Derrtt. Derrtt. Derrtt.Deringan ponsel milik Devan memudarkan keheningan. Diliriknya benda pipih yang tergeletak di atas meja.Ada nama kontak 'My Beloved Wife' yang memanggil.Di seberang sana ... Mendadak perasaan Syakila gelisah seolah merasakan apa yang terjadi dengan suaminya. Dorongan untuk menelpon Devan begitu kuat. Terlepas dari lelaki itu enggan mengangkat panggilannya atau tidak, dia tidak begitu peduli.Syakila yang seharian ini di rumah saja, mondar mandir di dalam kamar seraya melihat layar ponsel berharap ada suara yang menyahuti."Halo."Syakila begitu lega saat suara bariton suaminya terdengar."Apa Mas Devan baik-baik saja? Mas lagi di kantor 'kan?" Syakila langsung mencercanya."Iya. Ada apa?" Meski sedikit ketus, sejujurnya Devan merasa terselamatkan istrinya menelpon."Syukurlah kalau begitu, Mas. Aku lega mendengarnya. Mendadak aku merasa gelisah dan khawatir sama kamu. Aku takut terjadi apa-apa sama kamu."Deg!Ungkapan Syakila berhasil meluluhlantakkan perasaa
"Sayang, tolong maafkan aku. Pukullah aku. Tampar aku. Atau kalau perlu tinju wajahku. Yang penting maafkan suami yang tidak becus ini." Di tengah-tengah tangisnya Devan berujar dengan sedikit terbata. Syakila menunduk. Mengelus punggung Devan, dan mengajak pria itu untuk berdiri. "Jangan begini, Mas. Berdirilah, kita bicarakan baik-baik." Nada suara Syakila pun bergetar. Melihat suaminya menangis ia pun ikut menangis. "Tidak sebelum kamu memaafkan, suami bodohmu ini!" "Jangan berkata seperti itu. Kamu yang terbaik yang kumiliki, Mas." "Aku meragukan ketulusanmu, Sya. Aku menyakitimu. Menyakiti jiwa ragamu. Aku pantas dihukum, tapi tolong maafkan aku, dan jangan tinggalkan aku." "Iya, Mas. Aku sudah memaafkanmu, dan aku tidak akan pernah meninggalkan Mas Devan." Barulah setelah mendengar kata itu meluncur dari bibir Syakila, Devan perlahan berdiri, dibantu Syakila yang memegang kedua pundaknya. Devan memandang sendu wanita berhijab di depannya. Wanita dengan mata teduh
"ke mana sih semua orang? Masa jam segini sudah pada tidur." Renata celingukan berharap ada satu orang saja terlihat di rumah besar itu. Sayangnya rumah itu seperti tak berpenghuni.Hingga tak lama, seorang asisten rumah tangga terlihat berjalan menuju dapur. Renata segera memanggil untuk menanyakan keberadaan penghuni yang lain."Bibi. Sini kamu!""Iya, Non."Si bibi itu pun lantas mendekat. "Ada apa, Non. Ada yang bisa saya bantu?""Ibu, Aira, sama Mas Devan ke mana? Kok sepi.""Ibu ada di kamarnya sama Non Aira. Den Devan juga kemungkinan ada di kamarnya, Non.""Owh ...." Renata mengangguk-anggukkan kepalanya.Si bibi kemudian kembali melanjutkan ucapan, "Kalau Non Syakila sedang pergi, Non. Dengar-dengar pulangnya besok.""Gak nanyain dia aku." Renata memutar bola mata malas. "Eh tapi tunggu." Namun sedetik kemudian ia penasaran."Iya, Non?" sahut bibi."Memangnya ke mana perempuan itu pergi? Kenapa menginap?""Kayaknya pergi ke rumah omanya. Kalau urusannya apa? Saya kurang paham
Syakila segera masuk ke dalam kamar sebelum seseorang yang terdengar derap langkahnya semakin dekat. Mematikan lampu lalu dia menidurkan diri, meringkuk di atas kasur membelakangi pintu, lalu menyelimutinya hingga tertutup semua anggota badan termasuk kepalanya.Selanjutnya dia bersiap siaga menghadapi apa yang akan terjadi berikutnya. Tak lupa ia mengirimkan pesan dari balik selimut pada grup untuk stand by jika terjadi keributan di kamarnya.Ceklek. Terdengar seseorang membuka pintu. Syakila mengatur napasnya, lalu memejamkan mata.Seseorang yang ternyata Renata melangkah pelan menuju pembaringan setelah sebelumnya menutup pintu.Ia sengaja tak menyalakan lampu utama kamar itu, cukup cahaya dari celah jendela dan lampu meja sebagai penerangnya."Sepertinya Mas Devan sudah tidur. Kasihan sekali kamu, Mas, kedinginan sampai meringkuk sendirian seperti itu. Tenanglah, aku akan menghangatkanmu malam ini," gumamnya lalu melepas tali kimono yang ia kenakan.'Kedinginan pala lu peang. Ora
"Aaaaa, sakit, Ren. Lepaskan aku." Syakila sengaja merintih kesakitan karena menyadari bahwa ada banyak orang yang sedang menyaksikan."Renata! Apa yang kamu lakukan!" Teriak Sukoco berhasil menghentikan aksi brutal Renata.Renata menegang tak berkutik. Ia bagai seorang maling yang tertangkap basah.Sukoco berlari sembari menuntun Aira. Mendorong tubuh Renata lalu membantu menantunya untuk berdiri. "Ambil apa saja untuk menutupi tubuhmu!" perintah Sukoco pada Renata sembari merangkul dan mengelus kepala Syakila."Cepat!" sentak Sukoco sebab Renata tak sama sekali bergerak.Renata terlonjak, lalu tergesa mengambil kimono dan mengenakannya."Astaghfirullah, untuk sekuriti belum datang.""Iya, kalau sekuriti melihat baju yang dipakai Non Renata, 'kan kita ikut malu, ya.""Iya. Ih, bisa-bisanya dia pakai baju seperti itu di kamar orang. Mana nyakitin Non Syakila lagi. Tidak tahu diri banget.""Betul. Kalau aku jadi Bu Sukoco, sudah aku seret keluar perempuan seperti itu."Para asisten ru
"Mas Devan percaya sama semua omongan dia?" Syakila sengaja bertanya seperti itu untuk mengetes seberapa dalam kepercayaan Devan padanya."Tidak." Devan menjawab dengan tegas. Kemudian dia menyandarkan punggungnya pada sofa sembari satu tangannya merangkul pundak Syakila dari belakang. "Aku percaya pada istriku."Syakila semakin tersenyum penuh kemenangan sembari memandang remeh Renata."Lalu Ibu. Bagaimana menurut Ibu? Apa aku perlu membeberkan semuanya sekarang?" Kini Syakila beralih memberi pertanyaan pada ibu mertuanya."Tidak perlu. Waktu sudah semakin malam. Ibu ingin cepat istirahat," jawab Sukoco. "Tapi, Mas. Aku berkata jujur. Tolong percayalah padaku." Renata masih saja mengiba.Tak menyangka ternyata hubungan suami istri yang duduk berdampingan itu sudah membaik. Renata kira Devan masih sama seperti Devan yang tadi siang ia temui di kantor."Apa perlu aku tunjukkan pada semua orang hasil rekaman videonya agar kamu berhenti berpura-pura. Aku paling benci dengan manusia mun
"Lambat laun semua orang juga bakal tahu karena perutku semakin membesar tiap bulan." "Jangan sampai orang tahu tentang hal itu. Apa kata mereka kalau tahu kamu hamil tanpa suami. Mama pasti jadi biang gosipan warga sekitar. Malulah, Yum." "Terus gimana, dong, Ma? Aku gak mau bayi ini lahir." Sundari nampak berpikir keras. "Bagaimana kalau kamu minum jamu? Rasanya memang pahit, tapi dijamin berhasil merontokkan janin." Dengan teganya Sundari memberikan ide untuk membunuh calon cucunya sendiri. "Terserah Mama mau pakai cara apa. Yang penting aku terbebas dari janin sialan ini." "Tapi rasanya akan sangat sakit. Kamu harus siap menahannya." "Aku sudah siap, Ma. Dari pada seperti ini. Mau makan apa-apa gak bisa karena mual." "Ya sudah, besok pagi Mama akan cari bahan-bahan yang diperlukan. Semoga ini berhasil." "Iya, Ma. Supaya aku bisa mencari lelaki lain yang lebih segalanya dari pada Devan dan Ray." "Hmmm. Besok pagi Mama ke pasar, dan kamu harus mau meminumnya." "Pasti, Ma.
"Sa-saya tidak tahu, Dok. Setahu saya dia cuma, cuma berhubung sama satu laki-laki." Sundari agaknya sedikit malu di depan dokter. "Berarti kemungkinan laki-laki itu yang menularkan penyakitnya pada Mbak Yumna.""Memangnya penyakit apa, Dok?" Ibu dari Yumna itu begitu deg-degan. Ia khawatir anaknya terkena penyakit HIV. Jika sampai itu terjadi, ke ujung dunia pun Ray akan dia cari untuk bertanggung jawab."Kami menduga Mbak Yumna terkena Gonore, Bu.""Gonore? Apa itu. Apa masih bisa disembuhkan, Dok?" "Jika dibarengi dengan pola hidup sehat, berhenti hubungan intim dengan banyak lelaki, dan meminum obat insyaallah bisa, Bu.""Tapi bukan Aids 'kan, Dok?""Bukan, Bu. Gonore adalah Infeksi bakteri menular seksual, yang jika tidak diobati, dapat menyebabkan infertilitas (Gangguan pada kehamilan). Pemeriksaan rutin dapat membantu mendeteksi tanda-tanda keberadaan infeksi meskipun tidak ada gejala. Dan insyaallah masih bisa disembuhkan.""Huffhh, syukurlah." Sundari bernapas lega. Setidak