Setelah menuntaskan hasratnya, Devan berlalu begitu saja meninggalkan Syakila dengan pilu yang mendera.Masih tanpa sehelai benang pun, Syakila menangis tanpa suara. Akan tetapi cairan bening itu tak hentinya mengalir begitu deras. Sakit jiwa raganya melebihi apa yang Kamil lakukan dulu padanya. Hatinya terkoyak. Harga dirinya tercabik. Dia ibarat sampah tak berguna yang telah selesai digunakan lalu dicampakkan begitu saja.***Keesokan harinya ...Syakila bersikap biasa saja di depan meja makan saat keluarga itu sarapan. Namun, mata sembabnya tak bisa menutupi betapa dia lelah menangis sepanjang malam.Renata yang menyadari hal itu tertawa puas dalam hati sembari mengumpat, 'Belum apa-apa sudah nangis sepanjang malam. Bagaimana kalau dia sudah dibuang Mas Devan? Dasar cengeng! Sok kuat!''Syakila kenapa matanya sembab, ya? Apa yang sudah terjadi.' Sukoco pun ikut membatin. Dipandanginya sang menantu yang sabar mengambil perhatian pada Devan dan Aira, meski diabaikan keduanya."Mas
"Oh ya? Syakila, Syakila ... Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu baru saja menangis sepanjang malam. Kamu pasti begitu khawatir dan ketakutan dengan keberadaanku di sini, bukan? Apalagi Aira langsung jatuh dalam genggamanku." Sembari bersedekap dada, Renata dengan sombongnya berkata seolah ia telah menang."Aku, takut padamu?" Syakila menunjuk diri sendiri, memasang wajah polos dan lanjut berkata, "Memangnya kamu siapa? Hanya bibit pelakor yang sama sekali tidak penting bagiku.""Apa kamu bilang?!" Renata melotot pada Syakila dengan tangan terkepal ke bawah."CALON PE-LA-KORRR, sayangnya akan gagal merebut Mas Devan dariku. Sudah jelas sekarang?" ujar Syakila menohok sengaja mengeja kata 'pelakor' dengan begitu jelasnya."Kamu!" Renata geram. Dia menunjuk wajah Syakila dengan jari telunjuknya."Kenapa?" balas Syakila tetap santai."Cih! Sok kuat kamu. Jangan kamu pikir aku tidak tahu kalau rumah tanggamu saat ini tidak sedang baik-baik saja. Itu tandanya Mas Devan sudah mulai bosan p
"Aira sayang, yuk sama Tante lagi. Bagaimana kalau kita cari makan di luar saja?" ucap Renata.Di tengah ketegangan yang mendera wanita itu begitu pandai memanfaatkan situasi.Tangis Aira pun mereda. Gadis cilik itu tampak berubah riang menyambut ajakan tantenya."Mau Tante. Yuk kita pergi," ucap Aira."Tante pesan taksi online dulu, ya. Kan Tante gak ada mobil di sini." Renata lalu mengambil ponsel miliknya di saku celana pendek yang ia kenakan."Pakai mobil Daddy saja, Tan," ujar Aira mulai masuk perangkap Renata."Aduh, Tante gak bisa pakai mobil itu, Sayang. Tante takut.""Kalau begitu ajak Daddy aja, ya.""Gak pa-pa, Sayang, gak usah. Kan Daddy kamu baru pulang, pasti masih capek." Renata berpura-pura menolak, padahal itu adalah tujuan utamanya."Daddy mau 'kan makan di luar?" Aira langsung bertanya pada Devan dengan muka memelasnya."Boleh. Kebetulan Daddy belum makan malam," jawab Devan sembari masih memandang Syakila penuh arti.Seketika lengkungan tipis tercipta di bibir Rena
"Oh, jadi kamu Syakila? Si perempuan kampung yang bermimpi jadi istri adikku?"Deg!Baru saja tiba di restoran yang dimaksud sang kekasih untuk bertemu keluarga pria itu, Syakila justru disambut sinis dua perempuan asing dalam balutan kebaya.“Maaf, kalian–”“Ck! Aku Yumna, kakak Kamil, dan ini Jasmin adik Kamil," potong wanita berkebaya cream itu lalu tertawa merendahkan."Jas, panggil Mama. Tamu spesialnya udah dateng," perintah Yumna lagi–masih membiarkan Syakila berdiri di ambang pintu masuk restoran.Beribu tanya sontak berkecamuk di benak Syakila. Dia memang belum dikenalkan pada keluarga Kamil. Tapi, pria itu mengatakan bahwa hari ini keluarganya mengundang Syakila. Lantas, mengapa mereka justru memperlakukannya seperti ini?"Mana gadis kampung itu?" Sebuah suara terdengar dari arah belakang, membuat Syakila tersadar dari lamunan.Dia mendapati seorang wanita paruh baya yang juga mengenakan kebaya tengah berdiri congkak. Tak hanya itu, dia berjalan diikuti Kamil yang diapit len
Ucapan Syakila menggantung, terlebih kala mendapati bosnya tersenyum. "Tahu, dong. Sang Pemimpi kan, namanya? Dongengnya bagus-bagus. Ibu suka nonton sama cucu Ibu." Seketika wajah Syakila memerah karena malu. Ternyata selama ini bos-nya diam-diam mengikuti kegiatan barunya."Hehehe, saya cuma iseng aja, Bu. Daripada gak ngapa-ngapain," terang Syakila kikuk."Udah ada endorse masuk belum?""Endorse apaan, Bu? Orang cuma live begituan siapa yang mau pake.""Ya udah. Kalau gitu, Ibu orang pertama yang akan pake jasa kamu. Mulai malam nanti, kamu live baju-baju dagangan Ibu, ya."Mata Syakila sedikit terbelalak. Bukan ia tak mau membantu bosnya itu, tetapi ia takut baju-baju yang ia pasarkan di platform itu tidak laku. Intinya ia takut gagal!"Tapi saya belum tahu caranya gimana, Bu. Kalau ada yang pesen bagaimana?" Itu hanya alasan saja. Sejauh ini Syakila sudah cukup mengerti perdagangan online. Akan tetapi, ia pura-pura gaptek, agar bosnya itu berpikir ulang."Udah, coba aja dulu.
Di sisi lain, dengan tekad dan keyakinan, Syakila mulai memulai streaming. Menjajakan beberapa baju yang ia bawa. Merapalkan doa-doa dalam hati, berharap usahanya membuahkan hasil. Nyatanya, realita tak sesuai ekspektasi.Apa yang sempat Syakila khawatirkan terjadi. Baju-baju dagangan Bu Sukoco yang di live tak banyak yang terjual.Awalnya Syakila berpikir positif. Mungkin karena dirinya masih pemula, sehingga butuh proses dan waktu untuk membuahkan hasil memuaskan.Namun, hal demikian berlarut pada live-live berikutnya. Malahan, semenjak Syakila menjual baju di dalam live-nya, jumlah penonton dan sawerannya semakin berkurang tiap harinya. Itupun banyak yang mengeluhkan dongeng yang Syakila ceritakan tak semenarik dulu."Sekarang jadi gak asik.""Jadi malas nonton.""Jangan sambil dagang dong, kayak dulu. Biar dongengnya lebih fokus dan menarik."Dan masih banyak lagi komen-komen yang membuat Syakila down.Mawar yang biasa bertaburan pun ikut meredup. Tersisa beberapa orang saja dan
"Dalam hidup ada dua pilihan. Mau menyerah, atau bertahan? Jika bertahan membuatmu sakit, maka menyerahlah. Tetapi, bila menyerah ternyata juga sulit, maka tinggalkan keduanya. Kamu tidak perlu menjadi lilin untuk bisa bermanfaat bagi kehidupan. Cukup menjadi air putih. Sederhana, tetapi besar manfaatnya untuk kehidupan."Syakila mendongak. Matanya mengerjap tak mengerti dengan apa yang di katakan Devan. Mata dengan hiasan bulu lentik alami itu memandang wajah Devan, membuat lelaki itu gemas. 'Kenapa tingkahnya lucu begitu?' batin Devan, saat sesekali mencuri pandang pada Syakila."Maksudnya apa, Mas?" tanya Syakila polos.Pria berambut belah pinggir ala-ala korea itu hanya menghela napas. "Lupakan! Memang susah ngomong sama anak kecil."Syakila mencebik. Selalu begitu setiap dirinya berbicara dengan Devan. Lelaki tampan yang berusia beberapa tahun di atasnya itu selalu menganggap ia anak kecil yang tak mengerti apapun."Ayok! Buruan!" pekik Devan."Ke mana?" Syakila pun ikut memekik
“Enggak! Gak kenal aku. Kakak kan tahu, aku gak suka sama platform itu," jawab Kamil berbohong.Pasti akan panjang ceritanya kalau Kamil menyebutkan siapa pemilik akun itu. Bukan bermaksud melindungi, tetapi dua tahun menjalin hubungan membuat Kamil merasa tak tega pada Syakila jika terus terusan diserang oleh kakak dan adiknya. Apalagi, selama dua tahun itu, Syakila selalu memperhatikan dan memperlakukan dirinya dengan baik."Eh, dia masih gak menyerah kak. Bebal juga nih orang. Serang lagi yuk, Kak!" ajak Jasmin yang masih memperhatikan Syakila."Mana?" sahut Yumna.Lalu Jasmin menunjukkan ponsel miliknya pada kakaknya itu."Iya. Dasar muka tembok!" caci Yumna."Udah deh, dari pada ngurusin orang yang gak kenal, mendingan kalian istirahat. Besok kamu harus sekolah loh, Jas." Kamil berusaha mencegah dua saudaranya yang akan kembali menyerang Syakila."Ah, Kak Kamil gak seru!" Jasmin beranjak seraya menghentakkan kakinya kesal."Tahu tuh, Kamil. Ganggu aja!" Yumna pun ikut sewot, dan