"Bu Rosa ini siapa sih, Mas? Kok dia kayak ketus gitu ngomongnya. Mana nyuruh Mas datang ke rumahnya segala."Syakila langsung memberondong Devan dengan sebongkah gerutuan akibat ulah Bu Rosa.Devan yang baru banget keluar dari kamar mandi itu dibuat bingung oleh tingkah istrinya yang cemberut, manyun. Kentara sekali ia tengah kesal."Memangnya apa yang dia katakan pada istriku ini sampai-sampai jadi cemberut begini?" Devan mendekatkan wajahnya pada Syakila."Makin cantik kalau lagi cemberut. Apalagi bibirnya, jadi pengen gigit," goda Devan."Mas Devan ... Ditanya malah ngegombal. Sebel." Syakila semakin merajuk. Maklum bumil, jadi bawaannya sensi mulu."Iya cintanya aku ... Maaf deh kalau gitu. Sini Mas pangku. Cerita pelan-pelan, apa yang Bu Rosa katakan barusan?" Devan menarik pelan Syakila untuk duduk di pangkuannya.Syakila menurut saja. Dengan manja dia malah melingkarkan tangannya di leher Devan."Gak bilang apa-apa, sih. Cuma nyuruh Mas datang ke rumahnya. Katanya ada hal pent
Sekitar 45 menit kemudian Devan dan Syakila sampai di rumah Renata. Mobil telah terparkir tetapi suami istri itu belum juga keluar. Sejujurnya Devan enggan sekali untuk datang ke sini. Dia masih tak ingin bertemu dengan Renata mengingat perempuan itu sudah beberapa kali mendekatinya dengan berbagai cara. Jika bukan karena Syakila yang mengiyakan, Devan tak peduli apapun yang terjadi dengan keluarga mendiang istrinya tersebut. "Ingat, Mas. Kita tidak boleh meminum atau memakan apapun yang disuguhkan mereka. Aku sudah bawa ini ..." Syakila menunjukkan sesuatu dalam tas jinjingnya. Sengaja dia membawa tas itu supaya mudah membawa beberapa barang untuk melancarkan aksinya. "Iya, Sayang. Lagian kok kamu bisa kepikiran sampai ke situ?" ujar Devan. "Mas kan lebih dulu kenal Renata, pasti tahu dong kalau dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan Mas. Masa gitu aja gak ngerti!" "Eh, iya sih." Devan menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak merasa gatal. "Ya sudah, yuk kita
"E ... Ini, kok minuman Ibu beda sama punya saya. Kelihatan lebih segar. Saya cuma sedang melihat jus apa itu. Mungkin nanti saya bisa bikin di rumah." Dengan sedikit terbata Syakila akhirnya menemukan alasan saat kepergok. Untunglah jari yang mengaduk minuman itu sudah ditariknya.Rosa kembali mendengus tak suka. 'Dasar celamitan! Norak!' umpatnya dalam hati dengan ekspresi tak suka."Mana sendoknya, Bu?" Syakila berusaha mengalihkan perhatian."Nih!" timpal Rosa ketus seraya memberikan sendoknya."Terima kasih."Beberapa menit berlalu dengan keheningan. Rosa tak sabar menunggu Syakila mengeluh pusing lalu terlelap. Namun, sudah menunggu lebih dari 20 menit tanda-tanda Syakila akan tertidur tak jua terlihat."Ibu kenapa? Sakit kah? Kok malah bengong. Katanya mau nemenin saya minum." Ucapan Syakila membuat Rosa terkesiap hingga akhirnya meneguk minumannya cukup banyak.Syakila tersenyum tipis seraya mengunyah kue kering."Kamu juga minum, dong," ucap Rosa."Iya." Syakila lalu mengambi
Bugh!Satu pukulan balasan dari penjahat itu berhasil mengenai pipi Kamil. Syakila kembali histeris. Baku hantam pun tak terelakkan. Satu lawan satu. Meski begitu Kamil yang memang tidak terlalu jago bela diri itu akhirnya kalah. Wajahnya sudah babak belur. "Makanya jangan sok jadi pahlawan. Sekarang, habislah riwayatmu!" Si penjahat menggertak lalu kembali ingin melayangkan pukulan.Namun, Devan segera datang dan dengan tenaga penuh menendang tubuh penjahatnya hingga ambruk mengenai trotoar."Hei! Siapa kamu!" teriak penjahat yang memegangi Syakila.Seketika Devan menoleh, dan tanpa pikir panjang ia menghajar penjahat itu.Syakila terlepas. Dengan perasaan takut dan gemetar dia bersembunyi di balik tong sampah besar agak jauh dari sana. Sesekali ia melihat Devan yang sedang berkelahi. Untunglah beberapa saat kemudian banyak warga yang datang sehingga dua penjahat itu lari kalang kabut.Menyadari itu Syakila berdiri lalu mendekati Devan dan memeluknya erat."Tenanglah, semua sudah
"Maaf ya, Beb, akhir-akhir ini aku sibuk banget. Jadi jarang ketemu kamu deh." "Iya, gak pa-pa, kok. Aku malah seneng kamu dapat job terus. Semoga makin sukses." "Makasih. Kamu memang selalu mengerti aku." Dion menggenggam tangan Jasmin di atas meja. Mereka sedang melakukan makan malam romantis di sebuah kafe. Dion sengaja mengajak Jasmin bertemu untuk melancarkan rencananya. "Oh, iya. Kamu bisa narik aku kerja di manajemen kamu gak? Aku lagi butuh pekerjaan banget nih." Jasmin yang memang belum bekerja setelah dipecat oleh Nita meminta bantuan, berharap kekasihnya itu bersedia meringankan bebannya. Mendengar itu Dion menggaruk rambut belakangnya. "Gimana, ya?" "Gak bisa ya?" Jasmin nampak kecewa. "Eum ... Bukan gitu. Nanti aku coba tanya-tanya dulu, ya. Aku gak tau soalnya." Dion berusaha membuat Jasmin kembali bersemangat. "Beneran? Makasih ya, Beb." "Sama-sama. Ngomong-ngomong, kenapa sih kamu bisa dipecat? Sombong banget ya pemilik butik itu, main pecat aja." Dion
"Maaf, Pak. Saya izin pergi dulu. Terima kasih makanannya." Kamil berpamitan dengan terburu-buru. Bahkan dia segera melangkah tak sempat menunggu jawaban Devan maupun Syakila. Akan tetapi Devan dengan cepat menghalangi Kamil yang hampir menyentuh pintu."Ada apa? Kenapa kamu terlihat terburu-buru begitu?"Kamil terpaksa berbalik, "Mantan mertua saya meninggal, Pak. Dia ditemukan tergantung di kamarnya.""Innalilahi wainnailaihi roji'un." Secara bersamaan Devan dan Syakila berucap. Syakila sampai menutup mulutnya saking terkejutnya."Baiklah, kamu memang harus segera ke sana. Semoga semuanya cepat selesai," ujar Devan masih duduk di tempatnya."Iya, Pak. Terima kasih." Kamil lalu membuka pintu dan pergi dari ruangan itu.Syakila masih tertegun di tempat. Mendengar ada orang meninggal karena bunuh diri dia memang selalu merasa sedikit shock. Dulu dia pernah merasakan keputusasaan yang begitu dalam. Pernah terbesit dalam benak untuk mengakhiri hidup saat itu, tetapi beruntung akal seh
Mobil yang dikendarai Devan telah memasuki halaman rumah sakit. Tak ada pembicaraan berarti dari keduanya saat dalam perjalanan tadi. Pun ketika Devan selesai menelpon, Syakila urung menanyakan keingintahuannya. Dia percaya suaminya itu pasti akan melakukan yang terbaik untuk semua. Jika sudah waktunya, dirinya pasti akan diberi tahu."Ayok, Sayang, kita keluar.""Iya, Mas."Setelah itu keduanya berjalan beriringan memasuki rumah sakit."Aku sudah tidak sabar bertemu Kak Rani, Mas. Akhirnya setelah sekian lama dia sadar dari komanya," ujar Syakila mengiringi langkah."Iya. Mas ikut senang. Tapi kamu harus ingat dengan bayi kita, kamu tidak boleh terlalu sering bolak-balik ke sini. Nanti Mas akan kirim beberapa orang untuk menjaga Kak Rani mu.""Iya, Suamiku. Makasih, ya." Syakila langsung mengeratkan genggaman tangannya yang memang sudah sejak tadi digandeng oleh Devan."Sama-sama, Sayang," balas Devan.Kemudian mereka fokus pada langkah menuju kamar di mana Maharani di rawat. Setel
"Karena belum waktunya, Sayang. Aku berniat nanti setelah kita ke kantor polisi baru cerita sama kamu." Devan menarik lembut tangan Syakila untuk duduk. Syakila menurut."Jangan marah, ya? Aku cuma mau bantu kamu aja, kok. Aku gak mau kamu terlalu banyak pikiran makanya aku diam-diam aja," pinta Devan sembari menggenggam tangan Syakila.Syakila tersenyum, "Iya, Mas. Aku gak marah, kok. Cuma kaget pas tahu kamu ternyata yang sudah membuat laki-laki jahat itu ketangkep. Makasih, ya, tapi harusnya Mas bilang dong." Syakila cemberut."Kan Mas sudah bilang, gak mau kamu terlalu banyak pikiran. Mas mau kamu fokus sama calon bayi kita di sini." Devan mengelus lembut perut istrinya."Iya, sih. Ya udah deh, gak pa-pa." Syakila tersenyum kembali membuat Devan lega."Gitu, dong. Tambah cantik kalau senyum, Mas suka," bisik Devan lalu mendekat ingin mencium Syakila."Jangan di sini, Mas. Malu," tolak Syakila dengan wajah bersemu."Maksudmu, nanti di rumah saja kita lanjutkan?""Mas, iiihh ..." S