Sean mengangguk pelan, "Menyuruhmu untuk suapin aku makan, memintamu memandikanku, semua itu cuma untuk memaksamu jujur."Tiffany menggigit bibirnya merasa kebingungan. Dia tidak pernah berpikir sejauh itu. Saat Sean memintanya untuk menyuapinya, Tiffany mengira itu karena Sean bergantung padanya. Saat Sean meminta untuk memandikannya, Tiffany mengira itu karena Sean tidak bisa melakukannya sendiri.Bahkan ketika Sean berkali-kali menyuruhnya mengisi ulang air bak mandi tadi malam, Tiffany hanya mengira itu karena dia sedang dalam suasana hati yang buruk. Mana mungkin dia tahu bahwa pria itu sengaja memanfaatkan situasi untuk memerintahnya?Melihat Tiffany yang terdiam, Charles yang berada di samping mengerutkan kening, "Tiffany, kamu jangan sampai salah paham dan menyalahkan Sean karena merepotkanmu ya. Dia memang begitu, kecerdasan emosionalnya rendah.""Kalau bukan karena aku datang hari ini, mungkin sampai sekarang dia masih akan bersikap dingin padamu. Dia nggak pandai mengekspres
Tiffany tertegun sejenak. Dia makin merasa tidak nyaman saat teringat latar belakang Sean yang menyedihkan. Tiffany bertanya, "Kamu nggak merasa terganggu dengan kehadiranku?"Sean sudah hidup tenang selama bertahun-tahun. Dia pasti merasa terganggu setelah tiba-tiba punya istri dan diusik oleh para kerabat istrinya yang menyebalkan. Jadi, Tiffany menutupi masalah Thalia yang memerasnya dari Sean karena memikirkan hal ini."Terkadang, hidup terlalu tenang juga masalah," sahut Sean.Tiffany tidak bisa berkata-kata. Kehidupan orang kaya memang sulit dipahami. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu memandang Sean dan menceritakan semua masalah yang terjadi beberapa hari ini.Tiffany berucap, "Sebenarnya aku bukan takut pada bibiku. Aku hanya nggak mau nenekku mengalami syok lagi. Dia sudah tua, juga kolot dan percaya pada takhayul.""Kalau nenekku tahu aku menikah denganmu, aku takut kondisinya kritis lagi. Dia sangat lemah, nggak boleh terlalu stres," lanjut Tiffany.Melihat sikap Tiffany y
Tiffany tertawa, lalu menepuk bahu Kendra dan berucap, "Paman, tenang saja."Setelah berbicara dengan Tiffany, Kendra baru berbalik dan tersenyum kepada Sean. Dia berujar, "Pak Sean, kalian lihat nenek Tiffany dulu. Aku beli makan untuk kalian."Sean tersenyum seraya membalas dengan sungkan, "Terima kasih, Paman."Sesudah Kendra pergi, Charles berkomentar sembari mengernyit, "Sepertinya aku pernah melihat orang ini.""Kamu pernah melihatnya?" tanya Tiffany yang menghentikan langkahnya. Dia menatap Charles dan melanjutkan, "Nggak mungkin. Pamanku jarang datang ke kota. Kalau bukan karena Nenek sakit, Paman nggak mungkin ada di sini."Charles merenung sejenak, lalu menimpali, "Pamanmu memang sangat familier.""Mungkin kamu salah ingat," ucap Sean dengan datar. Dia menghentikan Charles untuk meneruskan ucapannya, "Ayo, kita masuk."Tiffany baru berbalik dan mengetuk pintu kamar seraya berseru, "Nek, aku Tiffany. Aku datang menjengukmu!"Bertha yang berusia hampir 70 tahun berbaring di tem
"Iya," ucap Tiffany sembari mengangguk. Asalkan Bertha tidak mengalami syok karena masalah pernikahannya, Tiffany rela melakukan apa pun.Bertha memandang Tiffany seraya menyahut, "Kamu lahirkan anak untuk Sean. Dia nggak muda lagi dan kurang sehat. Lebih bagus kalau kamu bisa lahirkan untuk Sean secepatnya. Mungkin setelah punya anak, hati Sean akan melunak."Mendengar ucapan Bertha, wajah Tiffany memerah. Dia menggigit bibirnya dan berjanji, "Nek ... aku tahu. Aku pasti akan berjuang."Sikap Tiffany yang tulus membuat Bertha tertawa. Bertha menyentil kepala Tiffany dan mengingatkan, "Ini bukan ujian, untuk apa kamu berjuang? Maksudku, kalian sudah melakukan hal itu. Ikuti arusnya saja, lebih baik kalau kamu bisa melahirkan anak untuk Sean secepatnya."Tiffany mengangguk seraya tersipu. Melihat ekspresi Tiffany yang malu, Bertha bertanya, "Kalian sudah pernah melakukannya?"Tiffany menjawab dengan hati-hati, "Kami sudah pernah berciuman ...."Sebenarnya, Indira sudah berpesan sejak Ti
Setelah rencana-rencana yang diajukan ditolak oleh Tiffany berkali-kali, Julie pun menghela napas sambil memutar mata.Julie akhirnya berucap, "Ini nggak bisa, itu nggak bisa. Gimana kalau kamu kasih obat saja? Kalau dorongan fisiologis nggak bisa dipicu, kita pakai jalur farmakologi saja.""Obatnya nggak berbahaya, 'kan?" tanya Tiffany. Dia sedikit khawatir karena kondisi tubuh Sean tidak terlalu baik.Julie lagi-lagi memutar mata sebelum membalas, "Selama dosisnya nggak berlebihan, aman kok."Tiffany bertanya lagi, "Kalau kelebihan dosis gimana?""Mungkin yang terluka justru kamu," jawab Julie.Tiffany pun terdiam. Malam itu, dia pulang sangat larut. Ketika sampai di rumah, seperti biasa Sean duduk di meja makan untuk menunggunya.Dengan langkah pelan, Tiffany berjalan ke samping Sean dan duduk di sana. Dia secara refleks mengambil sumpit dan hendak menyuapi pria itu. Namun, Sean malah menghentikannya."Aku bisa sendiri." Usai berkata demikian, Sean mengambil mangkuk dan sumpitnya se
Sean memegang gelas itu dan meminum habis air di dalamnya, tanpa menyisakan setetes pun. Setelah itu, dia menyerahkan gelas kembali ke tangan Tiffany dan bertanya, "Bukannya kamu mau bantu aku mandi?"Tiffany baru tersadar dan buru-buru menuju kamar mandi. Wanita itu menjelaskan, "Aku akan siapkan air dulu." Namun baru beberapa langkah, tangannya sudah ditarik oleh Sean."Selesaikan dulu, baru kita mandi," ucap Sean sambil menyeringai.Dalam sekejap, Tiffany ditarik ke pelukannya. Tubuh Sean yang dingin dan sedikit agresif membuat wajah Tiffany terasa seperti terbakar.Tangannya perlahan membelai wajah kecilnya yang tirus. Bentuk wajah Tiffany sangat sempurna dengan dagu runcing. Matanya yang besar, berkilau seperti boneka di etalase toko.Sentuhan Sean seakan membawa aliran listrik yang menyapu wajah Tiffany. Dia terlihat menggigit bibirnya. Berhubung tahu apa yang sedang dan akan terjadi, Tiffany merasa makin tegang hingga tubuhnya terasa kaku.Sean tersenyum dengan sedikit nakal, la
Sinar matahari menyinari masuk. Tiffany yang tidur di ranjang membalikkan tubuhnya dan menggunakan tangan menghalangi sinar matahari.Kesadaran mulai kembali. Tiffany membuka matanya dan mengernyit. Pikirannya membeku untuk sesaat. Kemudian, sekujur tubuhnya terasa sangat pegal.Semalam .... Wajah Tiffany memerah. Dia buru-buru mandi dan turun. Di bawah sana, Sean yang menutup matanya dengan sutra hitam, tampak duduk di sofa dengan tenang. Sofyan duduk di sampingnya sambil membacakan berita.Ketika mendengar suara langkah kaki Tiffany, Sean bertanya dengan suara rendah, "Sudah bangun?"Wajah Tiffany tersipu. Dia mengiakan, lalu segera berlari ke dapur."Nyonya sudah bangun?" Rika menyajikan sarapan. Dia menatap Tiffany sambil tersenyum. "Sarapan sudah siap. Tunggu saja di meja makan."Tiffany merasa tidak enak hati. Dia berkata, "Seharusnya aku yang masak sarapan."Semua ini salah Julie! Julie bilang tidak masalah kalau mengonsumsi obat itu sedikit! Hasilnya, Sean malah mengganggunya s
Sean yang duduk di kursi roda pun menatap punggung Tiffany. Tangannya tanpa sadar memegang pipinya yang dicium oleh Tiffany tadi. Dia bergumam, "Dasar bodoh."Setelah terdengar suara Genta di luar, Sofyan mendekati Sean dengan hati-hati dan bertanya, "Tuan, apa aku perlu menyiapkan obat untuk Nyonya?""Obat apa?" Sean mengangkat alisnya.Sofyan memperingatkan, "Nyonya masih muda, sedangkan kamu belum waktunya punya keturunan."Ketika menyadari aura Sean makin dingin, Sofyan mengecilkan suaranya. "Selain itu, kalau Nyonya hamil, bukankah berarti semua sesuai dengan rencana Tuan Darmawan?""Menurutmu, kalau gadis bodoh itu hamil, apa dia bakal makin bodoh?" tanya Sean tiba-tiba.Sofyan terdiam sesaat sebelum berujar, "Baik, Tuan. Aku sudah ngerti."Usai berbicara, Sofyan mengembuskan napas panjang. Sepertinya Tiffany adalah obat terbaik untuk majikannya....."Tiff, gimana semalam?" Setelah pelajaran berakhir, Julie menghampiri dan mengedipkan matanya dengan nakal. "Suamimu pasti sangat
Di bawah arahan Xavier, para penjahit di butik pengantin mulai membongkar dan menggabungkan dua gaun pengantin tersebut.Satu jam kemudian, Tiffany berdiri di depan cermin dengan mengenakan gaun pengantin yang merupakan perpaduan sempurna dari dedikasi Sean dan Niken. Dia memandang bayangannya di cermin, bibirnya melengkung dengan senyuman tipis. Ternyata, hasilnya benar-benar sangat indah.Saat ini, dia seharusnya merasa bahagia, bukan?"Bagus," komentar Niken dengan nada datar sambil melirik gaun pengantin yang dikenakan Tiffany. Dia lalu mengenakan kembali topengnya dan bangkit berdiri. "Xavier, kita pulang."Tiffany tertegun sejenak, lalu menoleh ke arahnya. "Anda mau pergi sekarang?"Niken mengangguk ringan. "Tujuanku ke sini hari ini cuma untuk melihatmu mencoba dan memilih gaun pengantin. Karena semuanya sudah selesai, tentu aku harus pergi."Tiffany menggigit bibirnya. "Aku pikir ...."Tiffany mengira Niken datang hari ini untuk mengakuinya seperti saat dia bertemu dengan Brons
Namun, kemiripan Tiffany dengan Niken hanya sebatas penampilan. Tiffany merasa, aura yang dimiliki Niken adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa dia capai seumur hidupnya.Sorot mata Niken dingin, anggun, tenang dan berwibawa. Tatapan yang mencerminkan pengalaman menyaksikan begitu banyak suka dan duka dunia, penuh kebijaksanaan dan sekaligus kehampaan.Bahkan saat menatap putri kandungnya yang sudah 19 tahun tidak dia temui, mata Niken tidak menunjukkan banyak emosi, baik kegembiraan maupun keterkejutan."Terpana?" Niken tersenyum tipis, lalu menunjuk tempat di sebelahnya. "Duduk."Tiffany menggigit bibir, lalu duduk di sisi Niken dengan sedikit canggung.Ketika kakeknya mengatakan bahwa ibunya akan datang, Tiffany telah membayangkan ribuan skenario tentang pertemuan mereka. Dia mengira pertemuan itu akan penuh emosi seperti saat dia bertemu ayahnya. Berpelukan sambil menangis tersedu-sedu.Namun .... Dia melirik ke arah wanita di sebelahnya yang ekspresinya tetap tenang dengan tak
Kendra mengangguk pelan dan melangkah mendekat. Dia ingin mengulurkan tangan untuk memeluk Tiffany, tetapi tetap ragu-ragu. Dia hanya berdiri terpaku di tempat dengan tatapan penuh kasih sayang. "Tiffany.""Paman!"Sudah lama mereka tidak bertemu. Dalam sekejap, semua perasaan yang selama ini terpendam. Kekhawatiran, rasa tertekan, ketidakberdayaan, dan kesedihan ... semua membanjiri hati Tiffany.Tanpa peduli apa pun, dia berlari ke arah Kendra dan memeluknya erat. "Paman! Aku khawatir sekali sama Paman!"Kendra mengatupkan bibirnya dengan gugup dan melirik ke arah Niken sejenak. Dia ingin memeluk Tiffany, tapi rasa takut membuatnya ragu.Bagaimanapun ... sejak asal-usul Tiffany terungkap, Kendra, seorang pengawal dari desa kecil, merasa bahwa dia tidak pantas menerima panggilan "paman" dari Tiffany.Perbedaan status mereka terlalu besar. Tiffany yang seharusnya menjadi gadis yang dimanjakan oleh takdir, justru harus menderita selama bertahun-tahun karena sebuah keputusan dari Kendra.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam. "Biar Ayah, Kakek ... dan juga Ibu ... memberikan pendapat mereka."Setelah berkata demikian, dia mengambil ponselnya dan memotret kedua foto tersebut satu per satu, lalu menyerahkannya kepada Xavier. "Kamu bantu tanyakan sama dia, ya."Fakta bahwa dia adalah putri Niken yang sebenarnya bukan lagi rahasia. Oleh karena itu, Tiffany tidak merasa perlu untuk terlalu sungkan dengan Xavier.Xavier melihat foto-foto di tangannya sambil tersenyum.Pria itu meregangkan tubuh, lalu menoleh ke arah lantai tiga. "Bibi Niken, dari dua pilihan ini, salah satunya adalah desain Anda.""Meski dia masih ragu, itu artinya di dalam proses pilihannya, dia tetap tidak bisa mengabaikan gaun pengantin yang Anda buat untuknya. Apakah Anda masih ingin terus menikmati pertunjukan ini dari atas?"Perkataan Xavier membuat Tiffany terkejut hingga matanya membelalak. Dia menoleh secara refleks ke arah lantai tiga ....Di sana dia melihat sekumpulan penjaga berbaju hitam berdiri
"Benarkah?" Tiffany merasa agak canggung, lalu merapikan sedikit bagian bawah gaunnya. "Aku merasa seperti aku bukan diriku lagi." Saat ini, gayanya memang benar-benar bertolak belakang dari dirinya yang biasa.Xavier menarik napas dalam-dalam. "Kelinci kecil, kamu harus lebih percaya diri sama dirimu sendiri. Kamu cantik sekali."Tiffany mengangguk dengan serius, begitu gugup hingga dia bahkan lupa bertanya mengapa Xavier ada di sini. Dia memalingkan wajah, melihat ke arah Julie dan Zara. "Menurut kalian gimana?""Cantik sekali." Julie tersenyum tipis sambil memberikan pendapatnya. "Tapi memang agak berbeda dari gaya yang biasa kamu pakai, jadi kamu merasa agak canggung."Zara juga mengangguk setuju. "Coba saja beberapa gaun lainnya. Mungkin di antara beberapa gaun berikutnya, ada yang membuatmu merasa lebih nyaman."Tiffany mengangguk serius. Baru saja dia hendak berbalik menuju ruang ganti, Xavier memanggilnya. "Kelinci kecil!" Tiffany terkejut dan menoleh ke belakang.Klik.Saat ga
"Terlihat jelas bahwa desainer dari ketiga gaun itu menyukai elemen bintang, bunga kecil, dan bunga lily."Julie mengangguk setuju. Sesaat kemudian, dia mengedipkan mata kepada Zara dan berkata, "Kudengar kamu cukup akrab dengan Xavier. Apa dia pernah memberitahumu kalau kepala keluarganya suka dengan elemen-elemen ini?"Begitu mendengar nama Xavier, Zara langsung memutar bola matanya. "Aku nggak akrab dengannya!"Pria itu adalah orang paling aneh dan sulit ditebak yang pernah ditemuinya. Zara sama sekali tidak ingin mengenalnya, apalagi akrab dengannya!"Omonganmu ini membuatku sedih sekali." Begitu Zara melontarkan ucapannya, tiba-tiba terdengar suara pria dengan nada nakal.Zara dan Julie pun terperanjat. Kedua gadis itu refleks memandang ke arah sumber suara, lalu menemukan Xavier bersandar di pagar lantai tiga sambil menatap mereka."Kak Zara, kita pernah minum kopi dan yoghurt bersama, bahkan pernah naik pesawat bersama. Masa kamu bilang kita nggak akrab? Hatiku bisa terluka lho.
Dua hari kemudian, Tiffany akhirnya bisa mencoba gaun pengantinnya di butik.Saat hendak keluar rumah pagi itu, Sean mengatur sekelompok pengawal untuk menemani Tiffany.Tiffany mengenakan sepatunya sambil menatap Sean dengan bingung. "Kalau kamu merasa nggak aman, kenapa nggak kamu saja yang menemaniku?"Memilih gaun pengantin adalah momen penting. Sebenarnya, Tiffany sangat berharap suaminya ada di sisinya."Kalau aku pergi, keberadaanku akan memengaruhi penilaianmu." Sean mendekat, lalu berjongkok untuk mengikat tali sepatu Tiffany dengan cekatan. "Selain itu, aku punya hal penting yang harus kuurus hari ini."Tiffany memanyunkan bibirnya, lalu menunduk menatap wajah serius Sean saat mengikat tali sepatunya. "Kamu yakin nggak mau ikut?""Ya." Sean tersenyum tipis, lalu mendongak menatap Tiffany. "Aku sangat menantikan melihatmu mengenakan gaun pengantin. Tapi, aku lebih berharap itu menjadi kejutan di hari pernikahan kita."Tiffany akhirnya menerima alasan itu, meskipun dengan seten
Tiffany menggigit bibirnya. "Mereka sudah pergi.""Hm." Bronson tersadar dari lamunannya, lalu mengusap kepala Tiffany dengan lembut. "Mungkin karena mereka tahu aku ada di sini."Dengan sifat Nancy, dia tidak mungkin datang dengan gaya seheboh ini hanya untuk mencari informasi. Kedatangannya seharusnya untuk bertemu Tiffany dan Sean.Namun, karena Bronson dan Derek berada di sini, mereka pun memutuskan untuk pergi. Bronson menghela napas panjang, merasa agak getir.Setelah bertahun-tahun berlalu, Nancy masih tidak bisa melepaskan simpul di hatinya. Sebenarnya, Bronson tidak akan menyalahkannya atas kejadian tahun itu. Sebaliknya, dia merasa tidak tega pada Nancy.Lagi pula, apa haknya untuk menyalahkan dan membenci Nancy? Jika bukan karena menikah dengan pria seperti dia, yang bertindak tanpa memikirkan konsekuensi, Nancy tidak akan mengalami perlakuan seperti itu.Bronson menunduk, menatap wajah Tiffany yang sangat mirip dengan Nancy. Seketika, sebuah senyuman pahit tersungging di bi
Saat Tiffany tiba di lokasi yang dipotret oleh Xavier, sosok Xavier dan Kendra sudah tidak terlihat lagi. Yang tersisa hanyalah iring-iringan mobil yang melaju pergi.Tiffany memandang ke arah mobil-mobil itu pergi dengan kedua tangan terkepal erat. Dia memegang ponselnya dan mencoba menelepon Xavier dengan tangan bergetar.Begitu telepon tersambung, Xavier malah langsung memutusnya. Beberapa saat kemudian, masuk pesan dari Xavier.[ Ketika waktunya tiba, kita pasti akan bertemu. Nggak usah terburu-buru. ]Tiffany menggertakkan giginya dengan geram. Bagaimana mungkin dia tidak terburu-buru? Jika Sanny tidak menyuruh Genta menjebak Sean sebelumnya, dia pasti sudah tiba di Kota Zimbab dan pergi ke rumah Keluarga Rimbawan untuk mencari pamannya.Kini, Kendra telah kembali ke kota Aven. Bagaimana mungkin dia bisa berdiam diri? Selain itu, dari foto yang dikirimkan oleh Xavier tadi, pamannya itu jelas-jelas menatap rumah Keluarga Tanuwijaya. Pamannya berdiri di dekat rumahnya, menatap ke ar