"Hamba percaya ya Allah, Engkau tidak mungkin memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba. Engkau Maha tahu atas segala rasa dan masalah yang sedang hamba lalui. Ya Tuhanku, lapangkan untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskan kekakuan dari lidahku, agar mereka dapat dengan mudah mengerti perkataanku.”Syakila menengadahkan tangan memohon kepada Sang Maha Mengetahui dengan air mata berderai. Tak ada lagi tempat mengadu selain Tuhan. Devan, suami yang biasanya mampu menenangkan pikirannya menghadapi setiap ujian hidupnya, kini seakan berjarak. Sekedar mengajaknya bicara pun sulit, apalagi berkeluh-kesah seperti biasanya.Syakila berpikir, 'Mungkin ini adalah teguran dari Allah karena selama ini dirinya lebih banyak berkeluh-kesah pada makhluk daripada bersujud pada Sang Penciptanya.'"Astaghfirullahaladzim, astaghfirullahaladzim, astaghfirullahaladzim."Setelah mengucap kata aamiin, perempuan dalam balutan mukena putih itu melafazkan istighfar dan dzikir-dziki
Buru-buru Syakila berlari mencari Devan di luar kamar. Kepala yang tak terbalut kerudung itu celingukan mencari sosok suaminya sembari menenteng paper bag yang telah dibuang.Tempat yang memungkinkan suaminya berada di sana adalah ruang kerja. Segera perempuan itu mengetuk pintu yang kebetulan berada dekat dengan kamarnya.Tak ada sahutan apapun, Syakila memutuskan langsung untuk masuk.Benar saja, Devan tengah menelungkupkan kepalanya di atas meja."Kenapa makanan ini kamu buang, Mas?" ucap Syakila.Devan mendongak. Memandang Syakila dengan rambut panjang yang tergerai indah."Apa makanan ini untukku? Tapi kenapa dibuang?" Sekali lagi Syakila mengulang ucapan berupa pertanyaan itu."Karena kupikir kamu tidak membutuhkan lagi," jawab Devan setelah cukup lama diam."Kamu bahkan belum bertanya padaku, Mas.""Aku hanya tidak ingin mengganggu obrolan seseorang yang mungkin sedang melepas rindu."Syakila mengernyit heran, "Melepas rindu?""Iya. Aku sudah cukup lama berada di belakangmu. Ak
Pagi harinya ... Devan belum terlihat dimeja makan, juga dengan Syakila yang belum turun dari kamarnya. Sedang Sukoco, Aira, serta Renata sudah duduk, bersiap untuk sarapan. "Kok mereka belum pada turun, Bu?" tanya Renata merasa heran sembari melihat ke lantai atas. "Sudah biasa itu. Palingan semalam habis lembur," celetuk Sukoco. Renata bukan anak kecil yang tidak tahu dengan maksud perkataan nenek dari Aira tersebut. Dadanya mendadak panas. Tak rela jika Devan memadu kasih dengan istrinya. Harusnya dia yang berada di sana, pikirnya. "Sudah tidak usah ditunggu. Biasanya mereka nanti akan minta bibi untuk mengantar makanan ke atas." Sukoco kembali berujar. Sengaja orang tua itu memanas-manasi Renata berharap wanita yang berstatus tamu itu sadar akan posisinya. "Tante, Aira mau makan roti panggang dong," ucap Aira. "Makan yang ada aja, Ra. Itu kan ada nasi goreng sama bubur ayam." Renata berujar dengan nada sedikit ketus akibat hatinya yang terbakar api cemburu. "K
Di tengah perseteruan adegan saling melempar pandang dengan sengit, Devan kembali memasuki ruangan itu untuk mengambil tas kerjanya.Renata yang kebetulan badannya menghadap ke arah Devan, dengan cepat mengetahui maksud pria itu kembali masuk. Dengan gerakan cepatnya dia mengambil tas yang berada di dekat meja makan lalu kemudian berjalan seolah istri solehah tengah menghampiri sang suami. "Ini tasnya Mas," ucapnya dengan lembut. "Terima kasih," sahur Devan sembari melirik Syakila yang kini sudah menoleh padanya. Kemudian pria yang mengenakan pakaian abu-abu selaras dengan celananya itu berpamitan dengan sang ibu dan juga anaknya. "Devan berangkat dulu, Bu." "Aira, Daddy kerja dulu, ya. Sekolah yang pintar dan tidak boleh nakal. Oke?" "Oke Daddy," tempal Aira kemudian menyalami sang ayah dan dibalas ciuman oleh Devan. "Mas Devan tenang saja, selama ada Rena di sini Aira pasti jadi anak baik. Rena pastikan dia akan selalu bahagia dan tidak kesepian." Dengan tidak tahu malunya R
"Kamu kenapa, Nak?""Kepalaku tiba-tiba pusing, Bu.""Ayo kita duduk dulu."Dengan penuh hati-hati Syakila dituntun untuk kembali duduk di kursi. Sukoco dengan telaten memijit tengkuk dan kepala menantunya."Mungkin karena kamu belum sarapan, Sya.""Mungkin, Bu. Apalagi semalam sempat begadang." Syakila menikmati pijatan ibu mertuanya sembari memejamkan mata."Bersama Devan?""Hah." Syakila membuka mata. "Bukan, Bu. Aku -- Ada kerjaan makanya lembur," imbuhnya kikuk."Tidak apa-apa, kok. Ya sudah, nanti sarapan dulu lalu istirahat. Kalau masih pusing nanti Ibu antar ke dokter.""Tidak perlu, Bu. Habis sarapan pasti enakan. Ini juga sudah mendingan dipijit sama Ibu."Sukoco mengulas senyum. Diurutnya leher belakang Syakila agar badan kurus menantunya lebih terasa enteng."Sudah. Sekarang ayok Ibu temani sarapan," ajaknya setelah selesai memijit."Iya, Bu." Syakila berdiri lalu memeluk ibu dari suaminya sembari berucap, "Makasih ya, Bu. Syakila sangat beruntung punya mertua seperti Ibu
"Aku sudah menunggumu, Mas."Suara itu bukan milik istrinya. Seketika Devan melepaskan tangan di perutnya lalu berbalik untuk melihat siapa yang lancang memeluk dirinya."Renata." Mata Devan terbelalak. "Ngapain kamu di sini?"Devan sedikit merutuki diri sebab terlalu berharap sang istri datang memperbaiki hubungan, hingga tak bisa membedakan antara tangan lembut istrinya dengan wanita lain."Aku kangen sama Mas Devan." Renata dengan berani kembali memeluk lelaki tampan di depannya."Apa yang kamu lakukan!" sentak Devan mendorong tubuh Renata."Mas Devan tahu apa yang kulakukan. Mas juga pasti tahu bagaimana aku mendambamu, tapi kenapa Mas selalu mengabaikan aku?" Renata menundukkan wajahnya.Sakit rasanya mendapat penolakan berkali-kali dari Devan. Selama lima tahun mengejar cinta pria itu, tak ada celah sedikitpun yang terbuka untuk menggapai hatinya."Renata, dengar. Kau sudah ku anggap adikku sendiri. Di antara kita tidak mungkin bisa mempunyai hubungan lebih dari itu. Terlebih s
Derrtt. Derrtt. Derrtt.Deringan ponsel milik Devan memudarkan keheningan. Diliriknya benda pipih yang tergeletak di atas meja.Ada nama kontak 'My Beloved Wife' yang memanggil.Di seberang sana ... Mendadak perasaan Syakila gelisah seolah merasakan apa yang terjadi dengan suaminya. Dorongan untuk menelpon Devan begitu kuat. Terlepas dari lelaki itu enggan mengangkat panggilannya atau tidak, dia tidak begitu peduli.Syakila yang seharian ini di rumah saja, mondar mandir di dalam kamar seraya melihat layar ponsel berharap ada suara yang menyahuti."Halo."Syakila begitu lega saat suara bariton suaminya terdengar."Apa Mas Devan baik-baik saja? Mas lagi di kantor 'kan?" Syakila langsung mencercanya."Iya. Ada apa?" Meski sedikit ketus, sejujurnya Devan merasa terselamatkan istrinya menelpon."Syukurlah kalau begitu, Mas. Aku lega mendengarnya. Mendadak aku merasa gelisah dan khawatir sama kamu. Aku takut terjadi apa-apa sama kamu."Deg!Ungkapan Syakila berhasil meluluhlantakkan perasaa
"Sayang, tolong maafkan aku. Pukullah aku. Tampar aku. Atau kalau perlu tinju wajahku. Yang penting maafkan suami yang tidak becus ini." Di tengah-tengah tangisnya Devan berujar dengan sedikit terbata. Syakila menunduk. Mengelus punggung Devan, dan mengajak pria itu untuk berdiri. "Jangan begini, Mas. Berdirilah, kita bicarakan baik-baik." Nada suara Syakila pun bergetar. Melihat suaminya menangis ia pun ikut menangis. "Tidak sebelum kamu memaafkan, suami bodohmu ini!" "Jangan berkata seperti itu. Kamu yang terbaik yang kumiliki, Mas." "Aku meragukan ketulusanmu, Sya. Aku menyakitimu. Menyakiti jiwa ragamu. Aku pantas dihukum, tapi tolong maafkan aku, dan jangan tinggalkan aku." "Iya, Mas. Aku sudah memaafkanmu, dan aku tidak akan pernah meninggalkan Mas Devan." Barulah setelah mendengar kata itu meluncur dari bibir Syakila, Devan perlahan berdiri, dibantu Syakila yang memegang kedua pundaknya. Devan memandang sendu wanita berhijab di depannya. Wanita dengan mata teduh
Namun, detik berikutnya Kamil berubah pikiran, ia memutuskan untuk mengambil langkah nekat. Dengan tangan yang masih mencengkeram erat leher Shakila, dia menyeringai penuh keyakinan. "Kalau aku tidak bisa lolos, setidaknya aku akan membawa mereka semua ke neraka bersamaku!" gumamnya, menekan pedal kasih nggak habis. Mesin mobil meraung seperti binatang buas yang terluka, melaju kencang menuju brigade polisi. Syakila panik, tangannya reflek mencoba menggoyang-goyangkan setir agar laju mobil berubah arah, atau berhenti. "Kamil, jangan gila! Kau akan membunuh kita semua!""Memang itu yang aku inginkan. Ha ha ha!"Tangan Kamil memukul keras tangan Syakila yang mengganggu setir. "Kau diam saja, Sayang. Aku pastikan kita akan berakhir dalam keabadian sekarang.""Gak! Aku gak mau! Berhenti, Kamil!""Aku akan berhenti kalau kau mau berjanji untuk bersedia hidup bersamaku selamanya.""Dasar gila! Itu tidak akan terjadi." Syakila memukul-mukul lengan Kamil, tetapi pukulan kecil itu hanya dian
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid
Pintu yang tiba-tiba terbuka itu mengagetkan semua orang di dalam ruangan. Kamil langsung berbalik, matanya menyipit marah. "Siapa di sana?!" teriaknya dengan nada tinggi penuh ancaman. Setelah menoleh dengan harapan yang hampir padam, sosok Devan berdiri tegap di ambang pintu dengan wajah yang penuh luka, tetapi matanya menyala dengan amarah yang tak terbendung. Di belakangnya Alex dan Jo berdiri, masing-masing memegang senjata seadanya."Permainanmu sudah selesai, bajingan!"ujar Devan dengan nada dingin namun tegas. Kamil tertawa sinis. "Oh, jadi kalian yang datang ke sini? Lucu sekali. Apa kalian juga ingin menyaksikan pernikahanku dengan Syakila?""Diam kau, Brengsek! Itu tidak akan pernah terjadi!" Devan berteriak dengan amarah yang kian menyala."Oh, ya? Apa hakmu melarang kami menikah? Kau bukan siapa-siapanya Syakila sekarang.""Dia istriku, brengsek!" Untuk kesekian kalinya Devan berteriak penuh emosi."Itu dulu, sebelum kamu menceraikannya. Tapi sekarang ....?Devan tak la