"Oh ya? Syakila, Syakila ... Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu baru saja menangis sepanjang malam. Kamu pasti begitu khawatir dan ketakutan dengan keberadaanku di sini, bukan? Apalagi Aira langsung jatuh dalam genggamanku." Sembari bersedekap dada, Renata dengan sombongnya berkata seolah ia telah menang. "Aku, takut padamu?" Syakila menunjuk diri sendiri, memasang wajah polos dan lanjut berkata, "Memangnya kamu siapa? Hanya bibit pelakor yang sama sekali tidak penting bagiku." "Apa kamu bilang?!" Renata melotot pada Syakila dengan tangan terkepal ke bawah. "CALON PE-LA-KORRR, sayangnya akan gagal merebut Mas Devan dariku. Sudah jelas sekarang?" ujar Syakila menohok sengaja mengeja kata 'pelakor' dengan begitu jelasnya. "Kamu!" Renata geram. Dia menunjuk wajah Syakila dengan jari telunjuknya. "Kenapa?" balas Syakila tetap santai. "Cih! Sok kuat kamu. Jangan kamu pikir aku tidak tahu kalau rumah tanggamu saat ini tidak sedang baik-baik saja. Itu tandanya Mas Devan sudah mu
"Aira sayang, yuk sama Tante lagi. Bagaimana kalau kita cari makan di luar saja?" ucap Renata.Di tengah ketegangan yang mendera wanita itu begitu pandai memanfaatkan situasi.Tangis Aira pun mereda. Gadis cilik itu tampak berubah riang menyambut ajakan tantenya."Mau Tante. Yuk kita pergi," ucap Aira."Tante pesan taksi online dulu, ya. Kan Tante gak ada mobil di sini." Renata lalu mengambil ponsel miliknya di saku celana pendek yang ia kenakan."Pakai mobil Daddy saja, Tan," ujar Aira mulai masuk perangkap Renata."Aduh, Tante gak bisa pakai mobil itu, Sayang. Tante takut.""Kalau begitu ajak Daddy aja, ya.""Gak pa-pa, Sayang, gak usah. Kan Daddy kamu baru pulang, pasti masih capek." Renata berpura-pura menolak, padahal itu adalah tujuan utamanya."Daddy mau 'kan makan di luar?" Aira langsung bertanya pada Devan dengan muka memelasnya."Boleh. Kebetulan Daddy belum makan malam," jawab Devan sembari masih memandang Syakila penuh arti.Seketika lengkungan tipis tercipta di bibir Rena
"Hamba percaya ya Allah, Engkau tidak mungkin memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba. Engkau Maha tahu atas segala rasa dan masalah yang sedang hamba lalui. Ya Tuhanku, lapangkan untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskan kekakuan dari lidahku, agar mereka dapat dengan mudah mengerti perkataanku.”Syakila menengadahkan tangan memohon kepada Sang Maha Mengetahui dengan air mata berderai. Tak ada lagi tempat mengadu selain Tuhan. Devan, suami yang biasanya mampu menenangkan pikirannya menghadapi setiap ujian hidupnya, kini seakan berjarak. Sekedar mengajaknya bicara pun sulit, apalagi berkeluh-kesah seperti biasanya.Syakila berpikir, 'Mungkin ini adalah teguran dari Allah karena selama ini dirinya lebih banyak berkeluh-kesah pada makhluk daripada bersujud pada Sang Penciptanya.'"Astaghfirullahaladzim, astaghfirullahaladzim, astaghfirullahaladzim."Setelah mengucap kata aamiin, perempuan dalam balutan mukena putih itu melafazkan istighfar dan dzikir-dziki
Buru-buru Syakila berlari mencari Devan di luar kamar. Kepala yang tak terbalut kerudung itu celingukan mencari sosok suaminya sembari menenteng paper bag yang telah dibuang.Tempat yang memungkinkan suaminya berada di sana adalah ruang kerja. Segera perempuan itu mengetuk pintu yang kebetulan berada dekat dengan kamarnya.Tak ada sahutan apapun, Syakila memutuskan langsung untuk masuk.Benar saja, Devan tengah menelungkupkan kepalanya di atas meja."Kenapa makanan ini kamu buang, Mas?" ucap Syakila.Devan mendongak. Memandang Syakila dengan rambut panjang yang tergerai indah."Apa makanan ini untukku? Tapi kenapa dibuang?" Sekali lagi Syakila mengulang ucapan berupa pertanyaan itu."Karena kupikir kamu tidak membutuhkan lagi," jawab Devan setelah cukup lama diam."Kamu bahkan belum bertanya padaku, Mas.""Aku hanya tidak ingin mengganggu obrolan seseorang yang mungkin sedang melepas rindu."Syakila mengernyit heran, "Melepas rindu?""Iya. Aku sudah cukup lama berada di belakangmu. Ak
Pagi harinya ... Devan belum terlihat dimeja makan, juga dengan Syakila yang belum turun dari kamarnya. Sedang Sukoco, Aira, serta Renata sudah duduk, bersiap untuk sarapan. "Kok mereka belum pada turun, Bu?" tanya Renata merasa heran sembari melihat ke lantai atas. "Sudah biasa itu. Palingan semalam habis lembur," celetuk Sukoco. Renata bukan anak kecil yang tidak tahu dengan maksud perkataan nenek dari Aira tersebut. Dadanya mendadak panas. Tak rela jika Devan memadu kasih dengan istrinya. Harusnya dia yang berada di sana, pikirnya. "Sudah tidak usah ditunggu. Biasanya mereka nanti akan minta bibi untuk mengantar makanan ke atas." Sukoco kembali berujar. Sengaja orang tua itu memanas-manasi Renata berharap wanita yang berstatus tamu itu sadar akan posisinya. "Tante, Aira mau makan roti panggang dong," ucap Aira. "Makan yang ada aja, Ra. Itu kan ada nasi goreng sama bubur ayam." Renata berujar dengan nada sedikit ketus akibat hatinya yang terbakar api cemburu. "K
Di tengah perseteruan adegan saling melempar pandang dengan sengit, Devan kembali memasuki ruangan itu untuk mengambil tas kerjanya.Renata yang kebetulan badannya menghadap ke arah Devan, dengan cepat mengetahui maksud pria itu kembali masuk. Dengan gerakan cepatnya dia mengambil tas yang berada di dekat meja makan lalu kemudian berjalan seolah istri solehah tengah menghampiri sang suami. "Ini tasnya Mas," ucapnya dengan lembut. "Terima kasih," sahur Devan sembari melirik Syakila yang kini sudah menoleh padanya. Kemudian pria yang mengenakan pakaian abu-abu selaras dengan celananya itu berpamitan dengan sang ibu dan juga anaknya. "Devan berangkat dulu, Bu." "Aira, Daddy kerja dulu, ya. Sekolah yang pintar dan tidak boleh nakal. Oke?" "Oke Daddy," tempal Aira kemudian menyalami sang ayah dan dibalas ciuman oleh Devan. "Mas Devan tenang saja, selama ada Rena di sini Aira pasti jadi anak baik. Rena pastikan dia akan selalu bahagia dan tidak kesepian." Dengan tidak tahu malunya R
"Kamu kenapa, Nak?""Kepalaku tiba-tiba pusing, Bu.""Ayo kita duduk dulu."Dengan penuh hati-hati Syakila dituntun untuk kembali duduk di kursi. Sukoco dengan telaten memijit tengkuk dan kepala menantunya."Mungkin karena kamu belum sarapan, Sya.""Mungkin, Bu. Apalagi semalam sempat begadang." Syakila menikmati pijatan ibu mertuanya sembari memejamkan mata."Bersama Devan?""Hah." Syakila membuka mata. "Bukan, Bu. Aku -- Ada kerjaan makanya lembur," imbuhnya kikuk."Tidak apa-apa, kok. Ya sudah, nanti sarapan dulu lalu istirahat. Kalau masih pusing nanti Ibu antar ke dokter.""Tidak perlu, Bu. Habis sarapan pasti enakan. Ini juga sudah mendingan dipijit sama Ibu."Sukoco mengulas senyum. Diurutnya leher belakang Syakila agar badan kurus menantunya lebih terasa enteng."Sudah. Sekarang ayok Ibu temani sarapan," ajaknya setelah selesai memijit."Iya, Bu." Syakila berdiri lalu memeluk ibu dari suaminya sembari berucap, "Makasih ya, Bu. Syakila sangat beruntung punya mertua seperti Ibu
"Aku sudah menunggumu, Mas."Suara itu bukan milik istrinya. Seketika Devan melepaskan tangan di perutnya lalu berbalik untuk melihat siapa yang lancang memeluk dirinya."Renata." Mata Devan terbelalak. "Ngapain kamu di sini?"Devan sedikit merutuki diri sebab terlalu berharap sang istri datang memperbaiki hubungan, hingga tak bisa membedakan antara tangan lembut istrinya dengan wanita lain."Aku kangen sama Mas Devan." Renata dengan berani kembali memeluk lelaki tampan di depannya."Apa yang kamu lakukan!" sentak Devan mendorong tubuh Renata."Mas Devan tahu apa yang kulakukan. Mas juga pasti tahu bagaimana aku mendambamu, tapi kenapa Mas selalu mengabaikan aku?" Renata menundukkan wajahnya.Sakit rasanya mendapat penolakan berkali-kali dari Devan. Selama lima tahun mengejar cinta pria itu, tak ada celah sedikitpun yang terbuka untuk menggapai hatinya."Renata, dengar. Kau sudah ku anggap adikku sendiri. Di antara kita tidak mungkin bisa mempunyai hubungan lebih dari itu. Terlebih s
Empat laki-laki itu tetap membisu, duduk di kursi tunggu seperti patung tanpa ekspresi. Di tengah keheningan yang tegang, lorong rumah sakit mulai diisi suara langkah tergesa-gesa. Nita dan Ryan datang dengan wajah penuh kecemasan, seolah tak ingin membuang waktu."Kamil! Kamu Kamil kan? Di mana Syakila, bagaimana keadaannya?" Suara Nita pecah, menggema hingga membuat keempat lelaki itu menoleh.Kamil, yang duduk di samping Jo, berdiri seketika. Dalam hati, dia lega mendapat alasan untuk mengalihkan perhatian dari sorotan mata Jo yang sejak tadi menelanjangi kegugupannya."Dia di dalam bersama Pak Devan dan keluarga. Dokter baru saja mengatakan untuk bergantian jika ingin menjenguk," jawab Kamil sambil menunjuk pintu ruang rawat.Belum sempat Nita merespons, pintu itu terbuka. Bamantara dan Amber keluar, wajah mereka menyiratkan kelelahan."Opa, Oma!" Nita langsung berlari menghampiri Amber, memeluk wanita paruh baya itu dengan erat."Kenapa ke sini, Nak? Bukankah kalian seharusnya di
"Eh, anu ... Itu, saya ---""Sudahlah, Dev. Sebaiknya kita segera masuk. Siapa tahu Bu Syakila saat ini sudah sadar." Jo menyela, terkesan melindungi Kamil padahal dia sendiri menaruh rasa curiga pada lelaki bertubuh tinggi kurus itu."Ya, tapi---""Tidak ada tapi-tapian, Bos. Istrimu sudah menunggu di dalam." Lagi-lagi Jo tak membiarkan Devan menginterogasi Kamil. Di otak sahabat Devan itu sudah tersusun rencana matang untuk menyelidiki tentang Kamil. Firasatnya mengatakan ada keanehan pada lelaki yang masih berdiri di depannya dengan gelagat gugup itu."Kamu benar, Jo." Devan lalu berjalan masuk ke rumah sakit, dan berusaha membuang pikirannya tentang Kamil. Mungkin dia hanya menebak, pikirnya.Sementara Jo tersenyum manis pada Kamil agar tak merasa gugup lagi. "Yuk, kita juga ikut masuk," ajaknya."Iya, mari."Kamil dan Jo lalu berjalan beriringan menuju rumah sakit menyusul Devan.Kamil begitu pandai menghilangkan kecemasannya, terbukti dia begitu santai saat berjalan bersama Jo.
Syakila baru saja selesai melakukan kuretase setelah sebelumnya melakukan dilatasi selama lima jam. Saat ini dia belum sadarkan diri dari pengaruh obat bius.Devan dan keluarga masih setia menemani, hingga satu pesan dari orang kepercayaannya berhasil membuat dia harus meninggalkan rumah sakit sebentar."Bu, Opa, Oma, Devan ada urusan penting. Tolong jaga Syakila. Setelah urusan Devan selesai, Devan akan segera kembali," pamitnya."Iya, Nak. Semoga urusanmu cepat selesai," sahut sang ibu sambil mengelus pundak Devan."Iya, Bu."Setelah itu Devan berjalan cepat menuju parkiran. Tak lupa dia juga menyuruh anak buahnya untuk standby di sekitar ruangan istrinya.Dengan kecepatan tinggi, kini Devan telah sampai di markas tempatnya berkumpul dengan anak buahnya.Di sana sudah ada Jo dan Alex yang menunggu."Sorry, Bro. Aku turut berdukacita," ucap Jo."Hmmm. Tak apa. Kau juga sedang bersedih. Kenapa kamu sudah kembali? Bukankah masih ada waktu cuti beberapa hari?" ucap Devan heran, sebab sa
"ada apa, Non?" Anton bertanya dengan panik."Maaf, Pak Anton, tidak ada apa-apa. Saya hanya sangat bahagia karena sahabat baik saya akhirnya akan segera menikah," jawab Syakila."Syukurlah, kalau begitu kami kembali ke depan. Permisi.""Iya, Pak. Maaf bikin panik.""Gak pa-pa, Non."Sepeninggal Anton dan temannya, Syakila kembali memperhatikan kertas yang berhiaskan ukiran indah beserta foto dua sahabatnya yang sedang tersenyum bahagia. "Pantas mereka gak ada kabar akhir-akhir ini, ternyata mereka sedang sibuk mempersiapkan pesta pernikahan. Masya Allah ...." Antara bahagia dan tidak menyangka, Syakila terus memperhatikan."Pantas saja beberapa waktu lalu pas Opa ke butik, Nita gak ada. Katanya sedang cuti beberapa hari. Ternyata ini alasannya," ujar Bamantara."Oma senang, akhirnya Nita menemukan jodohnya. Dia gadis yang baik." Amber ikut membuka suara."Nita memang jagonya bikin kejutan. Tapi kok Mas Ryan ikutan sembunyi-sembunyi, sih? Biasanya kalau ada apa-apa pasti cerita ke ak
Setelah kepergian kakak yang dulu pernah diremehkannya, Jasmin harus kembali masuk ke dalam sel. Dengan membawa dua kantong kresek berisi makanan, Jasmin nampak sedikit berbinar. Setidaknya untuk nanti malam dia tidak terlalu kebingungan ketika dia ingin makan sesuatu.Demi menjaga psikologis Jasmin yang pernah melakukan aksi bunuh diri, Lapas memperbolehkan Jasmin membawanya ke dalam setelah melakukan pengecekan terlebih dahulu. Sayangnya hal itu tidak berlangsung lama, sebab rombongan napi yang suka usil terhadapnya datang menghampiri. Lima orang wanita berbadan besar menghadang langkah Jasmin."Sepertinya bawa makanan. Bagi, dong," ucap salah satunya.Jasmin mengeratkan genggaman kantong kreseknya. "I-iya, nanti pasti aku bagi-bagi kok, tapi aku harus ke sel-ku dulu," sahut Jasmin terbata dan berusaha melangkah menerobos lima orang di depannya."Jangan terburu-buru, dong." Dua orang langsung mencekal tangan Jasmin. "Boleh aku lihat isinya?""Enggak. Tolong, kali ini jangan ambil m
Sosok itu lalu menghilang di tengah gelapnya malam. Tak ada yang menyadari, sebab bodyguard belum sepenuhnya tersebar.***Dua hari setelah insiden itu, suasana masih normal dan aman. Sayangnya, keberadaan Rosa belum juga diketahui oleh orang suruhan Devan. Wanita itu terlalu pintar bersembunyi.Keadaan Renata semakin kacau di penjara. Beberapa hari lagi sidang putusan, dan dia masih berharap Devan mau memaafkan dan mencabut tuntutannya. Namun, harapan tinggal harapan, Devan bahkan tak pernah lagi datang menemuinya. Sementara itu, keadaan Dion dan Jasmin juga tak kalah menyedihkan. Dion kini telah menjadi pelacur laki-laki yang suka rela melayani Jek dan anggotanya. Kehidupannya di penjara lebih baik dari yang sebelumnya memang, tapi dia harus merelakan kehormatan sebagai lelaki sejati menjadi ternoda. Namun, bagi Dion hal itu kini bukanlah masalah.Berawal dari jijik, kini justru Dion sangat menyukai permainan itu. Dia bahkan lupa hal buruk apa yang bisa saja menimpa dirinya kemudia
"Apa itu, Mas?" Syakila penasaran. Ia pun mendekati Devan untuk melihat apa isi kertas putih itu."Boleh aku lihat itu apa, Mas?" Tanpa menunggu jawaban, Syakila lantas merebut kertas itu dan membuat Devan terkesiap."Sayang --""Kalian boleh bahagia sementara waktu. Tunggulah sampai aku lenyapkan janin di perut Syakila, maka hari itu adalah awal penderitaan kalian yang sesungguhnya!" Seketika Syakila menegang setelah selesai membaca tulisan dalam kertas itu."Astaghfirullah, siapa yang melakukan ini, Mas." Syakila benar-benar ketakutan. Dia memegangi perutnya sambil celingukan."Tenanglah, Sayang. Mas pasti akan melindungi kalian. Tidak akan terjadi apa-apa pada keluarga kita, Mas janji." Devan merengkuh Syakila dan membawanya ke dalam rumah.Sampai di dalam, seluruh keluarga kaget melihat Syakila dalam rengkuhan Devan dengan keadaan wajah yang pucat."Syakila kenapa, Dev? Kamu apakan dia? Tadi gak kenapa-kenapa kok." Sukoco langsung berdiri dan mendekati anak menantunya."Gak pa-pa,
Devan turun dari mobil dengan wajah penuh amarah. Ia berdiri di depan rumah kosong yang terlihat lusuh, jauh dari bayangan tempat layak tinggal. Cat dinding mulai mengelupas, dan pintu kayunya tampak berkarat.Pengacara Devan, Pak Hendra, melangkah mendekat dengan tatapan cemas. “Sepertinya ini bukan tempat yang benar, Pak. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini.”Devan mengepalkan tangannya, mencoba menahan rasa frustrasi. Ia tidak bisa percaya bahwa Renata berani mengarahkan mereka ke tempat kosong seperti ini. "Renata... Berani sekali dia mempermainkan aku," geramnya. Matanya menelusuri sekeliling, berharap menemukan petunjuk bahwa Rosa ada di sekitar sini, tapi yang ia dapatkan hanya keheningan.Pak Hendra mengeluarkan ponsel dan membuka catatan, mencoba mencari kemungkinan lain. “Mungkin dia sengaja mengelabui kita, Pak Devan. Bisa jadi ada orang yang tahu tentang Rosa di sekitar sini.”Devan mengangguk, mengendalikan emosinya. “Baiklah. Kita harus cari tahu. Aku tidak akan pu
Renata memandang kosong ke arah Devan, seolah mencoba mencari jejak kebaikan yang pernah dia kenal di dalam mata dingin lelaki itu. Setiap harapan yang dia simpan perlahan memudar, digantikan oleh ketakutan dan kesadaran bahwa Devan kini adalah musuh terbesar dalam hidupnya."Di mana mamamu? Jawab cepat!" Devan mengulang pertanyaannya dengan nada dingin yang menusuk, membuat nyali Renata menciut.Renata menelan ludah, mencari kata-kata yang bisa meyakinkan Devan. "Aku ... aku benar-benar gak tau, Mas," jawabnya terbata-bata. "Tapi, mungkin Mama pergi ke rumah Tante Rina ... sepupu Mama di luar kota. Mama juga gak pernah mengunjungiku di sini."Devan mengerutkan alis, tampak tidak puas dengan jawaban itu. Dia memberi isyarat kepada pengacaranya, seorang pria bertampang tegas yang duduk di sebelahnya, untuk mencatat informasi tersebut. Renata masih bingung kenapa Devan mencari mamanya."Renata, kau akan menanggung akibatnya kalau kau berbohong." Devan menyipitkan matanya, sorotannya taj