Share

Bab 10

Hujan terus turun di kota kecil sore ini.

Elena menarik koper dengan satu tangan dan memegang payung dengan tangan lainnya. Dia berdiri di luar rumah sakit, menunggu taksi yang lewat.

Dia terlihat agak dingin dan kesepian.

Dia berjanji pada Kaedyn untuk pulang bercerai, dia tidak punya waktu untuk menunggu operasi aborsi dilakukan.

Sebuah mobil berhenti di depan Elena.

Sebuah lengan bertato mamba hitam bersandar di jendela mobil, dua jarinya menjepit sebatang rokok.

Pria yang duduk di dalam mobil tersebut memiliki wajah tampan yang tegas.

"Masuk. Mau ke mana, aku antar."

Dia mematikan rokoknya, kemudian memandang wanita yang memegang payung itu.

Saat Elena masih ragu.

Nathan sudah membuka pintu mobil, turun, lalu memasukkan koper Elena ke bagasi.

Elena tidak ragu lagi. Dia membuka pintu mobil kemudian masuk. "Ke bandara."

Nathan menyalakan mobil. Dia memegang setir sambil menyerahkan sekantong barang kepada Elena. "Bakpao di sini sangat enak, cobalah."

Elena belum sarapan, jadi dia mengambil bakpao itu sambil berkata, "Terima kasih, kamu orang yang baik."

Nathan tersenyum penuh makna.

Nathan baru pertama kali mendengar orang lain memujinya baik.

Jika orang yang mengenal Nathan mendengar kata tersebut, mereka mungkin akan ketakutan setengah mati.

Semua orang dalam lingkaran pergaulannya tahu bahwa mereka tidak boleh main-main dengan Nathan dari Keluarga Ransford.

Pisau bedah di tangannya tidak hanya bisa menyelamatkan orang, tetapi juga bisa membuat orang menderita.

...

Pesawat mendarat di bandara Kota Burgan.

Elena menelepon Kaedyn setelah turun dari pesawat.

"Ayo ketemu di Biro Urusan Sipil jam empat, kita akan bercerai."

Setelah mereka bercerai, Elena akan melakukan aborsi.

Kaedyn memberi isyarat untuk menunda rapat, lalu dia berkata dengan nada dingin tanpa ekspresi, "Aku akan tiba tepat waktu."

Tinggal dua jam lagi sebelum pukul empat.

Kaedyn menutup telepon, kemudian dia berbicara dengan dingin kepada Manajer Departemen Desain yang baru saja melaporkan rencana untuk kuartal berikutnya. "Pasar masa depan akan fokus pada rencana AI. Aku sangat nggak puas dengan laporanmu kali ini."

Manajer Departemen Desain diam-diam mengeluh. "Saya akan mengadakan rapat lagi dengan Departemen RD untuk membahasnya, Pak."

Di depan pintu Biro Urusan Sipil.

Elena duduk di atas kopernya sembari mengunyah roti yang dia beli di toko serba ada.

Sebelum pukul empat, sebuah mobil hitam berhenti di depannya.

Kaedyn turun dari mobil, diikuti oleh Doreen.

Elena menelan roti di mulutnya sebelum berkata dengan samar, "Kalian datang bersama, apakah berencana untuk langsung menikah setelah Kaedyn bercerai?"

Doreen menundukkan kepalanya, memperlihatkan cupang yang terlihat jelas di lehernya.

Elena melihatnya, tetapi ekspresinya acuh tak acuh.

"Ayo, sudah mau jam pulang kerja."

Elena menyeret kopernya menaiki tangga.

"Doreen, tunggu aku di dalam mobil. Aku akan segera keluar."

Kaedyn mengatakan kalimat itu kepada Doreen sebelum mengikuti Elena dengan tenang.

Tepat saat mereka hendak menandatangani perceraian.

Pengurus rumah menelepon dan memberi tahu mereka bahwa nenek Kaedyn sedang menunggu mereka di Perumahan Sorenson.

Kaedyn memandang Elena dengan ekspresi tegas. Surat cerai belum ditandatangani. Dia meletakkan pena sambil bertanya, "Elena, apakah ini trikmu?"

Kaedyn menarik kursinya, lalu pergi.

Elena mengusap pelipisnya.

Dia sudah menjadi tipe wanita licik di mata Kaedyn.

Doreen menunggu di luar Biro Urusan Sipil.

Ketika dia melihat Kaedyn keluar, dia berjalan mendekat sambil tersenyum, kemudian memeluk tangan pria itu. "Kae, apakah semuanya sudah selesai?"

"Aku akan membawamu kembali ke Perumahan Clurkin dulu. Ada yang harus kuurus." Meskipun suasana hati Kaedyn sedang buruk, dia masih mengendalikan emosinya saat menghadapi Doreen. "Ayo."

Jantung Doreen berdetak kencang. Dia melirik ke arah Elena yang sedang berjalan keluar dari Biro Urusan Sipil sambil masuk ke dalam mobil.

Ruang tamu Perumahan Sorenson.

Nenek Kaedyn yang duduk di kursi roda melepas kacamata bacanya.

Dia melihat dua sejoli yang berjalan masuk itu tanpa mengatakan apa-apa.

Pengurus rumah mengambil mantel Kaedyn, kemudian menyerahkannya kepada pembantu.

"Nenek, kenapa Nenek tiba-tiba datang ke sini?"

Kaedyn tersenyum sambil duduk di sofa dekat neneknya.

"Mulai hari ini, aku akan tinggal di sini."

Ekspresi nenek Kaedyn tampak dingin. Dia jelas tidak senang.

Sebelah alis Elena terangkat. Bukankah ini artinya Kaedyn tidak akan menceraikannya untuk sementara?

Selain itu, Elena juga harus kembali tinggal bersama Kaedyn.

"Yang penting Nenek senang. Aku akan mengganti pakaian."

Kaedyn menatap Elena dengan dingin, memberi isyarat agar Elena mengikutinya.

Di kamar tidur.

Kaedyn membuka kancing bajunya, lalu melepas bajunya.

Elena berdiri di dekat pintu.

"Kalau kamu ingin teman mainmu itu hidup lebih lama, jangan bertindak bodoh."

Ekspresi Elena sedikit berubah. "Apa maksudmu?"

Pria itu menyebut sebuah nama dengan nada dingin, "Joshua."

Elena menatap Kaedyn dengan ketakutan. Dia mengeluarkan ponselnya, lalu segera menelepon Joshua Winbrow.

Sebenarnya Joshua bukan adik kandung Elena.

Mereka dikirim ke panti asuhan oleh orang dewasa pada hari yang sama.

Elena bermarga Wimbrow, sedangkan Joshua bermarga Winbrow.

Mereka saling menjaga satu sama lain di panti asuhan.

Tanpa Joshua, tidak akan ada Elena yang sekarang.

Telepon Joshua tidak diangkat.

Tangan Elena yang memegang ponsel pun gemetar.

Cepat angkat, Josh,' batin Elena.

"Sekarang dia nggak mungkin menerima panggilan telepon darimu."

Kata-kata Kaedyn membuat seluruh tubuh Elena menggigil.

Elena menelepon perawat Joshua, tetapi tidak diangkat juga.

"Kamu harus minta maaf kepada Nicholas malam ini. Pak Martin akan mengantarmu ke sana. Ini adalah peringatan untukmu, Elena."

Elena menggigit bibirnya dengan marah sekaligus takut. Dia menatap pria di depannya itu.

"Kaedyn, aku juga ingin bercerai, aku juga ingin kamu bersama Doreen. Apa hubungannya keputusan Nenek denganku?"

Kaedyn mengganti pakaiannya lalu berjalan menuju Elena. Dia menatap Elena dengan maniknya yang sangat gelap. "Kenapa? Marah? Kalau kamu patuh, teman mainmu itu bisa hidup lebih lama, paham? Tingkahmu selama ini membuatku sangat kesal."

Elena menarik napas dalam-dalam, matanya memerah karena marah. "Aku paham. Anggap saja aku buta selama ini. Bisa-bisanya aku menyukai orang sepertimu."

Ketika Kaedyn mendengar kalimat tersebut, dia merasa sedikit tidak senang.

"Elena, aku hanya merasa jijik disukai olehmu. Kamu nggak pantas."

Elena menyeka air matanya yang menetes. Dia menatap Kaedyn dengan dingin, berbalik, lalu berjalan keluar dari kamar tidur.

"Kalau kamu berani tinggal di hotel, aku akan meminta seseorang untuk mematahkan salah satu kaki Joshua."

Kaedyn bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan.

Elena menyeka air matanya dengan kasar sebelum menyahut dengan dingin, "Aku mau ambil koper."

...

Pukul tujuh malam, neneknya Kaedyn sudah istirahat.

Martin pergi menjemput Elena.

Elena masuk ke dalam mobil dengan mengenakan baju lengan panjang dan celana panjang.

"Sekretaris Elena, kamu tampak pucat. Apakah kamu sakit?"

Martin mengemudikan mobil sambil berbicara dengan Elena.

Elena mengkhawatirkan Joshua, jadi dia tidak bisa tenang dan istirahat dengan baik.

"Saya baik-baik saja, saya hanya kurang istirahat," jawab Elena.

"Saya akan menemanimu masuk nanti," kata Martin.

Tempat yang akan mereka tuju adalah Kelab Prata.

Klub ini terkenal sebagai surganya orang kaya.

Nicholas bukanlah orang baik.

Entah apa yang Kaedyn pikirkan. Nicholas hampir tak bisa memiliki keturunan dan dia pantas mendapatkannya.

Bisa-bisanya Kaedyn menyuruh Elena untuk minta maaf Nicholas.

Martin tidak bisa mengubah keputusan Kaedyn. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah menemani Elena masuk.

Mereka masuk ke ruang privat, beberapa orang sedang bermain kartu.

Ada juga orang yang sedang minum dan menggoda pendamping wanita.

Elena melihat bahwa Kaedyn dan Doreen juga ada di dalam ruang privat.

Kaedyn sedang mengajari Doreen cara bermain kartu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status