"Aku sudah menunggumu, Mas."Suara itu bukan milik istrinya. Seketika Devan melepaskan tangan di perutnya lalu berbalik untuk melihat siapa yang lancang memeluk dirinya."Renata." Mata Devan terbelalak. "Ngapain kamu di sini?"Devan sedikit merutuki diri sebab terlalu berharap sang istri datang memperbaiki hubungan, hingga tak bisa membedakan antara tangan lembut istrinya dengan wanita lain."Aku kangen sama Mas Devan." Renata dengan berani kembali memeluk lelaki tampan di depannya."Apa yang kamu lakukan!" sentak Devan mendorong tubuh Renata."Mas Devan tahu apa yang kulakukan. Mas juga pasti tahu bagaimana aku mendambamu, tapi kenapa Mas selalu mengabaikan aku?" Renata menundukkan wajahnya.Sakit rasanya mendapat penolakan berkali-kali dari Devan. Selama lima tahun mengejar cinta pria itu, tak ada celah sedikitpun yang terbuka untuk menggapai hatinya."Renata, dengar. Kau sudah ku anggap adikku sendiri. Di antara kita tidak mungkin bisa mempunyai hubungan lebih dari itu. Terlebih s
Derrtt. Derrtt. Derrtt.Deringan ponsel milik Devan memudarkan keheningan. Diliriknya benda pipih yang tergeletak di atas meja.Ada nama kontak 'My Beloved Wife' yang memanggil.Di seberang sana ... Mendadak perasaan Syakila gelisah seolah merasakan apa yang terjadi dengan suaminya. Dorongan untuk menelpon Devan begitu kuat. Terlepas dari lelaki itu enggan mengangkat panggilannya atau tidak, dia tidak begitu peduli.Syakila yang seharian ini di rumah saja, mondar mandir di dalam kamar seraya melihat layar ponsel berharap ada suara yang menyahuti."Halo."Syakila begitu lega saat suara bariton suaminya terdengar."Apa Mas Devan baik-baik saja? Mas lagi di kantor 'kan?" Syakila langsung mencercanya."Iya. Ada apa?" Meski sedikit ketus, sejujurnya Devan merasa terselamatkan istrinya menelpon."Syukurlah kalau begitu, Mas. Aku lega mendengarnya. Mendadak aku merasa gelisah dan khawatir sama kamu. Aku takut terjadi apa-apa sama kamu."Deg!Ungkapan Syakila berhasil meluluhlantakkan perasaa
"Sayang, tolong maafkan aku. Pukullah aku. Tampar aku. Atau kalau perlu tinju wajahku. Yang penting maafkan suami yang tidak becus ini." Di tengah-tengah tangisnya Devan berujar dengan sedikit terbata. Syakila menunduk. Mengelus punggung Devan, dan mengajak pria itu untuk berdiri. "Jangan begini, Mas. Berdirilah, kita bicarakan baik-baik." Nada suara Syakila pun bergetar. Melihat suaminya menangis ia pun ikut menangis. "Tidak sebelum kamu memaafkan, suami bodohmu ini!" "Jangan berkata seperti itu. Kamu yang terbaik yang kumiliki, Mas." "Aku meragukan ketulusanmu, Sya. Aku menyakitimu. Menyakiti jiwa ragamu. Aku pantas dihukum, tapi tolong maafkan aku, dan jangan tinggalkan aku." "Iya, Mas. Aku sudah memaafkanmu, dan aku tidak akan pernah meninggalkan Mas Devan." Barulah setelah mendengar kata itu meluncur dari bibir Syakila, Devan perlahan berdiri, dibantu Syakila yang memegang kedua pundaknya. Devan memandang sendu wanita berhijab di depannya. Wanita dengan mata teduh
"ke mana sih semua orang? Masa jam segini sudah pada tidur." Renata celingukan berharap ada satu orang saja terlihat di rumah besar itu. Sayangnya rumah itu seperti tak berpenghuni.Hingga tak lama, seorang asisten rumah tangga terlihat berjalan menuju dapur. Renata segera memanggil untuk menanyakan keberadaan penghuni yang lain."Bibi. Sini kamu!""Iya, Non."Si bibi itu pun lantas mendekat. "Ada apa, Non. Ada yang bisa saya bantu?""Ibu, Aira, sama Mas Devan ke mana? Kok sepi.""Ibu ada di kamarnya sama Non Aira. Den Devan juga kemungkinan ada di kamarnya, Non.""Owh ...." Renata mengangguk-anggukkan kepalanya.Si bibi kemudian kembali melanjutkan ucapan, "Kalau Non Syakila sedang pergi, Non. Dengar-dengar pulangnya besok.""Gak nanyain dia aku." Renata memutar bola mata malas. "Eh tapi tunggu." Namun sedetik kemudian ia penasaran."Iya, Non?" sahut bibi."Memangnya ke mana perempuan itu pergi? Kenapa menginap?""Kayaknya pergi ke rumah omanya. Kalau urusannya apa? Saya kurang paham
Syakila segera masuk ke dalam kamar sebelum seseorang yang terdengar derap langkahnya semakin dekat. Mematikan lampu lalu dia menidurkan diri, meringkuk di atas kasur membelakangi pintu, lalu menyelimutinya hingga tertutup semua anggota badan termasuk kepalanya.Selanjutnya dia bersiap siaga menghadapi apa yang akan terjadi berikutnya. Tak lupa ia mengirimkan pesan dari balik selimut pada grup untuk stand by jika terjadi keributan di kamarnya.Ceklek. Terdengar seseorang membuka pintu. Syakila mengatur napasnya, lalu memejamkan mata.Seseorang yang ternyata Renata melangkah pelan menuju pembaringan setelah sebelumnya menutup pintu.Ia sengaja tak menyalakan lampu utama kamar itu, cukup cahaya dari celah jendela dan lampu meja sebagai penerangnya."Sepertinya Mas Devan sudah tidur. Kasihan sekali kamu, Mas, kedinginan sampai meringkuk sendirian seperti itu. Tenanglah, aku akan menghangatkanmu malam ini," gumamnya lalu melepas tali kimono yang ia kenakan.'Kedinginan pala lu peang. Ora
"Aaaaa, sakit, Ren. Lepaskan aku." Syakila sengaja merintih kesakitan karena menyadari bahwa ada banyak orang yang sedang menyaksikan."Renata! Apa yang kamu lakukan!" Teriak Sukoco berhasil menghentikan aksi brutal Renata.Renata menegang tak berkutik. Ia bagai seorang maling yang tertangkap basah.Sukoco berlari sembari menuntun Aira. Mendorong tubuh Renata lalu membantu menantunya untuk berdiri. "Ambil apa saja untuk menutupi tubuhmu!" perintah Sukoco pada Renata sembari merangkul dan mengelus kepala Syakila."Cepat!" sentak Sukoco sebab Renata tak sama sekali bergerak.Renata terlonjak, lalu tergesa mengambil kimono dan mengenakannya."Astaghfirullah, untuk sekuriti belum datang.""Iya, kalau sekuriti melihat baju yang dipakai Non Renata, 'kan kita ikut malu, ya.""Iya. Ih, bisa-bisanya dia pakai baju seperti itu di kamar orang. Mana nyakitin Non Syakila lagi. Tidak tahu diri banget.""Betul. Kalau aku jadi Bu Sukoco, sudah aku seret keluar perempuan seperti itu."Para asisten ru
"Mas Devan percaya sama semua omongan dia?" Syakila sengaja bertanya seperti itu untuk mengetes seberapa dalam kepercayaan Devan padanya."Tidak." Devan menjawab dengan tegas. Kemudian dia menyandarkan punggungnya pada sofa sembari satu tangannya merangkul pundak Syakila dari belakang. "Aku percaya pada istriku."Syakila semakin tersenyum penuh kemenangan sembari memandang remeh Renata."Lalu Ibu. Bagaimana menurut Ibu? Apa aku perlu membeberkan semuanya sekarang?" Kini Syakila beralih memberi pertanyaan pada ibu mertuanya."Tidak perlu. Waktu sudah semakin malam. Ibu ingin cepat istirahat," jawab Sukoco. "Tapi, Mas. Aku berkata jujur. Tolong percayalah padaku." Renata masih saja mengiba.Tak menyangka ternyata hubungan suami istri yang duduk berdampingan itu sudah membaik. Renata kira Devan masih sama seperti Devan yang tadi siang ia temui di kantor."Apa perlu aku tunjukkan pada semua orang hasil rekaman videonya agar kamu berhenti berpura-pura. Aku paling benci dengan manusia mun
"Lambat laun semua orang juga bakal tahu karena perutku semakin membesar tiap bulan." "Jangan sampai orang tahu tentang hal itu. Apa kata mereka kalau tahu kamu hamil tanpa suami. Mama pasti jadi biang gosipan warga sekitar. Malulah, Yum." "Terus gimana, dong, Ma? Aku gak mau bayi ini lahir." Sundari nampak berpikir keras. "Bagaimana kalau kamu minum jamu? Rasanya memang pahit, tapi dijamin berhasil merontokkan janin." Dengan teganya Sundari memberikan ide untuk membunuh calon cucunya sendiri. "Terserah Mama mau pakai cara apa. Yang penting aku terbebas dari janin sialan ini." "Tapi rasanya akan sangat sakit. Kamu harus siap menahannya." "Aku sudah siap, Ma. Dari pada seperti ini. Mau makan apa-apa gak bisa karena mual." "Ya sudah, besok pagi Mama akan cari bahan-bahan yang diperlukan. Semoga ini berhasil." "Iya, Ma. Supaya aku bisa mencari lelaki lain yang lebih segalanya dari pada Devan dan Ray." "Hmmm. Besok pagi Mama ke pasar, dan kamu harus mau meminumnya." "Pasti, Ma.
Namun, detik berikutnya Kamil berubah pikiran, ia memutuskan untuk mengambil langkah nekat. Dengan tangan yang masih mencengkeram erat leher Shakila, dia menyeringai penuh keyakinan. "Kalau aku tidak bisa lolos, setidaknya aku akan membawa mereka semua ke neraka bersamaku!" gumamnya, menekan pedal kasih nggak habis. Mesin mobil meraung seperti binatang buas yang terluka, melaju kencang menuju brigade polisi. Syakila panik, tangannya reflek mencoba menggoyang-goyangkan setir agar laju mobil berubah arah, atau berhenti. "Kamil, jangan gila! Kau akan membunuh kita semua!""Memang itu yang aku inginkan. Ha ha ha!"Tangan Kamil memukul keras tangan Syakila yang mengganggu setir. "Kau diam saja, Sayang. Aku pastikan kita akan berakhir dalam keabadian sekarang.""Gak! Aku gak mau! Berhenti, Kamil!""Aku akan berhenti kalau kau mau berjanji untuk bersedia hidup bersamaku selamanya.""Dasar gila! Itu tidak akan terjadi." Syakila memukul-mukul lengan Kamil, tetapi pukulan kecil itu hanya dian
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid
Pintu yang tiba-tiba terbuka itu mengagetkan semua orang di dalam ruangan. Kamil langsung berbalik, matanya menyipit marah. "Siapa di sana?!" teriaknya dengan nada tinggi penuh ancaman. Setelah menoleh dengan harapan yang hampir padam, sosok Devan berdiri tegap di ambang pintu dengan wajah yang penuh luka, tetapi matanya menyala dengan amarah yang tak terbendung. Di belakangnya Alex dan Jo berdiri, masing-masing memegang senjata seadanya."Permainanmu sudah selesai, bajingan!"ujar Devan dengan nada dingin namun tegas. Kamil tertawa sinis. "Oh, jadi kalian yang datang ke sini? Lucu sekali. Apa kalian juga ingin menyaksikan pernikahanku dengan Syakila?""Diam kau, Brengsek! Itu tidak akan pernah terjadi!" Devan berteriak dengan amarah yang kian menyala."Oh, ya? Apa hakmu melarang kami menikah? Kau bukan siapa-siapanya Syakila sekarang.""Dia istriku, brengsek!" Untuk kesekian kalinya Devan berteriak penuh emosi."Itu dulu, sebelum kamu menceraikannya. Tapi sekarang ....?Devan tak la