"Khawatir ...." Tiffany menguap lagi dan hampir saja menceritakan tentang masalahnya dengan Thalia. Namun kemudian, dia tersadar dan segera menutup mulutnya.Akal sehatnya mengatakan bahwa masalah ini tidak boleh diberitahukan kepada Sean. Mengeluh tentang uang kepadanya akan terlihat seperti meminta uang secara tidak langsung.Jadi, dia tersenyum dan mencoba mengalihkan perhatian dengan berkata, "Aku cuma khawatir sama ujian fisika hari ini.""Aku memang nggak pandai fisika," tambahnya dengan agak gugup. Bulu matanya bergetar dan pandangannya terlihat bingung.Sean mengerutkan kening, tetapi memutuskan untuk tidak membongkar kebohongannya. "Kalau begitu, sebaiknya kamu belajar baik-baik."Tiffany berpikir sejenak, lalu melanjutkan, "Apa aku bisa pulang lebih lambat setelah sekolah nanti? Nggak usah suruh Pak Genta jemput aku. Aku mau belajar di perpustakaan, lalu pulang sendiri naik bus. Boleh?"Setiap hari dijemput oleh Genta terasa lebih seperti sebuah pengawasan dan penghalang kebe
Vernon tampak sangat ketakutan, terlihat dari fakta bahwa dia tidak berani memberi tahu Thalia soal dia dipukuli karena Tiffany. Saat Tiffany berbalik untuk keluar dari kamar, dia sengaja tersenyum pada Vernon. Pria itu langsung meringkuk ketakutan dan menjatuhkan bubur di tangannya."Mana uangnya?" Begitu keluar dari kamar, Thalia langsung menunjukkan niat aslinya, "Cepat serahkan."Tiffany terpaksa menyerahkan amplop berisi 600 ribu itu. "Bibi, tolong pegang janjimu."Thalia mendengus, "Selama kamu bayar tepat waktu, aku pasti akan jaga mulutku di depan nenekmu!"Selesai berbicara, Thalia masih sempat melirik Tiffany dengan sinis dan berpikir,' Padahal sudah menikahi orang kaya, tapi masih saja sepelit itu saat dimintai uang.'Setelah memberikan uang itu, Tiffany tidak merasa ada yang perlu dibicarakan lagi. Jadi, dia segera memutuskan untuk pergi. Saat melewati lobi di lantai satu, dia bertemu dengan Garry yang sudah lama tidak dia temui."Tiffany!" teriak Garry dari kejauhan.Awaln
"Eee ... anu, aku seharusnya melepaskan bajuku dulu atau bajumu dulu?" tanya Tiffany Maheswari dengan hati-hati. Dia berdiri di depan kamar mandi dan hanya membalut tubuhnya dengan handuk.Malam ini adalah malam pertamanya. Pria di depan sana, yang duduk di kursi roda dan menutup matanya dengan sutra hitam adalah suaminya.Ini pertama kalinya Tiffany bertemu calon suaminya. Parasnya lebih tampan daripada yang terlihat di foto. Hidungnya mancung, alisnya tebal, tubuhnya tinggi dan tegap. Ini adalah tipe pria Tiffany.Sayang sekali, pria itu buta dan duduk di kursi roda. Ada yang mengatakan bahwa Sean Tanuwijaya adalah pembawa sial. Ketika berusia 9 tahun, orang tuanya meninggal karenanya. Ketika berusia 13 tahun, kakaknya meninggal karenanya. Kemudian, 3 wanita yang pernah menjadi calon istrinya juga mati.Ketika mendengar rumor ini, Tiffany sangatlah takut. Namun, pamannya bilang mereka baru bisa mengobati penyakit neneknya jika dia menikah dengan Sean. Demi neneknya, Tiffany bersedia
Tiffany bertanya dengan heran, "Kalau aku keluar, kamu bisa mandi sendirian?"Bukannya pria ini tidak bisa melihat apa pun? Sean tidak berbicara, tetapi suasana menjadi makin menegangkan.Tiffany bisa merasakan kemarahan Sean. Dia melepaskan handuk gosoknya, lalu berucap sebelum pergi, "Kalau begitu, kamu hati-hati ya. Panggil aku kalau butuh bantuan."Setelah keluar dari kamar mandi, Tiffany tampak gelisah dan terus memandang ke arah kamar mandi. Bagaimana kalau Sean terjatuh dan mati di dalam sana? Mereka baru menikah. Tiffany tidak ingin menjadi janda.Ketika Tiffany sedang mencemaskan Sean, ponselnya tiba-tiba berdering. Ternyata sahabatnya, Julie, mengirimnya sebuah video. Judul video itu adalah materi pelajaran.Materi pelajaran? Tiffany mengkliknya dengan heran sambil bertanya-tanya dalam hati, 'Ujian masih lama. Untuk apa mengirimnya materi pelajaran sekarang?'"Um ... ah ... hm ...." Begitu video diputar, terlihat seorang wanita bersandar di atas tubuh seorang pria ....Wajah
Kemudian, Tiffany berbalik untuk kembali ke dapur. Kedua pelayan itu segera menghentikannya. "Nyonya, nggak perlu."Mereka digaji untuk masak, tetapi semua sudah disiapkan oleh Tiffany. Kalau sampai Sean tahu soal ini, bukankah mereka akan dipecat?"Nyonya, aku dan Rika bertanggung jawab masak sarapan. Kamu baru datang ke rumah ini, nggak mungkin tahu selera Tuan. Sebaiknya jangan membuat masalah di dapur," ujar salah seorang pelayan dengan kesal.Pelayan bernama Rika itu segera menyahut, "Ya, Bibi Prisa benar. Sebaiknya Nyonya istirahat saja.""Tuan nggak makan makanan seperti ini. Dia selalu sarapan roti lapis, ham, dan susu. Sarapan yang Nyonya buat terlalu kuno," ucap Prisa sambil memandang sarapan yang terlihat hambar itu.Ekspresi Tiffany tampak heran sesaat, lalu menjadi suram. Dia menunduk dan mengiakan. "Kalian benar."Orang kaya memang suka bergaya. Di kampusnya, para siswa kaya saja tidak pernah pergi ke kantin untuk makan, apalagi orang sekaya Sean. Tiffany merasa dirinya s
Suara Sean terdengar sangat dingin, seolah-olah ingin membekukan seluruh ruang makan. Saat berikutnya, buk! Prisa berlutut di lantai dan berujar dengan mata merah, "A ... aku nggak seharusnya bicara begitu dengan Nyonya ...."Sean memang terlihat baik. Namun, jika dia marah, tidak ada yang bisa menanggung amarahnya.Prisa meneruskan, "Tapi, aku nggak berniat jahat! Aku cuma nggak ingin Nyonya masak karena takut dia lelah ...."Sean tersenyum sambil menghadap Prisa dan bertanya, "Makanya, kamu sengaja merusak suasana hati istri baru yang masak untuk suaminya?"Suasana di ruang makan menjadi hening untuk sesaat. Perkataan Sean ini bukan hanya mengejutkan Rika dan Prisa, tetapi Tiffany juga memelotot terkejut. Sean sedang membelanya?Prisa ketakutan hingga gemetaran. Dia menyahut, "A ... aku nggak bermaksud begitu .... Aku nggak membuang masakan Nyonya. Aku dan Rika memakannya ...."Senyuman Sean menjadi makin dingin. Dia mengejek, "Sepertinya kamu lebih mirip majikan di sini daripada aku
Setelah tersadar kembali, Tiffany memungut ponselnya dengan panik. Dia mendongak menatap Garry, lalu bertanya, "Kak, rupanya kamu kerja di sini?"Garry menyunggingkan senyuman manis. Dia mengelus kepala Tiffany dengan penuh kasih sayang sambil menegur, "Sebenarnya berapa usiamu? Kenapa ceroboh seperti anak kecil?""Dua puluh tahun," jawab Tiffany dengan mata berbinar-binar.Garry memalingkan wajah dan terkekeh-kekeh, lalu bertanya, "Kenapa kamu datang ke rumah sakit?"Tiffany menunjuk ruangan di belakang sambil membalas, "Temanku sedang mengobrol dengan kakak sepupunya."Garry melirik jam dan berujar, "Sudah waktunya jam makan siang. Temanmu mungkin nggak akan keluar secepat itu. Kebetulan aku mau makan siang. Gimana kalau kutraktir?"Tiffany berpikir sejenak, lalu mengetuk pintu untuk berpamitan dengan Julie, "Aku pergi sebentar."Garry berjalan di depan dengan wajah berseri-seri dan Tiffany mengikuti dari belakang. Sepertinya dari SMA 2, Tiffany sudah mengagumi pria ini.Saat itu, pe
Suasana di vila menjadi menegangkan. Sean melirik beberapa botol obat di atas meja. Tebersit kilatan dingin di matanya saat berkata, "Ternyata istriku pergi ke rumah sakit demi aku. Aku malah menyalahkanmu."Tiffany tidak bodoh. Dia tentu memahami makna tersirat pada ucapan Sean. Sean memberi isyarat tangan kepada pelayan di samping. Kepala pelayan segera menghampiri dan mengambil beberapa botol obat itu.Tiffany merasa kurang percaya diri. Dia bertanya, "Kamu menyuruh kepala pelayan menyimpannya karena nggak ingin makan ya?"Tiffany bisa merasakan kekesalan pada Sean. Sean tersenyum tipis dan berujar, "Makan saja dulu."Suara Sean terdengar sangat dingin dan rendah. Hal ini membuat Tiffany merasa gugup. Sepertinya, pria ini benar-benar marah.Tiffany mengepalkan tangan dengan erat. Mereka baru menikah 2 hari, tetapi dia sudah membawakan obat untuk Sean. Apakah ini terkesan kurang pantas? Apakah Sean mengira Tiffany membelikannya obat karena tidak menyukai kondisinya?Tiba-tiba, Tiffan