah tiga hari dirawat?"Thalia bahkan tidak memberi tahu Kendra soal Vernon yang terluka parah setelah berkelahi dan hampir kehilangan alat vitalnya. Selama beberapa hari ini, Tiffany juga tidak pernah mengangkat teleponnya. Ini adalah pertama kalinya Thalia menyebutkan tentang Vernon yang dirawat di rumah sakit.Jadi, bagaimana Tiffany bisa tahu bahwa Vernon sudah dirawat selama tiga hari?"Kamu tahu sesuatu tentang Vernon yang dipukuli, bukan?" Suara Thalia tiba-tiba meninggi. "Jangan-jangan kamu terlibat dalam masalah ini?"Tiffany
"Besok akan kuantarkan langsung ke kamar pasien untukmu." Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, "Kamu kirimkan saja alamatnya padaku nanti."Setelah menutup telepon, Tiffany duduk bersandar di bawah pohon besar di taman kecil dan mencoba untuk menenangkan diri. Hanya Tuhan yang tahu seberapa banyak mental yang terkuras saat dia berbicara dengan Thalia tadi!Tiffany memiliki kelemahan, yaitu pikirannya sering kali lambat dalam menanggapi situasi. Misalnya, saat bertengkar dengan seseorang, dia sering kali baru menemukan cara untuk membalas argumen itu setelah orang tersebut pergi.Setelah beberapa kali mengalami hal ini, Tiffany menyadari bahwa dia bukan tipe orang yang pandai berdebat atau bersiasat. Oleh karena itu, dia selalu berusaha untuk menghindari masalah dan tidak memulai konflik jika memang bisa dihindari.Ucapan yang dikatakannya kepada Thalia di telepon tadi adalah hasil dari renungannya selama beberapa hari menolak menjawab telepon dari Thalia. Namun, memikir
"Khawatir ...." Tiffany menguap lagi dan hampir saja menceritakan tentang masalahnya dengan Thalia. Namun kemudian, dia tersadar dan segera menutup mulutnya.Akal sehatnya mengatakan bahwa masalah ini tidak boleh diberitahukan kepada Sean. Mengeluh tentang uang kepadanya akan terlihat seperti meminta uang secara tidak langsung.Jadi, dia tersenyum dan mencoba mengalihkan perhatian dengan berkata, "Aku cuma khawatir sama ujian fisika hari ini.""Aku memang nggak pandai fisika," tambahnya dengan agak gugup. Bulu matanya bergetar dan pandangannya terlihat bingung.Sean mengerutkan kening, tetapi memutuskan untuk tidak membongkar kebohongannya. "Kalau begitu, sebaiknya kamu belajar baik-baik."Tiffany berpikir sejenak, lalu melanjutkan, "Apa aku bisa pulang lebih lambat setelah sekolah nanti? Nggak usah suruh Pak Genta jemput aku. Aku mau belajar di perpustakaan, lalu pulang sendiri naik bus. Boleh?"Setiap hari dijemput oleh Genta terasa lebih seperti sebuah pengawasan dan penghalang kebe
Vernon tampak sangat ketakutan, terlihat dari fakta bahwa dia tidak berani memberi tahu Thalia soal dia dipukuli karena Tiffany. Saat Tiffany berbalik untuk keluar dari kamar, dia sengaja tersenyum pada Vernon. Pria itu langsung meringkuk ketakutan dan menjatuhkan bubur di tangannya."Mana uangnya?" Begitu keluar dari kamar, Thalia langsung menunjukkan niat aslinya, "Cepat serahkan."Tiffany terpaksa menyerahkan amplop berisi 600 ribu itu. "Bibi, tolong pegang janjimu."Thalia mendengus, "Selama kamu bayar tepat waktu, aku pasti akan jaga mulutku di depan nenekmu!"Selesai berbicara, Thalia masih sempat melirik Tiffany dengan sinis dan berpikir,' Padahal sudah menikahi orang kaya, tapi masih saja sepelit itu saat dimintai uang.'Setelah memberikan uang itu, Tiffany tidak merasa ada yang perlu dibicarakan lagi. Jadi, dia segera memutuskan untuk pergi. Saat melewati lobi di lantai satu, dia bertemu dengan Garry yang sudah lama tidak dia temui."Tiffany!" teriak Garry dari kejauhan.Awaln
Tiffany menganggukkan kepala dengan wajah tersipu, "Jadi, apa Kakak punya rekomendasi kerja paruh waktu yang bagus?"Garry mendongak untuk melihat sekilas papan nama di depannya. "Kita sudah sampai. Makan dulu baru dibicarakan lagi."Tiffany terpaksa mengangguk dan mengikutinya masuk. Saat sedang makan, dia terlihat agak tidak fokus. Pikirannya terus teringat pada kejadian saat makan malam terakhir bersama kakak kelasnya. Terakhir kali dia makan malam dengan kakak kelasnya, Sean langsung mengetahuinya.Apakah kali ini dia juga akan mengetahuinya? Apakah dia akan melakukan hal yang sama seperti terakhir kali, meneleponnya dan mengirim orang untuk membawanya pulang?Sepanjang makan malam, Tiffany tidak menerima kabar apa pun dari Sean meski sudah merasa was-was."Karena kamu belajar keperawatan, aku bisa rekomendasikan kamu untuk kerja paruh waktu sebagai perawat di sebuah panti jompo," kata Garry setelah makan. "Kebetulan aku punya teman yang kerja di panti jompo itu. Di sana banyak low
Sebagai seorang anak buangan dari Keluarga Tanuwijaya yang telah ditinggalkan selama bertahun-tahun, Sean sudah lama kehilangan harga diri di mata orang lain. Bahkan, pernikahannya hanya dihadiri oleh kakeknya, tanpa ada tamu lainnya yang datang."Tapi ....""Aku bukannya nggak mau bantu dia." Sean mengubah posisi dan bersandar dengan nyaman di kursi rodanya. "Setelah dia paham gimana seharusnya hubungan suami istri itu berjalan, saat itulah aku akan membantunya."Sofyan merasa bingung dengan ucapan Sean. Namun, saat melihat wajah pria itu menjadi lebih dingin dan serius, dia sadar bahwa dirinya tidak boleh bertanya lebih lanjut. "Kalau begitu, Tuan masih mau tunggu Nyonya pulang untuk makan malam? Sekarang sudah malam sekali, gimana kalau Tuan makan duluan?"Sean menggeleng. Bibirnya terbuka sedikit dan hanya mengucapkan satu kata, "Tunggu."Panti jompo tempat Tiffany bekerja memiliki aturan bahwa pekerja paruh waktu selesai pada pukul 19:30. Tiffany menghitung bahwa dia masih bisa me
Sebenarnya sejak tadi siang Garry sudah ingin menanyakan hal ini pada Tiffany. Namun, dia hanya memberi alasan bahwa dia ingin mengikuti kursus memasak. Tiffany benar-benar tidak pandai berbohong.Mana mungkin gadis secerdas dan serajin Tiffany tidak bisa memasak? Tidak akan ada yang percaya dengan kebohongan seperti itu."Aku nggak ada masalah apa-apa kok," sangkal Tiffany senyuman ceria.Garry yang duduk di kursi pengemudi kembali berkata, "Kalau butuh uang, kamu bisa bilang sama aku. Meskipun aku baru kerja beberapa tahun, penghasilanku cukup bagus."Membahas soal ini, Garry tidak bisa menahan diri untuk sedikit pamer, "Mobil ini kubeli dengan uangku sendiri, harganya sekitar 400-an juta. Teman-temanku iri sekali padaku."Tiffany menatapnya dengan kagum, "Kak Garry memang luar biasa. Alangkah bagusnya kalau aku bisa sehebat Kak Garry."Garry tersenyum puas, "Nggak ada yang nggak bisa didapatkan asalkan berusaha. Ngomong-ngomong, Tiffany, kamu belum bilang di mana kamu tinggal."Tiff
Garry mengangguk. "Ya sudah, daripada nanti suamimu salah paham kalau lihat aku."Setelah melihat mobil Garry pergi, Tiffany baru mengeluarkan ponselnya dan menelepon Rika untuk memberi tahu bahwa dia ditahan di gerbang.Dua menit kemudian, Sofyan yang mengenakan setelan formal muncul di gerbang kompleks. "Nyonya, Tuan menyuruhku untuk menjemput Anda pulang."Mata Tiffany membelalak kaget. Sepertinya sekarang sudah lewat pukul sembilan malam.Sean belum tidur? Seolah-olah menyadari kebingungan Tiffany, Sofyan mengangguk hormat. "Tuan masih menunggu Anda pulang untuk makan malam.""Sudah larut malam begini, dia belum makan?" Tiffany terkejut hingga raut wajahnya agak berubah.Sofyan mengangguk lagi, "Jadi, kalau Nyonya peduli sama Tuan, ayo cepat pulang."Tiffany tidak berani menunda lagi. Dia mengikuti Sofyan dengan langkah cepat menuju vila. Melihat tas ranselnya yang tampak berat, Sofyan menghentikannya dan membantu membawakan tas itu. Keduanya buru-buru meninggalkan pintu gerbang ko