Syakila segera masuk ke dalam kamar sebelum seseorang yang terdengar derap langkahnya semakin dekat. Mematikan lampu lalu dia menidurkan diri, meringkuk di atas kasur membelakangi pintu, lalu menyelimutinya hingga tertutup semua anggota badan termasuk kepalanya.Selanjutnya dia bersiap siaga menghadapi apa yang akan terjadi berikutnya. Tak lupa ia mengirimkan pesan dari balik selimut pada grup untuk stand by jika terjadi keributan di kamarnya.Ceklek. Terdengar seseorang membuka pintu. Syakila mengatur napasnya, lalu memejamkan mata.Seseorang yang ternyata Renata melangkah pelan menuju pembaringan setelah sebelumnya menutup pintu.Ia sengaja tak menyalakan lampu utama kamar itu, cukup cahaya dari celah jendela dan lampu meja sebagai penerangnya."Sepertinya Mas Devan sudah tidur. Kasihan sekali kamu, Mas, kedinginan sampai meringkuk sendirian seperti itu. Tenanglah, aku akan menghangatkanmu malam ini," gumamnya lalu melepas tali kimono yang ia kenakan.'Kedinginan pala lu peang. Ora
"Aaaaa, sakit, Ren. Lepaskan aku." Syakila sengaja merintih kesakitan karena menyadari bahwa ada banyak orang yang sedang menyaksikan."Renata! Apa yang kamu lakukan!" Teriak Sukoco berhasil menghentikan aksi brutal Renata.Renata menegang tak berkutik. Ia bagai seorang maling yang tertangkap basah.Sukoco berlari sembari menuntun Aira. Mendorong tubuh Renata lalu membantu menantunya untuk berdiri. "Ambil apa saja untuk menutupi tubuhmu!" perintah Sukoco pada Renata sembari merangkul dan mengelus kepala Syakila."Cepat!" sentak Sukoco sebab Renata tak sama sekali bergerak.Renata terlonjak, lalu tergesa mengambil kimono dan mengenakannya."Astaghfirullah, untuk sekuriti belum datang.""Iya, kalau sekuriti melihat baju yang dipakai Non Renata, 'kan kita ikut malu, ya.""Iya. Ih, bisa-bisanya dia pakai baju seperti itu di kamar orang. Mana nyakitin Non Syakila lagi. Tidak tahu diri banget.""Betul. Kalau aku jadi Bu Sukoco, sudah aku seret keluar perempuan seperti itu."Para asisten ru
"Mas Devan percaya sama semua omongan dia?" Syakila sengaja bertanya seperti itu untuk mengetes seberapa dalam kepercayaan Devan padanya."Tidak." Devan menjawab dengan tegas. Kemudian dia menyandarkan punggungnya pada sofa sembari satu tangannya merangkul pundak Syakila dari belakang. "Aku percaya pada istriku."Syakila semakin tersenyum penuh kemenangan sembari memandang remeh Renata."Lalu Ibu. Bagaimana menurut Ibu? Apa aku perlu membeberkan semuanya sekarang?" Kini Syakila beralih memberi pertanyaan pada ibu mertuanya."Tidak perlu. Waktu sudah semakin malam. Ibu ingin cepat istirahat," jawab Sukoco. "Tapi, Mas. Aku berkata jujur. Tolong percayalah padaku." Renata masih saja mengiba.Tak menyangka ternyata hubungan suami istri yang duduk berdampingan itu sudah membaik. Renata kira Devan masih sama seperti Devan yang tadi siang ia temui di kantor."Apa perlu aku tunjukkan pada semua orang hasil rekaman videonya agar kamu berhenti berpura-pura. Aku paling benci dengan manusia mun
"Lambat laun semua orang juga bakal tahu karena perutku semakin membesar tiap bulan." "Jangan sampai orang tahu tentang hal itu. Apa kata mereka kalau tahu kamu hamil tanpa suami. Mama pasti jadi biang gosipan warga sekitar. Malulah, Yum." "Terus gimana, dong, Ma? Aku gak mau bayi ini lahir." Sundari nampak berpikir keras. "Bagaimana kalau kamu minum jamu? Rasanya memang pahit, tapi dijamin berhasil merontokkan janin." Dengan teganya Sundari memberikan ide untuk membunuh calon cucunya sendiri. "Terserah Mama mau pakai cara apa. Yang penting aku terbebas dari janin sialan ini." "Tapi rasanya akan sangat sakit. Kamu harus siap menahannya." "Aku sudah siap, Ma. Dari pada seperti ini. Mau makan apa-apa gak bisa karena mual." "Ya sudah, besok pagi Mama akan cari bahan-bahan yang diperlukan. Semoga ini berhasil." "Iya, Ma. Supaya aku bisa mencari lelaki lain yang lebih segalanya dari pada Devan dan Ray." "Hmmm. Besok pagi Mama ke pasar, dan kamu harus mau meminumnya." "Pasti, Ma.
"Sa-saya tidak tahu, Dok. Setahu saya dia cuma, cuma berhubung sama satu laki-laki." Sundari agaknya sedikit malu di depan dokter. "Berarti kemungkinan laki-laki itu yang menularkan penyakitnya pada Mbak Yumna.""Memangnya penyakit apa, Dok?" Ibu dari Yumna itu begitu deg-degan. Ia khawatir anaknya terkena penyakit HIV. Jika sampai itu terjadi, ke ujung dunia pun Ray akan dia cari untuk bertanggung jawab."Kami menduga Mbak Yumna terkena Gonore, Bu.""Gonore? Apa itu. Apa masih bisa disembuhkan, Dok?" "Jika dibarengi dengan pola hidup sehat, berhenti hubungan intim dengan banyak lelaki, dan meminum obat insyaallah bisa, Bu.""Tapi bukan Aids 'kan, Dok?""Bukan, Bu. Gonore adalah Infeksi bakteri menular seksual, yang jika tidak diobati, dapat menyebabkan infertilitas (Gangguan pada kehamilan). Pemeriksaan rutin dapat membantu mendeteksi tanda-tanda keberadaan infeksi meskipun tidak ada gejala. Dan insyaallah masih bisa disembuhkan.""Huffhh, syukurlah." Sundari bernapas lega. Setidak
"Ehm! Perlu bantuan gak?" Syakila menawarkan diri tetapi sesungguhnya sebagai bentuk ejekan.Bersandar pada dinding seraya bersedekap dada, Syakila tersenyum kemenangan mendatangi kamar yang ditempati Renata.Wanita yang sedang mengemasi barang-barangnya itu nampak mendengus. Rasa kesal di dirinya semakin bertumbuh manakala dengan sengaja rivalnya menertawakan seakan dirinya adalah pecundang."Jangan sampai ada yang tertinggal, ya. Aku tidak mau ada alasan bagimu untuk kembali datang ke rumah ini. Ku harap kau cukup paham dan sadar diri untuk tidak menggangu rumah tanggaku lagi." Syakila memberi ultimatum.Seketika Renata menghentikan aktivitasnya. Menoleh dan memberi tatapan tajam pada Syakila."Jangan merasa menang dulu. Permainan sebenarnya baru dimulai. Ini baru pemanasan. Setelah ini kau akan tahu bagaimana rasa sakit yang sebenarnya. Aku pastikan kau akan menangis dan menyesal telah berurusan dengan Renata!""Jangan berkata seperti itu, Ren. Aku jadi ... Hahaha, jadi ingin terta
"Jangan ngaco, Jo. Mana mungkin aku nyidam. Cepat pergi, jangan banyak alasan!" tampik Devan."Bisa saja kan, Bos? Nona Syakila yang hamil dan Bos yang nyidam." Jo tetap menduga. Dugaan yang awalnya asal ceplos saja."Anggap saja begitu. Dan tugasmu adalah menuruti semua nyidamku!" Devan mengiyakan saja ucap Jo agar perdebatan berakhir."Haiiisss, baiklah, Bos."Devan merebahkan diri di sofa setelah panggilan itu berakhir. Rasa mualnya masih sedikit terasa. Entah apa yang salah pada dirinya.Tak terasa matanya perlahan terpejam. Devan terlelap di ruangannya seorang diri.***"Veen, bagaimana perkembangan kasus Nona Maharani?" Nita bertanya saat mereka sedang makan siang di sebuah restoran."Belum ada. Tersangka utama tetap bungkam dan menyatakan tak ada orang lain lagi yang terlibat. Biar Tuhan saja yang menghukumnya. Aku ingin fokus pada keluargaku, Nit. Lambat laun pelaku kejahatan itu pasti mendapat karmanya.""Kamu benar, Veen. Hukum di dunia mungkin mereka bisa lolos, tapi hukuma
"Kak Yumna keguguran, Sya. Dia pendarahan cukup hebat sampai harus transfusi darah. Beruntung golongan darahku sama. Alhamdulillah keadaannya sekarang semakin membaik." Kamil memulai pembicaraan. "Astaghfirullah, aku ikut berduka, Mas. Semoga Kak Yumna cepat sehat lagi," sahut Syakila ikut prihatin. "Kau tahu, Sya? Aku akan bercerai dengan Della. Dia selingkuh." Kamil menerawang jauh sembari tersenyum getir, tatkala rumah tangga yang ia bangun dari hasil berkhianat kini terkhianati. Wanita yang duduk berjarak dengan Kamil hanya diam menunduk. Syakila tak tahu harus berkomentar apa. Lebih baik diam dari pada salah bicara, pikirnya. "Aku jadi berpikir, semua kejadian buruk yang menimpa keluargaku adalah karma karena telah menyakitimu dulu. Mungkin Tuhan tak terima wanita sebaik dan setulus kamu disakiti." Kamil kembali berujar. "Jangan begitu, Mas. Itu semua ujian. Bukankah setiap manusia yang hidup akan selalu diuji? Jadikan semuanya pelajaran untuk memperbaiki diri menjadi le