"Ehm! Perlu bantuan gak?" Syakila menawarkan diri tetapi sesungguhnya sebagai bentuk ejekan.Bersandar pada dinding seraya bersedekap dada, Syakila tersenyum kemenangan mendatangi kamar yang ditempati Renata.Wanita yang sedang mengemasi barang-barangnya itu nampak mendengus. Rasa kesal di dirinya semakin bertumbuh manakala dengan sengaja rivalnya menertawakan seakan dirinya adalah pecundang."Jangan sampai ada yang tertinggal, ya. Aku tidak mau ada alasan bagimu untuk kembali datang ke rumah ini. Ku harap kau cukup paham dan sadar diri untuk tidak menggangu rumah tanggaku lagi." Syakila memberi ultimatum.Seketika Renata menghentikan aktivitasnya. Menoleh dan memberi tatapan tajam pada Syakila."Jangan merasa menang dulu. Permainan sebenarnya baru dimulai. Ini baru pemanasan. Setelah ini kau akan tahu bagaimana rasa sakit yang sebenarnya. Aku pastikan kau akan menangis dan menyesal telah berurusan dengan Renata!""Jangan berkata seperti itu, Ren. Aku jadi ... Hahaha, jadi ingin terta
"Jangan ngaco, Jo. Mana mungkin aku nyidam. Cepat pergi, jangan banyak alasan!" tampik Devan."Bisa saja kan, Bos? Nona Syakila yang hamil dan Bos yang nyidam." Jo tetap menduga. Dugaan yang awalnya asal ceplos saja."Anggap saja begitu. Dan tugasmu adalah menuruti semua nyidamku!" Devan mengiyakan saja ucap Jo agar perdebatan berakhir."Haiiisss, baiklah, Bos."Devan merebahkan diri di sofa setelah panggilan itu berakhir. Rasa mualnya masih sedikit terasa. Entah apa yang salah pada dirinya.Tak terasa matanya perlahan terpejam. Devan terlelap di ruangannya seorang diri.***"Veen, bagaimana perkembangan kasus Nona Maharani?" Nita bertanya saat mereka sedang makan siang di sebuah restoran."Belum ada. Tersangka utama tetap bungkam dan menyatakan tak ada orang lain lagi yang terlibat. Biar Tuhan saja yang menghukumnya. Aku ingin fokus pada keluargaku, Nit. Lambat laun pelaku kejahatan itu pasti mendapat karmanya.""Kamu benar, Veen. Hukum di dunia mungkin mereka bisa lolos, tapi hukuma
"Kak Yumna keguguran, Sya. Dia pendarahan cukup hebat sampai harus transfusi darah. Beruntung golongan darahku sama. Alhamdulillah keadaannya sekarang semakin membaik." Kamil memulai pembicaraan. "Astaghfirullah, aku ikut berduka, Mas. Semoga Kak Yumna cepat sehat lagi," sahut Syakila ikut prihatin. "Kau tahu, Sya? Aku akan bercerai dengan Della. Dia selingkuh." Kamil menerawang jauh sembari tersenyum getir, tatkala rumah tangga yang ia bangun dari hasil berkhianat kini terkhianati. Wanita yang duduk berjarak dengan Kamil hanya diam menunduk. Syakila tak tahu harus berkomentar apa. Lebih baik diam dari pada salah bicara, pikirnya. "Aku jadi berpikir, semua kejadian buruk yang menimpa keluargaku adalah karma karena telah menyakitimu dulu. Mungkin Tuhan tak terima wanita sebaik dan setulus kamu disakiti." Kamil kembali berujar. "Jangan begitu, Mas. Itu semua ujian. Bukankah setiap manusia yang hidup akan selalu diuji? Jadikan semuanya pelajaran untuk memperbaiki diri menjadi le
"mau ke mana?" Devan mencekal tangan Syakila ketika hendak beranjak."Mau bukain pintu, Mas. Kasihan Aira.""Tunggu dulu. Sepertinya sudah ada ibu yang menangani." Keduanya terdiam berusaha mendengar suara serupa gumaman dari luar. Benar. Itu suara Bu Sukoco yang sedang membujuk Aira untuk pergi bersamanya."Ibu memang yang terbaik," ucap Devan setelah tak lagi terdengar suara."Mas Devan ini.""Yuk lanjutin," bisik Devan membuat Syakila tersipu."Tapi ...""Kenapa?""Aku belum shalat isya, Mas.""Sama, Mas juga belum. Ya udah, kita shalat berjamaah dulu, sekalian shalat sunah dua rakaat." Sembari mengedipkan satu matanya, Devan dengan genit menggoda Syakila."Au, ah. Mas Devan genit." Lalu Syakila buru-buru menuju kamar mandi menghindari godaan.Di dalam kamar mandi, Syakila meraba dadanya yang berdegup lebih kencang dari biasanya. "Kenapa jadi kaya remaja jatuh cinta gini, sih? Padahal biasanya juga tidak terlalu begini." Monolognya."Apa begini rasanya habis berantem lalu baikan
"Lepas!" sentak Jasmin saat tangannya di pegang oleh Dion. Mereka sudah berada di luar."Tenang, Jas. Aku bisa jelaskan baik-baik masalah ini. Kita bicarakan semua dengan kepala dingin, jangan seperti ini." Dion berusaha membujuk."Tenang bagaimana? Jelas-jelas kamu berpelukan dengan wanita lain di depanku. Siapa yang tidak panas, hah!" Jasmin masih meluapkan emosi."Dion, dia siapa kamu?" Kali ini Renata yang mengeluarkan sebuah pertanyaan."Aku pacarnya. Dan kami akan segera menikah! Tahu kamu!" Jasmin yang menjawab dengan nada nyolot."Pacar? Aku gak salah dengar, Ion?" balas Renata pada Dion."Nanti aku jelasin, Ren. Eum ..." Dion mendadak bingung. Antara menyuruh Renata pulang sendiri atau Jasmin.Akan tetapi jika Renata yang pulang sendiri, dia tak tega. Apalagi malam semakin larut. Namun, jika Jasmin yang sendirian, Dion membutuhkan tubuh wanita itu untuk melampiaskan nafsunya yang tak bisa tersalurkan bersama Renata, meski sejujurnya lelaki itu ingin sekali melakukannya bersa
"Sial. Kenapa hidupku jadi kacau begini, sih?""Kak Yumna mengidap penyakit yang memalukan. Kak Kamil rumah tangganya berantakan. Mama kerjaannya cuma ngomel melulu sampai kupingku sakit mendengarnya. Ini malah Dion kepergok dansa sama cewek lain. Benar-benar sial!"Jasmin bermonolog di dalam kamar kosannya. Penampilannya berantakan karena pusing memikirkan nasib keluarganya yang tak berhenti mendapat cobaan. Sayangnya wanita yang belum genap berusia dua puluh tahun itu tak menyadari bahwa apa yang mereka tuai adalah buah dari yang mereka tanam sebelumnya. Dia pun tak menyadari tentang penyakit kelamin yang diderita kakaknya adalah akibat pergaulan bebas.Wanita berkulit kuning langsat itu justru menggunakan sebungkus rokok untuk menemani malamnya. Dia bahkan terpaksa mematikan data seluler agar tak ada seorangpun yang menggangu."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku butuh Dion, tapi dia sibuk! Aarrggg!" Berulang kali Jasmin menyugar rambutnya dengan kasar.Menghisap satu batang
Decitan mobil yang ditumpangi Syakila terdengar nyaring. Kentara sekali si pengemudi sangat terburu-buru. Di halaman sebuah rumah sakit, wanita yang menyetir sendirian itu keluar dari mobil lalu berjalan setengah berlari menuju lobby. Di tempelkannya ponsel di telinga untuk menghubungi mertuanya. "Halo, Bu. Syakila sudah di lobby rumah sakit. Ibu di mana?" "Ibu masih di UGD. Gak jauh kok dari lobby." "Ya sudah, Syakila ke sana." Panggilan pun terputus. Setelah bertanya pada resepsionis, Syakila bergegas menuju tempat di mana Devan berbaring lemah. "Ibu ... Ya Allah, Mas Devan, kenapa bisa sampai begini?" Syakila cemas melihat keadaan Devan yang tak berdaya dengan selang infus di tangannya, setelah beberapa saat kemudian sampai di UGD. "Sayang ..." lirih Devan sembari mengulurkan tangan, yang segera disambut oleh Syakila. "Dari kamu berangkat ke butik pagi tadi, dia muntah terus. Satu suap pun gak ada makanan yang masuk ke perutnya. Bahkan minum air putih saja dia mual."
"Bu Sundari." Syakila terbelalak melihat wanita tua berdaster nampak lusuh berdiri di depannya.Penampilannya berantakan sangat berbeda dengan dulu di saat dengan angkuhnya mempermalukan Syakila di depan umum."Sedang apa kamu di sini? Mau memata-matai keluarga ku, ya. Atau masih berharap sama Kamil?" ucap Sundari terdengar sinis.Alis mata Syakila mengernyit. Mengharapkan Kamil? Untuk apa? Lucu sekali pemikiran orang tua ini."Maaf, ya, Bu Sundari yang terhormat. Saya tidak ada waktu untuk meladeni Anda. Permisi." Tak ingin membuang waktu, Syakila memilih mengabaikan Sundari dan kembali fokus menunggu namanya dipanggil."Dasar sombong! Baru juga punya butik begitu doang udah sok," cibir Sundari yang tak dihiraukan oleh Syakila."Owh, jadi kamu bunting? Sama siapa?" Sembari melirik tulisan di pintu dokter kandungan, Sundari kembali berkata.Syakila masih tak tertarik untuk menanggapi membuat Sundari semakin kesal."Heh! Kalau orang tua lagi ngomong didengerin!" ujar Sundari berbisik s