Tiffany tertawa, lalu menepuk bahu Kendra dan berucap, "Paman, tenang saja."Setelah berbicara dengan Tiffany, Kendra baru berbalik dan tersenyum kepada Sean. Dia berujar, "Pak Sean, kalian lihat nenek Tiffany dulu. Aku beli makan untuk kalian."Sean tersenyum seraya membalas dengan sungkan, "Terima kasih, Paman."Sesudah Kendra pergi, Charles berkomentar sembari mengernyit, "Sepertinya aku pernah melihat orang ini.""Kamu pernah melihatnya?" tanya Tiffany yang menghentikan langkahnya. Dia menatap Charles dan melanjutkan, "Nggak mungkin. Pamanku jarang datang ke kota. Kalau bukan karena Nenek sakit, Paman nggak mungkin ada di sini."Charles merenung sejenak, lalu menimpali, "Pamanmu memang sangat familier.""Mungkin kamu salah ingat," ucap Sean dengan datar. Dia menghentikan Charles untuk meneruskan ucapannya, "Ayo, kita masuk."Tiffany baru berbalik dan mengetuk pintu kamar seraya berseru, "Nek, aku Tiffany. Aku datang menjengukmu!"Bertha yang berusia hampir 70 tahun berbaring di tem
"Iya," ucap Tiffany sembari mengangguk. Asalkan Bertha tidak mengalami syok karena masalah pernikahannya, Tiffany rela melakukan apa pun.Bertha memandang Tiffany seraya menyahut, "Kamu lahirkan anak untuk Sean. Dia nggak muda lagi dan kurang sehat. Lebih bagus kalau kamu bisa lahirkan untuk Sean secepatnya. Mungkin setelah punya anak, hati Sean akan melunak."Mendengar ucapan Bertha, wajah Tiffany memerah. Dia menggigit bibirnya dan berjanji, "Nek ... aku tahu. Aku pasti akan berjuang."Sikap Tiffany yang tulus membuat Bertha tertawa. Bertha menyentil kepala Tiffany dan mengingatkan, "Ini bukan ujian, untuk apa kamu berjuang? Maksudku, kalian sudah melakukan hal itu. Ikuti arusnya saja, lebih baik kalau kamu bisa melahirkan anak untuk Sean secepatnya."Tiffany mengangguk seraya tersipu. Melihat ekspresi Tiffany yang malu, Bertha bertanya, "Kalian sudah pernah melakukannya?"Tiffany menjawab dengan hati-hati, "Kami sudah pernah berciuman ...."Sebenarnya, Indira sudah berpesan sejak Ti
Setelah rencana-rencana yang diajukan ditolak oleh Tiffany berkali-kali, Julie pun menghela napas sambil memutar mata.Julie akhirnya berucap, "Ini nggak bisa, itu nggak bisa. Gimana kalau kamu kasih obat saja? Kalau dorongan fisiologis nggak bisa dipicu, kita pakai jalur farmakologi saja.""Obatnya nggak berbahaya, 'kan?" tanya Tiffany. Dia sedikit khawatir karena kondisi tubuh Sean tidak terlalu baik.Julie lagi-lagi memutar mata sebelum membalas, "Selama dosisnya nggak berlebihan, aman kok."Tiffany bertanya lagi, "Kalau kelebihan dosis gimana?""Mungkin yang terluka justru kamu," jawab Julie.Tiffany pun terdiam. Malam itu, dia pulang sangat larut. Ketika sampai di rumah, seperti biasa Sean duduk di meja makan untuk menunggunya.Dengan langkah pelan, Tiffany berjalan ke samping Sean dan duduk di sana. Dia secara refleks mengambil sumpit dan hendak menyuapi pria itu. Namun, Sean malah menghentikannya."Aku bisa sendiri." Usai berkata demikian, Sean mengambil mangkuk dan sumpitnya se
Sean memegang gelas itu dan meminum habis air di dalamnya, tanpa menyisakan setetes pun. Setelah itu, dia menyerahkan gelas kembali ke tangan Tiffany dan bertanya, "Bukannya kamu mau bantu aku mandi?"Tiffany baru tersadar dan buru-buru menuju kamar mandi. Wanita itu menjelaskan, "Aku akan siapkan air dulu." Namun baru beberapa langkah, tangannya sudah ditarik oleh Sean."Selesaikan dulu, baru kita mandi," ucap Sean sambil menyeringai.Dalam sekejap, Tiffany ditarik ke pelukannya. Tubuh Sean yang dingin dan sedikit agresif membuat wajah Tiffany terasa seperti terbakar.Tangannya perlahan membelai wajah kecilnya yang tirus. Bentuk wajah Tiffany sangat sempurna dengan dagu runcing. Matanya yang besar, berkilau seperti boneka di etalase toko.Sentuhan Sean seakan membawa aliran listrik yang menyapu wajah Tiffany. Dia terlihat menggigit bibirnya. Berhubung tahu apa yang sedang dan akan terjadi, Tiffany merasa makin tegang hingga tubuhnya terasa kaku.Sean tersenyum dengan sedikit nakal, la
Sinar matahari menyinari masuk. Tiffany yang tidur di ranjang membalikkan tubuhnya dan menggunakan tangan menghalangi sinar matahari.Kesadaran mulai kembali. Tiffany membuka matanya dan mengernyit. Pikirannya membeku untuk sesaat. Kemudian, sekujur tubuhnya terasa sangat pegal.Semalam .... Wajah Tiffany memerah. Dia buru-buru mandi dan turun. Di bawah sana, Sean yang menutup matanya dengan sutra hitam, tampak duduk di sofa dengan tenang. Sofyan duduk di sampingnya sambil membacakan berita.Ketika mendengar suara langkah kaki Tiffany, Sean bertanya dengan suara rendah, "Sudah bangun?"Wajah Tiffany tersipu. Dia mengiakan, lalu segera berlari ke dapur."Nyonya sudah bangun?" Rika menyajikan sarapan. Dia menatap Tiffany sambil tersenyum. "Sarapan sudah siap. Tunggu saja di meja makan."Tiffany merasa tidak enak hati. Dia berkata, "Seharusnya aku yang masak sarapan."Semua ini salah Julie! Julie bilang tidak masalah kalau mengonsumsi obat itu sedikit! Hasilnya, Sean malah mengganggunya s
Sean yang duduk di kursi roda pun menatap punggung Tiffany. Tangannya tanpa sadar memegang pipinya yang dicium oleh Tiffany tadi. Dia bergumam, "Dasar bodoh."Setelah terdengar suara Genta di luar, Sofyan mendekati Sean dengan hati-hati dan bertanya, "Tuan, apa aku perlu menyiapkan obat untuk Nyonya?""Obat apa?" Sean mengangkat alisnya.Sofyan memperingatkan, "Nyonya masih muda, sedangkan kamu belum waktunya punya keturunan."Ketika menyadari aura Sean makin dingin, Sofyan mengecilkan suaranya. "Selain itu, kalau Nyonya hamil, bukankah berarti semua sesuai dengan rencana Tuan Darmawan?""Menurutmu, kalau gadis bodoh itu hamil, apa dia bakal makin bodoh?" tanya Sean tiba-tiba.Sofyan terdiam sesaat sebelum berujar, "Baik, Tuan. Aku sudah ngerti."Usai berbicara, Sofyan mengembuskan napas panjang. Sepertinya Tiffany adalah obat terbaik untuk majikannya....."Tiff, gimana semalam?" Setelah pelajaran berakhir, Julie menghampiri dan mengedipkan matanya dengan nakal. "Suamimu pasti sangat
Setelah mengatakan ini, Garry merasa dirinya sangat konyol. Ketika Tiana meneleponnya, Garry khawatir sesuatu terjadi pada Tiffany. Dia menelepon Tiffany, bahkan mencarinya di kampus.Setelah menemukan Tiffany, Garry malah mendengar gadis ini bercerita tentang hubungan ranjang dengan wajah tersipu."Eee ...." Tiffany menepuk dahinya dengan gusar. "Aku lupa tentang pekerjaan paruh waktuku!"Usai berbicara, Tiffany menyingkirkan lengan Julie yang diletakkan di atas bahunya, lalu hendak pergi bekerja.Julie mengernyit dan meraih tangan Tiffany. "Ngapain kamu ke sana lagi? Bukannya semua sudah beres?"Nenek Tiffany telah bertemu Sean. Dia tidak marah dan penyakitnya tidak kambuh, melainkan menyuruh Tiffany cepat melahirkan keturunan untuk Sean.Itu artinya, Tiffany tidak perlu takut pada ancaman Thalia lagi, apalagi membayar biaya pengobatan untuk Vernon. Tiffany tidak kekurangan uang. Untuk apa dia bekerja susah payah di panti jompo?Tatapan Tiffany terlihat dipenuhi tekad saat berucap, "
Makin dipahami, Garry hanya makin menyiksa diri sendiri. Ketika mereka baru kenal, sorot mata Tiffany kepadanya juga dipenuhi binar bahagia. Kenapa sekarang semua berubah?Teman Garry bahkan pernah menggodanya, "Sepertinya adik kelasmu sangat menyukaimu. Kamu nggak mau menyatakan cinta?"Garry malah tersenyum tipis sambil menyahut, "Banyak adik kelas yang menyukaiku."....Kini, tatapan Tiffany saat menatapnya masih dipenuhi kekaguman, tetapi cintanya telah diberikan kepada pria lain.Mobil segera tiba di panti jompo. Garry mengantar Tiffany sampai ke tempat kerjanya, lalu baru pergi."Tsk, tsk, tsk. Ternyata kamu diantar pria tampan ya?" Tiana tersenyum dingin sambil menyerahkan setumpuk seprai yang harus dicuci. "Kamu nggak datang kemarin, makanya bisa sebanyak itu."Tiffany merasa pusing melihat seprai yang menumpuk itu. Dia bertanya, "Mesin cucinya masih rusak ya?"Hari itu, Tiffany mencuci seprai sampai sore hari. Ketika pulang, pergelangan tangannya sakit sekali. Apalagi, seprai
Saat ketiganya sudah menjauh dari lokasi kebakaran, warga desa sudah tiba. Orang-orang dari klub fotografi juga sudah kembali.Warga desa sibuk memadamkan api. Sementara itu, Julie bergegas mendekat dengan mata merah. "Tiffany!" panggilnya.Di belakang Tiffany, Sean menurunkan Zara yang pingsan karena menghirup asap ke tanah. Dia berkata, "Panggil dokter."Chelsea menyahut sambil mengangguk, "Dokter sudah dalam perjalanan!"Kobaran api kian membesar. Semua orang mundur ke jalan kecil di luar halaman. Tiffany masih memegang kamera berharga di tangannya."Kenapa bisa tiba-tiba kebakaran? Tanah di pegunungan lembap, seharusnya nggak mudah terbakar!" ucap Chelsea sambil mondar-mandir dengan gelisah.Sean mengambil handuk yang diberikan Julie dan menyeka noda jelaga di wajahnya sambil berkata, "Nggak aneh kalau ada seseorang yang sengaja menyulut api.""Zara!" Tepat ketika Sean selesai bicara, Penny menyeruak dari tengah kerumunan. Dia langsung menggenggam tangan Zara, cemas saat melihat ba
Sebelum Tiffany menyelesaikan ucapannya, Sean melihat gadis mencurigakan tadi mengeluarkan benda kecil dari sakunya. Mata pria itu membelalak. Benda itu adalah korek api!Gadis itu melempar korek api ke tanah yang sudah dibasahi bensin. Seketika, api mulai berkobar. Api menyala di belakang rumah, jadi Tiffany yang berdiri di depan dan membelakangi rumah sama sekali tidak sadar.Sean mengeratkan pegangannya di ponsel dan berseru, "Cepat lari!"Tiffany tertegun. Mengapa Sean menyuruhnya lari? Dia refleks menoleh ke belakang. Api yang menyentuh bensin membubung tinggi ke langit. Seantero rumah seakan-akan sudah dilahap mulut yang tidak berwujud.Sean melempar ponselnya dan melompat dari beranda sambil berteriak, "Tiffany, lari!"Namun, gadis itu sepertinya tidak mendengar seruannya. Tiffany melepas mantel dan mencelupkannya ke dalam tangki air. Kemudian, dia bergegas masuk ke dalam rumah yang tengah terbakar dengan menutupi hidung dan mulutnya. Zara masih tidur di dalam!"Uhuk, uhuk, uhuk
Tiffany tidak tahu mengapa Zara tiba-tiba mengatakan hal ini padanya. Namun, dia balas tersenyum dan berkata, "Istirahatlah." Usai berkata begitu, gadis itu mengambil ponselnya dan keluar.Sekarang sudah pukul 8 malam. Tiffany sudah berjanji akan menelepon Sean pada pukul 7 malam untuk melaporkan keadaannya. Entah pria itu akan marah atau tidak karena dirinya terlambat satu jam penuh.Tiffany berdiri di halaman. Sambil bersandar di dinding, dia mengambil ponsel dan menelepon suaminya.Di sebelah kiri halaman, ada vila yang disewa oleh klub fotografi. Saat ini vila itu masih gelap gulita. Di sebelah kanan, ada vila yang konon sudah disewakan ke seorang konglomerat. Vila itu terang benderang.Sean duduk di beranda vila, memandang gadis yang berdiri di halaman yang diterangi sinar rembulan. Saat melihat ponselnya berdering, dia tersenyum tipis."Akhirnya mau menghubungiku?" tanya Sean."Maaf, Sayang. Aku nggak bermaksud lupa buat telepon ...," ucap Tiffany, langsung meminta maaf.Pukul 7
Tiffany mengernyit. Meskipun hatinya enggan, dia tidak enak hati menolak Zara di depan banyak orang.Selain itu, Tiffany lebih familier dengan jalan-jalan di desa pada malam hari. Jadi, dia tidak perlu khawatir Zara macam-macam padanya."Oke," sahut Tiffany sambil mengangguk dengan ragu. Kemudian, dia menatap Julie dan berkata, "Habis makan kamu juga cepat kembali, ya."Julie mengernyit dan mengangguk pelan."Ayo jalan," ajak Tiffany.Zara memikul ranselnya dan berjalan menuju vila bersama Tiffany.Malam hari di desa sangat sepi. Yang terdengar di telinga hanyalah suara air, gemeresik dedaunan, suara langkah kaki mereka, dan suara hewan di kejauhan. Zara menghirup udara segar di sana. Suasana hatinya cukup baik."Kudengar kamu tumbuh besar di desa, ya?" tanya Zara dengan tenang.Tiffany mengernyit saat mendengar pertanyaannya. Dia berjalan di depan sambil membawa senter dan menjawab singkat, "Ya.""Lingkungan desa sebenarnya cukup menyenangkan. Daripada di kota, aku lebih suka desa yan
Tiffany mengernyit jengkel. Apa maksudnya dengan tidak peka? Waktu pacaran Samuel dan Julie bahkan belum mencapai sebulan.Selama jangka waktu ini, sikap Samuel pada Julie juga tidak sehangat saat dia masih mengejar gadis itu sebelumnya. Apa haknya untuk menuntut sekamar dengan Julie?Lagi pula, hubungan Samuel dan Julie belum berkembang ke tahap itu. Bahkan jika hubungan keduanya sudah semaju itu, atas dasar apa Samuel bisa meminta Tiffany tidur di luar sendirian sementara dirinya dan Julie tidur di dalam?Chelsea duduk di sebelah Tiffany dan tertawa kecil. Dia berucap, "Samuel, apa maksudmu dengan nggak peka? Kalau nggak ada gadis lain yang sekamar denganku, aku pasti sudah tukar tempat denganmu dan tidur dengan mereka berdua."Samuel mengambil pecahan kaca dan membalas dengan kepala tertunduk, "Aku pacarnya Julie. Apa salahnya kalau aku ingin tidur dengannya?" Jika bukan demi memperdalam hubungannya dengan Julie, buat apa dia repot-repot mengikuti kegiatan klub fotografi ini?"Ada s
Siapa sangka, setelah Zara selesai bicara, Samuel yang merupakan salah satu penanggung jawab klub fotografi mengangguk dan berkata, "Kurasa kata-kata Zara ada benarnya."Semua orang terkejut. Samuel, Tiffany, dan Julie adalah orang-orang pertama yang memilih kamar. Jika alokasi kamar disesuaikan dengan urutan pendaftaran, mereka akan mendapatkan kamar terbaik. Namun, sekarang pemuda itu malah setuju untuk melakukan cabut undi.Orang-orang di vila terdiam untuk beberapa saat. Akhirnya, salah satu gadis penanggung jawab menghela napas dan berucap dengan pasrah, "Okelah, ayo cabut undi."Di antara belasan orang ini, enam orang harus tinggal di rumah desa. Lantaran hari sudah larut, semua orang segera melakukan cabut undi.Hasilnya, gadis penanggung jawab klub fotografi dan temannya, serta Julie, Tiffany, Samuel, dan seorang pemuda lainnya harus tinggal di rumah desa itu.Saat beberapa orang itu tengah berkemas, Penny mengejek Tiffany dengan nada puas, "Kamu memang paling cocok tinggal di
Entah disengaja atau tidak, Samuel mengerahkan cukup tenaga hingga Zara hampir terjatuh ke dalam pelukannya. Untungnya, Zara sempat menstabilkan tubuhnya dengan memegang lengan Samuel sehingga hal itu tidak terjadi."Terima kasih," ujar Zara dengan raut pucat.Samuel membalas dengan wajah tersipu, "Sama-sama.""Cowok jelek, kamu cari kesempatan untuk menyentuh Zara!" seru Penny sambil memelototi Samuel. Dia segera mendekat, lalu menarik Zara pergi.Sebelum beranjak pergi, Zara melirik Samuel sekali lagi. Dia melihat binar antusias dan kegembiraan di mata pemuda itu.Mata Zara berkilat dingin. Jadi, pemuda itu pacar Julie? Tidak ada bagus-bagusnya."Ayo jalan," ucap Julie sambil mengernyit. Dia mendekat sambil membawa kopernya.Tiffany menghampiri temannya dan bertanya dengan alis berkerut, "Kamu lihat kejadian tadi, 'kan?" Dia memandang dengan cemas ke arah Samuel yang masih mengambil barang-barang dari bus bersama orang-orang klub fotografi."Biarpun dia hanya berniat membantu, dia bi
Zara mengenakan gaun panjang bunga-bunga warna putih dan topi matahari. Dengan wajah dan penampilannya yang feminin, dia terlihat sangat menawan saat memandang ke luar jendela.Samuel juga tertegun untuk sesaat saat melihat Zara. Sebelumnya, dia hanya tahu bahwa Julie cantik dan Tiffany manis.Samuel tidak tahu ternyata ada gadis secantik Zara di kelas mereka. Kecantikan gadis itu berbeda jauh dengan Julie. Zara sangat memesona, anggun, dan elegan.Begitu melihat kedua orang itu di dalam bus, Tiffany sontak bertanya sambil mengernyit, "Apa mereka juga anggota klub fotografi?"Seingat Tiffany, Zara baru pindah ke sini beberapa hari lalu. Sejak kapan dia menjadi anggota klub fotografi?Lamunan Samuel buyar. Dia berdeham dan menjawab, "Mereka baru gabung beberapa hari lalu, aku juga baru tahu.""Mungkin karena kita pergi, jadi mereka sengaja ikut. Seperti hantu saja, nempel terus sama kita," ucap Julie sambil mengangkat bahu. Dia memutar bola matanya dengan galak ke arah kedua orang itu.
Akhir bulan tiba dengan cepat. Pada hari keberangkatan klub fotografi, Tiffany bangun pagi-pagi sekali.Ini adalah pertama kalinya Tiffany bepergian jauh setelah menikah. Perjalanan ke desa tempo hari juga jauh, tetapi bagaimanapun itu adalah kampung halamannya. Kegiatan klub fotografi di Kabupaten Purjaga ini barulah bepergian jauh yang sebenarnya.Pagi-pagi buta, Rika sudah bangun untuk menyiapkan barang-barang Tiffany. Dari pakaian dalam, pakaian anti UV, hingga jas hujan. Semua Rika kemas hingga memenuhi dua koper besar.Sambil mengeluarkan barang-barang di dalam koper, Tiffany berucap dengan malu pada Rika, "Aku hanya pergi tiga hari dua malam, nggak perlu bawa sebanyak ini."Rika menggeleng dan membalas, "Bu Tiffany, cuaca di pegunungan nggak menentu. Gimana kalau tiba-tiba panas, lalu tiba-tiba dingin? Gimana kalau hujan? Gimana kalau ada topan?"Tiffany kehilangan kata-kata. Meski merasa Rika terlalu cemas berlebihan, hatinya terasa hangat.Saat Tiffany masih tinggal bersama ke