"Sial. Benar-benar sial! Kenapa jadi begini, sih?""Aduh ... Kalau begini kepalaku jadi pusiiing."Sundari terus menggerutu setelah sampai di rumah. Badan gempalnya bersandar pada sofa sembari memejamkan mata. Dia tidak tahu lagi bagaimana cara membungkam mulut para tetangganya.Yumna yang masih di ruang tengah menghampiri mamanya. "Kenapa, Ma? Kok cuma sebentar. Mama sakit?" tanyanya merasa heran dengan sikap Sundari yang tengah mengurut pelipisnya sendiri.Sundari pun membuka mata. Menatap tajam pada Yumna seraya berdiri. "Ini semua gara-gara kamu! Coba kalau otakmu ini dipake, pasti gak akan begini jadinya." Sundari mengomel, bahkan menoyor kepala Yumna."Ada apa, sih? Kenapa mama jadi nyalahin Yumna?""Ada apa - ada apa! Semua orang sudah tahu tentang kehamilan kamu sama laki-laki tua itu. Mama malu! Tahu kamu! Dasar bodoh!"Setelah puas mencaci anaknya sendiri, Sundari meninggalkan Yumna yang bersedih. Baru kali ini mamanya terlihat begitu marah dan benci padanya.Tanpa mamanya
"Bu Rosa ini siapa sih, Mas? Kok dia kayak ketus gitu ngomongnya. Mana nyuruh Mas datang ke rumahnya segala."Syakila langsung memberondong Devan dengan sebongkah gerutuan akibat ulah Bu Rosa.Devan yang baru banget keluar dari kamar mandi itu dibuat bingung oleh tingkah istrinya yang cemberut, manyun. Kentara sekali ia tengah kesal."Memangnya apa yang dia katakan pada istriku ini sampai-sampai jadi cemberut begini?" Devan mendekatkan wajahnya pada Syakila."Makin cantik kalau lagi cemberut. Apalagi bibirnya, jadi pengen gigit," goda Devan."Mas Devan ... Ditanya malah ngegombal. Sebel." Syakila semakin merajuk. Maklum bumil, jadi bawaannya sensi mulu."Iya cintanya aku ... Maaf deh kalau gitu. Sini Mas pangku. Cerita pelan-pelan, apa yang Bu Rosa katakan barusan?" Devan menarik pelan Syakila untuk duduk di pangkuannya.Syakila menurut saja. Dengan manja dia malah melingkarkan tangannya di leher Devan."Gak bilang apa-apa, sih. Cuma nyuruh Mas datang ke rumahnya. Katanya ada hal pent
Sekitar 45 menit kemudian Devan dan Syakila sampai di rumah Renata. Mobil telah terparkir tetapi suami istri itu belum juga keluar. Sejujurnya Devan enggan sekali untuk datang ke sini. Dia masih tak ingin bertemu dengan Renata mengingat perempuan itu sudah beberapa kali mendekatinya dengan berbagai cara. Jika bukan karena Syakila yang mengiyakan, Devan tak peduli apapun yang terjadi dengan keluarga mendiang istrinya tersebut. "Ingat, Mas. Kita tidak boleh meminum atau memakan apapun yang disuguhkan mereka. Aku sudah bawa ini ..." Syakila menunjukkan sesuatu dalam tas jinjingnya. Sengaja dia membawa tas itu supaya mudah membawa beberapa barang untuk melancarkan aksinya. "Iya, Sayang. Lagian kok kamu bisa kepikiran sampai ke situ?" ujar Devan. "Mas kan lebih dulu kenal Renata, pasti tahu dong kalau dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan Mas. Masa gitu aja gak ngerti!" "Eh, iya sih." Devan menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak merasa gatal. "Ya sudah, yuk kita
"E ... Ini, kok minuman Ibu beda sama punya saya. Kelihatan lebih segar. Saya cuma sedang melihat jus apa itu. Mungkin nanti saya bisa bikin di rumah." Dengan sedikit terbata Syakila akhirnya menemukan alasan saat kepergok. Untunglah jari yang mengaduk minuman itu sudah ditariknya.Rosa kembali mendengus tak suka. 'Dasar celamitan! Norak!' umpatnya dalam hati dengan ekspresi tak suka."Mana sendoknya, Bu?" Syakila berusaha mengalihkan perhatian."Nih!" timpal Rosa ketus seraya memberikan sendoknya."Terima kasih."Beberapa menit berlalu dengan keheningan. Rosa tak sabar menunggu Syakila mengeluh pusing lalu terlelap. Namun, sudah menunggu lebih dari 20 menit tanda-tanda Syakila akan tertidur tak jua terlihat."Ibu kenapa? Sakit kah? Kok malah bengong. Katanya mau nemenin saya minum." Ucapan Syakila membuat Rosa terkesiap hingga akhirnya meneguk minumannya cukup banyak.Syakila tersenyum tipis seraya mengunyah kue kering."Kamu juga minum, dong," ucap Rosa."Iya." Syakila lalu mengambi
Bugh!Satu pukulan balasan dari penjahat itu berhasil mengenai pipi Kamil. Syakila kembali histeris. Baku hantam pun tak terelakkan. Satu lawan satu. Meski begitu Kamil yang memang tidak terlalu jago bela diri itu akhirnya kalah. Wajahnya sudah babak belur. "Makanya jangan sok jadi pahlawan. Sekarang, habislah riwayatmu!" Si penjahat menggertak lalu kembali ingin melayangkan pukulan.Namun, Devan segera datang dan dengan tenaga penuh menendang tubuh penjahatnya hingga ambruk mengenai trotoar."Hei! Siapa kamu!" teriak penjahat yang memegangi Syakila.Seketika Devan menoleh, dan tanpa pikir panjang ia menghajar penjahat itu.Syakila terlepas. Dengan perasaan takut dan gemetar dia bersembunyi di balik tong sampah besar agak jauh dari sana. Sesekali ia melihat Devan yang sedang berkelahi. Untunglah beberapa saat kemudian banyak warga yang datang sehingga dua penjahat itu lari kalang kabut.Menyadari itu Syakila berdiri lalu mendekati Devan dan memeluknya erat."Tenanglah, semua sudah
"Maaf ya, Beb, akhir-akhir ini aku sibuk banget. Jadi jarang ketemu kamu deh." "Iya, gak pa-pa, kok. Aku malah seneng kamu dapat job terus. Semoga makin sukses." "Makasih. Kamu memang selalu mengerti aku." Dion menggenggam tangan Jasmin di atas meja. Mereka sedang melakukan makan malam romantis di sebuah kafe. Dion sengaja mengajak Jasmin bertemu untuk melancarkan rencananya. "Oh, iya. Kamu bisa narik aku kerja di manajemen kamu gak? Aku lagi butuh pekerjaan banget nih." Jasmin yang memang belum bekerja setelah dipecat oleh Nita meminta bantuan, berharap kekasihnya itu bersedia meringankan bebannya. Mendengar itu Dion menggaruk rambut belakangnya. "Gimana, ya?" "Gak bisa ya?" Jasmin nampak kecewa. "Eum ... Bukan gitu. Nanti aku coba tanya-tanya dulu, ya. Aku gak tau soalnya." Dion berusaha membuat Jasmin kembali bersemangat. "Beneran? Makasih ya, Beb." "Sama-sama. Ngomong-ngomong, kenapa sih kamu bisa dipecat? Sombong banget ya pemilik butik itu, main pecat aja." Dion
"Maaf, Pak. Saya izin pergi dulu. Terima kasih makanannya." Kamil berpamitan dengan terburu-buru. Bahkan dia segera melangkah tak sempat menunggu jawaban Devan maupun Syakila. Akan tetapi Devan dengan cepat menghalangi Kamil yang hampir menyentuh pintu."Ada apa? Kenapa kamu terlihat terburu-buru begitu?"Kamil terpaksa berbalik, "Mantan mertua saya meninggal, Pak. Dia ditemukan tergantung di kamarnya.""Innalilahi wainnailaihi roji'un." Secara bersamaan Devan dan Syakila berucap. Syakila sampai menutup mulutnya saking terkejutnya."Baiklah, kamu memang harus segera ke sana. Semoga semuanya cepat selesai," ujar Devan masih duduk di tempatnya."Iya, Pak. Terima kasih." Kamil lalu membuka pintu dan pergi dari ruangan itu.Syakila masih tertegun di tempat. Mendengar ada orang meninggal karena bunuh diri dia memang selalu merasa sedikit shock. Dulu dia pernah merasakan keputusasaan yang begitu dalam. Pernah terbesit dalam benak untuk mengakhiri hidup saat itu, tetapi beruntung akal seh
Mobil yang dikendarai Devan telah memasuki halaman rumah sakit. Tak ada pembicaraan berarti dari keduanya saat dalam perjalanan tadi. Pun ketika Devan selesai menelpon, Syakila urung menanyakan keingintahuannya. Dia percaya suaminya itu pasti akan melakukan yang terbaik untuk semua. Jika sudah waktunya, dirinya pasti akan diberi tahu."Ayok, Sayang, kita keluar.""Iya, Mas."Setelah itu keduanya berjalan beriringan memasuki rumah sakit."Aku sudah tidak sabar bertemu Kak Rani, Mas. Akhirnya setelah sekian lama dia sadar dari komanya," ujar Syakila mengiringi langkah."Iya. Mas ikut senang. Tapi kamu harus ingat dengan bayi kita, kamu tidak boleh terlalu sering bolak-balik ke sini. Nanti Mas akan kirim beberapa orang untuk menjaga Kak Rani mu.""Iya, Suamiku. Makasih, ya." Syakila langsung mengeratkan genggaman tangannya yang memang sudah sejak tadi digandeng oleh Devan."Sama-sama, Sayang," balas Devan.Kemudian mereka fokus pada langkah menuju kamar di mana Maharani di rawat. Setel
"Mas Devan ...!" Suara Syakila melengking, dengan gerakan cepat ia memutar Devan, melindungi lelaki itu dengan dirinya sendiri.Jleb!Semuanya terjadi begitu cepat. Pisau tajam yang digenggam Kamil merobek keras lengan Syakila. Darah segar langsung membasahi kain bajunya.Devan terbelalak tak percaya dengan napas tercekat. "Syakila!" teriaknya dengan panik, tangannya menangkup tubuh istrinya yang sedikit limbung.Dor!Suara tembakan menggema di udara. Dalam hitungan detik Kamil terhuyung mundur. Tangannya yang memegang pisau perlahan melemah bersamaan dengan rasa bersalahnya terhadap Syakila. Dadanya seperti terbakar akibat timah panas yang masuk ke dalam tubuhnya. Darah mengalir deras dari bagian dada.Perlahan tubuh itu jatuh dengan bunyi berat ke tanah, tetapi matanya masih bisa melihat Syakila yang meringis menahan perih. Mungkin, ini adalah untuk terakhir kalinya ia dapat melihat wanita yang begitu didambanya."Maafkan aku Syakila ... Aku, a-aku men-cintai-mu," lirih Kamil dengan
Namun, detik berikutnya Kamil berubah pikiran, ia memutuskan untuk mengambil langkah nekat. Dengan tangan yang masih mencengkeram erat leher Shakila, dia menyeringai penuh keyakinan. "Kalau aku tidak bisa lolos, setidaknya aku akan membawa mereka semua ke neraka bersamaku!" gumamnya, menekan pedal kasih nggak habis. Mesin mobil meraung seperti binatang buas yang terluka, melaju kencang menuju brigade polisi. Syakila panik, tangannya reflek mencoba menggoyang-goyangkan setir agar laju mobil berubah arah, atau berhenti. "Kamil, jangan gila! Kau akan membunuh kita semua!""Memang itu yang aku inginkan. Ha ha ha!"Tangan Kamil memukul keras tangan Syakila yang mengganggu setir. "Kau diam saja, Sayang. Aku pastikan kita akan berakhir dalam keabadian sekarang.""Gak! Aku gak mau! Berhenti, Kamil!""Aku akan berhenti kalau kau mau berjanji untuk bersedia hidup bersamaku selamanya.""Dasar gila! Itu tidak akan terjadi." Syakila memukul-mukul lengan Kamil, tetapi pukulan kecil itu hanya dian
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid