Bukan karena Garry terlalu pengecut, melainkan karena mempertaruhkan dirinya demi seorang wanita bersuami seperti Tiffany benar-benar tidak sebanding. Dia menarik napas panjang, kemudian memutuskan telepon dan langsung memutar arah mobilnya menuju Vila Swan Lake.Sementara itu, dari bawah lampu jalan, seorang remaja berpakaian putih yang tersembunyi mendengus dingin. Dia menyimpan pisau lemparnya dan meluncur pergi dengan skateboard-nya....."Ah, lapar sekali ...."Di vila Keluarga Tanuwijaya. Tiffany terbangun karena aroma makanan yang menggugah selera."Kamu sudah bangun?" Suara Sean yang dingin terdengar di telinganya. "Sudah waktunya kamu suapin aku."Tiffany tertegun sejenak sebelum bangkit dari meja. Saat itu, dia sedang duduk di meja makan vila Keluarga Tanuwijaya dan tubuhnya bersandar di atas meja.Dengan mata yang tertutup oleh kain hitam, Sean duduk anggun sambil memegang cangkir teh dan meminumnya dengan perlahan.Tiffany benar-benar kelaparan. "Boleh nggak aku makan dulu
Gadis itu mengenakan gaun tidur putih yang mengembang di dalam air yang jernih, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Rambut panjangnya yang hitam berkilau mengambang perlahan di dalam air.Sean menyipitkan matanya, lalu mengulurkan tangan dan menariknya keluar dari air. Kemudian, dia menggendong Tiffany dengan langkah cepat menuju tempat tidur."Panggil Dokter Charles ke sini," perintahnya sambil menutup telepon internal.Setelah itu, dia duduk di tepi tempat tidur dan mengelap tetesan air di wajah Tiffany dengan hati-hati. Meskipun Tiffany sudah pingsan karena kelelahan, dia tetap saja tidak mau membuka diri kepada Sean dan tidak ingin menceritakan apa yang sebenarnya sedang dia alami.Tiffany selalu mengatakan ingin menghabiskan hidup bersama Sean. Namun kenyataannya, dia tidak pernah benar-benar menganggap Sean sebagai suaminya. Bahkan sebagai teman pun bukan.Bagi Tiffany, Sean hanyalah seorang majikan. Seseorang yang dia anggap sebagai "penolong" yang harus dibalas. Betapa
"Ngomong-ngomong, ada kamar untukku menginap semalam? Dia sudah kelelahan begini, setidaknya kamu harus kasih dia istirahat dulu malam ini, bukan?" Charles bertanya sambil melirik Tiffany yang masih tertidur.Sean mengangguk pelan. Awalnya, dia memang berniat tidak membiarkan Tiffany beristirahat. Dia berharap Tiffany akan menyerah dan akhirnya mengungkapkan semua masalahnya. Sean mengira dengan cara seperti ini, Tiffany akan belajar untuk berbagi masalahnya dengannya.Namun, dia tidak menyangka gadis kecil ini jauh lebih gigih dari yang dibayangkannya. Tiffany bahkan lebih memilih untuk pingsan karena kelelahan daripada mengeluh atau meminta bantuan. Meskipun penampilannya tampak begitu lembut dan sederhana, sifat keras kepalanya benar-benar membuat Sean tak berdaya."Ini pertama kalinya aku menginap di rumahmu, 'kan? Luar biasa." Charles tertawa ringan, lalu meletakkan tangannya di bahu Sean. "Ternyata setelah menikah, kamu jadi lebih manusiawi."Kemudian, seolah menyadari sesuatu, C
Padahal suasana hati Sean sangat buruk semalam, tapi dia tidak membangunkan Tiffany saat ketiduran. Sebaliknya, dia menyuruh orang lain untuk memindahkannya ke tempat tidur. Ternyata Sean juga bisa menunjukkan sisi lembutnya.Tiffany adalah gadis yang mudah merasa puas. Dia tersenyum kecil dan turun ke lantai bawah dengan perasaan senang.Di ruang tamu, Sean yang mengenakan pakaian serba hitam, sedang duduk bersandar di sofa sambil menikmati secangkir teh. Di sebelahnya duduk seorang pria berpakaian putih yang sedang berbicara tanpa henti tentang gosip Keluarga Tanuwijaya."Tahu nggak, beberapa hari belakangan ini, Michael jadi bahan tertawaan di kalangan sosialita," ujar pria berbaju putih itu."Dia itu cucu tertua dari Keluarga Tanuwijaya. Di usianya yang sudah hampir 30, dia baru dapat kendali atas sebuah perusahaan dari kakeknya. Belum lama dia memimpin, tiba-tiba Keluarga Sanskara datang dan membuatnya malu. Bukan cuma harga dirinya yang tercoreng, perusahaannya pun diambil kembal
Ini adalah pertama kalinya Sean melihat Tiffany tertawa selepas itu. Bukan senyuman yang terpaksa di hadapannya, bukan pula senyuman yang dipaksakan saat bersama Keluarga Tanuwijaya. Kali ini, tawa Tiffany benar-benar tulus dari hatinya dan tanpa dipaksakan.Sinar matahari yang masuk melalui jendela menyinari sosok gadis itu. Rambut hitamnya terlihat berkilauan. Sehelai rambut menggantung di sisi telinganya, berayun lembut mengikuti irama tawanya. Tanpa sadar, Sean mengulurkan tangan untuk menyelipkan rambut itu ke belakang telinganya, memperlihatkan sisi wajah Tiffany yang mulus.Sebelumnya, semua perhatian Tiffany tertuju pada Charles dan Chaplin. Namun begitu Sean menyentuhnya, Tiffany langsung tersadar. Setelah menyadari apa yang terjadi, wajah gadis itu memerah tanpa disadari."Terima kasih," ucapnya pelan. Beberapa saat kemudian, dia mengerutkan kening dan bertanya, "Kenapa ... kamu bisa tahu ...."Sean seharusnya tidak bisa melihat, 'kan? Bagaimana dia bisa tahu ada sehelai ramb
Sean mengangguk pelan, "Menyuruhmu untuk suapin aku makan, memintamu memandikanku, semua itu cuma untuk memaksamu jujur."Tiffany menggigit bibirnya merasa kebingungan. Dia tidak pernah berpikir sejauh itu. Saat Sean memintanya untuk menyuapinya, Tiffany mengira itu karena Sean bergantung padanya. Saat Sean meminta untuk memandikannya, Tiffany mengira itu karena Sean tidak bisa melakukannya sendiri.Bahkan ketika Sean berkali-kali menyuruhnya mengisi ulang air bak mandi tadi malam, Tiffany hanya mengira itu karena dia sedang dalam suasana hati yang buruk. Mana mungkin dia tahu bahwa pria itu sengaja memanfaatkan situasi untuk memerintahnya?Melihat Tiffany yang terdiam, Charles yang berada di samping mengerutkan kening, "Tiffany, kamu jangan sampai salah paham dan menyalahkan Sean karena merepotkanmu ya. Dia memang begitu, kecerdasan emosionalnya rendah.""Kalau bukan karena aku datang hari ini, mungkin sampai sekarang dia masih akan bersikap dingin padamu. Dia nggak pandai mengekspres
Tiffany tertegun sejenak. Dia makin merasa tidak nyaman saat teringat latar belakang Sean yang menyedihkan. Tiffany bertanya, "Kamu nggak merasa terganggu dengan kehadiranku?"Sean sudah hidup tenang selama bertahun-tahun. Dia pasti merasa terganggu setelah tiba-tiba punya istri dan diusik oleh para kerabat istrinya yang menyebalkan. Jadi, Tiffany menutupi masalah Thalia yang memerasnya dari Sean karena memikirkan hal ini."Terkadang, hidup terlalu tenang juga masalah," sahut Sean.Tiffany tidak bisa berkata-kata. Kehidupan orang kaya memang sulit dipahami. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu memandang Sean dan menceritakan semua masalah yang terjadi beberapa hari ini.Tiffany berucap, "Sebenarnya aku bukan takut pada bibiku. Aku hanya nggak mau nenekku mengalami syok lagi. Dia sudah tua, juga kolot dan percaya pada takhayul.""Kalau nenekku tahu aku menikah denganmu, aku takut kondisinya kritis lagi. Dia sangat lemah, nggak boleh terlalu stres," lanjut Tiffany.Melihat sikap Tiffany y
Tiffany tertawa, lalu menepuk bahu Kendra dan berucap, "Paman, tenang saja."Setelah berbicara dengan Tiffany, Kendra baru berbalik dan tersenyum kepada Sean. Dia berujar, "Pak Sean, kalian lihat nenek Tiffany dulu. Aku beli makan untuk kalian."Sean tersenyum seraya membalas dengan sungkan, "Terima kasih, Paman."Sesudah Kendra pergi, Charles berkomentar sembari mengernyit, "Sepertinya aku pernah melihat orang ini.""Kamu pernah melihatnya?" tanya Tiffany yang menghentikan langkahnya. Dia menatap Charles dan melanjutkan, "Nggak mungkin. Pamanku jarang datang ke kota. Kalau bukan karena Nenek sakit, Paman nggak mungkin ada di sini."Charles merenung sejenak, lalu menimpali, "Pamanmu memang sangat familier.""Mungkin kamu salah ingat," ucap Sean dengan datar. Dia menghentikan Charles untuk meneruskan ucapannya, "Ayo, kita masuk."Tiffany baru berbalik dan mengetuk pintu kamar seraya berseru, "Nek, aku Tiffany. Aku datang menjengukmu!"Bertha yang berusia hampir 70 tahun berbaring di tem
Saat ketiganya sudah menjauh dari lokasi kebakaran, warga desa sudah tiba. Orang-orang dari klub fotografi juga sudah kembali.Warga desa sibuk memadamkan api. Sementara itu, Julie bergegas mendekat dengan mata merah. "Tiffany!" panggilnya.Di belakang Tiffany, Sean menurunkan Zara yang pingsan karena menghirup asap ke tanah. Dia berkata, "Panggil dokter."Chelsea menyahut sambil mengangguk, "Dokter sudah dalam perjalanan!"Kobaran api kian membesar. Semua orang mundur ke jalan kecil di luar halaman. Tiffany masih memegang kamera berharga di tangannya."Kenapa bisa tiba-tiba kebakaran? Tanah di pegunungan lembap, seharusnya nggak mudah terbakar!" ucap Chelsea sambil mondar-mandir dengan gelisah.Sean mengambil handuk yang diberikan Julie dan menyeka noda jelaga di wajahnya sambil berkata, "Nggak aneh kalau ada seseorang yang sengaja menyulut api.""Zara!" Tepat ketika Sean selesai bicara, Penny menyeruak dari tengah kerumunan. Dia langsung menggenggam tangan Zara, cemas saat melihat ba
Sebelum Tiffany menyelesaikan ucapannya, Sean melihat gadis mencurigakan tadi mengeluarkan benda kecil dari sakunya. Mata pria itu membelalak. Benda itu adalah korek api!Gadis itu melempar korek api ke tanah yang sudah dibasahi bensin. Seketika, api mulai berkobar. Api menyala di belakang rumah, jadi Tiffany yang berdiri di depan dan membelakangi rumah sama sekali tidak sadar.Sean mengeratkan pegangannya di ponsel dan berseru, "Cepat lari!"Tiffany tertegun. Mengapa Sean menyuruhnya lari? Dia refleks menoleh ke belakang. Api yang menyentuh bensin membubung tinggi ke langit. Seantero rumah seakan-akan sudah dilahap mulut yang tidak berwujud.Sean melempar ponselnya dan melompat dari beranda sambil berteriak, "Tiffany, lari!"Namun, gadis itu sepertinya tidak mendengar seruannya. Tiffany melepas mantel dan mencelupkannya ke dalam tangki air. Kemudian, dia bergegas masuk ke dalam rumah yang tengah terbakar dengan menutupi hidung dan mulutnya. Zara masih tidur di dalam!"Uhuk, uhuk, uhuk
Tiffany tidak tahu mengapa Zara tiba-tiba mengatakan hal ini padanya. Namun, dia balas tersenyum dan berkata, "Istirahatlah." Usai berkata begitu, gadis itu mengambil ponselnya dan keluar.Sekarang sudah pukul 8 malam. Tiffany sudah berjanji akan menelepon Sean pada pukul 7 malam untuk melaporkan keadaannya. Entah pria itu akan marah atau tidak karena dirinya terlambat satu jam penuh.Tiffany berdiri di halaman. Sambil bersandar di dinding, dia mengambil ponsel dan menelepon suaminya.Di sebelah kiri halaman, ada vila yang disewa oleh klub fotografi. Saat ini vila itu masih gelap gulita. Di sebelah kanan, ada vila yang konon sudah disewakan ke seorang konglomerat. Vila itu terang benderang.Sean duduk di beranda vila, memandang gadis yang berdiri di halaman yang diterangi sinar rembulan. Saat melihat ponselnya berdering, dia tersenyum tipis."Akhirnya mau menghubungiku?" tanya Sean."Maaf, Sayang. Aku nggak bermaksud lupa buat telepon ...," ucap Tiffany, langsung meminta maaf.Pukul 7
Tiffany mengernyit. Meskipun hatinya enggan, dia tidak enak hati menolak Zara di depan banyak orang.Selain itu, Tiffany lebih familier dengan jalan-jalan di desa pada malam hari. Jadi, dia tidak perlu khawatir Zara macam-macam padanya."Oke," sahut Tiffany sambil mengangguk dengan ragu. Kemudian, dia menatap Julie dan berkata, "Habis makan kamu juga cepat kembali, ya."Julie mengernyit dan mengangguk pelan."Ayo jalan," ajak Tiffany.Zara memikul ranselnya dan berjalan menuju vila bersama Tiffany.Malam hari di desa sangat sepi. Yang terdengar di telinga hanyalah suara air, gemeresik dedaunan, suara langkah kaki mereka, dan suara hewan di kejauhan. Zara menghirup udara segar di sana. Suasana hatinya cukup baik."Kudengar kamu tumbuh besar di desa, ya?" tanya Zara dengan tenang.Tiffany mengernyit saat mendengar pertanyaannya. Dia berjalan di depan sambil membawa senter dan menjawab singkat, "Ya.""Lingkungan desa sebenarnya cukup menyenangkan. Daripada di kota, aku lebih suka desa yan
Tiffany mengernyit jengkel. Apa maksudnya dengan tidak peka? Waktu pacaran Samuel dan Julie bahkan belum mencapai sebulan.Selama jangka waktu ini, sikap Samuel pada Julie juga tidak sehangat saat dia masih mengejar gadis itu sebelumnya. Apa haknya untuk menuntut sekamar dengan Julie?Lagi pula, hubungan Samuel dan Julie belum berkembang ke tahap itu. Bahkan jika hubungan keduanya sudah semaju itu, atas dasar apa Samuel bisa meminta Tiffany tidur di luar sendirian sementara dirinya dan Julie tidur di dalam?Chelsea duduk di sebelah Tiffany dan tertawa kecil. Dia berucap, "Samuel, apa maksudmu dengan nggak peka? Kalau nggak ada gadis lain yang sekamar denganku, aku pasti sudah tukar tempat denganmu dan tidur dengan mereka berdua."Samuel mengambil pecahan kaca dan membalas dengan kepala tertunduk, "Aku pacarnya Julie. Apa salahnya kalau aku ingin tidur dengannya?" Jika bukan demi memperdalam hubungannya dengan Julie, buat apa dia repot-repot mengikuti kegiatan klub fotografi ini?"Ada s
Siapa sangka, setelah Zara selesai bicara, Samuel yang merupakan salah satu penanggung jawab klub fotografi mengangguk dan berkata, "Kurasa kata-kata Zara ada benarnya."Semua orang terkejut. Samuel, Tiffany, dan Julie adalah orang-orang pertama yang memilih kamar. Jika alokasi kamar disesuaikan dengan urutan pendaftaran, mereka akan mendapatkan kamar terbaik. Namun, sekarang pemuda itu malah setuju untuk melakukan cabut undi.Orang-orang di vila terdiam untuk beberapa saat. Akhirnya, salah satu gadis penanggung jawab menghela napas dan berucap dengan pasrah, "Okelah, ayo cabut undi."Di antara belasan orang ini, enam orang harus tinggal di rumah desa. Lantaran hari sudah larut, semua orang segera melakukan cabut undi.Hasilnya, gadis penanggung jawab klub fotografi dan temannya, serta Julie, Tiffany, Samuel, dan seorang pemuda lainnya harus tinggal di rumah desa itu.Saat beberapa orang itu tengah berkemas, Penny mengejek Tiffany dengan nada puas, "Kamu memang paling cocok tinggal di
Entah disengaja atau tidak, Samuel mengerahkan cukup tenaga hingga Zara hampir terjatuh ke dalam pelukannya. Untungnya, Zara sempat menstabilkan tubuhnya dengan memegang lengan Samuel sehingga hal itu tidak terjadi."Terima kasih," ujar Zara dengan raut pucat.Samuel membalas dengan wajah tersipu, "Sama-sama.""Cowok jelek, kamu cari kesempatan untuk menyentuh Zara!" seru Penny sambil memelototi Samuel. Dia segera mendekat, lalu menarik Zara pergi.Sebelum beranjak pergi, Zara melirik Samuel sekali lagi. Dia melihat binar antusias dan kegembiraan di mata pemuda itu.Mata Zara berkilat dingin. Jadi, pemuda itu pacar Julie? Tidak ada bagus-bagusnya."Ayo jalan," ucap Julie sambil mengernyit. Dia mendekat sambil membawa kopernya.Tiffany menghampiri temannya dan bertanya dengan alis berkerut, "Kamu lihat kejadian tadi, 'kan?" Dia memandang dengan cemas ke arah Samuel yang masih mengambil barang-barang dari bus bersama orang-orang klub fotografi."Biarpun dia hanya berniat membantu, dia bi
Zara mengenakan gaun panjang bunga-bunga warna putih dan topi matahari. Dengan wajah dan penampilannya yang feminin, dia terlihat sangat menawan saat memandang ke luar jendela.Samuel juga tertegun untuk sesaat saat melihat Zara. Sebelumnya, dia hanya tahu bahwa Julie cantik dan Tiffany manis.Samuel tidak tahu ternyata ada gadis secantik Zara di kelas mereka. Kecantikan gadis itu berbeda jauh dengan Julie. Zara sangat memesona, anggun, dan elegan.Begitu melihat kedua orang itu di dalam bus, Tiffany sontak bertanya sambil mengernyit, "Apa mereka juga anggota klub fotografi?"Seingat Tiffany, Zara baru pindah ke sini beberapa hari lalu. Sejak kapan dia menjadi anggota klub fotografi?Lamunan Samuel buyar. Dia berdeham dan menjawab, "Mereka baru gabung beberapa hari lalu, aku juga baru tahu.""Mungkin karena kita pergi, jadi mereka sengaja ikut. Seperti hantu saja, nempel terus sama kita," ucap Julie sambil mengangkat bahu. Dia memutar bola matanya dengan galak ke arah kedua orang itu.
Akhir bulan tiba dengan cepat. Pada hari keberangkatan klub fotografi, Tiffany bangun pagi-pagi sekali.Ini adalah pertama kalinya Tiffany bepergian jauh setelah menikah. Perjalanan ke desa tempo hari juga jauh, tetapi bagaimanapun itu adalah kampung halamannya. Kegiatan klub fotografi di Kabupaten Purjaga ini barulah bepergian jauh yang sebenarnya.Pagi-pagi buta, Rika sudah bangun untuk menyiapkan barang-barang Tiffany. Dari pakaian dalam, pakaian anti UV, hingga jas hujan. Semua Rika kemas hingga memenuhi dua koper besar.Sambil mengeluarkan barang-barang di dalam koper, Tiffany berucap dengan malu pada Rika, "Aku hanya pergi tiga hari dua malam, nggak perlu bawa sebanyak ini."Rika menggeleng dan membalas, "Bu Tiffany, cuaca di pegunungan nggak menentu. Gimana kalau tiba-tiba panas, lalu tiba-tiba dingin? Gimana kalau hujan? Gimana kalau ada topan?"Tiffany kehilangan kata-kata. Meski merasa Rika terlalu cemas berlebihan, hatinya terasa hangat.Saat Tiffany masih tinggal bersama ke