"mau ke mana?" Devan mencekal tangan Syakila ketika hendak beranjak."Mau bukain pintu, Mas. Kasihan Aira.""Tunggu dulu. Sepertinya sudah ada ibu yang menangani." Keduanya terdiam berusaha mendengar suara serupa gumaman dari luar. Benar. Itu suara Bu Sukoco yang sedang membujuk Aira untuk pergi bersamanya."Ibu memang yang terbaik," ucap Devan setelah tak lagi terdengar suara."Mas Devan ini.""Yuk lanjutin," bisik Devan membuat Syakila tersipu."Tapi ...""Kenapa?""Aku belum shalat isya, Mas.""Sama, Mas juga belum. Ya udah, kita shalat berjamaah dulu, sekalian shalat sunah dua rakaat." Sembari mengedipkan satu matanya, Devan dengan genit menggoda Syakila."Au, ah. Mas Devan genit." Lalu Syakila buru-buru menuju kamar mandi menghindari godaan.Di dalam kamar mandi, Syakila meraba dadanya yang berdegup lebih kencang dari biasanya. "Kenapa jadi kaya remaja jatuh cinta gini, sih? Padahal biasanya juga tidak terlalu begini." Monolognya."Apa begini rasanya habis berantem lalu baikan
"Lepas!" sentak Jasmin saat tangannya di pegang oleh Dion. Mereka sudah berada di luar."Tenang, Jas. Aku bisa jelaskan baik-baik masalah ini. Kita bicarakan semua dengan kepala dingin, jangan seperti ini." Dion berusaha membujuk."Tenang bagaimana? Jelas-jelas kamu berpelukan dengan wanita lain di depanku. Siapa yang tidak panas, hah!" Jasmin masih meluapkan emosi."Dion, dia siapa kamu?" Kali ini Renata yang mengeluarkan sebuah pertanyaan."Aku pacarnya. Dan kami akan segera menikah! Tahu kamu!" Jasmin yang menjawab dengan nada nyolot."Pacar? Aku gak salah dengar, Ion?" balas Renata pada Dion."Nanti aku jelasin, Ren. Eum ..." Dion mendadak bingung. Antara menyuruh Renata pulang sendiri atau Jasmin.Akan tetapi jika Renata yang pulang sendiri, dia tak tega. Apalagi malam semakin larut. Namun, jika Jasmin yang sendirian, Dion membutuhkan tubuh wanita itu untuk melampiaskan nafsunya yang tak bisa tersalurkan bersama Renata, meski sejujurnya lelaki itu ingin sekali melakukannya bersa
"Sial. Kenapa hidupku jadi kacau begini, sih?""Kak Yumna mengidap penyakit yang memalukan. Kak Kamil rumah tangganya berantakan. Mama kerjaannya cuma ngomel melulu sampai kupingku sakit mendengarnya. Ini malah Dion kepergok dansa sama cewek lain. Benar-benar sial!"Jasmin bermonolog di dalam kamar kosannya. Penampilannya berantakan karena pusing memikirkan nasib keluarganya yang tak berhenti mendapat cobaan. Sayangnya wanita yang belum genap berusia dua puluh tahun itu tak menyadari bahwa apa yang mereka tuai adalah buah dari yang mereka tanam sebelumnya. Dia pun tak menyadari tentang penyakit kelamin yang diderita kakaknya adalah akibat pergaulan bebas.Wanita berkulit kuning langsat itu justru menggunakan sebungkus rokok untuk menemani malamnya. Dia bahkan terpaksa mematikan data seluler agar tak ada seorangpun yang menggangu."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku butuh Dion, tapi dia sibuk! Aarrggg!" Berulang kali Jasmin menyugar rambutnya dengan kasar.Menghisap satu batang
Decitan mobil yang ditumpangi Syakila terdengar nyaring. Kentara sekali si pengemudi sangat terburu-buru. Di halaman sebuah rumah sakit, wanita yang menyetir sendirian itu keluar dari mobil lalu berjalan setengah berlari menuju lobby. Di tempelkannya ponsel di telinga untuk menghubungi mertuanya. "Halo, Bu. Syakila sudah di lobby rumah sakit. Ibu di mana?" "Ibu masih di UGD. Gak jauh kok dari lobby." "Ya sudah, Syakila ke sana." Panggilan pun terputus. Setelah bertanya pada resepsionis, Syakila bergegas menuju tempat di mana Devan berbaring lemah. "Ibu ... Ya Allah, Mas Devan, kenapa bisa sampai begini?" Syakila cemas melihat keadaan Devan yang tak berdaya dengan selang infus di tangannya, setelah beberapa saat kemudian sampai di UGD. "Sayang ..." lirih Devan sembari mengulurkan tangan, yang segera disambut oleh Syakila. "Dari kamu berangkat ke butik pagi tadi, dia muntah terus. Satu suap pun gak ada makanan yang masuk ke perutnya. Bahkan minum air putih saja dia mual."
"Bu Sundari." Syakila terbelalak melihat wanita tua berdaster nampak lusuh berdiri di depannya.Penampilannya berantakan sangat berbeda dengan dulu di saat dengan angkuhnya mempermalukan Syakila di depan umum."Sedang apa kamu di sini? Mau memata-matai keluarga ku, ya. Atau masih berharap sama Kamil?" ucap Sundari terdengar sinis.Alis mata Syakila mengernyit. Mengharapkan Kamil? Untuk apa? Lucu sekali pemikiran orang tua ini."Maaf, ya, Bu Sundari yang terhormat. Saya tidak ada waktu untuk meladeni Anda. Permisi." Tak ingin membuang waktu, Syakila memilih mengabaikan Sundari dan kembali fokus menunggu namanya dipanggil."Dasar sombong! Baru juga punya butik begitu doang udah sok," cibir Sundari yang tak dihiraukan oleh Syakila."Owh, jadi kamu bunting? Sama siapa?" Sembari melirik tulisan di pintu dokter kandungan, Sundari kembali berkata.Syakila masih tak tertarik untuk menanggapi membuat Sundari semakin kesal."Heh! Kalau orang tua lagi ngomong didengerin!" ujar Sundari berbisik s
"Garis dua?" ujar Devan masih melihat tespek di tangannya. Matanya seketika berbinar dan langsung beranjak dari ranjang lalu meraih kedua tangan Syakila. "Ini beneran? Kamu gak lagi ngerjain Mas 'kan?" "Ish Mas Devan ini. Untuk apa aku ngerjain kamu." "Ya Allah, terima kasih banyak. Mas seneng banget, Sayang." Devan menarik tubuh Syakila ke dalam pelukannya. "Iya, Mas. Aku juga seneng banget. Gak nyangka kalau ternyata aku hamil. Sebentar lagi aku jadi ibu, Mas." Syakila terharu. Sukoco yang sedari tadi menyaksikan pun mendekat. Dielusnya punggung Syakila seraya bekata, "Selamat, Nak. Semoga Allah selalu memberikanmu kesehatan, melindungi calon cucu Ibu sehingga lahir dengan selamat ke dunia." Syakila melerai pelukan. Dia lalu menatap ibu mertua yang sedang tersenyum hangat. "Aamiin. Makasih, Bu." Syakila beralih memeluk Sukoco. Setelah beberapa saat, pelukan itu mengendur. "Tadi ibu kira perkiraan kita salah. Habisnya kamu dateng dengan wajah lesu," ucap Sukoco.
Tut!Panggilan seketika terputus begitu saja. Dion benar-benar dibuat tak tahan oleh tindakan Renata. Wanita itu kini mulai pandai memainkan cara mengendalikan lelaki yang lemah syahwat, terutama seorang Dion yang memang sudah sejak lama menyimpan rasa padanya.Tanpa mengingat Tuhan, apalagi Jasmin, Dion dan Renata hanyut dalam indahnya kesenangan semu dalam kubangan dosa. Erangan dan desahan saling bersahutan hingga mereka sampai pada puncaknya.Sungguh, agaknya mereka mulai ketagihan menikmati sentuhan satu sama lainnya.Masih di rumah sakit, Jasmin sedikit merasa cemas pada keadaan Dion yang memutuskan panggilan secara tiba-tiba."Apa dia benar-benar sakit, ya? Kasihan banget," gumamnya.Kaki yang sedang melangkah melewati tempat pengambilan obat, seketika muncul sebuah pemikiran untuk membelikan obat sakit perut untuk Dion. Mengingat lelaki itu memang sebelumnya sudah pernah sakit perut, dan tak bisa sembuh dengan sendirinya tanpa bantuan obat."Iya deh aku belikan dia obat. Sekal
Dua manusia yang tengah bercumbu itu terperanjat. Dion dengan pelan mendorong tubuh Renata."Kenapa sih!" Renata mencebik tak suka dengan sikap Dion yang terkesan takut pada suara yang terdengar."Ssssttt, diam dulu." Terpaksa Dion membekap mulut Renata.Di luar sana pintu masih diketuk. Jasmin celingukan merasa heran karena tak ada sahutan dan sepi."Apa Dion pergi, ya? Motornya juga gak ada. Apa lagi cari obat? Kasihan." Jasmin bermonolog.Diambilnya handphone dalam tasnya lalu bersiap mengirim pesan pada sang kekasih.Namun, baru saja membuka aplikasi berwarna hijau itu sebuah panggilan dari Nita muncul."Ngapain sih dia nelpon-nelpon? Ganggu aja!"Panggilan itu tak dihiraukan. Dia kembali pada niatan awal yakni menghubungi Dion.[Kamu di mana? Aku di depan kosan kamu, bawain obat.]Baru terkirim lalu ada satu pesan masuk.[Angkat telepon saya atau kamu akan menyesal!]Bukan dari Dion, tetapi dari Nita. Tak ayal Jasmin pun segera mengangkat telepon yang masuk tak lama setelah memba
Bamantara segera memanggil dokter. Sementara Sukoco, Amber dan Devan berdiri di sisi ranjang persalinan Syakila."Silakan menunggu di luar. Kami akan segera melakukan tindakan. Cukup suaminya saja yang berada di sini," ucap dokter sesaat setelah ia memeriksa pembukaan Syakila yang sudah genap."Baik, Dok." Mereka semua keluar, menyisakan Devan yang gemetar menemani Syakila.Dibantu beberapa perawat, dokter perempuan spesialis kandungan mengarahkan Syakila untuk mengatur napas.Suara erangan Syakila terus menggema di ruang bersalin. Devan tidak melepaskan genggaman tangannya, matanya memerah, dan hatinya penuh doa yang tak putus. Keringat deras membasahi dahi Syakila, tetapi semangatnya tak tergoyahkan."Sayang, kamu kuat. Sebentar lagi selesai," bisik Devan, suaranya bergetar menahan rasa cemas yang menyelubungi hatinya.Dokter memberi isyarat kepada Syakila untuk kembali mendorong dengan tenaga terakhir. "Ayo, Bu, sekali lagi! Tarik napas dalam dan dorong sekuat tenaga!"Dengan satu
Mendengar teriakkan Renata, seketika membuat Devan dan ibunya panik. Sementara dokter segera mengambil tindakan dengan memberikan obat penenang. Terpaksa hal itu harus dilakukan kembali karena keadaan Renata yang belum bisa stabil mengontrol dirinya.Perlahan tapi pasti, teriakan Renata melemah dan akhirnya dia terbaring dengan mata terpejam di tempat tidur."Kira-kira, apa Renata bisa sembuh, Dok?" tanya Sukoco setelah mereka berada di luar ruangan."Semua kemungkinan tetap ada, Bu. Kita hanya bisa berusaha, selebihnya Tuhan yang akan menentukan," sahut dokter."Lakukan yang terbaik untuk Renata, Dok. Saya serahkan pada tim dokter di sini sembari membantu dengan doa," timpal Devan."Tentu, kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.""Terima kasih. Kalau begitu, kami pamit dulu, Dok. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya.""Baik, Pak Devan. Terima kasih kembali."Kemudian mereka berpisah di lorong yang berbeda tujuan. Devan dan Sukoco berjalan pulang, sementara
Suasana mendadak sunyi seakan menunggu jawaban Devan. Entah karena memang ingin mengetahui kabar Renata, atau karena bingung dengan reaksi Devan yang berubah mimik ketika ibunya bertanya, semua yang duduk lesehan di ruang tengah menatapnya.Menghembuskan napas panjang, Devan pun akhirnya menjawab setelah beberapa saat terdiam, "Renata sekarang berada di rumah sakit, Bu. Keadaannya tidak baik-baik saja.""Innalillahi ... Apa dia sakit di penjara?" Dengan keterkejutan yang tak dapat disembunyikan, Sukoco kembali bertanya."Devan juga kurang tahu, Bu. Rencananya besok Devan akan menjenguk untuk melihat keadaannya. Semoga dia baik-baik saja.""Kasihan sekali dia. Lalu, apakah Rosa tahu kalau Renata sakit?""Sepertinya belum, karena Tante Rosa sudah lama pindah dan Devan tidak tahu tempat tinggalnya yang baru."Sukoco mendesah pelan. Rasa iba seketika menghinggapi mengingat Renata pernah tinggal bersamanya. Meskipun akhir-akhir ini sikap gadis itu melewati batas, tetapi Sukoco tahu bahwa s
"Maafkan aku, Veen. Aku gak tega menyembunyikan dari mereka, terlebih kamu harus melewatinya hanya bersama Mas Devan. Ya, meskipun aku tahu, kalian pasti bisa melewati semuanya," terang Nita menyela ucapan Syakila.Sahabatnya itu benar-benar tak tega saat menjenguknya beberapa waktu lalu di rumah sakit, sehingga keceplosan bilang pada Bamantara saat bertemu di butik. Nita pikir, dengan adanya do'a dari keluarganya, mungkin bisa mengurangi rasa sakit Syakila."Jangan salahkan Nita, Nak. Kita yang memaksanya untuk bicara," timpal Bamantara, memandang cucu angkatnya dengan sendu. Rasanya tak tega melihat wanita itu diuji terus menerus sejak dulu. Walaupun cuma cucu angkat, tapi Bamantara benar-benar menyayanginya."Lagian, kenapa kamu menyembunyikannya dari kami, hem?" tanya Amber sembari mengusap kepala Syakila.Istri dari Devan itu hanya menunduk. "Kila hanya tidak ingin terus menerus menambah beban pikiran kalian," lirihnya."Apa yang kamu katakan, Sayang. Kamu ini bukan beban, tapi k
Devan meletakkan ponselnya di meja dengan tangan bergetar. Napasnya terasa berat, dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang membingungkan. Wajahnya pucat, membuat Syakila semakin cemas.“Mas, apa yang mereka katakan?” tanyanya dengan nada panik.Devan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Polisi bilang... Renata dalam kondisi buruk di penjara. Dia sering membuat keributan, dan itu membuat dia harus ditempatkan di ruang isolasi dan kemungkinan akan dipindahkan ke tahanan rumah sakit kejiwaan. Mereka minta aku datang.”“Astaghfirullah. Kenapa bisa begitu, Mas?" ucap Syakila tak kalah terkejut."Mas juga gak tahu, Sayang. Mas akan telepon Pak Herman saja untuk mengurusnya."Syakila tertegun sejenak. Ia tak tega melihat suaminya dilanda banyak masalah dan tanggung jawab. Andai bisa, ia ingin sekali membantu, tetapi kondisinya yang lemah mungkin hanya akan memperburuk keadaan. Untuk itu Syakila ingin mengurangi beban pikiran suaminya dengan pulang dan istirahat di Jakarta saja supaya l
Renata duduk di sudut ruangan. Tubuhnya yang dulu anggun kini hanya menyisakan bayang-bayang kesengsaraan dengan rambutnya yang kusut."Mas Devan... tolong aku," lirihnya, hampir tak terdengar. Namun, suara itu terus diulang-ulang, seolah menjadi satu-satunya pegangan di tengah kegelapan.Para narapidana lain di sel besar itu menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang iba, tapi lebih banyak yang mencemooh. Salah satu dari mereka, wanita bertubuh kekar dengan tato di lehernya, mendekat sambil menyeringai."Kau pikir orang yang kau sebut namanya itu akan menyelamatkanmu? Hah! Kau ini cuma boneka yang sudah dibuang. Lihat dirimu sekarang!" Wanita itu meludahi tanah, matanya memandang Renata dengan jijik.Renata memejamkan matanya, mencoba mengabaikan ejekan itu. Tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang ingatan tentang Devan. Pria itu—satu-satunya yang dia anggap mampu menyelamatkannya dari tempat ini."Mas Devan pasti akan datang," gumam Renata. Suaranya nyaris tak terdengar, t
Meski sudah berbulan-bulan tak sadarkan diri, kakak kandung almarhum Kamil itu masih sangat mengenali pria gagah di hadapannya. Pria yang dulu begitu didambanya, tetapi pada akhirnya dia harus merelakan ia berjodoh dengan yang lain meskipun awalnya penuh ketidakrelaan."Syukurlah akhirnya kamu sadar, Yum. Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa yang kamu keluhkan?" Devan memberondong Yumna dengan pertanyaan setelah dokter selesai memeriksanya.Tak menjawab, Yumna menyunggingkan senyum tipis. Dokter kemudian menjelaskan bahwa kondisi Yumna sudah lebih baik, hanya saja ada beberapa hal yang ingin dokter sampaikan pada Devan tetapi tanpa sepengetahuan Yumna. Melalui sebuah kode, dokter itu menyuruh Devan untuk ikut dengannya ke ruangan."Kamu istirahatlah, aku keluar dulu," ucap Devan. Yumna mengangguk lemah.***"Maaf sebelumnya, apakah Anda suami dari pasien?" tanya dokter ketika mereka sudah berada di ruangan konsultasi."Bukan, Dok. Saya temannya. Atas permintaan almarhum adiknya, saya ya
Di lorong rumah sakit, Devan duduk termenung di salah satu bangku, menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Pikirannya berkelana, memikirkan dua wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya—Sundari dan Yumna. Pesan terakhir Kamil masih terngiang jelas dalam ingatannya."Tolong jaga mamaku yang sedang struk, juga Kak Yumna yang masih koma."Suara langkah kaki membuat Devan menoleh. Perawat yang tadi menangani Sundari datang menghampirinya."Pak Devan, saya sudah memeriksa keadaan Bu Sundari. Sejauh ini stabil, tapi... sepertinya beliau sangat berharap Pak Kamil datang," ujar perawat itu hati-hati.Devan mengangguk lemah. "Saya mengerti. Saya akan mencari waktu yang tepat untuk bicara dengannya."Perawat itu ragu sejenak sebelum melanjutkan. "Saya yakin Pak Kamil ingin yang terbaik untuk keluarganya. Tapi beban ini tentu tidak mudah bagi Anda. Jika butuh bantuan, kami di sini siap mendukung."Devan tersenyum tipis, merasa sedikit terhibur oleh perhatian perawat itu. "Terima kasih. Sa
Beberapa saat kemudian, perawat yang tadi berjanji kembali memasuki ruangan. Wajahnya tampak sedikit tegang, tapi dia mencoba tersenyum agar tidak menambah kecemasan pasiennya."Ibu, saya sudah coba hubungi Pak Kamil," katanya lembut.Sundari, yang terbaring di tempat tidur, berusaha menggerakkan bibirnya untuk bertanya. Namun, hanya gumaman lemah yang keluar. Perawat itu segera mendekat, menggenggam tangan Sundari dengan hati-hati."Pak Kamil sedang sibuk, Bu. Tapi beliau titip pesan bahwa beliau sangat sayang sama Ibu dan akan segera datang jika urusannya selesai," lanjutnya dengan suara penuh kebohongan yang terdengar begitu tulus.Mata Sundari sedikit berkaca-kaca. Meskipun tidak bisa berkata-kata, ia mencoba menunjukkan rasa terima kasih dengan menggenggam lemah tangan perawat tersebut."Tenang saja, Bu. Saya akan pastikan Ibu tetap sehat supaya bisa bertemu beliau nanti," ucap perawat itu sambil menyeka sudut matanya yang mulai basah.Namun di dalam hatinya, perawat itu merasa s