Share

Bab 7

Perut Elena terasa mual, lalu dia tidak bisa menahan diri untuk tidak muntah di tubuh pria itu.

Ekspresi dingin Kaedyn langsung berubah kaku.

Dia melihat muntahan di tubuhnya, kemudian menatap Elena dengan tajam.

Elena memegang mulutnya sambil menjelaskan, tetapi hatinya merasa sedikit puas. "Aku merasa nggak enak badan selama beberapa hari terakhir."

Kaedyn merasa jijik. Dia melepas pakaiannya, lalu melemparkannya ke dalam mobil, memperlihatkan tubuh berototnya.

Sebelum dia keluar dari ruang kerja, dia memperingatkan Elena dengan dingin.

"Pindah kembali ke Perumahan Sorenson. Kalau Nenek tahu kamu pindah, aku nggak akan bisa mengampunimu."

Elena tidak mungkin kembali ke Perumahan Sorenson sekarang.

Dia memiliki urusan penting yang harus dilakukan.

Yaitu mencari tempat yang aman untuk melakukan aborsi. Jika tidak, dia akan selalu khawatir ketahuan.

Begitu tekad Elena sudah bulat, dia akan langsung melakukannya.

Dia memesan tiket pesawat ke kota lain.

Dia terbang malam itu juga, kemudian naik taksi ke sebuah kota kecil, memesan hotel di dekat Rumah Sakit Carolus.

Begitu matahari terbit, ketika para dokter di Rumah Sakit Carolus sudah masuk kerja, Elena pun pergi mendaftar.

Elena agak pemalu saat ini. Dia bertanya kepada perawat, "Klinik Ginekologi, tolong carikan dokter perempuan. Terima kasih."

Perawat itu sangat ketus. "Apa jadinya kalau semua orang meminta dokter perempuan seperti kamu? Saat ini hanya Dokter Nathan yang masih kosong. Kamu mau daftar atau nggak?"

Elena, "... mau."

Perawat ini sangat galak.

Elena menunggu di lantai dua. Ketika masih ada dua nomor antrean sebelum gilirannya, Martin menelepon.

"Sekretaris Elena, kenapa kamu nggak masuk lagi hari ini?"

"Saya sudah mengajukan pengunduran diri, sekarang sedang cuti tahunan."

Elena menambahkan, "Pak Martin, saya sedang jalan-jalan. Seminggu kemudian saya baru pulang untuk melakukan serah terima pekerjaan. Mohon bantuannya selama ini."

Usai berbicara, Elena langsung menutup telepon.

Martin, "..."

Dia menyampaikan kata-kata Elena kepada pria yang sedang sibuk itu.

"Bos, Sekretaris Elena sedang jalan-jalan. Dia akan kembali dalam seminggu. Dia bilang seminggu kemudian dia akan kembali untuk melakukan serah terima pekerjaan."

Kaedyn mengerutkan kening. Dia mengambil cangkir kopi yang ada di atas meja, lalu menyesapnya. Dia tidak puas dengan rasanya. "Siapa yang membuat kopi hari ini? Buat secangkir lagi."

Martin mengambil kopi itu, kemudian meminta asisten sekretaris untuk membuatkan secangkir kopi lagi.

Hanya perkara secangkir kopi sudah diganti empat kali berturut-turut.

Setelahnya, Kaedyn baru terpaksa menerima, tidak meminta ganti lagi.

Martin diam-diam bergumam dalam hati, 'Bos mungkin terbiasa dengan kopi buatan Sekretaris Elena.'

"Bantu aku pesan tempat di Restoran Chinese food malam ini. Aku ada janji dengan Doreen. Kemudian pesankan seikat bunga mawar."

Martin terkejut dengan kata-kata Kaedyn.

Memesan bunga segala?

Jangan-jangan tebakannya salah? Orang yang paling Kaedyn cintai masihlah mantan pacarnya?

Martin kembali fokus. Seharusnya begitu.

Sebelum pergi, Martin melihat Kaedyn sembari berujar, "Kae, Elena selalu melakukan pekerjaannya dengan baik. Lain kali kamu ... jangan menyesal."

Martin dan Kaedyn adalah teman kuliah.

Dia sekarang berbicara dengan Kaedyn sebagai teman.

Kaedyn mengangkat pandangannya. Tatapannya dingin. "Kenapa aku harus menyesal? Orang yang kusuka itu Doreen."

Kenapa Martin merasa bahwa dia akan menyesal?

Kaedyn mendengus.

...

Elena tidak tahu tentang percakapan Martin dengan Kaedyn.

Perawat membuka pintu. "Nomor 30, Nona Elena?"

Elena mengangguk lalu melangkah masuk.

Begitu dia masuk, dia mendengar perawat lain berkata dengan malu-malu, "Dokter Nathan, kamu jahat sekali."

Suaranya terdengar begitu manja dan dibuat-buat.

Hati Elena bergetar.

Dia melirik ke arah dokter yang menikmati berkah itu.

Kali ini dia bisa mengatakan bahwa pria itu tampak familier.

Pria yang dia temui di lift itu ternyata seorang dokter?

Pria berjas putih itu berperawakan tinggi, dengan bahu lebar dan kaki panjang.

Dia sedang mencuci tangannya di depan wastafel.

Lengan bajunya ditarik hingga siku, memperlihatkan lengannya yang kuat. Terdapat tato mamba hitam di kedua lengannya.

Mamba hitam itu melilit bunga mawar.

Elena tampak tak bisa berkata-kata.

Dia baru pertama kali melihat lengan dokter ditato dengan tato yang begitu menyeramkan.

Nathan yang memakai masker pun mengangkat sebelah alisnya saat melihat Elena.

Kenapa wanita itu datang ke tempat terpencil ini untuk berobat?

Nathan duduk kembali, lalu dia mengusap tangannya sebelum bertanya dengan santai, "Apa keluhanmu?"

Setelah Nathan menunggu beberapa saat, pasien ini tidak kooperatif.

Nathan pun mengangkat sebelah alisnya. "Sakit tenggorokan? Nggak bisa bicara?"

Elena berkata dengan suara kecil dan raut tenang, "Aku datang untuk ... melakukan aborsi."

Nathan, "..."

Elena mengedipkan mata.

Dia hanya tidak menyangka.

"Ini hamil ke berapa kali? Apakah kamu pernah melahirkan?"

"Pertama kali. Aku nggak pernah melahirkan."

"Kapan terakhir kali kamu menstruasi?"

"Sepertinya akhir April."

"Apakah kamu sudah menggunakan alat tes kehamilan?"

"Sudah."

Nathan menanyakan riwayat kesehatan Elena sebelumnya, kemudian dia berkata, "Aku akan melakukan pemeriksaan USG B padamu."

Elena mengangguk. Dia sudah ada di rumah sakit, dia juga tidak ingin membuang waktu terlalu banyak.

Dia ikut perawat pergi ke balik tirai.

Dia melepas sepatunya, berbaring di ranjang rumah sakit, kemudian bajunya diangkat sampai memperlihatkan perutnya.

Pria itu mengenakan sarung tangan, kemudian berjalan masuk.

Dia mengoleskan gel ke perut Elena. Elena merasakan sensasi dingin.

Nathan sedang melakukan USG.

Kulit Elena sangat putih. Saat gel yang agak dingin dioleskan ke perutnya, perutnya bergerak seiring dengan pernapasannya yang gugup.

Nathan berkata, "Rileks."

Setelah melakukan USG, Nathan berkata dengan lambat, "Kamu punya dua pilihan. Aborsi buatan atau aborsi medis."

Elena pernah mencari tahu tentang itu. Dia menjawab, "Aku memilih aborsi buatan."

Suaranya terdengar dingin, tetapi jari-jarinya sedikit gemetar.

Melihat jari-jari Elena yang gemetar, Nathan pun mengangkat sebelah alisnya. "Operasi bisa dilakukan besok siang."

Elena menarik tisu untuk menyeka gel di perutnya. "Oke."

Melihat tangan Elena yang makin gemetar, Nathan memutuskan untuk menjadi orang baik. "Kalau kamu nggak mau menggugurkannya, maka jangan lakukan."

"Ayahnya bisa melakukan kekerasan dalam rumah tangga, anak ini akan menderita."

Elena merapikan pakaiannya dengan tenang.

"Cukup mengenaskan."

Pria itu menyatakan fakta dengan datar.

"Ya, sangat mengenaskan," timpal Elena.

Nathan membuka tirai, lalu dia berjalan keluar.

Elena melihat punggung lebar dan kaki panjang Nathan, lalu dia teringat akan mimpi erotisnya beberapa malam yang lalu.

Apakah dia berpotensi menjadi wanita jalang?

Nathan memasukkan informasi ke komputer sembari menjelaskan hal yang harus diperhatikan dari aborsi buatan.

Elena mendengarkan dengan cermat.

Nathan melihat nama Elena, lalu berpikir sejenak.

Akhirnya dia mengetahui nama wanita ini. Elena.

Nathan tiba-tiba berkata, "Istri keponakanku juga bernama Elena."

Elena, "..."

Nathan mengatakannya dengan santai. Ketika keluarga kakaknya sedang mengobrol, dia tak sengaja mendengar mereka menyebut nama Elena.

Nathan tidak dekat dengan keluarga kakaknya sehingga dia juga tak akrab dengan keponakannya itu.

Elena memandang Nathan dengan mata terbelalak.

Nama belakang Nathan adalah Ransford, demikian juga ibu Kaedyn.

Keluarga Ransford terletak di ibu kota. Elena tidak mengenal orang-orang dari lingkaran sosial itu. Dia tidak pernah melihat anggota lain dari Keluarga Ransford selama menikah dengan Kaedyn.

Tidak mungkin begitu kebetulan, 'kan?

Elena agak gelisah.

"Dokter Nathan bercanda. Aku belum menikah."

Elena menulis bahwa dia belum menikah dalam catatan medisnya.

Dia tidak boleh ketahuan saat ini.

Nathan menatap Elena dengan penuh arti.

Jika dihitung waktunya, janin dalam perut Elena mungkin saja benihnya Nathan.

Elena tidak tahu kenapa, tetapi tatapan Nathan membuat kulit kepalanya mati rasa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status