"Lepas!" sentak Jasmin saat tangannya di pegang oleh Dion. Mereka sudah berada di luar."Tenang, Jas. Aku bisa jelaskan baik-baik masalah ini. Kita bicarakan semua dengan kepala dingin, jangan seperti ini." Dion berusaha membujuk."Tenang bagaimana? Jelas-jelas kamu berpelukan dengan wanita lain di depanku. Siapa yang tidak panas, hah!" Jasmin masih meluapkan emosi."Dion, dia siapa kamu?" Kali ini Renata yang mengeluarkan sebuah pertanyaan."Aku pacarnya. Dan kami akan segera menikah! Tahu kamu!" Jasmin yang menjawab dengan nada nyolot."Pacar? Aku gak salah dengar, Ion?" balas Renata pada Dion."Nanti aku jelasin, Ren. Eum ..." Dion mendadak bingung. Antara menyuruh Renata pulang sendiri atau Jasmin.Akan tetapi jika Renata yang pulang sendiri, dia tak tega. Apalagi malam semakin larut. Namun, jika Jasmin yang sendirian, Dion membutuhkan tubuh wanita itu untuk melampiaskan nafsunya yang tak bisa tersalurkan bersama Renata, meski sejujurnya lelaki itu ingin sekali melakukannya bersa
"Sial. Kenapa hidupku jadi kacau begini, sih?""Kak Yumna mengidap penyakit yang memalukan. Kak Kamil rumah tangganya berantakan. Mama kerjaannya cuma ngomel melulu sampai kupingku sakit mendengarnya. Ini malah Dion kepergok dansa sama cewek lain. Benar-benar sial!"Jasmin bermonolog di dalam kamar kosannya. Penampilannya berantakan karena pusing memikirkan nasib keluarganya yang tak berhenti mendapat cobaan. Sayangnya wanita yang belum genap berusia dua puluh tahun itu tak menyadari bahwa apa yang mereka tuai adalah buah dari yang mereka tanam sebelumnya. Dia pun tak menyadari tentang penyakit kelamin yang diderita kakaknya adalah akibat pergaulan bebas.Wanita berkulit kuning langsat itu justru menggunakan sebungkus rokok untuk menemani malamnya. Dia bahkan terpaksa mematikan data seluler agar tak ada seorangpun yang menggangu."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku butuh Dion, tapi dia sibuk! Aarrggg!" Berulang kali Jasmin menyugar rambutnya dengan kasar.Menghisap satu batang
Decitan mobil yang ditumpangi Syakila terdengar nyaring. Kentara sekali si pengemudi sangat terburu-buru. Di halaman sebuah rumah sakit, wanita yang menyetir sendirian itu keluar dari mobil lalu berjalan setengah berlari menuju lobby. Di tempelkannya ponsel di telinga untuk menghubungi mertuanya. "Halo, Bu. Syakila sudah di lobby rumah sakit. Ibu di mana?" "Ibu masih di UGD. Gak jauh kok dari lobby." "Ya sudah, Syakila ke sana." Panggilan pun terputus. Setelah bertanya pada resepsionis, Syakila bergegas menuju tempat di mana Devan berbaring lemah. "Ibu ... Ya Allah, Mas Devan, kenapa bisa sampai begini?" Syakila cemas melihat keadaan Devan yang tak berdaya dengan selang infus di tangannya, setelah beberapa saat kemudian sampai di UGD. "Sayang ..." lirih Devan sembari mengulurkan tangan, yang segera disambut oleh Syakila. "Dari kamu berangkat ke butik pagi tadi, dia muntah terus. Satu suap pun gak ada makanan yang masuk ke perutnya. Bahkan minum air putih saja dia mual."
"Bu Sundari." Syakila terbelalak melihat wanita tua berdaster nampak lusuh berdiri di depannya.Penampilannya berantakan sangat berbeda dengan dulu di saat dengan angkuhnya mempermalukan Syakila di depan umum."Sedang apa kamu di sini? Mau memata-matai keluarga ku, ya. Atau masih berharap sama Kamil?" ucap Sundari terdengar sinis.Alis mata Syakila mengernyit. Mengharapkan Kamil? Untuk apa? Lucu sekali pemikiran orang tua ini."Maaf, ya, Bu Sundari yang terhormat. Saya tidak ada waktu untuk meladeni Anda. Permisi." Tak ingin membuang waktu, Syakila memilih mengabaikan Sundari dan kembali fokus menunggu namanya dipanggil."Dasar sombong! Baru juga punya butik begitu doang udah sok," cibir Sundari yang tak dihiraukan oleh Syakila."Owh, jadi kamu bunting? Sama siapa?" Sembari melirik tulisan di pintu dokter kandungan, Sundari kembali berkata.Syakila masih tak tertarik untuk menanggapi membuat Sundari semakin kesal."Heh! Kalau orang tua lagi ngomong didengerin!" ujar Sundari berbisik s
"Garis dua?" ujar Devan masih melihat tespek di tangannya. Matanya seketika berbinar dan langsung beranjak dari ranjang lalu meraih kedua tangan Syakila. "Ini beneran? Kamu gak lagi ngerjain Mas 'kan?" "Ish Mas Devan ini. Untuk apa aku ngerjain kamu." "Ya Allah, terima kasih banyak. Mas seneng banget, Sayang." Devan menarik tubuh Syakila ke dalam pelukannya. "Iya, Mas. Aku juga seneng banget. Gak nyangka kalau ternyata aku hamil. Sebentar lagi aku jadi ibu, Mas." Syakila terharu. Sukoco yang sedari tadi menyaksikan pun mendekat. Dielusnya punggung Syakila seraya bekata, "Selamat, Nak. Semoga Allah selalu memberikanmu kesehatan, melindungi calon cucu Ibu sehingga lahir dengan selamat ke dunia." Syakila melerai pelukan. Dia lalu menatap ibu mertua yang sedang tersenyum hangat. "Aamiin. Makasih, Bu." Syakila beralih memeluk Sukoco. Setelah beberapa saat, pelukan itu mengendur. "Tadi ibu kira perkiraan kita salah. Habisnya kamu dateng dengan wajah lesu," ucap Sukoco.
Tut!Panggilan seketika terputus begitu saja. Dion benar-benar dibuat tak tahan oleh tindakan Renata. Wanita itu kini mulai pandai memainkan cara mengendalikan lelaki yang lemah syahwat, terutama seorang Dion yang memang sudah sejak lama menyimpan rasa padanya.Tanpa mengingat Tuhan, apalagi Jasmin, Dion dan Renata hanyut dalam indahnya kesenangan semu dalam kubangan dosa. Erangan dan desahan saling bersahutan hingga mereka sampai pada puncaknya.Sungguh, agaknya mereka mulai ketagihan menikmati sentuhan satu sama lainnya.Masih di rumah sakit, Jasmin sedikit merasa cemas pada keadaan Dion yang memutuskan panggilan secara tiba-tiba."Apa dia benar-benar sakit, ya? Kasihan banget," gumamnya.Kaki yang sedang melangkah melewati tempat pengambilan obat, seketika muncul sebuah pemikiran untuk membelikan obat sakit perut untuk Dion. Mengingat lelaki itu memang sebelumnya sudah pernah sakit perut, dan tak bisa sembuh dengan sendirinya tanpa bantuan obat."Iya deh aku belikan dia obat. Sekal
Dua manusia yang tengah bercumbu itu terperanjat. Dion dengan pelan mendorong tubuh Renata."Kenapa sih!" Renata mencebik tak suka dengan sikap Dion yang terkesan takut pada suara yang terdengar."Ssssttt, diam dulu." Terpaksa Dion membekap mulut Renata.Di luar sana pintu masih diketuk. Jasmin celingukan merasa heran karena tak ada sahutan dan sepi."Apa Dion pergi, ya? Motornya juga gak ada. Apa lagi cari obat? Kasihan." Jasmin bermonolog.Diambilnya handphone dalam tasnya lalu bersiap mengirim pesan pada sang kekasih.Namun, baru saja membuka aplikasi berwarna hijau itu sebuah panggilan dari Nita muncul."Ngapain sih dia nelpon-nelpon? Ganggu aja!"Panggilan itu tak dihiraukan. Dia kembali pada niatan awal yakni menghubungi Dion.[Kamu di mana? Aku di depan kosan kamu, bawain obat.]Baru terkirim lalu ada satu pesan masuk.[Angkat telepon saya atau kamu akan menyesal!]Bukan dari Dion, tetapi dari Nita. Tak ayal Jasmin pun segera mengangkat telepon yang masuk tak lama setelah memba
"Apa maksud Kakak? Dion tulus padaku. Kakak tidak tahu apapun tentang Dion, jadi kakak tidak berhak mengatakan hal itu!" Jasmin justru kesal mendengar kekasihnya dijelekkan Kamil."Kata siapa? Kakak bisa buktikan ucapan Kakak.""Memangnya bukti apa?""Kakak harap kamu tidak kaget setelah melihat gambar yang akan kakak tunjukkan."Lalu Kamil mengambil handphone di sakunya dan membuka sebuah file berisi video kemesraan Dion dan Renata. Rupanya diam-diam dia menyelidiki kegiatan Dion. Sebagai seorang Kakak, Kamil ingin yang terbaik untuk adiknya.Namun, belum sempat video itu ditunjukkan, sebuah nomor asing menghubunginya.Penasaran, Kamil mengangkatnya sebab memang dirinya sedang menunggu panggilan kerja setelah beberapa hari lalu melamar pekerjaan di sebuah perusahaan."Halo.""Permisi, dengan Bapak Kamil suami dari Ibu Della?" Sebuah suara seorang pria terdengar."Sekarang sudah mantan, Pak." Kamil meralat."Oh, maaf. Saya dari kepolisian mau mengabarkan bahwa Nona Della beserta seora