Share

Bab 4

Kaedyn meminta Martin untuk mengantar Elena kembali ke Perumahan Sorenson dulu.

Elena duduk di dalam mobil sambil melihat dua orang yang berpelukan di luar cafe itu melalui jendela.

Sepertinya Kaedyn sedang menghibur Doreen.

Sudut bibir Elena terangkat. Dia merasa sedih sekaligus lega.

Saat Elena meminta Glenna untuk membuat janji temu dengan Doreen tadi malam.

Dia sudah menduga bahwa Glenna pasti akan memberi tahu Kaedyn tentang pertemuannya dengan Doreen di Kafe Holen.

Sesuai dugaan Elena.

Semua itu ada di dalam rencananya.

Martin mengendarai mobil. Ketika mereka berhenti di lampu merah, dia menoleh ke arah Elena lalu bertanya, "Sekretaris Elena, kamu begitu pintar, untuk apa kamu membuat Bos marah?"

Mereka telah kerja bersama selama lima tahun.

Martin menyaksikan betapa Elena merawat Kaedyn dengan sepenuh hati.

Demi menjaga perut Kaedyn dengan baik, Elena belajar memasak setiap malam setelah pulang kerja.

Elena telah mengembangkan keterampilan memasaknya hingga sebanding dengan koki Michelin.

Elena memperhatikan segala sesuatu tentang Kaedyn dengan baik.

Elena menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinganya. Dia meletakkan sikunya di jendela, matanya bersinar.

Dia tidak pernah sesadar ini.

Pria itu tidak mencintainya, mengapa Elena harus bersikeras mendapatkan cintanya?

Elena memiringkan kepalanya, lalu dia mengedipkan mata indahnya sambil bercanda, "Pak Martin, saya masih pintar."

Martin, "Saat ini kamu masih bisa bercanda?"

Kaedyn jelas sangat marah.

Elena hanya tersenyum.

Suasana hatinya sangat bagus.

Mereka tidak berbicara lagi.

Ada pengawal yang menjaga bagian luar Perumahan Sorenson. Elena tidak bisa kabur seandainya dia ingin.

Martin langsung pergi begitu mengantar Elena sampai Perumahan Sorenson.

Elena tidak bisa meninggalkan rumah ini tanpa perintah dari Kaedyn.

Tengah malam, siaran TV yang membosankan masih diputar di ruang tamu.

Elena sudah tertidur di sofa.

Kaedyn menatap wanita yang sedang tidur nyenyak itu.

Ketika Elena tertidur, dia tampak lebih damai, tidak seperti Sekretaris Elena yang dingin pada siang hari.

Kaedyn mengernyit lalu membungkuk.

Elena terbangun karena rahangnya dicengkeram.

Tenaga Kaedyn begitu kuat hingga rahang Elena terasa sakit.

Elena yang mengantuk tiba-tiba terbangun.

Dia membuka matanya, kemudian melihat Kaedyn yang tampak dingin.

Terdapat bau parfum Doreen pada tubuh Kaedyn.

Elena mengerutkan kening.

Dia merasa sedikit jijik.

Lampu di ruang tamu tidak nyala, hanya lampu meja kecil dan lampu TV yang redup.

Separuh wajah tampan Kaedyn tersembunyi di tengah kegelapan. Dia berbicara dengan nada dingin, "Elena, siapa yang memberimu keberanian untuk bicara sembarangan di depan Doreen?"

Elena berbaring di sofa, menurunkan kelopak matanya, tidak bersuara. Apa pun yang dia katakan saat ini akan salah di mata Kaedyn.

"Apakah kamu bisu? Bicara!"

Kaedyn mencengkeram rahang Elena.

Leher Elena terpaksa terangkat.

Elena terpaksa mengangkat lehernya. Dia melihat ekspresi dingin pada wajah Kaedyn.

Rahang Elena terasa sakit, pelupuk matanya basah, tetapi suaranya terdengar tenang saat dia berkata, "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Hubungan kita memang hubungan suami istri. Memangnya aku salah bicara?"

Kaedyn meremas rahang Elena. Kata-katanya terdengar dingin dan tajam. "Elena, itu hanya sebuah akta. Apakah kamu lupa tentang perjanjian pernikahan? Saat itu, kamu pun dengan murahnya menandatangani perjanjian hanya demi uang."

Elena tahu ekspresinya pasti tidak terlihat bagus sekarang.

Dia mengedipkan matanya.

Murah ya. Ternyata Kaedyn merasa Elena murah.

Elena menggertakkan gigi lalu terkekeh. "Bukannya aku murah, tapi kita saling memanfaatkan."

Kaedyn berkata dengan jijik, "Sekretaris Elena benar-benar berlidah tajam. Hanya kamu yang berani menggunakan mahar untuk mencari pria lain."

"Pria lain apa?" Elena mengerutkan kening dengan bingung.

Kaedyn mencibir.

Tangan Kaedyn berpindah dari leher Elena menuju ke bawah.

Tubuh Elena gemetar.

Kaedyn merendahkan suaranya ketika berkata, "Tubuhmu memang bagus. Pantas Nicholas ingin merebutmu dengan gaji tinggi."

Dia menyibak pakaian Elena, kemudian memasukkan tangannya yang panas ke dalam.

Elena menahan tangan Kaedyn dengan terkejut.

Gundukan montok Elena tiba-tiba diremas dengan menyakitkan. Elena memelototi Kaedyn dengan mata merah.

Pria itu tampak santai.

Elena melihat tangan Kaedyn yang lain hendak bergerak ke bawah.

Ekspresi Elena tampak muram, lalu dia berkata dengan nada dingin serta sarkastik, "Ternyata cintamu untuk Doreen juga nggak seberapa."

Kaedyn tersenyum sambil menarik tangannya. "Kamu terlalu besar kepala. Aku nggak tertarik dengan tubuhmu. Kalau aku nggak demam dan mabuk malam itu, aku nggak akan menidurimu."

Kelembutan kulit Elena masih terasa di tangan Kaedyn.

Kaedyn menyipitkan matanya, dia merasa jijik sekaligus sedikit bingung.

Dua bulan lalu, mereka berdua berhubungan intim untuk pertama kalinya. Kaedyn sebenarnya tidak ingat bahwa dia melakukannya dengan Elena.

Mungkin karena dia demam sehingga Elena mengambil kesempatan itu untuk naik ke atas ranjangnya.

Suara pria itu terdengar jernih dan dingin, seolah dia tidak menyukai apa yang terjadi malam itu.

Elena menarik napas dalam-dalam dengan sesak.

Dia berdiri, mengulurkan tangan untuk memeluk leher Kaedyn, kemudian dia terkekeh di dekat telinga pria itu. "Tapi kamu sangat tertarik padaku malam itu. Kamu meniduriku berkali-kali."

Jemari Elena yang lain membelai ikat pinggang Kaedyn dengan berani.

Raut Kaedyn tiba-tiba menjadi muram, tatapannya tampak jijik. Dia melepaskan tangan Elena dari lehernya, kemudian berdiri.

"Elena, jangan melakukan hal yang nggak diperlukan. Kalau bukan karena Nenek menyukaimu, aku sama sekali nggak keberatan untuk memberikanmu kepada Nicholas mengingat apa yang kamu lakukan hari ini."

Ketika Elena mendengar kalimat tersebut, dia menyadari bahwa dia benar-benar pecundang.

Kaedyn bisa dengan mudahnya mengatakan akan memberikan Elena kepada pria lain.

Hal ini membuktikan bahwa Kaedyn tidak memiliki perasaan terhadap Elena selama beberapa tahun terakhir.

"Jangan lupa menjenguk Nenek di rumah sakit besok. Jangan mengatakan hal yang nggak seharusnya dikatakan kepada Nenek."

Kaedyn merapikan pakaiannya dengan tatapan dingin, kemudian dia pergi dengan langkah tergesa.

...

Di rumah sakit.

Sang nenek melihat cucu laki-laki dan cucu menantunya berjalan masuk dengan bergandengan tangan. Senyumnya langsung terbit. "El, sini duduk di sebelah Nenek."

Kemudian sang nenek melihat Kaedyn dengan tatapan penuh kasih sayang. "Kae, tadi malam Nenek memimpikan cicit. Dia begitu kecil, sangat imut."

Kaedyn menunjukkan senyuman tipis, lalu dia berkata dengan nada bercanda yang sangat jarang dilakukannya, "Nenek, kami berjanji akan berusaha."

Sel kanker neneknya Kaedyn telah menyebar.

Waktunya tinggal satu atau dua tahun lagi.

Kaedyn biasanya tidak akan membuat neneknya tidak senang dengan hal seperti ini.

Jadi dia hibur saja.

"Kalian berdua sudah menikah selama dua tahun, kenapa El belum juga hamil?"

Neneknya Kaedyn sangat ingin memiliki cicit sebelum dia meninggal.

Elena tidak berbicara, dia hanya menundukkan kepalanya dengan berpura-pura malu.

"Kamu nggak perlu gugup, El. Nenek hanya bilang saja. Mungkin jodoh anak dengan kita belum tiba. Kalian masih muda juga." Neneknya Kaedyn hanya membahas sekilas. Dia langsung menghibur Elena.

"Hm, Nenek. Aku tahu."

Elena tiba-tiba merasa perutnya tidak nyaman. Ekspresinya berubah. Dia berlari ke toilet untuk mengeluarkan muntahannya.

Mendengar suara muntah dari toilet, neneknya Kaedyn pun menggenggam tangan Kaedyn dengan penuh semangat. "Jangan-jangan El sudah ... hamil?"

Tatapan Kaedyn menjadi gelap. Dia terkekeh. "Nek, dia hanya lambungnya nggak enak."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status