Tiffany terdiam. Apa pria ini benar-benar ketagihan disuapi olehnya? Dengan tak berdaya, Tiffany terpaksa menunduk dan duduk di dekat Sean sambil mulai menyuapinya. Sean makan dengan perlahan dan elegan, membuat Tiffany merasa kesulitan.Hari ini dia telah bekerja keras di panti jompo, sehingga dia merasa lelah dan kelaparan. Sekarang dia malah harus menyuapi Sean dengan perlahan. Namun sebagai istrinya, sepertinya memang wajar jika Tiffany menyuapinya.Sekitar 20 menit kemudian, Sean akhirnya selesai makan malam. Setelah itu, Tiffany mengambil tisu dan membersihkan sudut mulutnya dengan hati-hati. Wajah Sean yang terlihat dingin dan tegas itu, ternyata terasa lembut saat disentuh.Kulitnya bahkan terasa lebih halus daripada kulit Tiffany. Saking nyamannya, sampai membuat jantung Tiffany berdegup lebih cepat.Setelah beberapa saat, Tiffany meletakkan tisu dan akhirnya mulai makan sendiri. Setelah lelah bekerja seharian dan kelaparan, Tiffany merasa dirinya bisa menghabiskan seluruh mak
Tiffany sama sekali tidak memahami berita mengenai dunia bisnis. Setelah membacanya sejenak, dia akhirnya terlelap di dipan ranjang. Saat ketiduran, mulutnya masih terus menggumamkan berita yang sedang dibacanya.Tiffany bersandar pada bantal di sampingnya. Sean memandangnya dengan tatapan yang dalam cukup lama, hingga akhirnya dia mengulurkan tangan untuk menyelimutinya. "Suami istri harus saling percaya. Kamu nggak percaya padaku, makanya nggak beri tahu aku semua yang kamu lakukan."Dia mengusap lembut rambut Tiffany, merasa ada jarak di antara mereka. "Kalau kamu nggak bisa percaya dan bergantung padaku sepenuhnya, aku juga nggak akan membiarkanmu tetap berada di sisiku terlalu lama."Sambil menatapnya, ingatan Sean kembali pada belasan tahun yang lalu. Saat itu, dia masih berusia 8 tahun dan sedang duduk di kursi belakang mobil sambil mendengar orang tuanya bertengkar."Kalau kamu percaya padaku, nggak seharusnya kamu diam-diam melakukan hal ini di belakangku!""Aku nggak mau kamu
Jika ada ranjang di depannya sekarang, Tiffany pasti akan langsung menjatuhkan diri untuk tidur sepuasnya! Setelah bersusah payah menyuapi Sean hingga selesai, barulah dia kembali ke tempat duduknya untuk makan sendiri. Namun selama sarapan, beberapa kali Tiffany hampir saja ketiduran.Begitu sampai di kampus, Tiffany yang biasanya sangat serius mengikuti pelajaran, untuk pertama kalinya merasa ingin tidur di kelas. Dia benar-benar sangat mengantuk. Di kelasnya, tidak banyak mahasiswa yang bisa serius dalam mendengarkan pelajaran sepertinya. Jadi, kalau dia tidur selama satu pelajaran saja, sepertinya tidak masalah, 'kan?Namun, kenyataan tidak seindah yang dia bayangkan. Pelajaran pertama adalah kalkulus. Dosen kalkulus menyuruh Tiffany berdiri dengan tegas, "Di kelas ini, cuma kamu yang benar-benar serius belajar. Sekarang kamu juga mau menyerah? Berdiri dan dengarkan pelajaran! Renungkan kesalahanmu!"Tiffany tidak punya pilihan selain berdiri dalam keadaan setengah sadar dan menden
Julie merasa sangat kesal. Memang begitulah sifat Tiffany, keras kepala, kolot, dan rendah diri."Kalau begini terus, kamu bisa mati kecapekan," kata Julie."Makanya kamu jangan marah-marah sama aku lagi." Tiffany tersenyum tipis sambil memandang Julie. "Setelah selesai makan nanti, aku masih harus ke panti jompo."Julie mengacak nasi di piring Tiffany dengan kesal sambil berkata, "Kamu bisa santai sedikit nggak? Aku nggak mau hadiri pemakamanmu secepat ini."Tiffany paham bahwa Julie berniat baik. Oleh karena itu, dia memberikan paha ayam dari piringnya kepada Julie. "Sudah, ayo cepat makan. Bukannya kamu masih harus ke kelas nari nanti sore?""Huh!"Setelah selesai makan dengan Julie, Tiffany bergegas naik bus menuju panti jompo. Karena terlalu mengantuk, Tiffany akhirnya ketiduran di bus. Saat terbangun lagi, busnya telah mencapai pemberhentian terakhir.Merasa tidak berdaya, Tiffany terpaksa menusuk punggung telapak tangannya dengan jarum untuk mengingatkan dirinya untuk tidak keti
Menurut Garry, Tiffany yang menikah dengan pria tua kaya seharusnya hidup dengan kemewahan, bukannya kelelahan seperti ini. Bukankah kata orang, pria tua lebih menyayangi istrinya? Apa suami Tiffany tidak memberinya uang? Atau bahkan memperlakukannya dengan buruk?"Nggak ada yang perlu dipertimbangkan soal sepadan atau nggak," jawab Tiffany dengan lelah sambil bersandar pada kursi mobil. Dia sudah kehabisan energi untuk berbicara, apalagi untuk mengobrol panjang lebar dengan Garry. "Kak, aku terlalu capek. Biarkan aku tidur sebentar."Setelah itu, Tiffany langsung menutup matanya dan dalam sekejap sudah tertidur di kursi penumpang. Dia benar-benar kelelahan. Seharian penuh tanpa istirahat, ditambah dengan kerja keras di panti jompo membuatnya merasa seperti seluruh energinya terkuras habis.Di kursi pengemudi, Garry menatap Tiffany yang tertidur melalui kaca spion. Sebuah perasaan tidak nyaman yang menyelinap di hatinya.Saat hampir tiba di persimpangan menuju Vila Swan Lake, sebuah ke
Bukan karena Garry terlalu pengecut, melainkan karena mempertaruhkan dirinya demi seorang wanita bersuami seperti Tiffany benar-benar tidak sebanding. Dia menarik napas panjang, kemudian memutuskan telepon dan langsung memutar arah mobilnya menuju Vila Swan Lake.Sementara itu, dari bawah lampu jalan, seorang remaja berpakaian putih yang tersembunyi mendengus dingin. Dia menyimpan pisau lemparnya dan meluncur pergi dengan skateboard-nya....."Ah, lapar sekali ...."Di vila Keluarga Tanuwijaya. Tiffany terbangun karena aroma makanan yang menggugah selera."Kamu sudah bangun?" Suara Sean yang dingin terdengar di telinganya. "Sudah waktunya kamu suapin aku."Tiffany tertegun sejenak sebelum bangkit dari meja. Saat itu, dia sedang duduk di meja makan vila Keluarga Tanuwijaya dan tubuhnya bersandar di atas meja.Dengan mata yang tertutup oleh kain hitam, Sean duduk anggun sambil memegang cangkir teh dan meminumnya dengan perlahan.Tiffany benar-benar kelaparan. "Boleh nggak aku makan dulu
Gadis itu mengenakan gaun tidur putih yang mengembang di dalam air yang jernih, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Rambut panjangnya yang hitam berkilau mengambang perlahan di dalam air.Sean menyipitkan matanya, lalu mengulurkan tangan dan menariknya keluar dari air. Kemudian, dia menggendong Tiffany dengan langkah cepat menuju tempat tidur."Panggil Dokter Charles ke sini," perintahnya sambil menutup telepon internal.Setelah itu, dia duduk di tepi tempat tidur dan mengelap tetesan air di wajah Tiffany dengan hati-hati. Meskipun Tiffany sudah pingsan karena kelelahan, dia tetap saja tidak mau membuka diri kepada Sean dan tidak ingin menceritakan apa yang sebenarnya sedang dia alami.Tiffany selalu mengatakan ingin menghabiskan hidup bersama Sean. Namun kenyataannya, dia tidak pernah benar-benar menganggap Sean sebagai suaminya. Bahkan sebagai teman pun bukan.Bagi Tiffany, Sean hanyalah seorang majikan. Seseorang yang dia anggap sebagai "penolong" yang harus dibalas. Betapa
"Ngomong-ngomong, ada kamar untukku menginap semalam? Dia sudah kelelahan begini, setidaknya kamu harus kasih dia istirahat dulu malam ini, bukan?" Charles bertanya sambil melirik Tiffany yang masih tertidur.Sean mengangguk pelan. Awalnya, dia memang berniat tidak membiarkan Tiffany beristirahat. Dia berharap Tiffany akan menyerah dan akhirnya mengungkapkan semua masalahnya. Sean mengira dengan cara seperti ini, Tiffany akan belajar untuk berbagi masalahnya dengannya.Namun, dia tidak menyangka gadis kecil ini jauh lebih gigih dari yang dibayangkannya. Tiffany bahkan lebih memilih untuk pingsan karena kelelahan daripada mengeluh atau meminta bantuan. Meskipun penampilannya tampak begitu lembut dan sederhana, sifat keras kepalanya benar-benar membuat Sean tak berdaya."Ini pertama kalinya aku menginap di rumahmu, 'kan? Luar biasa." Charles tertawa ringan, lalu meletakkan tangannya di bahu Sean. "Ternyata setelah menikah, kamu jadi lebih manusiawi."Kemudian, seolah menyadari sesuatu, C
Tiffany mendongakkan pandangan ke arah Sean dan bertanya, "Kamu benaran suruh aku pergi main?""Iya," jawab Sean."Baiklah!" seru Tiffany. Dia memegang wajah Sean dan mengecup pipinya. "Aku pergi main, ya! Sayang, kamu duduk di sini dan jangan gerak!""Iya," sahut Sean.Setelah memastikan Sean tidak akan marah, Tiffany dengan girang menggulung kaki celana dan berlari ke dalam sungai. Tiffany berseru, "Chaplin, kamu nggak bisa tangkap ikan kalau begitu! Lihat aku!"....Sean duduk di pinggir sungai. Senyuman menghiasi wajahnya ketika melihat gadis bermata cerah itu asyik bermain dengan Chaplin. Sudah berapa lama dia tidak sesenang ini? Dia sendiri pun lupa.Sean sepertinya tidak pernah merasakan sensasi girang semacam ini lagi sejak kakak meninggal dalam kebakaran 13 tahun yang lalu. Tiffany-lah yang membuatnya merasa masih ada banyak kemungkinan yang ada jika kita masih hidup. Sean mengeluarkan ponselnya sambil tersenyum. Dia menelepon Sofyan untuk menanyakan kemajuan masalah."Pak Se
Indira melirik Sean yang berada di kejauhan. Ekspresi wajahnya agak suram. Dia merendahkan suara dan berkata, "Belakangan ini, Santo yang tinggal di sebelah bertengkar dengan pamanmu. Dia setiap hari bergosip di desa. Dia bilang pamanmu nggak berguna sampai harus nikahkan kamu dengan orang lumpuh baru bisa obati penyakit nenekmu."Indira menatap pada Tiffany dengan ekspresi menegur. Dia bertanya, "Kenapa kamu nggak kabari dulu sebelum kamu pulang? Orang-orang di desa tertawakan keluarga kita dalam beberapa hari terakhir. Akhir-akhir ini, pamanmu juga diam di rumah saja karena itu. Kamu malah bawa Pak Sean pulang sekarang. Mau tambah masalah?"Santo adalah ayahnya Wenda. Mendengar omongan Indira, Tiffany akhirnya paham mengapa Wenda sengaja mencari masalah dengannya di kota barusan. Ternyata karena konflik antara Santo dan pamannya.Tiffany merapatkan bibir dan bertanya, "Gimana ini ...."Tiffany terlalu girang karena Sean bisa meluangkan waktu untuk menemaninya. Dia sama sekali tidak m
Melihat rombongan itu memasuki kedai mi, bos buru-buru menyambut dengan antusias. Dia memuji, "Nak, kamu benar-benar hebat!"Bos mengambilkan buku menu untuk Tiffany dan berujar, "Suaminya Wenda sudah lama menjadi tiran di kota ini. Nggak nyangka akhirnya ketemu lawan tangguh juga!"Tiffany sering makan di kedai mi itu saat duduk di bangku SMA. Dia cukup akrab dengan bos. Sambil memesan makanan, Tiffany mengernyit dan menjawab, "Benaran?""Iya." Bos mengembuskan napas dan melanjutkan, "Wenda hamil. Beberapa waktu lalu, mereka bikin acara dan minta setiap keluarga pergi ke acara. Sebenarnya, bukan karena kami dekat, tapi minta kami kasih uang."Tiffany tercengang, lalu bertanya, "Bos pergi nggak?"Bos mengembuskan napas lagi. Dia menjawab, "Kalau berani nggak pergi, mampus nanti. Lebih baik kayak kamu, pergi dari kota ini. Dunia di luar lebih baik. Rumah makanku ini juga nggak tahu bisa bertahan sampai kapan ...."Setelah Tiffany memesan makanan, bos pergi ke dapur. Entah mengapa, Tiffa
Sean memicingkan mata. Orang lain berpikir dia tidak bisa melihat. Pada kenyataannya, dia dapat melihat gerakan semua orang dengan jelas dari balik kain hitam. Sean menarik Tiffany ke dalam pelukan untuk melindunginya. Dia berkata, "Ternyata warga desa terpencil memang biadab. Kalian semua punya orang tua dan anak, tapi kalian mengintimidasi kami. Kalian nggak takut karma?"Detik berikutnya, terdengar bunyi guntur nyaring dari langit yang mendung dari tadi, seolah-olah menjawab omongan Sean. Orang yang penakut tidak berani bergerak. Orang yang berani tetap mendekat ke arah Tiffany dan Sean. Akan tetapi, mereka hanya mengelilingi, tidak berani benar-benar memukul Sean. Suami Wenda yang bertubuh kekar pun dipelintir tangannya hingga terkilir."Hajar mereka! Aku traktir kalian minum nanti!" teriak Wenda. Dia memegang pergelangan tangan suaminya yang terkilir dan menangis karena sakit hati! Suaminya yang selalu mengintimidasi orang lain. Kapan suaminya pernah dikalahkan? Hajar! Harus ha
Tiffany melanjutkan, "Kalau kamu kebanyakan tenaga, rawat janin dalam kandunganmu saja. Nggak usah cari masalah di mana-mana, oke?"Kemarahan Tiffany sudah memuncak. Akan tetapi, Wenda tidak menyerah. Wenda memprovokasi, "Kenapa? Kamu mau pukul aku? Coba saja! Aku ini ibu hamil. Memangnya kamu bisa tanggung konsekuensinya?" Tiffany menarik napas dalam-dalam. Dia menggertakkan gigi dan mencibir, lalu berkata, "Kamu yang minta."Plak! Tiffany langsung menampar Wenda dengan keras. Tiffany berseru, "Aku tampar wajahmu. Kamu nggak bisa bilang janin dalam kandunganmu tersakiti, 'kan? Aku kuliah jurusan kedokteran. Kamu nggak bisa tipu aku."Wenda terbengong karena tamparan itu. Sama sekali tak terpikir olehnya ... Tiffany yang dulunya pasrah dia ejek dan marahi, yang hanya fokus belajar akhirnya melawan! Bahkan berani menamparnya!Tiffany mendongakkan kepala dan memelototi Wenda dengan ekspresi mata dingin. Dia mengangkat tangan untuk menampar lagi. Wenda mundur secara refleks. Seorang pri
Tiffany mengenal wanita itu. Dia adalah Wenda yang berasal dari desa yang sama dengannya. Saat mengungkit kampung halamannya pada Sean dua hari lalu, Tiffany sudah memberitahukan bahwa dia dan Wenda tidak akur sejak kecil. Wenda selalu ingin menjatuhkannya di setiap kesempatan yang ada.Untungnya, Tiffany diterima di Universitas Srinen karena nilai ujian nasionalnya yang tinggi. Sementara itu, Wenda tidak diterima di universitas mana pun. Setelah lulus SMA, Wenda langsung pulang ke rumah dan menikah dengan jodoh kencan buta. Sejak itu, dunia Tiffany menjadi jauh lebih tenang. Namun, Tiffany tidak menyangka ketika dia bisa bertemu dengan Wenda ketika dia mendadak membawa Sean keluar dari mobil untuk pergi makan. Benar-benar kebetulan.Pada saat ini, Wenda yang memakai gaun ibu hamil berjalan menuju Tiffany dengan sikap dingin. Sambil berjalan, Wenda mencibir dan mengejek, "Beberapa hari lalu, keluargaku bilang Tiffany nikah dengan orang lumpuh setelah masuk kuliah."Wenda menyindir, "L
Tiffany berjanji, "Sayang, jangan khawatir. Aku pasti akan jauh-jauh kalau ketemu dia lagi!"Sean tertawa dengan suara rendah. Dia berkata, "Oke."Usai sarapan, Tiffany mulai mengemas barang-barang yang akan dibawa pulang ke kampung halaman. Hadiah untuk keluarganya memenuhi satu mobil."Aku ikut," kata Chaplin yang sudah melihat Tiffany untuk waktu yang lama dari pintu.Tiffany tidak bisa menahan senyum ketika mendengar suara pemuda yang lantang itu. Dia berucap, "Kamu boleh ikut kalau nggak keberatan kampungku miskin!"Lebih banyak orang lebih ramai! Selain itu, ada banyak kamar di rumah paman, pasti muat! Oleh karena itu, pemuda berpakaian biru itu kembali ke kamar dengan girang untuk mengemas barang.Setelah barang-barang selesai dikemas, Tiffany mendorong Sean untuk naik ke mobil. Begitu mobil berjalan, Tiffany bahkan bersenandung karena girang.Mungkin karena kampung halamannya terpencil, lagu yang disenandungkan oleh Tiffany adalah lagu tren puluhan tahun yang lalu. Chaplin yan
Sean terbangun karena ditelepon oleh Mark. Dia menjawab telepon dengan mata terpejam. Dia bertanya, "Ada apa?""Sean, apa maksudmu?" bentak Mark dengan marah. "Aku suruh kamu kirimkan pelayan wanita paling muda di rumahmu. Kenapa kamu kirim Kak Rika?""Mungkin karena Kak Rika memang yang paling muda," jawab Sean sambil menguap. Dia tidak tahu-menahu soal umur pelayan di rumahnya."Omong kosong!" teriak Mark dengan galak di telepon. "Kemarin aku jelas lihat ada satu yang lebih muda lagi di rumahmu!""Seberapa muda?" tanya Sean. Dia turun dari ranjang dan pergi mandi. "Aku nggak ingat ada pelayan muda di rumahku.""Ada!" teriak Mark dengan marah. "Yang aku lihat di halaman kemarin, yang siram tanaman itu! Dia muda dan cantik, lugu, dan imut banget! Aku mau yang itu!"Sean mengernyit. Wanita yang muda, cantik, lugu, dan imut. Sean teringat akan gadis kemarin yang melempar diri ke dalam pelukannya dalam keadaan basah."Deskripsimu benar." Sean membuang air kumur. "Tapi dia bukan pelayan."
Tangan Sean yang memeluk Tiffany berangsur-angsur mengerat. Dia berkata, "Sebenarnya, yang penting hidupmu sendiri dijalani dengan baik."Tiffany menggelengkan kepala dan membantah, "Itu terlalu egois. Paman, Bibi, dan Nenek sudah besarkan aku. Aku harus rawat mereka dan beri kehidupan yang lebih baik pada mereka!"Tiffany melanjutkan, "Aku belum punya kemampuan besar sekarang, tapi kalau aku sudah jadi dokter hebat nanti, aku bisa menghidupi mereka!"Sean menatap wajah mungil Tiffany dan mengembuskan napas. Jika bukan karena Tiffany, anak orang kaya seperti Sean tidak akan pernah memahami betapa sukarnya kehidupan orang miskin.Belum pernah Sean bertemu dengan orang seperti Tiffany. Tiffany begitu gigih, mencintai kehidupan dan seluruh dunia. Sementara itu, kehidupan Sean dalam 13 tahun terakhir hanya dipenuhi kesepian dan kebencian.Sean membenci ketidakpedulian Keluarga Tanuwijaya terhadapnya. Sean membenci dirinya karena tidak bisa membunuh musuhnya. Sean membenci dunia ini yang te