"Garis dua?" ujar Devan masih melihat tespek di tangannya. Matanya seketika berbinar dan langsung beranjak dari ranjang lalu meraih kedua tangan Syakila. "Ini beneran? Kamu gak lagi ngerjain Mas 'kan?" "Ish Mas Devan ini. Untuk apa aku ngerjain kamu." "Ya Allah, terima kasih banyak. Mas seneng banget, Sayang." Devan menarik tubuh Syakila ke dalam pelukannya. "Iya, Mas. Aku juga seneng banget. Gak nyangka kalau ternyata aku hamil. Sebentar lagi aku jadi ibu, Mas." Syakila terharu. Sukoco yang sedari tadi menyaksikan pun mendekat. Dielusnya punggung Syakila seraya bekata, "Selamat, Nak. Semoga Allah selalu memberikanmu kesehatan, melindungi calon cucu Ibu sehingga lahir dengan selamat ke dunia." Syakila melerai pelukan. Dia lalu menatap ibu mertua yang sedang tersenyum hangat. "Aamiin. Makasih, Bu." Syakila beralih memeluk Sukoco. Setelah beberapa saat, pelukan itu mengendur. "Tadi ibu kira perkiraan kita salah. Habisnya kamu dateng dengan wajah lesu," ucap Sukoco.
Tut!Panggilan seketika terputus begitu saja. Dion benar-benar dibuat tak tahan oleh tindakan Renata. Wanita itu kini mulai pandai memainkan cara mengendalikan lelaki yang lemah syahwat, terutama seorang Dion yang memang sudah sejak lama menyimpan rasa padanya.Tanpa mengingat Tuhan, apalagi Jasmin, Dion dan Renata hanyut dalam indahnya kesenangan semu dalam kubangan dosa. Erangan dan desahan saling bersahutan hingga mereka sampai pada puncaknya.Sungguh, agaknya mereka mulai ketagihan menikmati sentuhan satu sama lainnya.Masih di rumah sakit, Jasmin sedikit merasa cemas pada keadaan Dion yang memutuskan panggilan secara tiba-tiba."Apa dia benar-benar sakit, ya? Kasihan banget," gumamnya.Kaki yang sedang melangkah melewati tempat pengambilan obat, seketika muncul sebuah pemikiran untuk membelikan obat sakit perut untuk Dion. Mengingat lelaki itu memang sebelumnya sudah pernah sakit perut, dan tak bisa sembuh dengan sendirinya tanpa bantuan obat."Iya deh aku belikan dia obat. Sekal
Dua manusia yang tengah bercumbu itu terperanjat. Dion dengan pelan mendorong tubuh Renata."Kenapa sih!" Renata mencebik tak suka dengan sikap Dion yang terkesan takut pada suara yang terdengar."Ssssttt, diam dulu." Terpaksa Dion membekap mulut Renata.Di luar sana pintu masih diketuk. Jasmin celingukan merasa heran karena tak ada sahutan dan sepi."Apa Dion pergi, ya? Motornya juga gak ada. Apa lagi cari obat? Kasihan." Jasmin bermonolog.Diambilnya handphone dalam tasnya lalu bersiap mengirim pesan pada sang kekasih.Namun, baru saja membuka aplikasi berwarna hijau itu sebuah panggilan dari Nita muncul."Ngapain sih dia nelpon-nelpon? Ganggu aja!"Panggilan itu tak dihiraukan. Dia kembali pada niatan awal yakni menghubungi Dion.[Kamu di mana? Aku di depan kosan kamu, bawain obat.]Baru terkirim lalu ada satu pesan masuk.[Angkat telepon saya atau kamu akan menyesal!]Bukan dari Dion, tetapi dari Nita. Tak ayal Jasmin pun segera mengangkat telepon yang masuk tak lama setelah memba
"Apa maksud Kakak? Dion tulus padaku. Kakak tidak tahu apapun tentang Dion, jadi kakak tidak berhak mengatakan hal itu!" Jasmin justru kesal mendengar kekasihnya dijelekkan Kamil."Kata siapa? Kakak bisa buktikan ucapan Kakak.""Memangnya bukti apa?""Kakak harap kamu tidak kaget setelah melihat gambar yang akan kakak tunjukkan."Lalu Kamil mengambil handphone di sakunya dan membuka sebuah file berisi video kemesraan Dion dan Renata. Rupanya diam-diam dia menyelidiki kegiatan Dion. Sebagai seorang Kakak, Kamil ingin yang terbaik untuk adiknya.Namun, belum sempat video itu ditunjukkan, sebuah nomor asing menghubunginya.Penasaran, Kamil mengangkatnya sebab memang dirinya sedang menunggu panggilan kerja setelah beberapa hari lalu melamar pekerjaan di sebuah perusahaan."Halo.""Permisi, dengan Bapak Kamil suami dari Ibu Della?" Sebuah suara seorang pria terdengar."Sekarang sudah mantan, Pak." Kamil meralat."Oh, maaf. Saya dari kepolisian mau mengabarkan bahwa Nona Della beserta seora
"Sial. Benar-benar sial! Kenapa jadi begini, sih?""Aduh ... Kalau begini kepalaku jadi pusiiing."Sundari terus menggerutu setelah sampai di rumah. Badan gempalnya bersandar pada sofa sembari memejamkan mata. Dia tidak tahu lagi bagaimana cara membungkam mulut para tetangganya.Yumna yang masih di ruang tengah menghampiri mamanya. "Kenapa, Ma? Kok cuma sebentar. Mama sakit?" tanyanya merasa heran dengan sikap Sundari yang tengah mengurut pelipisnya sendiri.Sundari pun membuka mata. Menatap tajam pada Yumna seraya berdiri. "Ini semua gara-gara kamu! Coba kalau otakmu ini dipake, pasti gak akan begini jadinya." Sundari mengomel, bahkan menoyor kepala Yumna."Ada apa, sih? Kenapa mama jadi nyalahin Yumna?""Ada apa - ada apa! Semua orang sudah tahu tentang kehamilan kamu sama laki-laki tua itu. Mama malu! Tahu kamu! Dasar bodoh!"Setelah puas mencaci anaknya sendiri, Sundari meninggalkan Yumna yang bersedih. Baru kali ini mamanya terlihat begitu marah dan benci padanya.Tanpa mamanya
"Bu Rosa ini siapa sih, Mas? Kok dia kayak ketus gitu ngomongnya. Mana nyuruh Mas datang ke rumahnya segala."Syakila langsung memberondong Devan dengan sebongkah gerutuan akibat ulah Bu Rosa.Devan yang baru banget keluar dari kamar mandi itu dibuat bingung oleh tingkah istrinya yang cemberut, manyun. Kentara sekali ia tengah kesal."Memangnya apa yang dia katakan pada istriku ini sampai-sampai jadi cemberut begini?" Devan mendekatkan wajahnya pada Syakila."Makin cantik kalau lagi cemberut. Apalagi bibirnya, jadi pengen gigit," goda Devan."Mas Devan ... Ditanya malah ngegombal. Sebel." Syakila semakin merajuk. Maklum bumil, jadi bawaannya sensi mulu."Iya cintanya aku ... Maaf deh kalau gitu. Sini Mas pangku. Cerita pelan-pelan, apa yang Bu Rosa katakan barusan?" Devan menarik pelan Syakila untuk duduk di pangkuannya.Syakila menurut saja. Dengan manja dia malah melingkarkan tangannya di leher Devan."Gak bilang apa-apa, sih. Cuma nyuruh Mas datang ke rumahnya. Katanya ada hal pent
Sekitar 45 menit kemudian Devan dan Syakila sampai di rumah Renata. Mobil telah terparkir tetapi suami istri itu belum juga keluar. Sejujurnya Devan enggan sekali untuk datang ke sini. Dia masih tak ingin bertemu dengan Renata mengingat perempuan itu sudah beberapa kali mendekatinya dengan berbagai cara. Jika bukan karena Syakila yang mengiyakan, Devan tak peduli apapun yang terjadi dengan keluarga mendiang istrinya tersebut. "Ingat, Mas. Kita tidak boleh meminum atau memakan apapun yang disuguhkan mereka. Aku sudah bawa ini ..." Syakila menunjukkan sesuatu dalam tas jinjingnya. Sengaja dia membawa tas itu supaya mudah membawa beberapa barang untuk melancarkan aksinya. "Iya, Sayang. Lagian kok kamu bisa kepikiran sampai ke situ?" ujar Devan. "Mas kan lebih dulu kenal Renata, pasti tahu dong kalau dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan Mas. Masa gitu aja gak ngerti!" "Eh, iya sih." Devan menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak merasa gatal. "Ya sudah, yuk kita
"E ... Ini, kok minuman Ibu beda sama punya saya. Kelihatan lebih segar. Saya cuma sedang melihat jus apa itu. Mungkin nanti saya bisa bikin di rumah." Dengan sedikit terbata Syakila akhirnya menemukan alasan saat kepergok. Untunglah jari yang mengaduk minuman itu sudah ditariknya.Rosa kembali mendengus tak suka. 'Dasar celamitan! Norak!' umpatnya dalam hati dengan ekspresi tak suka."Mana sendoknya, Bu?" Syakila berusaha mengalihkan perhatian."Nih!" timpal Rosa ketus seraya memberikan sendoknya."Terima kasih."Beberapa menit berlalu dengan keheningan. Rosa tak sabar menunggu Syakila mengeluh pusing lalu terlelap. Namun, sudah menunggu lebih dari 20 menit tanda-tanda Syakila akan tertidur tak jua terlihat."Ibu kenapa? Sakit kah? Kok malah bengong. Katanya mau nemenin saya minum." Ucapan Syakila membuat Rosa terkesiap hingga akhirnya meneguk minumannya cukup banyak.Syakila tersenyum tipis seraya mengunyah kue kering."Kamu juga minum, dong," ucap Rosa."Iya." Syakila lalu mengambi