Tiffany mengerutkan kening. "Bisa nggak, lain kali nggak usah suruh orang untuk jemput aku lagi? Aku sudah pelajari rute busnya. Dari kampus ke rumah cuma perlu dua kali ganti bus. Mudah saja," lanjutnya.Sean tersenyum tipis. "Apakah dengan naik bus, teman-temanmu akan berhenti menggosipkanmu?"Tiffany terkejut. "Kamu ... tahu semuanya?" Namun setelah dipikir-pikir, jika Sean bisa mengirim ayah Leslie untuk menjemputnya, tentu dia juga sudah mengetahui apa yang terjadi di sekolah.Menyadari hal itu, Tiffany diam-diam mencuri pandang ke arah Sean. Awalnya, Tiffany mengira harus merawat Sean seumur hidup karena telah menikahinya. Namun sekarang, dia semakin merasa bahwa Sean adalah orang yang sulit ditebak.Bahkan sebagai orang yang sehat, Tiffany merasa justru dia yang lebih banyak mendapatkan perhatian dari Sean ....Sean tersenyum tipis lagi. "Kamu benar-benar mengira aku ini pria buta yang nggak peduli dengan apa yang terjadi di luar sana?" Nada bicara Sean terdengar agak mencemooh
Tiffany sibuk di dapur selama satu setengah jam. Setelah menaruh hidangan terakhir di meja makan, dia menatap masakan yang tersaji dengan penuh kepuasan, lalu berlari kecil ke arah Sean. "Aku sudah selesai. Kamu mau makan sekarang atau nanti?"Suara Tiffany yang manis menyapa telinga Sean dan dia menjawab dengan tersenyum, "Sekarang.""Kudorong ke meja makan ya," kata Tiffany dengan suara yang penuh semangat. "Aku masak masakan andalanku malam ini. Coba cicipi dan beri tahu aku mana yang paling kamu sukai. Aku bisa memasaknya setiap hari untukmu!"Sambil berbicara, dia mendorong kursi roda Sean ke meja makan. Setelah sampai di sana, Tiffany menyerahkan sebuah sendok dengan senyum lebar. Namun kemudian, dia merasa ada yang kurang tepat. "Oh, aku lupa kamu nggak bisa lihat .... Gimana kalau kusuapi saja?"Sean meliriknya dengan tenang dan tidak bersuara, tetapi dia menyerahkan sendoknya kepada Tiffany dengan patuh. Tiffany mengambil sendok itu dengan hati-hati, lalu mengambil sedikit ika
"Kalau kamu kangen sama Nenek, datang saja sendiri. Jangan bawa Sean dulu," ucap Kendra.Hati Tiffany perlahan-lahan semakin cemas. Dia berkata dengan suara rendah, "Aku mengerti."Baru saja Tiffany menutup telepon dari pamannya, bibinya telah meneleponnya. Ini sudah ke-60 kalinya Thalia meneleponnya dalam beberapa hari terakhir. Berhubung kampus Tiffany terlalu besar dan Thalia tidak tahu di mana tempat tinggalnya, satu-satunya cara adalah terus-menerus membombardirnya dengan panggilan telepon.Tiffany meletakkan ponselnya di atas meja dan menatap layar yang menampilkan nama "Bibi Thalia" dengan perasaan kacau. Setelah beberapa saat, panggilan itu akhirnya berhenti. Namun, Thalia mengirimkan sebuah pesan teks.[ Nak, aku tahu apa yang paling kamu takuti sekarang. Kalau kamu nggak mau nenekmu tahu kamu menikahi seorang pria buta, bawa uang ke sini! ]Tiffany mengernyit dan merasa tubuhnya mulai dingin saat membaca pesan tersebut. Pamannya baru saja memperingatkannya untuk tidak membiar
Vernon baru dirawat selama tiga hari, mana mungkin biayanya bisa mencapai 200 juta?Di ujung telepon, Thalia terdengar meremehkan. "Kenapa nggak mungkin? Vernon mengalami cedera serius pada ... bagian pentingnya ...." Thalia tiba-tiba tersadar bahwa topik ini sangat memalukan. Dia kemudian berdeham sejenak dan mengalihkan pembicaraan, "Pokoknya, Vernon terluka parah."Namun, suara Thalia tiba-tiba berhenti sejenak. "Tunggu, kenapa kamu bisa tahu Vernon sudah tiga hari dirawat?"Thalia bahkan tidak memberi tahu Kendra soal Vernon yang terluka parah setelah berkelahi dan hampir kehilangan alat vitalnya. Selama beberapa hari ini, Tiffany juga tidak pernah mengangkat teleponnya. Ini adalah pertama kalinya Thalia menyebutkan tentang Vernon yang dirawat di rumah sakit.Jadi, bagaimana Tiffany bisa tahu bahwa Vernon sudah dirawat selama tiga hari?"Kamu tahu sesuatu tentang Vernon yang dipukuli, bukan?" Suara Thalia tiba-tiba meninggi. "Jangan-jangan kamu terlibat dalam masalah ini?"Tiffany
"Besok akan kuantarkan langsung ke kamar pasien untukmu." Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, "Kamu kirimkan saja alamatnya padaku nanti."Setelah menutup telepon, Tiffany duduk bersandar di bawah pohon besar di taman kecil dan mencoba untuk menenangkan diri. Hanya Tuhan yang tahu seberapa banyak mental yang terkuras saat dia berbicara dengan Thalia tadi!Tiffany memiliki kelemahan, yaitu pikirannya sering kali lambat dalam menanggapi situasi. Misalnya, saat bertengkar dengan seseorang, dia sering kali baru menemukan cara untuk membalas argumen itu setelah orang tersebut pergi.Setelah beberapa kali mengalami hal ini, Tiffany menyadari bahwa dia bukan tipe orang yang pandai berdebat atau bersiasat. Oleh karena itu, dia selalu berusaha untuk menghindari masalah dan tidak memulai konflik jika memang bisa dihindari.Ucapan yang dikatakannya kepada Thalia di telepon tadi adalah hasil dari renungannya selama beberapa hari menolak menjawab telepon dari Thalia. Namun, memikir
"Khawatir ...." Tiffany menguap lagi dan hampir saja menceritakan tentang masalahnya dengan Thalia. Namun kemudian, dia tersadar dan segera menutup mulutnya.Akal sehatnya mengatakan bahwa masalah ini tidak boleh diberitahukan kepada Sean. Mengeluh tentang uang kepadanya akan terlihat seperti meminta uang secara tidak langsung.Jadi, dia tersenyum dan mencoba mengalihkan perhatian dengan berkata, "Aku cuma khawatir sama ujian fisika hari ini.""Aku memang nggak pandai fisika," tambahnya dengan agak gugup. Bulu matanya bergetar dan pandangannya terlihat bingung.Sean mengerutkan kening, tetapi memutuskan untuk tidak membongkar kebohongannya. "Kalau begitu, sebaiknya kamu belajar baik-baik."Tiffany berpikir sejenak, lalu melanjutkan, "Apa aku bisa pulang lebih lambat setelah sekolah nanti? Nggak usah suruh Pak Genta jemput aku. Aku mau belajar di perpustakaan, lalu pulang sendiri naik bus. Boleh?"Setiap hari dijemput oleh Genta terasa lebih seperti sebuah pengawasan dan penghalang kebe
Vernon tampak sangat ketakutan, terlihat dari fakta bahwa dia tidak berani memberi tahu Thalia soal dia dipukuli karena Tiffany. Saat Tiffany berbalik untuk keluar dari kamar, dia sengaja tersenyum pada Vernon. Pria itu langsung meringkuk ketakutan dan menjatuhkan bubur di tangannya."Mana uangnya?" Begitu keluar dari kamar, Thalia langsung menunjukkan niat aslinya, "Cepat serahkan."Tiffany terpaksa menyerahkan amplop berisi 600 ribu itu. "Bibi, tolong pegang janjimu."Thalia mendengus, "Selama kamu bayar tepat waktu, aku pasti akan jaga mulutku di depan nenekmu!"Selesai berbicara, Thalia masih sempat melirik Tiffany dengan sinis dan berpikir,' Padahal sudah menikahi orang kaya, tapi masih saja sepelit itu saat dimintai uang.'Setelah memberikan uang itu, Tiffany tidak merasa ada yang perlu dibicarakan lagi. Jadi, dia segera memutuskan untuk pergi. Saat melewati lobi di lantai satu, dia bertemu dengan Garry yang sudah lama tidak dia temui."Tiffany!" teriak Garry dari kejauhan.Awaln
Tiffany menganggukkan kepala dengan wajah tersipu, "Jadi, apa Kakak punya rekomendasi kerja paruh waktu yang bagus?"Garry mendongak untuk melihat sekilas papan nama di depannya. "Kita sudah sampai. Makan dulu baru dibicarakan lagi."Tiffany terpaksa mengangguk dan mengikutinya masuk. Saat sedang makan, dia terlihat agak tidak fokus. Pikirannya terus teringat pada kejadian saat makan malam terakhir bersama kakak kelasnya. Terakhir kali dia makan malam dengan kakak kelasnya, Sean langsung mengetahuinya.Apakah kali ini dia juga akan mengetahuinya? Apakah dia akan melakukan hal yang sama seperti terakhir kali, meneleponnya dan mengirim orang untuk membawanya pulang?Sepanjang makan malam, Tiffany tidak menerima kabar apa pun dari Sean meski sudah merasa was-was."Karena kamu belajar keperawatan, aku bisa rekomendasikan kamu untuk kerja paruh waktu sebagai perawat di sebuah panti jompo," kata Garry setelah makan. "Kebetulan aku punya teman yang kerja di panti jompo itu. Di sana banyak low
Saat ketiganya sudah menjauh dari lokasi kebakaran, warga desa sudah tiba. Orang-orang dari klub fotografi juga sudah kembali.Warga desa sibuk memadamkan api. Sementara itu, Julie bergegas mendekat dengan mata merah. "Tiffany!" panggilnya.Di belakang Tiffany, Sean menurunkan Zara yang pingsan karena menghirup asap ke tanah. Dia berkata, "Panggil dokter."Chelsea menyahut sambil mengangguk, "Dokter sudah dalam perjalanan!"Kobaran api kian membesar. Semua orang mundur ke jalan kecil di luar halaman. Tiffany masih memegang kamera berharga di tangannya."Kenapa bisa tiba-tiba kebakaran? Tanah di pegunungan lembap, seharusnya nggak mudah terbakar!" ucap Chelsea sambil mondar-mandir dengan gelisah.Sean mengambil handuk yang diberikan Julie dan menyeka noda jelaga di wajahnya sambil berkata, "Nggak aneh kalau ada seseorang yang sengaja menyulut api.""Zara!" Tepat ketika Sean selesai bicara, Penny menyeruak dari tengah kerumunan. Dia langsung menggenggam tangan Zara, cemas saat melihat ba
Sebelum Tiffany menyelesaikan ucapannya, Sean melihat gadis mencurigakan tadi mengeluarkan benda kecil dari sakunya. Mata pria itu membelalak. Benda itu adalah korek api!Gadis itu melempar korek api ke tanah yang sudah dibasahi bensin. Seketika, api mulai berkobar. Api menyala di belakang rumah, jadi Tiffany yang berdiri di depan dan membelakangi rumah sama sekali tidak sadar.Sean mengeratkan pegangannya di ponsel dan berseru, "Cepat lari!"Tiffany tertegun. Mengapa Sean menyuruhnya lari? Dia refleks menoleh ke belakang. Api yang menyentuh bensin membubung tinggi ke langit. Seantero rumah seakan-akan sudah dilahap mulut yang tidak berwujud.Sean melempar ponselnya dan melompat dari beranda sambil berteriak, "Tiffany, lari!"Namun, gadis itu sepertinya tidak mendengar seruannya. Tiffany melepas mantel dan mencelupkannya ke dalam tangki air. Kemudian, dia bergegas masuk ke dalam rumah yang tengah terbakar dengan menutupi hidung dan mulutnya. Zara masih tidur di dalam!"Uhuk, uhuk, uhuk
Tiffany tidak tahu mengapa Zara tiba-tiba mengatakan hal ini padanya. Namun, dia balas tersenyum dan berkata, "Istirahatlah." Usai berkata begitu, gadis itu mengambil ponselnya dan keluar.Sekarang sudah pukul 8 malam. Tiffany sudah berjanji akan menelepon Sean pada pukul 7 malam untuk melaporkan keadaannya. Entah pria itu akan marah atau tidak karena dirinya terlambat satu jam penuh.Tiffany berdiri di halaman. Sambil bersandar di dinding, dia mengambil ponsel dan menelepon suaminya.Di sebelah kiri halaman, ada vila yang disewa oleh klub fotografi. Saat ini vila itu masih gelap gulita. Di sebelah kanan, ada vila yang konon sudah disewakan ke seorang konglomerat. Vila itu terang benderang.Sean duduk di beranda vila, memandang gadis yang berdiri di halaman yang diterangi sinar rembulan. Saat melihat ponselnya berdering, dia tersenyum tipis."Akhirnya mau menghubungiku?" tanya Sean."Maaf, Sayang. Aku nggak bermaksud lupa buat telepon ...," ucap Tiffany, langsung meminta maaf.Pukul 7
Tiffany mengernyit. Meskipun hatinya enggan, dia tidak enak hati menolak Zara di depan banyak orang.Selain itu, Tiffany lebih familier dengan jalan-jalan di desa pada malam hari. Jadi, dia tidak perlu khawatir Zara macam-macam padanya."Oke," sahut Tiffany sambil mengangguk dengan ragu. Kemudian, dia menatap Julie dan berkata, "Habis makan kamu juga cepat kembali, ya."Julie mengernyit dan mengangguk pelan."Ayo jalan," ajak Tiffany.Zara memikul ranselnya dan berjalan menuju vila bersama Tiffany.Malam hari di desa sangat sepi. Yang terdengar di telinga hanyalah suara air, gemeresik dedaunan, suara langkah kaki mereka, dan suara hewan di kejauhan. Zara menghirup udara segar di sana. Suasana hatinya cukup baik."Kudengar kamu tumbuh besar di desa, ya?" tanya Zara dengan tenang.Tiffany mengernyit saat mendengar pertanyaannya. Dia berjalan di depan sambil membawa senter dan menjawab singkat, "Ya.""Lingkungan desa sebenarnya cukup menyenangkan. Daripada di kota, aku lebih suka desa yan
Tiffany mengernyit jengkel. Apa maksudnya dengan tidak peka? Waktu pacaran Samuel dan Julie bahkan belum mencapai sebulan.Selama jangka waktu ini, sikap Samuel pada Julie juga tidak sehangat saat dia masih mengejar gadis itu sebelumnya. Apa haknya untuk menuntut sekamar dengan Julie?Lagi pula, hubungan Samuel dan Julie belum berkembang ke tahap itu. Bahkan jika hubungan keduanya sudah semaju itu, atas dasar apa Samuel bisa meminta Tiffany tidur di luar sendirian sementara dirinya dan Julie tidur di dalam?Chelsea duduk di sebelah Tiffany dan tertawa kecil. Dia berucap, "Samuel, apa maksudmu dengan nggak peka? Kalau nggak ada gadis lain yang sekamar denganku, aku pasti sudah tukar tempat denganmu dan tidur dengan mereka berdua."Samuel mengambil pecahan kaca dan membalas dengan kepala tertunduk, "Aku pacarnya Julie. Apa salahnya kalau aku ingin tidur dengannya?" Jika bukan demi memperdalam hubungannya dengan Julie, buat apa dia repot-repot mengikuti kegiatan klub fotografi ini?"Ada s
Siapa sangka, setelah Zara selesai bicara, Samuel yang merupakan salah satu penanggung jawab klub fotografi mengangguk dan berkata, "Kurasa kata-kata Zara ada benarnya."Semua orang terkejut. Samuel, Tiffany, dan Julie adalah orang-orang pertama yang memilih kamar. Jika alokasi kamar disesuaikan dengan urutan pendaftaran, mereka akan mendapatkan kamar terbaik. Namun, sekarang pemuda itu malah setuju untuk melakukan cabut undi.Orang-orang di vila terdiam untuk beberapa saat. Akhirnya, salah satu gadis penanggung jawab menghela napas dan berucap dengan pasrah, "Okelah, ayo cabut undi."Di antara belasan orang ini, enam orang harus tinggal di rumah desa. Lantaran hari sudah larut, semua orang segera melakukan cabut undi.Hasilnya, gadis penanggung jawab klub fotografi dan temannya, serta Julie, Tiffany, Samuel, dan seorang pemuda lainnya harus tinggal di rumah desa itu.Saat beberapa orang itu tengah berkemas, Penny mengejek Tiffany dengan nada puas, "Kamu memang paling cocok tinggal di
Entah disengaja atau tidak, Samuel mengerahkan cukup tenaga hingga Zara hampir terjatuh ke dalam pelukannya. Untungnya, Zara sempat menstabilkan tubuhnya dengan memegang lengan Samuel sehingga hal itu tidak terjadi."Terima kasih," ujar Zara dengan raut pucat.Samuel membalas dengan wajah tersipu, "Sama-sama.""Cowok jelek, kamu cari kesempatan untuk menyentuh Zara!" seru Penny sambil memelototi Samuel. Dia segera mendekat, lalu menarik Zara pergi.Sebelum beranjak pergi, Zara melirik Samuel sekali lagi. Dia melihat binar antusias dan kegembiraan di mata pemuda itu.Mata Zara berkilat dingin. Jadi, pemuda itu pacar Julie? Tidak ada bagus-bagusnya."Ayo jalan," ucap Julie sambil mengernyit. Dia mendekat sambil membawa kopernya.Tiffany menghampiri temannya dan bertanya dengan alis berkerut, "Kamu lihat kejadian tadi, 'kan?" Dia memandang dengan cemas ke arah Samuel yang masih mengambil barang-barang dari bus bersama orang-orang klub fotografi."Biarpun dia hanya berniat membantu, dia bi
Zara mengenakan gaun panjang bunga-bunga warna putih dan topi matahari. Dengan wajah dan penampilannya yang feminin, dia terlihat sangat menawan saat memandang ke luar jendela.Samuel juga tertegun untuk sesaat saat melihat Zara. Sebelumnya, dia hanya tahu bahwa Julie cantik dan Tiffany manis.Samuel tidak tahu ternyata ada gadis secantik Zara di kelas mereka. Kecantikan gadis itu berbeda jauh dengan Julie. Zara sangat memesona, anggun, dan elegan.Begitu melihat kedua orang itu di dalam bus, Tiffany sontak bertanya sambil mengernyit, "Apa mereka juga anggota klub fotografi?"Seingat Tiffany, Zara baru pindah ke sini beberapa hari lalu. Sejak kapan dia menjadi anggota klub fotografi?Lamunan Samuel buyar. Dia berdeham dan menjawab, "Mereka baru gabung beberapa hari lalu, aku juga baru tahu.""Mungkin karena kita pergi, jadi mereka sengaja ikut. Seperti hantu saja, nempel terus sama kita," ucap Julie sambil mengangkat bahu. Dia memutar bola matanya dengan galak ke arah kedua orang itu.
Akhir bulan tiba dengan cepat. Pada hari keberangkatan klub fotografi, Tiffany bangun pagi-pagi sekali.Ini adalah pertama kalinya Tiffany bepergian jauh setelah menikah. Perjalanan ke desa tempo hari juga jauh, tetapi bagaimanapun itu adalah kampung halamannya. Kegiatan klub fotografi di Kabupaten Purjaga ini barulah bepergian jauh yang sebenarnya.Pagi-pagi buta, Rika sudah bangun untuk menyiapkan barang-barang Tiffany. Dari pakaian dalam, pakaian anti UV, hingga jas hujan. Semua Rika kemas hingga memenuhi dua koper besar.Sambil mengeluarkan barang-barang di dalam koper, Tiffany berucap dengan malu pada Rika, "Aku hanya pergi tiga hari dua malam, nggak perlu bawa sebanyak ini."Rika menggeleng dan membalas, "Bu Tiffany, cuaca di pegunungan nggak menentu. Gimana kalau tiba-tiba panas, lalu tiba-tiba dingin? Gimana kalau hujan? Gimana kalau ada topan?"Tiffany kehilangan kata-kata. Meski merasa Rika terlalu cemas berlebihan, hatinya terasa hangat.Saat Tiffany masih tinggal bersama ke