Tiffany sama sekali tidak memahami berita mengenai dunia bisnis. Setelah membacanya sejenak, dia akhirnya terlelap di dipan ranjang. Saat ketiduran, mulutnya masih terus menggumamkan berita yang sedang dibacanya.Tiffany bersandar pada bantal di sampingnya. Sean memandangnya dengan tatapan yang dalam cukup lama, hingga akhirnya dia mengulurkan tangan untuk menyelimutinya. "Suami istri harus saling percaya. Kamu nggak percaya padaku, makanya nggak beri tahu aku semua yang kamu lakukan."Dia mengusap lembut rambut Tiffany, merasa ada jarak di antara mereka. "Kalau kamu nggak bisa percaya dan bergantung padaku sepenuhnya, aku juga nggak akan membiarkanmu tetap berada di sisiku terlalu lama."Sambil menatapnya, ingatan Sean kembali pada belasan tahun yang lalu. Saat itu, dia masih berusia 8 tahun dan sedang duduk di kursi belakang mobil sambil mendengar orang tuanya bertengkar."Kalau kamu percaya padaku, nggak seharusnya kamu diam-diam melakukan hal ini di belakangku!""Aku nggak mau kamu
Jika ada ranjang di depannya sekarang, Tiffany pasti akan langsung menjatuhkan diri untuk tidur sepuasnya! Setelah bersusah payah menyuapi Sean hingga selesai, barulah dia kembali ke tempat duduknya untuk makan sendiri. Namun selama sarapan, beberapa kali Tiffany hampir saja ketiduran.Begitu sampai di kampus, Tiffany yang biasanya sangat serius mengikuti pelajaran, untuk pertama kalinya merasa ingin tidur di kelas. Dia benar-benar sangat mengantuk. Di kelasnya, tidak banyak mahasiswa yang bisa serius dalam mendengarkan pelajaran sepertinya. Jadi, kalau dia tidur selama satu pelajaran saja, sepertinya tidak masalah, 'kan?Namun, kenyataan tidak seindah yang dia bayangkan. Pelajaran pertama adalah kalkulus. Dosen kalkulus menyuruh Tiffany berdiri dengan tegas, "Di kelas ini, cuma kamu yang benar-benar serius belajar. Sekarang kamu juga mau menyerah? Berdiri dan dengarkan pelajaran! Renungkan kesalahanmu!"Tiffany tidak punya pilihan selain berdiri dalam keadaan setengah sadar dan menden
Julie merasa sangat kesal. Memang begitulah sifat Tiffany, keras kepala, kolot, dan rendah diri."Kalau begini terus, kamu bisa mati kecapekan," kata Julie."Makanya kamu jangan marah-marah sama aku lagi." Tiffany tersenyum tipis sambil memandang Julie. "Setelah selesai makan nanti, aku masih harus ke panti jompo."Julie mengacak nasi di piring Tiffany dengan kesal sambil berkata, "Kamu bisa santai sedikit nggak? Aku nggak mau hadiri pemakamanmu secepat ini."Tiffany paham bahwa Julie berniat baik. Oleh karena itu, dia memberikan paha ayam dari piringnya kepada Julie. "Sudah, ayo cepat makan. Bukannya kamu masih harus ke kelas nari nanti sore?""Huh!"Setelah selesai makan dengan Julie, Tiffany bergegas naik bus menuju panti jompo. Karena terlalu mengantuk, Tiffany akhirnya ketiduran di bus. Saat terbangun lagi, busnya telah mencapai pemberhentian terakhir.Merasa tidak berdaya, Tiffany terpaksa menusuk punggung telapak tangannya dengan jarum untuk mengingatkan dirinya untuk tidak keti
Menurut Garry, Tiffany yang menikah dengan pria tua kaya seharusnya hidup dengan kemewahan, bukannya kelelahan seperti ini. Bukankah kata orang, pria tua lebih menyayangi istrinya? Apa suami Tiffany tidak memberinya uang? Atau bahkan memperlakukannya dengan buruk?"Nggak ada yang perlu dipertimbangkan soal sepadan atau nggak," jawab Tiffany dengan lelah sambil bersandar pada kursi mobil. Dia sudah kehabisan energi untuk berbicara, apalagi untuk mengobrol panjang lebar dengan Garry. "Kak, aku terlalu capek. Biarkan aku tidur sebentar."Setelah itu, Tiffany langsung menutup matanya dan dalam sekejap sudah tertidur di kursi penumpang. Dia benar-benar kelelahan. Seharian penuh tanpa istirahat, ditambah dengan kerja keras di panti jompo membuatnya merasa seperti seluruh energinya terkuras habis.Di kursi pengemudi, Garry menatap Tiffany yang tertidur melalui kaca spion. Sebuah perasaan tidak nyaman yang menyelinap di hatinya.Saat hampir tiba di persimpangan menuju Vila Swan Lake, sebuah ke
Bukan karena Garry terlalu pengecut, melainkan karena mempertaruhkan dirinya demi seorang wanita bersuami seperti Tiffany benar-benar tidak sebanding. Dia menarik napas panjang, kemudian memutuskan telepon dan langsung memutar arah mobilnya menuju Vila Swan Lake.Sementara itu, dari bawah lampu jalan, seorang remaja berpakaian putih yang tersembunyi mendengus dingin. Dia menyimpan pisau lemparnya dan meluncur pergi dengan skateboard-nya....."Ah, lapar sekali ...."Di vila Keluarga Tanuwijaya. Tiffany terbangun karena aroma makanan yang menggugah selera."Kamu sudah bangun?" Suara Sean yang dingin terdengar di telinganya. "Sudah waktunya kamu suapin aku."Tiffany tertegun sejenak sebelum bangkit dari meja. Saat itu, dia sedang duduk di meja makan vila Keluarga Tanuwijaya dan tubuhnya bersandar di atas meja.Dengan mata yang tertutup oleh kain hitam, Sean duduk anggun sambil memegang cangkir teh dan meminumnya dengan perlahan.Tiffany benar-benar kelaparan. "Boleh nggak aku makan dulu
Gadis itu mengenakan gaun tidur putih yang mengembang di dalam air yang jernih, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Rambut panjangnya yang hitam berkilau mengambang perlahan di dalam air.Sean menyipitkan matanya, lalu mengulurkan tangan dan menariknya keluar dari air. Kemudian, dia menggendong Tiffany dengan langkah cepat menuju tempat tidur."Panggil Dokter Charles ke sini," perintahnya sambil menutup telepon internal.Setelah itu, dia duduk di tepi tempat tidur dan mengelap tetesan air di wajah Tiffany dengan hati-hati. Meskipun Tiffany sudah pingsan karena kelelahan, dia tetap saja tidak mau membuka diri kepada Sean dan tidak ingin menceritakan apa yang sebenarnya sedang dia alami.Tiffany selalu mengatakan ingin menghabiskan hidup bersama Sean. Namun kenyataannya, dia tidak pernah benar-benar menganggap Sean sebagai suaminya. Bahkan sebagai teman pun bukan.Bagi Tiffany, Sean hanyalah seorang majikan. Seseorang yang dia anggap sebagai "penolong" yang harus dibalas. Betapa
"Ngomong-ngomong, ada kamar untukku menginap semalam? Dia sudah kelelahan begini, setidaknya kamu harus kasih dia istirahat dulu malam ini, bukan?" Charles bertanya sambil melirik Tiffany yang masih tertidur.Sean mengangguk pelan. Awalnya, dia memang berniat tidak membiarkan Tiffany beristirahat. Dia berharap Tiffany akan menyerah dan akhirnya mengungkapkan semua masalahnya. Sean mengira dengan cara seperti ini, Tiffany akan belajar untuk berbagi masalahnya dengannya.Namun, dia tidak menyangka gadis kecil ini jauh lebih gigih dari yang dibayangkannya. Tiffany bahkan lebih memilih untuk pingsan karena kelelahan daripada mengeluh atau meminta bantuan. Meskipun penampilannya tampak begitu lembut dan sederhana, sifat keras kepalanya benar-benar membuat Sean tak berdaya."Ini pertama kalinya aku menginap di rumahmu, 'kan? Luar biasa." Charles tertawa ringan, lalu meletakkan tangannya di bahu Sean. "Ternyata setelah menikah, kamu jadi lebih manusiawi."Kemudian, seolah menyadari sesuatu, C
Padahal suasana hati Sean sangat buruk semalam, tapi dia tidak membangunkan Tiffany saat ketiduran. Sebaliknya, dia menyuruh orang lain untuk memindahkannya ke tempat tidur. Ternyata Sean juga bisa menunjukkan sisi lembutnya.Tiffany adalah gadis yang mudah merasa puas. Dia tersenyum kecil dan turun ke lantai bawah dengan perasaan senang.Di ruang tamu, Sean yang mengenakan pakaian serba hitam, sedang duduk bersandar di sofa sambil menikmati secangkir teh. Di sebelahnya duduk seorang pria berpakaian putih yang sedang berbicara tanpa henti tentang gosip Keluarga Tanuwijaya."Tahu nggak, beberapa hari belakangan ini, Michael jadi bahan tertawaan di kalangan sosialita," ujar pria berbaju putih itu."Dia itu cucu tertua dari Keluarga Tanuwijaya. Di usianya yang sudah hampir 30, dia baru dapat kendali atas sebuah perusahaan dari kakeknya. Belum lama dia memimpin, tiba-tiba Keluarga Sanskara datang dan membuatnya malu. Bukan cuma harga dirinya yang tercoreng, perusahaannya pun diambil kembal