Jika ada ranjang di depannya sekarang, Tiffany pasti akan langsung menjatuhkan diri untuk tidur sepuasnya! Setelah bersusah payah menyuapi Sean hingga selesai, barulah dia kembali ke tempat duduknya untuk makan sendiri. Namun selama sarapan, beberapa kali Tiffany hampir saja ketiduran.Begitu sampai di kampus, Tiffany yang biasanya sangat serius mengikuti pelajaran, untuk pertama kalinya merasa ingin tidur di kelas. Dia benar-benar sangat mengantuk. Di kelasnya, tidak banyak mahasiswa yang bisa serius dalam mendengarkan pelajaran sepertinya. Jadi, kalau dia tidur selama satu pelajaran saja, sepertinya tidak masalah, 'kan?Namun, kenyataan tidak seindah yang dia bayangkan. Pelajaran pertama adalah kalkulus. Dosen kalkulus menyuruh Tiffany berdiri dengan tegas, "Di kelas ini, cuma kamu yang benar-benar serius belajar. Sekarang kamu juga mau menyerah? Berdiri dan dengarkan pelajaran! Renungkan kesalahanmu!"Tiffany tidak punya pilihan selain berdiri dalam keadaan setengah sadar dan menden
Julie merasa sangat kesal. Memang begitulah sifat Tiffany, keras kepala, kolot, dan rendah diri."Kalau begini terus, kamu bisa mati kecapekan," kata Julie."Makanya kamu jangan marah-marah sama aku lagi." Tiffany tersenyum tipis sambil memandang Julie. "Setelah selesai makan nanti, aku masih harus ke panti jompo."Julie mengacak nasi di piring Tiffany dengan kesal sambil berkata, "Kamu bisa santai sedikit nggak? Aku nggak mau hadiri pemakamanmu secepat ini."Tiffany paham bahwa Julie berniat baik. Oleh karena itu, dia memberikan paha ayam dari piringnya kepada Julie. "Sudah, ayo cepat makan. Bukannya kamu masih harus ke kelas nari nanti sore?""Huh!"Setelah selesai makan dengan Julie, Tiffany bergegas naik bus menuju panti jompo. Karena terlalu mengantuk, Tiffany akhirnya ketiduran di bus. Saat terbangun lagi, busnya telah mencapai pemberhentian terakhir.Merasa tidak berdaya, Tiffany terpaksa menusuk punggung telapak tangannya dengan jarum untuk mengingatkan dirinya untuk tidak keti
Menurut Garry, Tiffany yang menikah dengan pria tua kaya seharusnya hidup dengan kemewahan, bukannya kelelahan seperti ini. Bukankah kata orang, pria tua lebih menyayangi istrinya? Apa suami Tiffany tidak memberinya uang? Atau bahkan memperlakukannya dengan buruk?"Nggak ada yang perlu dipertimbangkan soal sepadan atau nggak," jawab Tiffany dengan lelah sambil bersandar pada kursi mobil. Dia sudah kehabisan energi untuk berbicara, apalagi untuk mengobrol panjang lebar dengan Garry. "Kak, aku terlalu capek. Biarkan aku tidur sebentar."Setelah itu, Tiffany langsung menutup matanya dan dalam sekejap sudah tertidur di kursi penumpang. Dia benar-benar kelelahan. Seharian penuh tanpa istirahat, ditambah dengan kerja keras di panti jompo membuatnya merasa seperti seluruh energinya terkuras habis.Di kursi pengemudi, Garry menatap Tiffany yang tertidur melalui kaca spion. Sebuah perasaan tidak nyaman yang menyelinap di hatinya.Saat hampir tiba di persimpangan menuju Vila Swan Lake, sebuah ke
Bukan karena Garry terlalu pengecut, melainkan karena mempertaruhkan dirinya demi seorang wanita bersuami seperti Tiffany benar-benar tidak sebanding. Dia menarik napas panjang, kemudian memutuskan telepon dan langsung memutar arah mobilnya menuju Vila Swan Lake.Sementara itu, dari bawah lampu jalan, seorang remaja berpakaian putih yang tersembunyi mendengus dingin. Dia menyimpan pisau lemparnya dan meluncur pergi dengan skateboard-nya....."Ah, lapar sekali ...."Di vila Keluarga Tanuwijaya. Tiffany terbangun karena aroma makanan yang menggugah selera."Kamu sudah bangun?" Suara Sean yang dingin terdengar di telinganya. "Sudah waktunya kamu suapin aku."Tiffany tertegun sejenak sebelum bangkit dari meja. Saat itu, dia sedang duduk di meja makan vila Keluarga Tanuwijaya dan tubuhnya bersandar di atas meja.Dengan mata yang tertutup oleh kain hitam, Sean duduk anggun sambil memegang cangkir teh dan meminumnya dengan perlahan.Tiffany benar-benar kelaparan. "Boleh nggak aku makan dulu
Gadis itu mengenakan gaun tidur putih yang mengembang di dalam air yang jernih, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Rambut panjangnya yang hitam berkilau mengambang perlahan di dalam air.Sean menyipitkan matanya, lalu mengulurkan tangan dan menariknya keluar dari air. Kemudian, dia menggendong Tiffany dengan langkah cepat menuju tempat tidur."Panggil Dokter Charles ke sini," perintahnya sambil menutup telepon internal.Setelah itu, dia duduk di tepi tempat tidur dan mengelap tetesan air di wajah Tiffany dengan hati-hati. Meskipun Tiffany sudah pingsan karena kelelahan, dia tetap saja tidak mau membuka diri kepada Sean dan tidak ingin menceritakan apa yang sebenarnya sedang dia alami.Tiffany selalu mengatakan ingin menghabiskan hidup bersama Sean. Namun kenyataannya, dia tidak pernah benar-benar menganggap Sean sebagai suaminya. Bahkan sebagai teman pun bukan.Bagi Tiffany, Sean hanyalah seorang majikan. Seseorang yang dia anggap sebagai "penolong" yang harus dibalas. Betapa
"Ngomong-ngomong, ada kamar untukku menginap semalam? Dia sudah kelelahan begini, setidaknya kamu harus kasih dia istirahat dulu malam ini, bukan?" Charles bertanya sambil melirik Tiffany yang masih tertidur.Sean mengangguk pelan. Awalnya, dia memang berniat tidak membiarkan Tiffany beristirahat. Dia berharap Tiffany akan menyerah dan akhirnya mengungkapkan semua masalahnya. Sean mengira dengan cara seperti ini, Tiffany akan belajar untuk berbagi masalahnya dengannya.Namun, dia tidak menyangka gadis kecil ini jauh lebih gigih dari yang dibayangkannya. Tiffany bahkan lebih memilih untuk pingsan karena kelelahan daripada mengeluh atau meminta bantuan. Meskipun penampilannya tampak begitu lembut dan sederhana, sifat keras kepalanya benar-benar membuat Sean tak berdaya."Ini pertama kalinya aku menginap di rumahmu, 'kan? Luar biasa." Charles tertawa ringan, lalu meletakkan tangannya di bahu Sean. "Ternyata setelah menikah, kamu jadi lebih manusiawi."Kemudian, seolah menyadari sesuatu, C
Padahal suasana hati Sean sangat buruk semalam, tapi dia tidak membangunkan Tiffany saat ketiduran. Sebaliknya, dia menyuruh orang lain untuk memindahkannya ke tempat tidur. Ternyata Sean juga bisa menunjukkan sisi lembutnya.Tiffany adalah gadis yang mudah merasa puas. Dia tersenyum kecil dan turun ke lantai bawah dengan perasaan senang.Di ruang tamu, Sean yang mengenakan pakaian serba hitam, sedang duduk bersandar di sofa sambil menikmati secangkir teh. Di sebelahnya duduk seorang pria berpakaian putih yang sedang berbicara tanpa henti tentang gosip Keluarga Tanuwijaya."Tahu nggak, beberapa hari belakangan ini, Michael jadi bahan tertawaan di kalangan sosialita," ujar pria berbaju putih itu."Dia itu cucu tertua dari Keluarga Tanuwijaya. Di usianya yang sudah hampir 30, dia baru dapat kendali atas sebuah perusahaan dari kakeknya. Belum lama dia memimpin, tiba-tiba Keluarga Sanskara datang dan membuatnya malu. Bukan cuma harga dirinya yang tercoreng, perusahaannya pun diambil kembal
Ini adalah pertama kalinya Sean melihat Tiffany tertawa selepas itu. Bukan senyuman yang terpaksa di hadapannya, bukan pula senyuman yang dipaksakan saat bersama Keluarga Tanuwijaya. Kali ini, tawa Tiffany benar-benar tulus dari hatinya dan tanpa dipaksakan.Sinar matahari yang masuk melalui jendela menyinari sosok gadis itu. Rambut hitamnya terlihat berkilauan. Sehelai rambut menggantung di sisi telinganya, berayun lembut mengikuti irama tawanya. Tanpa sadar, Sean mengulurkan tangan untuk menyelipkan rambut itu ke belakang telinganya, memperlihatkan sisi wajah Tiffany yang mulus.Sebelumnya, semua perhatian Tiffany tertuju pada Charles dan Chaplin. Namun begitu Sean menyentuhnya, Tiffany langsung tersadar. Setelah menyadari apa yang terjadi, wajah gadis itu memerah tanpa disadari."Terima kasih," ucapnya pelan. Beberapa saat kemudian, dia mengerutkan kening dan bertanya, "Kenapa ... kamu bisa tahu ...."Sean seharusnya tidak bisa melihat, 'kan? Bagaimana dia bisa tahu ada sehelai ramb
Setelah satu jam berusaha, akhirnya hasil kerja Sean bisa dianggap layak. Dia menatap setumpuk kecil kulit pangsit berbentuk bulat di atas meja dengan penuh kepuasan. "Sebenarnya, aku cukup berbakat juga."Tiffany meliriknya dengan ekspresi meremehkan. "Kamu bilang ini bakat?"Namun ....Saat dia melihat tangan besar milik Sean, dia bisa memahami betapa sulitnya bagi pria ini untuk menggiling adonan kecil seperti itu.Setelah semua pangsit selesai dibentuk, Tiffany segera menuju dapur untuk merebus air. Sean membawa piring berisi pangsit ke dapur dengan hati-hati.Lalu, dia berdiri di belakang Tiffany dan menemaninya melihat air di dalam panci perlahan mendidih hingga gelembung-gelembung kecil mulai bermunculan di permukaannya.Rumah Tiffany memang kecil, begitu juga dapurnya. Saat dia sendirian, dapur ini terasa cukup luas baginya. Namun, begitu Sean di sini, tubuh pria itu yang tinggi dan tegap menghalangi cahaya di dalam dapur.Ruangan itu jadi terasa kecil dan sempit.Tiffany menge
Julie buru-buru mengirimkan sebuah pesan.[ Sean di rumahmu? Belajar ini dari kamu? ]Tiffany tertegun sejenak, lalu mengirimkan emotikon pasrah.[ Arleen mau traktir dia makan pangsit. ]Julie kehabisan kata-kata.[ Sepertinya putrimu itu sama kayak kamu. Bucin! ]Tiffany mengerucutkan bibirnya.[ Enak saja. Dia itu karena pernah makan stroberi darinya, jadi kepengen lagi. ][ Julie: Hahaha. Tapi bagus juga sih. Sean biasanya pria yang nggak ngerjain pekerjaan rumah. Sekarang malah mau belajar beginian sama kamu dan ngerjain kerjaan rumah tangga. Sudah termasuk ada perubahan. ][ Tiff, boleh pertimbangkan untuk maafin dia. ]Tiffany mencibir.[ Siapa yang dulunya nyuruh aku jangan terlalu mudah maafin dia? ][ Julie: Sekarang sudah beda sama dulu! Kalau ada pria yang rela melakukan perubahan seperti ini demi aku, aku pasti sudah nikah sama dia! ][ Tiffany: Sudah kutangkap layar, mau kirim ke Mark. ]Julie terdiam."Lagi ngobrol sama siapa?" Tiba-tiba, terdengar suara Sean yang rendah
Saat Tiffany kembali ke rumah dengan membawa pakaian, dia melihat Arlo sedang mengajari Sean menggiling adonan pangsit dengan ekspresi penuh ketidaksabaran. "Begini, begini."Tangan mungilnya menunjukkan caranya di atas adonan sambil membimbing Sean sedikit demi sedikit. Gaya mengajarnya persis sama seperti cara Tiffany mengajarinya dulu.Tiffany yang berdiri di ambang pintu, melihat pemandangan itu dengan perasaan yang hangat.Putranya yang kecil ini baru belajar menggiling adonan setengah tahun lalu. Saat itu, alasan Arlo ingin belajar sangatlah sederhana. Itu karena Arlene suka makan pangsit, dan setiap kali membuatnya, Tiffany selalu harus bekerja sendiri dan terlihat sangat lelah.Jadi, bocah itu meminta Tiffany mengajarinya agar bisa membantu. Siapa sangka, hanya dalam beberapa bulan, dia sekarang bisa mengajari ayahnya sendiri?"Astaga, kenapa kamu bodoh sekali!"Saat Tiffany masih terdiam dalam lamunannya, suara kesal Arlo terdengar. Secara refleks, dia mengangkat kepalanya.Se
Arlo memutar matanya. "Kamu sengaja."Sean menatapnya sekilas. "Kenapa kamu begitu yakin?""Hmph, pria licik!"....Tiffany mengambil kartu akses dan membuka pintu apartemen Sean. Ruangan itu rapi dan bersih, sangat mencerminkan gaya hidupnya. Dia melepas sepatunya, lalu masuk ke kamar tidur.Ini pertama kalinya dia berada di kamar apartemen Sean. Sama seperti yang dia bayangkan, interior serba hitam dan putih, khas gaya Sean sejak dulu.Di sudut kamar, meja kerja masih menyala dengan laptop yang terbuka. Tiffany mengerutkan kening, lalu menyentuh permukaan laptop yang masih terasa panas. Dia melirik waktu terakhir sistemnya digunakan. Pukul 04:30 dini hari.Laptop ini sudah nyala selama ini?Setelah menarik napas panjang, Tiffany mulai menyimpan semua dokumen yang masih terbuka, lalu mematikan laptopnya. "Tagihan listrik di sini pasti mahal ...," gumamnya pelan.Namun, saat hendak menutup layar, matanya terpaku pada wallpaper desktop. Itu adalah foto pernikahan mereka lima tahun lalu.
"Kakak, Paman Ganteng! Sini bantuin!"Saat Arlo dan Sean masih ingin melanjutkan percakapan mereka, terdengar suara yang lembut dari luar pintu.Arlene yang tingginya bahkan belum mencapai pegangan pintu, berdiri di luar dengan mengenakan piama berwarna merah muda. Dengan tangannya yang mungil, dia mengetuk pintu dengan penuh semangat."Mama sibuk sekali sendirian! Sebagai pria, kalian berdua harus bantu! Kalau nggak bantu, berarti bukan pria sejati!"Di dalam ruangan, Arlo dan Sean saling bertatapan.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang pria dewasa dan seorang bocah laki-laki keluar dari dalam kamar."Aku benar-benar curiga kalau Paman Ganteng ini adalah Papa Kakak ...." Melihat dua orang dengan gaya berjalan yang identik berjalan ke dalam rumah mereka, Arlene bergumam sendirian.Namun, Mama bilang bahwa dia dan Kakak punya Papa yang sama.Gadis kecil itu menggelengkan kepalanya. Terlalu disayangkan!Seandainya saja Paman Ganteng adalah Papa Kakak, aku bisa melihatnya setiap hari
"Aku sering dengar dia nangis sendirian di malam hari sambil memeluk sebuah foto. Foto itu ...."Arlo mengatupkan bibirnya. "Di foto itu, ibuku pakai baju kelinci berwarna pink. Kamu berdiri di sampingnya dan dia tersenyum sangat indah. Tapi, aku nggak pernah lihat Mama senyum seperti itu sebelumnya.Sean tertegun dan tidak berbicara lagi. Sebenarnya, dia ingat foto yang dibicarakan Arlo. Itu adalah foto yang diambil saat pertama kali dia membawa Tiffany ke Keluarga Japardi dan dia menari di hadapan Derek.Meskipun lima tahun telah berlalu .... Dia masih ingat dengan jelas saat itu.Itu adalah masa-masa terindah dan tanpa beban dalam hubungannya dengan Tiffany. Namun, setelah itu ....Mereka tidak pernah bisa merasakan kebahagiaan yang sama lagi.Keluarga Japardi, Keluarga Rimbawan, dan Keluarga Tanuwijaya.Perselisihan dan konflik di antara mereka telah memisahkan hubungan yang seharusnya bisa mereka pertahankan .... Mata Sean diliputi kesedihan yang mendalam."Pak Sean." Arlo menatap
"Paman Ganteng, kenapa kamu kelihatannya nggak senang?"Setelah beberapa saat hening, suara lembut Arlene terdengar di dalam lift. "Paman, apa kamu sama seperti Mama? Terlalu banyak orang yang mendekatimu, jadi kamu merasa sangat terganggu?"Tiffany terdiam.Sean mengangkat alisnya dengan santai, lalu menatap Tiffany dengan sorot mata penuh godaan sebelum kembali berjongkok dan menatap Arlene dengan lembut."Iya, benar sekali. Ada seorang wanita jahat yang ngasih nomor telepon Paman kepada seorang wanita yang mengejar-ngejar Paman. Sekarang Paman sangat terganggu."Arlene berkedip beberapa kali, lalu memiringkan kepalanya sambil berpikir keras. Setelah beberapa saat, matanya berbinar. "Oh, aku mengerti!""Ini seperti waktu Mama selalu menerima telepon ajakan kencan di malam hari, 'kan? Itu sangat mengganggu!"Sean tersenyum tipis. "Ya, persis seperti itu.""Wanita itu benar-benar jahat!" Arlene mengepalkan tinjunya dengan marah. "Paman jangan sedih, biar Arlene undang Paman makan pangs
Langit sudah gelap dan lampu di lorong apartemen sangat redup. Tiffany tidak terlalu memperhatikan siapa orang di belakangnya. Saat pintu apartemen terbuka, Arlo dan Arlene langsung masuk lebih dulu.Tiffany mengikuti dari belakang. Tepat setelah mereka bertiga masuk, sosok pria yang sedari tadi mengikuti mereka juga ikut masuk ke dalam lift.Di dalam lift, pencahayaan terang benderang. Secara refleks, Tiffany menoleh ke pria itu ...."Wah, Paman Ganteng! Kamu juga baru pulang?" Suara polos Arlene menggema di dalam lift.Sean tersenyum tipis, lalu berjongkok agar sejajar dengan Arlene. "Gimana? Stroberinya enak?"Tiffany terkejut.Di bawah cahaya terang lift, Tiffany bisa melihat dengan jelas bahwa Arlene sama sekali tidak memiliki noda stroberi di pakaiannya. Bajunya bersih. Gadis kecil itu baru saja berlarian di taman dan yang tersisa di tubuhnya hanya aroma rumput segar.Lalu kenapa Sean bisa tahu bahwa dia baru saja makan stroberi?Kecuali ....Sebuah firasat buruk meluap dalam hat
Tiffany dan Xavier mengobrol sangat lama di lapangan rumput di depan taman kanak-kanak. Begitu lama hingga Arlene sudah menghabiskan sepiring kecil stroberi dan kini ikut berlari-lari bersama Arlo, membawa remot kontrol dan bermain dengan helikopter mainannya."Mama, Arlene lapar!"Saat langit mulai gelap, Arlene akhirnya merasa lelah. Dengan langkah kecilnya, dia berlari ke arah Tiffany dengan wajah penuh kepolosan dan mata besar yang berkedip manja."Mama, Arlene mau pulang makan pangsit!""Pulanglah." Xavier melirik jam tangan mewah di pergelangannya dan mengangguk. "Waktunya memang sudah malam.""Anak-anak masih harus sekolah besok.""Kita juga belum makan malam!" Arlene menambahkan dengan sangat serius. Tiffany melempar tatapan sinis. "Siapa tadi yang sudah menghabiskan begitu banyak stroberi dari Paman Xavier, tapi sekarang sudah lapar lagi?"Arlene langsung merajuk dan mengerucutkan bibirnya. "Buah itu bukan makanan sungguhan, Mama. Itu nggak bikin kenyang!""Kamu yang rakus!"A